25 Juli 2010
Hanya sebuah gedung sekolah berusia lanjut. Tidak lebih.
Tapi tidak bagi empat orang penghuninya. Empat orang yang terlalu banyak menyumbangkan tawa, canda, air mata, dan keringat di dalam gedung itu. Dan bagi mereka, terlalu berharga jika gedung itu hanya diebut sebagai sekolah.
Mereka menyebutnya sebagai istana. Istana tanpa nama.
Mereka. Empat orang yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Bersaudara hanya karena persamaan iman, kepercayaan, dan kekuatan pengertian. Tumbuh ditengah segala perbedaan. Dan saling memahami dari satu persamaan yang serupa. Sama-sama mengagumi keindahan kuasa-Nya.
Rayyan. Laki-laki cerdas berbadan atletis yang dilengkapi dengan wajahnya yang meneduhkan. Rambut hitam lurus cepak dan senyum selalu menghiasi wajahnya. Senyum apapun itu. Mulai dari senyum keceriaan sampai senyum yang cukup getir untuk dilihat. Sayangnya, garis wajahnya yang keras terkadang menutupi kesempurnaan fisiknya. Wajar. Garis itu terbentuk karena ia telah menjadi tulang punggung keluarga lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Dengan segala kesempurnaan fisik dan kecerdasannya, menjadi tidak wajar ketika banyak orang yang tahu bahwa ia tidak memiliki kedekatan dengan seorang wanita pun. Mungkin memang cukup dia sendiri yang tau kalau hatinya sudah disinggahi dua wanita yang menurutnya paling sempurna yang ia miliki. Ibu dan adiknya. Kebiasaan menegakkan kepala ke atas pun tak jarang membuatnya dikatakan angkuh, walaupun tak mengubah parasnya yang menawan. Ah, andai orang-orang tau apa yang sebenarnya yang ia lakukan. Kebiasaan itulah yang selalu menguatkannya selama ini. Melihat luasnya langit. Rayyan percaya Sang Pemilik Jagad Raya menciptakan langit yang luas untuknya. Untuk mengingatkannya bahwa apapun masalah dan sebanyak apapun tekanan yang akan dia hadapi, ia masih memiliki hati yang masih ia tambah luas wilayahnya tanpa batas. Seperti luasnya langit yang selalu ia pandangi. Termasuk hari ini. Ia pun terus memandangi langit untuk menekan segala egonya, ketika ia harus rela 'diusir' oleh Ibu dan adiknya untuk pergi meninggalkan mereka berdua, demi sebuah mimpi dan cita-cita.
Delta. Satu-satunya gadis berjilbab diantara mereka. Tidak ada yang istimewa dari penampilan fisiknya. Biasa saja. Tapi mungkin ada yang membuatnya tampak berbeda. Kepiawaiannya bermain biola, selalu membuatnya tampak anggun bagi orang yang menyaksikannya. Tapi tidak bagi dirinya sendiri. Delta selalu risih dengan sesuatu yang berhubungan dengan pujian dan sanjungan. Aneh. Baginya gak ada sesuatu yang layak dipuji dari dirinya walaupun permainan biolanya pernah membuat satu aula sekolahnya banjir air mata. Sayangnya, dia tak pernah menyadari bahwa ke-risih-an nya dengan sanjungan dan pujian hanya dampak dari trauma yang pernah ia alami. Karena sanjungan dan pujian lah, ia kehilangan orang yang ia sayangi, yang untuk pertama kalinya mengajarkannya bermain biola. Oia, satu lagi. Ia benci disuruh menggunakan rok. Bahkan ia pernah bertengkar hebat dengan Rayyan hanya karena masalah itu. Tapi Rayyan tidak tahu bahwa Delta tidak mau menggunakan rok karena ia hanya takut. Ia hanya takut tak bisa memanjat pohon di samping istana setiap malam, untuk melihat indahnya konstelasi bintang di langit. Konstelasi bintang yang selalu berhasil melepaskan kerinduannya, kepada sang pengajar biolanya.
Gemma. Dingin. Itulah penilaian orang-orang saat pertama kali mengenal Gemma. Penilaian itu tidak salah. Kesan dingin yang dimiliki laki-laki berperawakan tidak tinggi dan tidak pendek ini timbul dari rasa cintanya dengan kesendirian. Baginya, lebih baik diam dan menyendiri daripada berbicara dan berkumpul dengan orang banyak tapi tidak memiliki manfaat. Walaupun terdapat pengecualian jika ia bertemu dengn tiga penghuni istana lainnya. Delta selalu geleng-geleng kepala melihat kebiasaan Gemma yang tak pernah bosan bercengkrama dengan laptopnya. Layar laptopnya selalu menampilkan coding coding yang tak pernah Delta mengerti. Di samping dan belakang laptopnya, berserakan berbagai CD pemrogramman, games, antivirus, dan program-program yang menambah manis teman bercengkeramanya itu. Andai ia memiliki lebih banyak teman yang mengenalnya lebih dekat, pasti tidak akan ada yang pernah menyangka bahwa pola pikirnya tidak serumit coding-coding yang ada di layar komputernya. Setiap masuk atau keluar dari istana itu, ia pasti selalu terhenti di jembatan depan istana. Bukan untuk membetulkan tali sepatunya. Bukan. Tapi untuk menikmati air sungai yang terus mengalir ke bawah. Dari situlah pola pikirnya berasal. Baginya, hidup ini lebih sederhana dari program-program komputer yang selalau ia buat. Apapun yang ia hadapi, ia selalu berusaha menyikapinya seperti air yang selalu mengalir ke bawah. Sebesar apapun batu yang menghalanginya, sesempit apapun tempat mengalirnya, air akan selalu memaksa untuk mengalir ke bawah. Selalu. Dan itulah kekuatan yang ia pegang untuk mencapai mimpinya. Mimpi besarnya. Sebuah kekuataan dari kesederhanaan yang memaksa.
Nasha. Perempuan yang paling muda diantara empat penghuni istana lainnya. Bukan karena umurnya, toh mereka memiliki umur yang sama, hanya berbeda beberapa bulan. Nasha terlihat dan dianggap paling muda karena keceriannya. Keceriaan tanpa batas yang tidak dimilki penghuni istana lainnya. Gadis berambut panjang yang lebih sering dikuncir dengan poni samping yang menutupi keningnya ini, tanpa sadar telah menjadi penyulut keceriaan bagi tiga penghuni istana lainnya. Rayyan, Delta, dan Gemma memiliki satu prinsip yang sama tentang Nasha, "Jangan harap bisa menunjukkan wajah sedih atau bahkan menangis jika berada di hadapan Nasha". Dan kalau diperhatikan, diantara jendela-jendela yang dimiliki oleh setiap penghuni istana, engsel jendela Nasha lah yang paling memprihatinkan keadaanya. Nyaris tak mampu menopang kedua daun jendelanya. Ya. Nasha paling senang membuka jendelanya lebar-lebar, apalagi di saat hujan. Ia senang memandangi hujan. Melankoliskah? Bukan. Sama sekali bukan. Bahkan Nasha sangat membenci kata menangis. Baginya, hujan selalu bisa menjadi tolak ukurnya. Tolak ukur seberapa bisa ia menghangatkan orang-orang di sekitarnya di tengah dinginnya hujan. Kebiasaan itulah yang menjadi kekuatan keceriaan tanpa batasnya. "Jika Sang Pemilik hujan menciptakan hujan dengan segala rasa dinginnya, berarti gw diciptakan untuk memberikan rasa hangat untuk orang-orang di sekitar gw!", itulah kalimat yang selalu Nasha ucap berulang-ulang, saat memandangi hujan dari jendela istana. Ia pun mendeklarasikan dirinya, sebagai Sang Penantang Hujan.
Hanya sebuah gedung sekolah berusia lanjut. Tidak lebih.
Tapi tidak bagi empat orang penghuninya. Empat orang yang terlalu banyak menyumbangkan tawa, canda, air mata, dan keringat di dalam gedung itu. Dan bagi mereka, terlalu berharga jika gedung itu hanya diebut sebagai sekolah.
Mereka menyebutnya sebagai istana. Istana tanpa nama.
Istana tanpa nama
Mereka. Empat orang yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Bersaudara hanya karena persamaan iman, kepercayaan, dan kekuatan pengertian. Tumbuh ditengah segala perbedaan. Dan saling memahami dari satu persamaan yang serupa. Sama-sama mengagumi keindahan kuasa-Nya.
Rayyan. Laki-laki cerdas berbadan atletis yang dilengkapi dengan wajahnya yang meneduhkan. Rambut hitam lurus cepak dan senyum selalu menghiasi wajahnya. Senyum apapun itu. Mulai dari senyum keceriaan sampai senyum yang cukup getir untuk dilihat. Sayangnya, garis wajahnya yang keras terkadang menutupi kesempurnaan fisiknya. Wajar. Garis itu terbentuk karena ia telah menjadi tulang punggung keluarga lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Dengan segala kesempurnaan fisik dan kecerdasannya, menjadi tidak wajar ketika banyak orang yang tahu bahwa ia tidak memiliki kedekatan dengan seorang wanita pun. Mungkin memang cukup dia sendiri yang tau kalau hatinya sudah disinggahi dua wanita yang menurutnya paling sempurna yang ia miliki. Ibu dan adiknya. Kebiasaan menegakkan kepala ke atas pun tak jarang membuatnya dikatakan angkuh, walaupun tak mengubah parasnya yang menawan. Ah, andai orang-orang tau apa yang sebenarnya yang ia lakukan. Kebiasaan itulah yang selalu menguatkannya selama ini. Melihat luasnya langit. Rayyan percaya Sang Pemilik Jagad Raya menciptakan langit yang luas untuknya. Untuk mengingatkannya bahwa apapun masalah dan sebanyak apapun tekanan yang akan dia hadapi, ia masih memiliki hati yang masih ia tambah luas wilayahnya tanpa batas. Seperti luasnya langit yang selalu ia pandangi. Termasuk hari ini. Ia pun terus memandangi langit untuk menekan segala egonya, ketika ia harus rela 'diusir' oleh Ibu dan adiknya untuk pergi meninggalkan mereka berdua, demi sebuah mimpi dan cita-cita.
Delta. Satu-satunya gadis berjilbab diantara mereka. Tidak ada yang istimewa dari penampilan fisiknya. Biasa saja. Tapi mungkin ada yang membuatnya tampak berbeda. Kepiawaiannya bermain biola, selalu membuatnya tampak anggun bagi orang yang menyaksikannya. Tapi tidak bagi dirinya sendiri. Delta selalu risih dengan sesuatu yang berhubungan dengan pujian dan sanjungan. Aneh. Baginya gak ada sesuatu yang layak dipuji dari dirinya walaupun permainan biolanya pernah membuat satu aula sekolahnya banjir air mata. Sayangnya, dia tak pernah menyadari bahwa ke-risih-an nya dengan sanjungan dan pujian hanya dampak dari trauma yang pernah ia alami. Karena sanjungan dan pujian lah, ia kehilangan orang yang ia sayangi, yang untuk pertama kalinya mengajarkannya bermain biola. Oia, satu lagi. Ia benci disuruh menggunakan rok. Bahkan ia pernah bertengkar hebat dengan Rayyan hanya karena masalah itu. Tapi Rayyan tidak tahu bahwa Delta tidak mau menggunakan rok karena ia hanya takut. Ia hanya takut tak bisa memanjat pohon di samping istana setiap malam, untuk melihat indahnya konstelasi bintang di langit. Konstelasi bintang yang selalu berhasil melepaskan kerinduannya, kepada sang pengajar biolanya.
Gemma. Dingin. Itulah penilaian orang-orang saat pertama kali mengenal Gemma. Penilaian itu tidak salah. Kesan dingin yang dimiliki laki-laki berperawakan tidak tinggi dan tidak pendek ini timbul dari rasa cintanya dengan kesendirian. Baginya, lebih baik diam dan menyendiri daripada berbicara dan berkumpul dengan orang banyak tapi tidak memiliki manfaat. Walaupun terdapat pengecualian jika ia bertemu dengn tiga penghuni istana lainnya. Delta selalu geleng-geleng kepala melihat kebiasaan Gemma yang tak pernah bosan bercengkrama dengan laptopnya. Layar laptopnya selalu menampilkan coding coding yang tak pernah Delta mengerti. Di samping dan belakang laptopnya, berserakan berbagai CD pemrogramman, games, antivirus, dan program-program yang menambah manis teman bercengkeramanya itu. Andai ia memiliki lebih banyak teman yang mengenalnya lebih dekat, pasti tidak akan ada yang pernah menyangka bahwa pola pikirnya tidak serumit coding-coding yang ada di layar komputernya. Setiap masuk atau keluar dari istana itu, ia pasti selalu terhenti di jembatan depan istana. Bukan untuk membetulkan tali sepatunya. Bukan. Tapi untuk menikmati air sungai yang terus mengalir ke bawah. Dari situlah pola pikirnya berasal. Baginya, hidup ini lebih sederhana dari program-program komputer yang selalau ia buat. Apapun yang ia hadapi, ia selalu berusaha menyikapinya seperti air yang selalu mengalir ke bawah. Sebesar apapun batu yang menghalanginya, sesempit apapun tempat mengalirnya, air akan selalu memaksa untuk mengalir ke bawah. Selalu. Dan itulah kekuatan yang ia pegang untuk mencapai mimpinya. Mimpi besarnya. Sebuah kekuataan dari kesederhanaan yang memaksa.
Nasha. Perempuan yang paling muda diantara empat penghuni istana lainnya. Bukan karena umurnya, toh mereka memiliki umur yang sama, hanya berbeda beberapa bulan. Nasha terlihat dan dianggap paling muda karena keceriannya. Keceriaan tanpa batas yang tidak dimilki penghuni istana lainnya. Gadis berambut panjang yang lebih sering dikuncir dengan poni samping yang menutupi keningnya ini, tanpa sadar telah menjadi penyulut keceriaan bagi tiga penghuni istana lainnya. Rayyan, Delta, dan Gemma memiliki satu prinsip yang sama tentang Nasha, "Jangan harap bisa menunjukkan wajah sedih atau bahkan menangis jika berada di hadapan Nasha". Dan kalau diperhatikan, diantara jendela-jendela yang dimiliki oleh setiap penghuni istana, engsel jendela Nasha lah yang paling memprihatinkan keadaanya. Nyaris tak mampu menopang kedua daun jendelanya. Ya. Nasha paling senang membuka jendelanya lebar-lebar, apalagi di saat hujan. Ia senang memandangi hujan. Melankoliskah? Bukan. Sama sekali bukan. Bahkan Nasha sangat membenci kata menangis. Baginya, hujan selalu bisa menjadi tolak ukurnya. Tolak ukur seberapa bisa ia menghangatkan orang-orang di sekitarnya di tengah dinginnya hujan. Kebiasaan itulah yang menjadi kekuatan keceriaan tanpa batasnya. "Jika Sang Pemilik hujan menciptakan hujan dengan segala rasa dinginnya, berarti gw diciptakan untuk memberikan rasa hangat untuk orang-orang di sekitar gw!", itulah kalimat yang selalu Nasha ucap berulang-ulang, saat memandangi hujan dari jendela istana. Ia pun mendeklarasikan dirinya, sebagai Sang Penantang Hujan.
Dan mulai hari ini, mereka memutuskan untuk keluar dari istana dan berpisah. Bertengkarkah? Bukan.
Dengan segala perbedaan yang ada pun, istana tersebut terlalu nyaman dan membuat mereka terlalu malas untuk berselisih walaupun sedikit. Istana tersebut terlalu menyenangkan untuk diisi dengan perbedaan pendapat. Dan istana tersebut terlalu berharga untuk ditinggal pergi walaupun hanya sebentar.
Tapi bukankah banyak orang bilang, kedewasaan itu tumbuh ketika kita berani keluar dari zona aman dan zona nyaman? Ya. Mereka pergi dari istana itu. Mereka ingin menjadi dewasa. Dan meninggalkan segala zona nyaman dan zona aman yang ada.
Menjadi dewasa? Alasan yang terlalu idealis untuk orang-orang seperti mereka. Ternyata mereka punya alasan yang lebih sederhana dari alasan itu.
Dengan segala perbedaan yang ada pun, istana tersebut terlalu nyaman dan membuat mereka terlalu malas untuk berselisih walaupun sedikit. Istana tersebut terlalu menyenangkan untuk diisi dengan perbedaan pendapat. Dan istana tersebut terlalu berharga untuk ditinggal pergi walaupun hanya sebentar.
Tapi bukankah banyak orang bilang, kedewasaan itu tumbuh ketika kita berani keluar dari zona aman dan zona nyaman? Ya. Mereka pergi dari istana itu. Mereka ingin menjadi dewasa. Dan meninggalkan segala zona nyaman dan zona aman yang ada.
Menjadi dewasa? Alasan yang terlalu idealis untuk orang-orang seperti mereka. Ternyata mereka punya alasan yang lebih sederhana dari alasan itu.
Rayyan hanya ingin memandangi luasnya langit selain dari menara tertinggi istana. Delta hanya ingin mengangumi konstelasi bintang di langit selain dari cabang pohon samping istana. Gemma hanya ingin menikmati air yang terus mengalir ke bawah selain dari jembatan di depan istana. Dan Nasha hanya ingin menantang dinginnya hujan selain dari jendela istana.
Hanya itu. Mereka hanya ingin melihat keindahan kuasa-Nya, dari sudut yang berbeda.
*Hanya sebuah ceracauan yang berbentuk cerita fiksi bersambung. Terinspirasi dari sebuah istana yang terbuat dari kertas lipat yang diberikan oleh seorang sahabat. Dan terinspirasi pula dari tiga sahabat yang menyaksikan proses pembangunannya :)
7 komentar:
ihiahah. istananya aneeh. wkwkwk.
wes2 tuti memulai debutnya sebagai penulis cerita fiksi. wkwkk
wah, kayaknya bakal seru nih teh ceritanya :)
asyiklaaaah ;) haha ditunggu kelanjutannya ya sayang!
asik euy istananya :D
jadi juga akhirnyaaaa haha lanjutin tuuuut :D
istananya mantep ya. wow
@ishal : gak aneh ah shal, bagus ah, khan yang bikinnya pake hati kali, hahaha :P amiin, doakan ya :)
@dila : amiiin, mudah2an saja ceritanya bermanfaat ya dil :)
@aii : doain aja ya sayang, soalnya butuh banyak inspirasi buat melanjutkannya :D
@anonim : asiiik dooonk :D
@atana : siaaaap bos! insya allah :D
Posting Komentar