Sabtu, 26 Juli 2014

Indah di Hati

Tut, rotinya kalau sisa, dibawa aja. Nanti kalau di jalan ketemu anak jalanan, dikasih aja.
Hah? Hmm. Oke. (membungkus roti dengan plastik)
...
Itu ada anak jalanan. Boleh dikasih?
Rotinya ada banyak kan? Kasih satu aja, Tut.
Oke.
(Dalam hati : Sebentar, kan rotinya ada banyak, kenapa coba cuma dikasih satu aja? Kasih semua aja kali ya)
 ... 
Udah, Tut?
Udah. Gw kasih semua ya.
Loh kok dikasih semua? Kan gue bilang satu aja.
Kan ada banyak. Kenapa gak dikasih semua aja? Kan gak dimakan juga sama kita.
Tut, nanti kan di jalan kalau ketemu anak jalanan lainnya bisa dikasih lagi. Ngasihnya secukupnya aja. Sesuai kebutuhan. Kalau satu anak dikasih satu, manfaatnya lebih banyak anak yang gak lapar dibandingkan satu anak dikasih semua.
Untung saja orang ini duduk membelakangi gw. Setidaknya, orang ini tidak perlu melihat muka gw yang sedang melongo mendengarkan penjelasannya.

....
Gue biasanya kalau lagi beli roti,  makanan atau minuman apapun, sekalian dua tut. Siapa tau di jalan ada anak jalanan yang bisa dikasih. Daripada ngasih uang yang belum jelas dipake buat apa, lebih baik ngasih makanan yang jelas akan dipake makan.
Sederhana sekali. Gw nyaris lupa bahwa berbagi bisa sesederhana ini. Untuk gw yang sering bergelut di dunia pengabdian masyarakat, jangan-jangan pemahaman gw mulai terkotak-kotak bahwa urusan berbagi, hanya eventual dan kontekstual.

***
Gak setiap hari Tut, ketika ada berlebih aja. Soalnya enak banget pas sensasi ngasih bukan duit ke orang yang ngebutuhin itu. Kalau makanan kan pasti langsung 'dipake' untuk makan...
Pernah gue makan pizza di Pejaten Village sendiri emang lagi hedon (gak boleh ditiru), trus ga abis banyak. Terus dibungkus aja dengan wondering ketika di jalan ketemu anak jalanan, atau pengamen, atau pemulung, terus bisa berbagi. Eh ternyata ada tiga anak kecil dan satu bapaknya lagi ngamen.  Sontak gue langsung nawarin sekorak pizza itu ke anaknya. Anaknya bilang, "Wah itu apa kak?", "Ini pizza", "Wah makasih banyak ya, Kak" trus ucapan makasih di-repeat sama adek adeknya dan bapaknya.Ucapan makasih itu indikasi bahwa mereka lagi butuh, dan gue seneng banget, terharu mata merah biasanya udah ngasih itu.  
Itulah sensasi yang gue pengen rasain sendiri tut, indah di hati. 
Untung saja percakapan in terjadi melalui Line. Setidaknya, orang ini tidak perlu mengetahui bahwa gw sedang tersenyum.

Selasa, 15 Juli 2014

Selasa, 08 Juli 2014

Selamat Bertugas!


Di salah satu sesi pelatihan hari ini, gw meminta setiap mentor untuk menulis surat. Surat untuk diri mereka sendiri di masa depan. Dirinya di H-1 PSAF. Di Bulan Agustus mendatang. Surat yang mungkin bisa menyemangati diri sendiri, meredam ketegangan, dan mengingatkan hal hal yang mungkin tenggelam ditengah segala persiapan. Surat yang akan dibaca oleh mereka sendiri, di H-1 pertemuan.


Senyum-senyum bacanya. Termasuk saat baca surat yang satu ini :
Halo (nama dirinya)...
Semua ini bukan tentang diri sendiri.Lebih dari itu, ini tentang orang lain.Ini tentang ikhtiar berpikir dan bertindak melampaui.Yang didorong oleh kepedulian.
Kau sudah merasakan sendiri menjadi orang baru itu sulit.Dengan medan yang tidak bisa diterka lubang-lubangnya.Yang perlu kau lakukan adalah membantu mereka.Agar lebih cepat dan tepat menemukan diri mereka.Hingga akhirnya mereka akan melakukan kebaikan kebaikan.Yang bahkan melampaui dirimu sendiri.
What a heartwarming letter :')

Selamat bertugas, mentor Kamaba Psikologi UI 2014!

Mentor Kamaba Psikologi UI 2014

Senin, 07 Juli 2014

Di Wajah, Juga Dalam Hati

Tembok itu membentang di sepanjang bibir pantai. Tak begitu tinggi. Hanya sebatas pinggang. Membuat gw yang hanya memliki tinggi 160-an cm bisa dengan mudah naik ke atasnya. Gw duduk di salah satu sisinya. Menantang apa-apa yang membentang di hadapan. Menantang angin yang tak jera menerjang apa saja yang ada di hadapannya.

Gw menendang-nendang tembok bagian bawah dengan tumit. Bergantian. Kanan-kiri. Kanan-kiri. Maju-mundur. Maju-mundur. Bak anak kecil yang sedang menunggu teman bermainnya di taman. Tepat di bawah telapak kaki, batu-batu besar tersususun membentuk karang. Pelan dihantam air laut yang malu-malu mencium permukaannya.

Sempurna. Tanpa matahari, perbatasan antara perairan dan daratan ini jauh lebih indah. Langit seolah terbalik. Bintang gemintang tumpah ruah di permukaan air. Berkerlap kerlip. Merah. Jingga. Bukan. Bukan bintang. Ternyata lampu-lampu pelabuhan di kejauhan. Lampu-lampu kapal yang tengah merapat di dermaga.

Iya. Pantai di sebelah utara daerah khusus ibukota ini memang lebih sempurna di kala malam. Warna lautnya seolah senada dengan hitamnya langit. Karena kalau bukan malam, pemandangannya tentu saja kontras bukan buatan. Tidak seperti pantai selatan di daerah Banten sebelumnya.

Malam itu sempurna. Sejauh mata memandang hanya hitam dan kerlap kerlip bintang. Kerlap kerlip lampu pelabuhan. Satu dua pesawat melintas. Tiga empat. Tidak. Sepuluh sebelas. Melintas dari utara ke selatan. Dari barat ke timur. Dari Pulau Kalimatan ke Pulau Jawa. Dari Cengkareng ke Adisucipto. Seseorang bilang begitu ketika melihat arah pesawat.

Mata gw menantang apa-apa yang ada di hadapan. Tersenyum. Menyenangkan. Melihat luas apa yang ada di hadapan. Mendengar suara pasang surut air laut yang menenangkan. Kalau boleh, gw lebih memilih untuk tidak pulang.

Tak ada yang bisa dibahasakan dengan baik di sini. Menatap. Mendengar. Diam. Jauh lebih berharga dari pembahasaan perasaan dalam bentuk apapun saat ini. Keindahan lukisannya jauh lebih dari cukup menjelaskan semuanya. Kesyukuran itu merangsek dalam. Pengertian itu datang seperti hujan. Begitu saja. Mengalir deras.

Tapi rasa ingin tahu tiba-tiba menyeruak. Sebuah pertanyaan memecah keheningan. Baiklah, satu kali ini saja gw bertanya. Sekali ini saja. Janji, kekaguman itu hanya akan di simpan dalam-dalam.
Kenapa lw bisa tahu semuanya? Kenapa lw bisa menjawab banyak pertanyaan?
Pertanyaan itu melesat tenang. Tanpa intonasi kekaguman. Juga tanpa intonasi menantang. Datar saja. Hanya sebuah keingintahuan.
Karena gue suka melakukan hal-hal baru, pergi ke tempat-tempat baru, dan bertemu orang-orang baru.
Sebuah jawaban melesat. Tidak ada pergerakan yang berarti. Semua tatapan masih lurus ke depan. Kadang sedikit menengadah ke langit. Kalau kalau ada pesawat lagi yang lewat. Menambah hitungan pesawat yang melintas.
Kenapa? 
Biar nanti saat sudah jadi ayah dan jadi kakek, gue punya banyak cerita yang bisa diceritakan ke anak-anak dan cucu gue.
Gw refleks menoleh ke arah sumber suara. Ke arah pemberi jawaban. Yang ditoleh bergeming. Tetap menatap lurus ke depan. Dengan tatapan yakin tentang salah satu rencana masa depannya. Mendongengkan banyak kisah kepada anak dan cucunya.

Gw tersenyum. Di wajah dan di dalam hati.

Manis sekali. Untuk sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang laki-laki.

Minggu, 06 Juli 2014

If You Could

Banyak rencana hidup gw yang sampai saat ini masih menjadi wacana. Salah satunya, menulis buku. Gw cuma bisa nyengir-nyengir kuda saat ada beberapa orang yang bertanya dan menyatakan,
"Kapan Tut nulis buku?"
"Kalau bukunya udah ada di toko buku bilang-bilang ya, Tut?"
"Teteh nanti aku mau ngasih komentar di belakang bukunya ya!"
Ide sudah begitu banyak dikumpulkan. Tapi ide mana yang mau dielaborasi masih begitu membingungkan. Tapi sepertinya kalimat di atas hanya alasan belaka. Tidak pe-de menggulung habis niat gw. Mungkin kondisi itu lebih tepat. Siapapun, tolong tampar gw.

Baiklah, mungkin karir menulis gw bisa dimulai dengan menjadi endorser buku orang lain. Dimulai menjadi penulis komentar di belakang buku teman sendiri yang telah lebih dulu menerbitkan buku. Beberapa bulan lalu Cynthia, teman gw semasa SMA, mencari orang untuk menjadi endorser novelnya yang ketiga. Tugas endorser adalah memberikan feedback berupa masukan, kritik, maupun saran terhadap draft buku sebelum buku tersebut diterbitkan. Gw mengajukan diri untuk menjadi salah satu endorsernya. Voila! Ternyata komentar gw dipilih oleh editor Cynthia untuk dicantumkan di bagian belakang bukunya. Jadi kalau ada yang beli bukunya Cynthia yang ketiga ini... ehm... nama pemberi komentar yang paling terakhir dicantumkan di belakang buku... ehm... mungkin namanya sama dengan penulis blog ini.

Bahahaha. Ampuni ke-norak-an temanmu yang satu ini, Cyn :P

Buku yang berjudul If You Could ini merupakan buku ketiga Cynthia setelah Stasiun dan Bumi. Buku ini bercerita tentang acceptance. Penerimaan. Yang kalau kata Cynthia, kadang tidak bisa sesederhana itu dilakukan. 


"Dan untuk kamu yang sedang berusaha memahami konsep menerima dalam bentuk yang sederhana, semoga buku ini bukan menjadi tumpukan kertas belaka" (Cynthia Febrina, 2014)
Gw belum baca buku Cynthia yang pertama. Tapi kalau boleh hanya membandingkannya dengan buku kedua, tidak begitu jauh berbeda. Dalam buku ini Cynthia mengangkat cerita yang dekat dengan kehidupan sehari hari. Kalau sebelumnya tentang persahabatan, kali ini tentang cinta. Satu hal yang gw suka kalau Cynthia menuliskan tentang cinta, cintanya gak menye menye gitu. Gak mengharu biru. Cynthia mengajak kita untuk melihat bahwa cinta, mampu tampak elegan apabila dibungkus dengan pemahaman yang baik. Cynthia juga, seperti di buku kedua, masih berani untuk mengangkat isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) yang masih dianggap isu kontroversial di Indonesia. Jujur saja, gw sendiri masih belum berani menulis dengan mengangkat isu ini. Oia, satu lagi hal yang gw suka dari tulisannya Cynthia, by riset!

Untuk siapapun yang pernah atau sedang merasa tidak bisa menerima banyak hal yang terjadi, tidak bisa menerima kondisi orang lain, atau mungkin tidak bisa menerima kondisi dirimu sendiri, buku ini bisa jadi pilihan. Tidak ada nasihat nasihat bijak di sini, tidak ada saran saran psikologis di sini, tapi setidaknya, buku ini akan memberimu kebesaran hati. Bahwa kamu berhak sedih, kamu berhak kecewa, dan kamu berhak merasa lelah ketika harus memahami banyak hal, memahami  orang lain, bahkan memahami orang yang kamu sayangi sekalipun. Karena sejatinya, menerima tidak pernah mudah. 

Di Sini Kami Menemukan

Hari sudah mulai gelap. Kurang lebih 2 setengah jam kami berjalan. Sawah, hutan, tanjakan, turunan adalah medan yang kami lewati.  Di tengah hujan yang pelan pelan menderas, dibalut setelan jas hujan berwarna ungu, gw membungkukan badan. Gw menggendong carrier di pundak, sambil menggendong sebuah ransel di bagian depan, juga menyelempangkan sebuah tas kecil. Gw sempurna dalam posisi rukuk. Mengambil nafas. Dibandingkan duduk, posisi ini dapat membantu kita untuk beristirahat sejenak saat kelelahan berjalan. Melancarkan peredaran darah tanpa harus kehilangan panas tubuh yang akan membuat lebih lelah. Gandewa mengajarkan ini kepada gw. 

Setelah dianggap cukup, gw menarik tali carrier. Mengencangkannya agar carrier dan pundak gw tak berjarak. Gw kembali berjalan sambil sesekali melihat ke belakang. Uty, Kak Seto, Mushab, dan  Kak Nuel bergantian menjijing koper milik Uty yang ukurannya cukup besar. Tentu saja, di medan seperti ini koper tidak bisa ditarik. Bisa bisa tenggelam di dalam lumpur. Koper itu harus dijinjing. Besok besok akan gw bilang kepada Uty, " Ty, udah dibilang jangan bawa butik ke sini. Repot kan"

Gw berniat untuk menawarkan bantuan. Tapi niat itu gw tepis saat gw ingat kondisi gw sekarang. Ini carrier terberat yang pernah gw bawa. Redo (nama carrier gw) berukuran 65 liter. Itu belum termasuk ruang ekstensinya. Biasanya, ruang ekstensi itu tidak pernah dipakai. Bahkan saat gw mendaki ke Semeru sekalipun yang merupakan perjalanan terpanjang gw. Kali ini, muatan barang yang gw bawa begitu banyak. Ruang ekstensi itu terpakai seluruhnya. Belum ditambah dengan ransel dan dalam kondisi kehujanan. Untuk pertama kalinya muka gw sampai merah saat membawa carrier. Gw kepayahan. Baiklah, jangan sok tahu mau bantu orang lain, Tut. Bantu diri lw sendiri. 

Tepat di samping tempat gw membungkukan badan tadi, gw tidak menyadari adanya sebuah tiang listrik yang ambruk. 

*** 

Hari kedua di Desa Cipeuti. Hari pertama mengajar. Hari pertama tanpa kemewahan. Tanpa penerangan.

Jumat, 11 Januari 2013
                     
Saat gw berniat menuliskan tulisan ini, di depan gw, dua adik angkat gw sedang  menggambar cita-citanya. Murti yang tertua. Gambarnya sebuah toko baju dan sepatu yang berada di pinggir jalan raya. Yap. Murti bilang ia ingin menjadi pengusaha toko. Sedangkan Sada, si adik laki-laki menggambar lapangan sepakbola lengkap dengan gawangnya. Ia ingin menjadi pemain sepakbola (Yang kemudian berubah menjadi dokter). Cita-cita yang biasa kita dengar bukan? Yang tidak biasa, mereka bersemangat menggambar hanya dengan satu lilin untuk penerangan. Tiang listrik desa yang ambruk karena hujan besar, menyebabkan sudah empat hari empat malam tidak ada listrik di desa ini.

Mereka bersekolah di SDN Kertaraharja 1. Tempat gw mengajar dalam Gerakan UI Mengajar. Hari ini hari pertama gw mengajar. Sebelumnya, gw mendengar bahwa ada warga yang hampir menangis saat melihat kedatangan kami dalam kondisi hujan lebat, berjalan kaki dari desa sebelumnya, dengan membawa bawaan yang luar biasa berat, dan harus melewati kondisi jalan yang… di kemudian hari membuat gw serasa terbang saat berada di atas aspal.


Kondisi jalan Desa Cipeuti dan Pancal saat musim hujan

Sayangnya, warga tidak tahu bahwa bukan hanya mereka yang hampir menangis. Gw, pengajar kelas 5 SDN Kertaraharja 1 juga hampir menangis melihat sambutan dan antusiasme anak-anak di sini. Mereka saling berebut mencium tangan kami sambil mengucapkan salam kepada kami yang mereka ketahui akan menjadi guru barunya.

Belum banyak yang bisa gw tumpahkan di tulisan ini. Tapi yang perlu kawan ketahui, kata siapa anak Indonesia  pemalas? Di sini, kami menemukan banyak anak yang tetap menerjang hujan dan lumpur, tiba di sekolah satu jam sebelum mereka masuk, walaupun mereka tahu terkadang harus pulang kembali karena guru mereka tidak akan datang karena hambatan geografis.

SDN Kertaraharja 1

Membunuh Ekspektasi

Kamis, 10 Januari 2013
Kantor Kecamatan Sobang
Aku bisa aku pasti bisa ku tak pernah berputus asa. Bila ku gagal itu tak mengapa, setidaknya ku telah mencoba!
Entah sudah berapa lagu yang gw dan Icha nyanyikan di depan kantor Kecamatan Sobang. Buku kumpulan lagu wajib dan lagu anak-anak kami bolak balik. Kami senandungkan. Kebanyakan lagu-lagu anak-anak yang kami nyanyikan adalah lagu yang diketahui oleh anak anak kelahiran 1990-an. Kami duduk di atas kursi plastik di depan lumpur sisa sisa banjir. Sesekali kami masuk ke dalam karena gerimis. Lalu kembali keluar saat gerimis reda. Beberapa teman teman pengajar lainnya pun sesekali ikut bergabung. Dengan ceria kami bernyanyi, sengaja melupakan bahwa tempat yang kami duduki saat ini, kemarin malam dipenuhi air setinggi pinggang. Tidak boleh ada urusan sedih sedan karena banjir, di perjalanan yang bahkan belum dimulai.

Lagu lagu yang kami nyanyikan pun akhirnya harus terhenti. Truk yang akan membawa kami ke titik penempatan masing-masing datang. Truk yang seharusnya membawa kami kemarin sore.

***

Setibanya di Kantor Kecamatan, harusnya kami langsung berangkat ke titik kami masing-masing. Kami akan ditempatkan di lima titik yang berbeda. Kami biasanya menyebutnya titk 1 sampai titik 5. Kami akan dijemput dengan menggunakan truk. Iya, truk besar terbuka yang biasa digunakan untuk membawa sapi. Hanya truk semacam itu yang dapat melewati medan menuju titik-titik penempatan kami dan membawa orang dan barang dalam jumlah besar sekaligus. Truk tersebut di beberapa titik akan mengantarkan langsung ke tempat tujuan. Tapi di beberapa titik lainnya, termasuk titik gw yang merupakan desa terjauh dari kantor kecamatan, truk ini hanya akan mengantarkan kami sampai titik tertentu. Setelahnya, kami harus lanjutkan dengan berjalan kaki karena kontur jalan sudah tidak memungkinkan truk untuk masuk lebih dalam lagi ke arah desa.

Setibanya di kantor kecamatan, kami mendapatkan kabar dari korlap (koordinator lapangan) titik kami masing-masing bahwa banjir menutup beberapa akses jalan, termasuk ke desa gw. Hanya titk 5 yang berhasil tiba di tempat tujuan tanpa terhadang banjir. Empat titik lainnya diputuskan baru bisa berangkat esok hari dan harus menginap di Kantor Kecamatan. 

Di tengah hujan yang masih mengguyur, kami pun merapikan salah satu ruangan yang akan digunakan untuk tempat kami menginap. Gw tersenyum saat membongkar barang barang yang gw bawa. Banyak barang yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dibawa, seperti sleeping bag, matras, jas hujan, dan headlamp, tapi tetap gw paksa untuk dijejalkan di Redo (Redo : carrier merah kesayangan gw). Barang-barang ini  termasuk ke dalam barang-barang yang harus dibawa sesuai SOP pendakian. Gandewa yang mengajarkannya. Barang-barang ini pun begitu bermanfaat di saat saat seperti ini. Prinsip help yourself first selalu berlaku di banyak waktu dan tempat, termasuk saat ini.

Menjelang malam, hujan mulai mereda. Tapi tanpa bilang bilang, air pelan-pelan naik. Kantor kecamatan ini bak rumah panggung. Hanya saja terbuat dari beton. Di depannya merupakan undakan tangga yang membuatnya tidak sejajajar dengan tanah. Air tidak benar benar masuk ke kantor kecamatan. Tapi saat kita menuruni tangga, air sudah setinggi pinggang orang dewasa. 

Di depan Kantor Kecamatan Sobang

Rumah warga dan sekolah sudah digenangi air. Warga beramai ramai mengungsi ke rumah warga yang berada di dataran yang lebih tinggi. Warga pun meneriaki kami untuk segera mengungsi karena air bisa kapan saja memasuki kantor kecamatan. Konon, daerah kantor kecamatan ini  berada di titik temu antara gunung dan pantai. Air hujan yang mengalir dari gunung turun dan air laut yang pasang naik. Jadilah seluruh aliran air menggenang di titik ini.

Setelah menimbang-nimbang berbagai kemungkinan, panitia akhirnya membuat keputusan. Malamnya  panitia dan pengajar harus mengungsi ke rumah warga yang berada di dataran yang lebih tinggi. Perempuan diharapkan membawa baju ganti dan makanan secukupnya karena kemungkinan akan bermalam di sana. Barang barang lainnya ditinggal di Kantor Kecamatan. Adapun panitia dan pengajar laki-laki, diputuskan untuk bermalam di Kantor Kecamatan. Menjaga barang-barang yang tidak mungkin dibawa mengungsi dalam keadaan seperti ini. 

Bersama Nova dan pengajar lainnya, pelan pelan gw berjalan menembus banjir. Tas kami letakkan di atas kepala demi tidak membiarkannya basah karena banjir. Hanya cahaya headlamp yang membantu kami untk tetap berjalan ke depan. Kanan kiri depan belakang kami dipenuhi oleh air. Satu doanya. Dalam kondisi banjir di malam hari seperti ini, berharap tidak ada binatang yang tiba-tiba menyergap di antara genangan air.

Tiba di dataran yang lebih tinggi, sepatu boots yang gw kenakan tergenang air. Kaki gw mendadak sakit. Nova menyuruh gw untuk segera melepaskan sepatu boots. Sepatu boots gw setinggi lutut. Ukurannya pas dengan kaki gw sehingga agak sulit untuk melepaskannya. Bukannya melepaskannya dengan pelan-pelan, gw langsung melepasnya dalam satu kali tarikan.
Astagfirullahalazim...
Gw ambruk ke tanah. Kaki gw tegang. Urat gw serasa ditarik dari arah yang berlawanan. Rasanya mau putus. Gw memejamkan mata berusaha tidak menangis. Gw berjanji untuk tidak pernah menangis apapun yang terjadi di sini. Beberapa warga menghampiri gw. Patah patah gw menjelaskan apa yang gw rasakan sambil tertawa. Kadang batas ekspreksi kesakitan dan kebahagiaan itu tipis. Rasa mau menangis bisa dibelokkan menjadi bentuk yang sungguh berbeda, tertawa. Samar samar gw dengar kata keram, uratnya tegang, dan lain sebagainya. Gw tidak bisa berjalan. Nova dan beberapa warga memapah gw ke tempat yang lebih kering. Untuk meluruskan kaki.

Terlambat datang ke Desa. Banjir. Kaki kram. Setelah ini, apa lagi?

***

Gw melambaikan tangan ke Icha. Mengucapkan sampai jumpa di sini satu bulan lagi. Truk titik 4, yaitu titik di mana Icha akan mengajar tiba lebih dulu. Bertahun tahun setelahnya gw akan mengetahui, orang yang gw lambaikan tangan akan menjadi partner yang paling menyenangkan dalam  urusan belajar mengajar. Di kelas, di kostan,  K2N, Telkomsel Mengajar, sampai Fasilitator OBM. 

Gw tersenyum. Diam diam gw berterima kasih kepada panitia. Panitia selalu menggembar gemborkan bahwa titik gw adalah titik yang paling memprihatinkan. Titik kami terletak paling jauh dari Kantor Kecamatan. Paling jauh dengan pasar. Sulit dimasuki oleh mobil. Motor saja harus bersiap melalui medan semacam off road. Kondisi jalan tidak memungkinkan dilalui apabila tidak menggunakan sepatu boots. Ditambah kamar mandi yang hanya terdapat 1 untuk satu desa, selain MCK terbuka. Semua deskripsi ini secara tidak langsung menurunkan ekspekstasi untuk hidup bermanja manja, hidup nyaman,  dan hidup baik baik saja. Bahkan, panitia sukses membuat gw tidak berekspektasi apapun. Pun bersiap untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Banjir dan kaki kram ini pada akhirnya gw anggap sebagai ujian dari pernyataan. Seberapa siap gw untuk membuktikan bahwa gw tidak berekspektasi apapun. Seberapa siap untuk menerima kemungkinan terburuk yang terjadi. Pun seberapa siap untuk terus berpikir bahwa ini bukan tentang gw, tapi tentang mereka.

Sabtu, 05 Juli 2014

Transformers Age of Extinction

Eh eh, masa puasa-puasa gw denger gosip tentang lw. Mau gw klarifikasi nih. boleh nanya gak?

.....
*senyumin aja :)
....
Honestly yah...
....
:(
Jangaaan sedih. Maaafin ya. Lots of thing happen to me. Jadinya agak blak-blakan. Jangan diambil hati dan pikiran ya. Pokoknya semoga lancar semua-muanya yang sedang diperjuangkan.
Seneng kok gw kalau ada yang ngomong jujur di depan gw...
Daripada ngomongin di belakang :)
....
Eta pisan. Sayangnya, gak banyak orang yang mau nanya dan ngomong langsung di depan. Banyak yang memilih diam tapi menimbun prasangka, heu..
....
Soal jodoh sama kayak maut. Gak ada yang tau ke depannya gimana... Jadi ya daripada ngomong macem-macem, mending jalani dulu aja apa yang diperjuangkan.

Se-pa-kat! :)
Kalau kata Optimus Prime, ada misteri di dunia ini yang tidak boleh dipecahkan. Mungkin maksudnya, karena belum waktunya kali ya? ;)
Ini nih, salah satu contoh tulisan yang menyebalkan. Judul yang tidak merepresentasikan isinya. Terlepas dari itu, masa saat mau extinct, gw baru ngefans sama Optimus Prime :3


Antusiasme

Rabu, 9 Januari 2013
Kantor Kecamatan Sobang.

Pagi itu hujan. Gerimis lebih tepatnya. Tiga bus dan satu minibus berwarna biru bersusah payah untuk parkir di depan kantor kecamatan Sobang. Susah karena jalan yang tidak terlalu lebar. Hanya sepelemparan batu antara sisi satu dengan sisi lainnya. Susah karena jalan ini bukan aspal yang tak bergeming dihantam tetesan hujan. Jalan ini tanah. Menjerembabkan banyak langkah yang tak biasa menjejak.

Di salah satu bus yang sedang bersusah payah memposisikan tubuh besarnya, gw duduk bersandar di kursi. Menyangga kepala pada salah satu jendela kaca. Mengerjap ngerjapkan mata. Mengumpulkan nyawa. Mengusir jauh jauh dingin akibat perpaduan AC dan hujan yang membungkus. Menggerak gerakan badan sekenanya. Kembali bersandar sambil menghitung hitung posisi di mana gw berada sekarang.

Di sebelah kanan dan kiri gw terdapat dua buah bangunan. Satu persamaannya. Sama sama memiliki tiang bendera. Tapi bangunan sebelah kanan bertuliskan SD Negeri 1 Sobang sedangkan bangunan yang kiri bertuliskan kantor Kecamatan Sobang.

Iya. Kita telah sampai. Di titik di mana setelah ini, masing masing dari kita akan berjuang di tempat masing masing.

Kawan, mari gw ajak untuk membayangkan di mana letak kecamatan Sobang. Kecamatan ini masih berada di pulau yang konon menjadi pulau paling padat di Indonesia, Pulau Jawa. Tau provinsi yang paling baru terbentuk di pulau ini? Yap. Kecamatan ini berada di Provinsi Banten. Provinsi di sebelah barat Provinsi Jawa Barat. Layaknya provinsi yang banyak terdiri dari kota dan kabupaten, begitu juga dengan Banten. Salah satu kabupaten yang ada di Banten adalah Kabupaten Pandeglang. Kalau kita pernah belajar bahwa kabupaten/kota terdiri dari kecamatan-kecamatan, Sobang salah satu kecamatan yang ada di kabupaten pandeglang. Dan di sinilah kami berada sekarang.

Tapi kehidupan tidak hanya berhenti sampai di Kecamatan Sobang kawan. Tiap kecamatan bisa terdiri dari desa-desa. Dan, di Desa Cipeuti, salah satu desa yang berada di Kecamatan Sobang, gw bersama 14 orang lainnya berjuang untuk menghidupi kehidupan.

Sungguh kawan, di desa itu ada kehidupan. Sayangnya, dalam kehidupan yang sederhana itu, tidak banyak yang tau bawa mereka memiliki kehidupan yang lebih besar dibandingkan hanya besarnya jarak antara Cipeuti-Sobang. Sama seperti di kemudian hari, gw mengetahui bahwa anak anak gw tidak mengetahui bahwa dirinya tinggal di Provinsi Banten, di Pulau Jawa, yang menjadi bagian dari gugusan pulau di Indonesia.

Posisi gw masih sama. Duduk  bersandar di kursi. Menyangga kepala pada salah satu jendela kaca.  Hujan menderas. Satu dua warna warni bermunculan di tengah hantaman hujan. Bukan. Bukan pelangi. Warna warna ini tidak melengkung membentuk setengah lingkaran. Warna warna ini bergerak beriringan bak semut yang sedang berjalan.

Itu warna payung, warna seragam, dan warna sepatu boots anak-anak SD yang beriringan menuju sekolah. Bangunan di bagian kiri posisi gw. Iya, sekarang sekolahnya berada di sebelah kiri gw. Busnya sudah memutar, dengan susah payah. Payungnya sungguh besar kawan. Jangan bayangkan payung mereka adalah payung payung lipat macam kita yang bisa masuk ke dalam tas. Di sini tidak tren payung macam itu. Sepatu? Aah, di sini juga tidak tren sepatu crocs. Sepatu crocs yang menjadi primadona di musim hujan karena gampang dicuci kalau kotor masih kalah pamor dengan sepatu boots di sini. Aah, di sini boots lebih menjanjikan. Selain mudah dicuci, bonus tidak akan kena kotor sampai betis. Satu dua dari mereka begitu repot sekali. Satu tangan memegang payung, tangan lainnya menjinjing sepatu yang dibungkus plastik. Sepatu non boots yang akan mereka kenakan sesampainya di sekolah.

Gw memperbaiki posisi duduk. Sambutan ini sungguh menyenangkan. Di kemudian hari, pemandangan ini akan begitu familiar buat gw. Tentang budaya tidak peduli. Tidak peduli hujan menderas dalam intensitas yang besar. Tidak peduli harus membawa dua sepatu. Tidak peduli dengan medan yang tidak benar-benar bersahabat untuk menjejak. Yang penting, kaki ini harus menjejak ke sekolah. Dan di kemudian hari, gw mengetahui. Ini tentang kekuatan habituasi.

Gw nyengir. Halo Tuti. Malukah kau untuk banyak menggunakan jatah bolos kuliah hanya karena alasan-alasan... badannya lagi ngedrop?

Satu satu iring-iringan warna warni itu memasuki gerbang sekolah. Payung-payung yang mengembang itu seketika menutup. Berganti dengan jejeran payung besar yang menggantung di jendela dan pintu kelas. Berbanding terbalik dengan ada yang antusiasme yang ada di dalam bis-bis berwarna biru yang terparkir di depannya.

Antusisme ini mengembang. Sempurna meluap. Segala kebahagiaan, keriangan, kecemasan, dan kekhawatiran mendobrak masuk. Mendesak tak tertahankan. Bahkan luapan air hujan yang membanjiri kantor kecamatan di malam harinya, tidak benar-benar sanggup membendung antusiasme ini.
Warga : Iya neng. Ini teh baru pertama kali banjir sampai kayak gini di sini. Kebetulan pas mahasiswa lagi dateng.

 Dan luapan antusiasme ini, dimulai...

Prolog

Sertifikat Gerakan UI Mengajar gw ditahan sama Raihan, Kepala Sekolah GUIM 2 yang super taat sama aturan. Penyebabnya, diari pengajar gw belum selesai. Iya. Satu setengah tahun berlalu, kewajiban itu masih saja belum selasai.

Bahkan kalah dengan skripsinya Raihan yang sudah selesai lebih cepat dan sukses membawanya ke Balairung dengan toga bergaris abu-abu.  Payah, ya? Perfeksionis sekali gw dalam urusan tulisan. Bukan demi menyempurnakan juga sesungguhnya. Toh setelah ditulis gak bagus-bagus amat juga. Ya. Pengalaman mengajarkan gw untuk gak asal dalam menulis

Gw gak pernah tau tulisan gw dibaca oleh siapa dan dipersepsikan seperti apa. Juga akan dipergunakan untuk apa. Tapi setidaknya, ada satu hal yang bisa gw pastikan. Diari itu, tulisan itu, datangnya dari hati. Bukan seadanya dan sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Yah. Mungkin memang butuh satu tahun lebih untuk bisa memiliki niat menyelesaikan semua tulisan ini. Setahun kebelakang hatinya masih lari-lari. Gak sanggup menyelesaikan tulisan ini. Payah.

Ditha : "Tut, nanti kalau udah lulus sertifikat dipake buat ngelamar kerja loh.."

Mungkin itu salah satu alasannya. Selfish reason sekali. Tapi bukan alasan itu yang membuat sesak. Saat diwawancara dalam proses ini, gw berbicara tentang motivasi. Berjanji untuk menuliskan semua cerita tentang anak-anak di sana kepada banyak orang. Ada cerita yang layak diketahui dunia di sudut Kota Pandeglang. Sayangnya, janji ini belum lunas walaupun satu tahun lebih telah berselang.

Satu doanya, semua tidak lagi menjadi wacana. Ini diari pengajar gw. Tulisan ini hasil mengais-ngais dari sisa-sisa kenangan yang masih diingat. Dibantu oleh jepretan kamera dan blog seorang kawan. Validitas detailnya boleh dipertanyakan. Kenangan yang ditulis pun tidak sesuai dengan runtut kejadian. Memakai prinsip penyimpanan memori : yang mudah di-recall adalah kenangan-kenangan yang mengandung muatan emosi.

Untuk semua orang yang merasa bahwa hidup ini sempurna dan menyenangkan, tidak juga. Ada yang tidak baik baik saja  dan butuh perjuangan. Dan Tuhan menciptakannya, untuk menjaga keseimbangan.

Selamat membaca :)

Khusus untuk Kepala Sekolah GUIM 2, yang kepadanya gw angkat topi atas konsistensi ucapan dan tingkah lakunya, ini hadiah untuk gelar S.E.nya.  Terima kasih. Untuk kesabarannya menunggu selesainya diari pengajar gw, sampai detik ini.

Karena Kita Selalu Bisa Memilih

Bos, udah baca buku Tere Liye terbaru?
Seorang teman bertanya beberapa minggu yang lalu. Saat pertanyaan itu diajukan, gw belum satu pun menyentuh buku karya Bang Tere lagi. Sengaja menghindar. Memilih membaca buku yang lain. Buku yang lebih realistis.

Gw muak.

Gw tumbuh di lingkungan yang begitu baik. Lingkungan yang mengajarkan nilai-nilai yang baik. Dikelilingi orang-orang yang selalu  percaya bahwa gw selalu bisa melakukan hal-hal yang baik. Begitu juga buku. Gw tumbuh bersama buku-buku yang mengajarkan pemahaman-pemahaman yang baik. Menunjukkan bahwa hidup ini indah. Sekalinya tidak baik baik saja pun, kita selalu bisa melihat celah keindahannya. Buku-buku yang menunjukkan bahwa semua orang baik. Sekalinya tidak, mungkin hanya caranya yang berbeda yang belum bisa kita terima. Atau karena kita tidak tahu alasannya dan belum bertanya. Gw tumbuh berama buku-buku Mizan, Ahmad Fuadi, Dhonny Dhirgantoro, Andrea Hirata, Dewi Lestari, juga tentu saja, buku-buku Bang Tere Liye.

Setelahnya, gw pun menjelma menjadi orang-yang-katanya-selalu bisa positif thinking. Di tengah banyak kejadian yang bisa membuat lw merutuki diri lw sendiri, gw dianggap bisa mengambil hikmah. Di tengah banyak orang yang berkonflik, gw dianggap bisa menengahinya. Atau ketika gw bersitegang dengan orang lain, gw dianggap selalu bisa mengalah.

Tentu saja. Karena buat gw, semua kejadian ada hikmahnya. Kalaupun tidak, kita yang belum bisa menemukan celah keindahannya. Karena buat gw, setiap orang baik. Kalaupun tidak, mungkin hanya caranya saja yang berbeda dan belum bisa kita terima. Atau karena kita tidak tahu alasan dibalik apa yang ia lakukan. Dan kita cenderung menimbun prasangka, dibandingkan bertanya.

Tapi gw mulai jengah. 

Hei, bukankah gw terlalu naif memandang hidup? Ternyata hidup tidak selalu indah bukan? Bagaimana pun gw berjuang mencari celah keindahannya. Ternyata tidak semua orang baik bukan? Bagaimanapun gw sudah berjuang untuk memahami, bertanya, dan membuang jauh-jauh prasangka.

Untuk banyak cerita yang harus gw dengar belakangan, untuk banyak kejadian yang pernah gw alami belakangan, semuanya pelan-pelan meruntuhkan pemahaman.

Tidak semua orang baik, ternyata. Hidup tidak seindah itu, pada akhirnya. 

Anggaplah semua cerita dan kejadian itu adalah air. Air tersebut dituangkan ke teko. Air tersebut dituang terus menerus memenuhi ruang yang kosong. Biasanya air tersebut langsung dituangkan ke gelas gelas kecil. untuk menghindari tekonya terlalu penuh. Masalahnya, kapasitas tekonya segitu segitu saja. Tekonya tidak berubah. Sampai tiba masanya aliran air tersebut dituang ke teko terus menerus, memenuhi teko dengan kecepatan dan volume yang tak terbayangkan, tanpa ampun.

Kapasitas teko segitu-segitu saja. Aliran airnya berubah lebih besar. Teko tak kuat menampungnya.

Airnya tumpah ruah. Tumpah dengan berbagai kesedihan. Berbagai kekecewaan. Kepada banyak hal. Kepada banyak orang. Yang lebih menyebalkan, kepada diri sendiri. Kamu pernah menangis? Saya pernah. Setiap malam dalam sebulan penuh.

Diputuskanlah corong yang biasa digunakan untuk mengalirkan air untuk ditutup. Demi menahan kebocorannya lebih besar. Khawatir merugikan orang lain. Membuat orang lain terpeleset. Lalu karena banyak hal yang menyedihkan dan mengecewakan yang terjadi, pemahaman pemahaman selama ini dianggap kadaluarsa? Lalu menyerah dan menganggap hidup ini menyedihkan dan mengecewakan semua? Beruntung pernah diajarkan keras kepala, untuk tidak pernah menyerah.

Tapi mungkin itu yang dikatakan para psikolog untuk tidak membuat keputusan dalam keadaan sedih dan kecewa. Karena keputusannya akan menjadi konyol. Padahal, ada keputusan yang lebih baik yang bisa dibuat dibandingkan menutup corongnya, ternyata.

Perbesar tekonya. Perbesar kapasitasnya. Juga menambah ruang pemahaman di tekonya, bahwa its okay that life is not always good. Its okay that people not always good. Juga tentu saja, its okay that you ever make mistake. Selama kita belajar darinya. Selama kita tidak mengulanginya.

Banyak kesedihan dan kekecewaan ini mengubah banyak hal. Mengubah gw. Tapi satu hal yang begitu disyukuri, di tengah banyak kekecewaan dan kesedihan, gw masih punya iman.

Allah masih sayang kepada gw, selalu. 

Ada dua orang yang setiap gw mendengar ceritanya dan gw tatap matanya, selalu membuat gw bergumam dalam hati. Mengingatkan diri sendiri. Kalau kata Queen Elsa,  Be a good girl you always have to be, Tut. They always do the same thing.


Setelah ini, hidup bisa berjalan baik baik saja ataupun tidak. Orang bisa bersikap baik ataupun tidak. Tapi seperti pemilihan Capres-Cawapres, kita selalu bisa memilih bukan? Untuk berada di sudut yang mana. Untuk bertahan di pemahaman yang mana.

Baiklah. Mari menulis lagi. Dengan pemahaman lama, tapi dengan pengetahuan baru. Bahwa kau selalu bisa mengubah tekonya, memperbesar kapasitasnya, dan memodifikasi bentuknya. Tentu saja tidak mudah. Ayat Al-Quran sebelah mana yang menjanjikan hidup ini selalu indah, Tut? Mungkin fakta ini yang kamu lupakan.
Bro, gw udah baca buku Amelia. Inti ceritanya, tentang anak bungsu yang paling kuat. Anak bungsu paling tangguh di keluarganya, untuk tetap mengambil hikmah dan bertahan dengan pemahaman-pemahaman yang baik. Bahkan di saat semua tiba tiba tampak  gelap untuknya.