Sabtu, 31 Desember 2011

#2 - Tulus dan Hormat

Satu lagi yang seru dari menjadi anak Psikologi -dan gw gak tau keseruan-keseruan apa lagi yang akan terjadi selanjutnya di kemudian hari- adalah seperti H-1 UAS mata kuliah Psikologi Umum 1 lalu. Hari itu, beberapa caang 5 Gandewa  plus Nila memutuskan menginap di rumah gw untuk belajar bareng. Berbeda dengan materi Psikologi Umum 1 untuk UTS lalu yang terasa lebih abstrak, materi Psikologi Umum 1 untuk UAS kali ini terasa mulai mendekati kehidupan sehari-hari. Wajar karena untuk materi UAS kali ini, gw sudah mempelajari tiga aliran besar psikologi yang masih terus berkembang sampai saat ini, yaitu Behaviorisme, Psikoanalisis, dan Humanistik.

Setelah selesai masak, makan, dan sholat, kami pun berkumpul di ruang tengah rumah gw. Seperti biasa, dimulai dengan gw yang mendongeng teori-teori yang dipelajari, dilengkapi dan disempurnakan oleh Hanifah, serta dicari contoh kasus konkret dari teori itu bersama-sama.

Lucu ketika kita tahu bahwa ternyata, sesuatu yang sebenarnya sering kita lihat dan alami sendiri, yang mungkin pernah dianggap bukan sesuatu yang penting, ternyata ada namanya, bahkan ada dasar pemikiran terjadinya.

Contohnya, dalam teori psikoanalisis ada istilah yang disebut reaction formation atau reaksi formasi. Reaksi formasi adalah salah satu jenis dari defense mechanism yang terjadi ketika ego sesorang mersakan ketegangan akibat ditekan oleh struktur kesadarannya sendiri, id dan superego. Adapun defense mechanism terjadi untuk melepaskan ketegangan tersebut.

Singkat cerita, misalnya, ada seseorang perempuan (sebut saja A) have a feeling terhadap laki-laki (sebut saja B) yang sejatinya already have a partner (sebut saja C). Id nya yang bersifat mengutamakan kesenangan dirinya akan berteriak itu tidak masalah, toh itu merupakan haknya untuk memiliki perasaan tersebut. Di sisi lain, superegonya yang bersifat mengakkan norma pun tidak tinggal diam. Ia akan terus meghadirkan rasa bersalah karena perasaan yang dimilikinya tersebut tidak pada tempatnya. Ketika ego seseorang yang bersifat memutuskan perilaku tersebut ditekan oleh id dan superego, ego akan mengalami ketegangan. Untuk melepaskan ketegangan tersebut, keluarlah istilah yang disebut defense mechanism. Jika menuruti akal sehat, si A seharusnya tidak menyenangi dan menjaga jarak dengan si C daripada harus melihat kenyataan yang menyakitkannya. Tapi pada kenyatanya, ada momen dimana si A malah begitu dekat dengan si C, berteman akrab, bertindak sebagai pendengar yang baik bagi si C saat tengah bermasalah dengan B, memberikan hadiah saat anniversary B dan C, dan hal-hal lainnya yang si A sendiri tak bisa menjelaskan mengapa bisa melakukan hal tersebut. Itulah defense mechanism. Mekanisme pertahanan untuk melepaskan ketegangan yang ia rasakan.

Pada akhirnya, defense mechanism pun menjelaskan mengapa ada seseorang yang selalu melakukan penyangkalan terhadap apa yang ia rasakan (denial), mengapa ada orang yang selalu menunjukan kepada orang lain tentang ketidakakuran (baca : orang yang sering berantem terus) padahal mah.. (proyeksi), mengapa seseorang bisa kena marah dari seseorang yang mungkin sebenarnya tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dimarahi (displacement), dan beberapa kasus lainnya yang sebenarnya kadang dianggap tidak penting, tapi ternyata ada namanya, dan bisa dijelaskan.

Selain defense mechanism ini, tentu saja banyak teori-teori lain yang sedikit banyak membuat kami mesam-mesem, keketawaan, sampai tertawa miris. Karena? Merasa tersindir lebih tepatnya. Secara, kami masing-masing pasti pernah merasakan dan mengalaminya, walaupun bentuknya berbeda. Pelan-pelan pengalaman tersindir itu terbuka satu persatu dari masing-masing orang, membentuk sebuah rangkaian cerita, tapi masih menjadi potongan-potongan karena masih banyak slide yang kami kejar semalaman ini.

Lalu, apa serunya?

Keseruan terjadi saat lewat dini hari. Saat itu, kami sudah mulai lelah dan mengantuk. Lebih tepatnya, merasa tertekan. Waktu sudah menunjukan lewat 12 malam, tapi berlembar-lembar slide masih berserakan minta diperhatikan, padahal besok kami sudah harus U-A-S.  Akhirnya? Kami pun merubah metode belajar menjadi studi kasus. Studi kasus yang sukses membuat beberapa diantara kami merasa dikuliti habis-habisan.

Berawal dari potongan-potongan teori dan kasus yang membuat kami merasa t-e-r-s-i-n-d-i-r, akhirnya dalam studi kasus tersebut, potongan-potongan itu dirangkailah menjadi sebuah cerita utuh. Dimulai dari, sebut saja teman gw bernama N, R, sampai ke Gw. Sisanya pun berperan sebagai pendengar yang baik. Sederhananya, kami menceritakan pengalaman pribadi kami masing-masing -pengalaman paling pribadi untuk ukuran bercerita kepada teman yang baru dikenal dalam kurun waktu 1 semester- dan mengkaitkan apa-apa yang pernah kami lakukan dalam pengalaman itu dengan teori-teori yang baru saja kami pelajari. Studi kasus itu sukses menguliti kami habis-habisan. Tapi juga sukses menjadi metode paling ampuh untuk mengingat materi  untuk UAS besok.

Singkat cerita, apa yang kami paparkan memiliki sebuah tema besar yang sama : menjadi-sahabat-yang-baik. Mari kita spesifikasikan. Sahabat yang dimaksud dimaksud di sini adalah sahabat berlawanan jenis, antara laki-laki dan perempuan.

Gw pribadi sih ngerasa gak ada yang spesial dari cerita yang gw utarakan. Gw memang lebih banyak bertukar pikiran dengan cowok dibandingkan dengan cewek, menjadi wajar ketika gw memiliki beberapa sahabat cowok. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa gw pun pernah terpeleset dengan salah sahabat gw itu. Dan ternyata, dampak terpelesetnya itu dianggap bukan sesuatu yang lumrah oleh teman-teman gw. Mereka menilai, dampak tersebut sudah masuk ke struktur ketidaksadaran personal gw, menurut Teori Carl Jung, yang diberi nama dengan istilah kompleks. Entah apapun namanya, walaupun ini cukup mengganggu, tapi jujur saja, momen-momen tertentu ini bisa menjadi pemicu paling ampuh untuk bertahan di saat-saat sulit.

Berbeda dengan cerita yang gw dengarkan dari dua teman gw itu. Cerita mereka suskes membuat gw tercangak-cangak dan geleng-geleng kepala, ternyata, hey ada ya cerita seperti itu? Gw kira hanya dalam novel dan film saja. Pertama, karena dari cerita mereka gw tahu kalau dunia gak benar-benar luas. Mengapa? Karena tokoh yang mereka ceritakan memiki hubungan satu sama lain. Kedua, gw iri. Gw iri sama mereka yang benar-benar bisa menjadi-sahabat-yang-baik, dengan segala senang dan sakitnya. Ketiga, masih juga iri. Iri karena mereka bisa menjadi yang bertahan untuk ada di sebelah sahabat mereka masing-masing pada kondisi yang paling... – i dont find a suitable word to describe this situation­-  seklipun. Iri tanda tak mampu? Setuju. Karena gw memang gak mampu seperti mereka.

Di tengah-tengah studi kasus, N dan R banyak menyebutkan nama-nama tokoh dan kutipan kata-kata yang berasal dari novel Pesan dari Bintang yang menurut mereka berkolerasi dengan tema besar kita kali ini. Gw belum pernah baca novel itu sebelumnya. Lagipula, sepertinya butuh perjuangan besar bagi gw untuk mau membacanya karena sejujurnya, genre novel tersebut gak gw banget. Atas rekomendasi mereka pun, Pesan dari Bintang gw masukan ke dalam daftar bacaan untuk liburan nanti.

***

Masih tentang sahabat.

Salah satu kebiasaan gw yang gak oke banget yang masih sering gw lakukan adalah gw suka terngiang-ngiang kalimat oke yang diucapkan orang tapi gw lupa siapa yang mengucapkannya. Salah satunya kalimat ini. Kalimat yang beberapa waktu lalu gw dengar, tapi, masih saja, gw lupa siapa yang mengucapkannya.
Punya banyak sahabat mungkin memang mudah. Tapi, punya sahabat yang tulus itu susah. Sahabat yang tulus dalam memberi dan menerima, termasuk tulus dengan tidak pernah memendam apa-apa.
Sejujurnya, tulus bukan sebuah term yang asing buat gw, khususnya dalam konteks persahabatan. Walaupun tidak bisa diukur dalam standar baku, kalau bukan tulus, apa lagi namanya jika seorang sahabat rela berlama-lama mendengarkan cerita sahabat lainnya dikala sedih atau susah, rela menghabiskan entah berapa banyak materi demi memberikan kejutan ulang tahun, rela berlama-lama menatap layar komputer hingga larut demi menemani temannya melalu chatting  yang sedang bergelut dengan tugasnya yang berada di belahan kota yang lain, rela menjadi orang pertama yang datang saat tahu ia mengalami musibah, rela berjam-jam mendengarkan ceritanya lewat telepon bahkan di titik mata sudah memasuki kekuatan 5 watt. Kalau bukan tulus? Apalagi namanya?

Tentang tulus dalam memberi dan menerima sebagai seorang sahabat, sudah bukan hal yang asing lagi untuk diperbincangkan. Dengan bentuk yang berbeda, kita semua pasti pernah merasakannya. Tapi, tentang tulus dengan tidak memendam apa-apa? Jujur saja, ini barang baru buat gw. Membuat gw berpikir, berpikir, dan berpikir.

Kalau begitu pemaknaannya? Hei. Berarti gw pernah amat sangat tidak tulus kepada sahabat gw sendiri.

***

UAS sudah berakhir. Dan kini, gw sudah masuk masa liburan. Entah menapa, otak gw masih berputar-putar tentang menjadi-sahabat-yang-baik.

Liburan minggu pertama, gw manfaatkan untuk menonton film Soe-Hok-Gie (Kemane aja, Tuth?). Dengan latar sejarah orde lama, UI, pecinta alam, menulis, sampai nama Fakultas Psikologi di sebut-sebut (walaupun cuma satu kali), nikmat bangetlah gw nonton filmnya. Diantara sekian banyak hal di dalam film itu yang menurut gw oke banget, yang paling menarik perhatian gw adalah kata-kata Gie tentang sahabatnya, Ira.
Gie : Ira itu sahabat gw dan gw hormat sama dia!       
Selama ini, untuk orang yang kayak gw yang mudah mengekspresikan perasaan, bukan hal yang sulit untuk mengatakan bahwa gw menyayangi seseorang, termasuk sahabat sendiri. Tapi saat gw pikir-pikir, gw sering banget bilang “gw sayang lw” ke sahabat gw sendiri dibandingkan “gw menghormati lw”. Entah di dalam rasa sayang itu ada bentuk penghormatan juga, tapi gw gak pernah melisankannya, yang membuat gw menjadi ragu apakah gw pernah mempraktikannya.

Padahal, hei, kalau gw ingat-ingat gw memiliki sahabat-sahabat yang begitu menghormati gw. Sampai saat ini, gw memiliki mimpi nomor satu menjadi muslimah yang kaffah. Mimpi ini memang tidak berubah sejak jama gw SMA. Saat mengetahui hal itu, ada beberapa sahabat laki-laki terdekat gw yang berperilaku aneh. Ia tidak ingin menjabat tangan gw saat bersalaman, di sisi lain dia bahkan tos-tosan dengan sahabat perempuan gw yang lain. Awalnya gw bingung, toh saat itu-bahkan sampai saat ini- gw belum benar-benar istiqomah untuk menjaga hijab. Sampai akhirnya gw mengerti, bahwa sahabat gw itu menghormati gw. Menghormati mimpi gw.

Ada lagi yang terbaru. Beberapa minggu yang lalu. Saat sedang rapat, untuk pertama kalinya gw merasa keram itu luar biasa menyakitkan. Melihat gw yang merintih kesakitan, seorang sahabat pun menyuruh gw meluruskan kaki dan bertindak cepat untuk melakukan pertolongan pertama. Seperti gw dan sahabat gw itu ketahui bersama, ketika kaki keram, telapak kaki harus di tekan ke arah dalam. Masih sambil menahan sakit, gw melihat gerak-gerik sahabat gw tersebut untuk melakukan pertolongan pertama tersebut. Tapi, sepersekian detik kemudian, gerakan tangannya terhenti hanya beberapa senti dari telapak kaki gw. Ia mengurungkan niatnya. Berbalik. Dan mencari-cari sesuatu entah apa.

Saat ia kembali, dengan sebuah plastik di tangan, ia pun melanjutkan gerakan yang tadi sempat ia urungkan. Hey! Awalnya gw sempet sewot. Emang ada yang salah dengan kaki gw sehingga dia harus pakai plastik segala?! Tapi kesadaran gw muncul dan sepertinya gw mengerti sesuatu. Sahabat di depan gw ini menghormati gw. Dia menghormati gw untuk tidak menyentuh kaki gw secara langsung.

Cuma sepenggal cerita tentang betapa beruntungnya gw memiliki sahabat-sahabat yang begitu menghormati gw. Sedangkan gw? Ah kadang gw merasa belum pernah menunjukkan itu secara langsung. Bahkan seingat gw, kadang gw gak cukup menghormati pilihan yang sahabat-sahabat gw ambil dengan selalu menggunakan sudut pandang gw tentang apa yang terbaik untuk mereka.


***

Masih dalam suasan liburan. Merasa lagi addict banget sama yang namanya nulis, sebelum memulai menggila lagi, gw pun ngisi bensin terlebih dahulu. Tentu saja dengan membaca. Awalnya baca bukunya Nila, tentang teori-teori psikodinamik. Puyeng euy. Buku psikologi terjamahan bikin otak muter dua kali, soalnya bahasanya gak to the point. Akhirnya menyerah dan mencoba membaca Pesan dari Bintang  yang sebelumnya memang gw pinjem dari N.

Ternyata benar. Butuh perjuangan keras buat gw untuk tetap bertahan membaca karena genre novelnya yang gak gw banget. Awalnya gw ogah-ogahan membaca, tapi demi pemahaman bahwa menjadi penulis harus open minded, gw pun bertahan.

Dan seperti biasa, kalau udah bertahan, malah kecanduan.
Sampai di halaman terakhir.

Njiiiiiir.

Gw ngerasa dikulitin lagi, lebih parah malah.
Dikulitin lewat alurnya. Lebih tepatnya, lewat term yang digunakan Sitta Karina.
Lebih jauh lagi, Pesan dari Bintang secara gamblang menceritakan tulus dan hormatnya seorang sahabat kepada sahabat lainnya dalam sekali tepukan.

Tapi siapa sangka?
Keberanian untuk mengambil keputusan yang melegakan datang dari genre novel yang selalu gw hindari. Im too tired to feel this feeling again and again. Gw lelah memendam. Gw lelah menjadi korban intensitas. Dan entah mengapa begitu melegakan ketika gw memutuskan untuk mengmabil keputusan ini. Lega. Tanpa beban.

Pengen, banget, mencoba menjadi-sahabat-yang-baik.

Belajar menghormati sahabatnya sendiri.
Dan belajar menjadi sahabat yang tulus.
Tulus dengan tidak memendam apa-apa.

Semoga setelah ini, ketulusan dan penghormatan mengiringi rasa sayang yang selalu gw utarakan, sahabat :)

Kamis, 29 Desember 2011

#1 - Sepertiga Kehidupan di Geger Bentang (Part 3)

Minggu, 11 Desember 2011

Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB. Belum ada yang bangun. Semua caang masih bergumul di dalam sleeping bagnya masing-masing. Padahal pagi itu indah. Memang bukan sunrise, tapi linearina yang menembus celah-celah pepohonan hutan dan menembus celah-celah bivak cukup indah untuk dilihat. Menghangatkan. Saya yang sudah bangun terlebih dahulu tidak segera beranjak dari bivak. Saya pun memandangi teman-teman caang saya yang lain yang masih terlelap tidur. Matahari pelan-pelan meninggi, semakin hangat. Sama hangatnya ketika saya tahu bahwa saya berada di tengah orang-orang yang berhasil menghangatkan hati saya beberapa bulan ke belakang.

Pukul 05.30 WIB caang pun mulai terbangun. Beberapa caang bergegas sholat dan menyiapkan makan untuk sarapan. Setelah sarapan, packing, dan membongkar tenda, kami bergegas untuk mengikuti kegiatan selanjutnya. Kegiatan selanjutnya adalah materi dan praktek PPGD dan dilanjutkan dengan materi serta praktek pembuatan api dan perapian.

Pada praktek PPGD, kami diajarkan cara membebat luka dengan menggunakan mitela, penanganan bagi orang-orang yang menderita patah tulang, dan cara membuat tandu.  Setelahnya, masing-masing kelompok diberikan studi kasus tentang sebuah kondisi kecelakaan yang harus ditangani. Setiap kelompok diminta satu orang bertindak sebagai korban, sedangkan anggota lainnya yang menanganinya. Pada kelompok 3, Izzat bertindak sebagai korban, saya yang menangani luka Izzat, sedangkan Amel dan Kautsar membuat tandu. Kendala pun dihadapi saat proses pembuatan tandu. Dan ketika di coba untuk dilakukan pengangkatan korban dengan menggunakan tandu yang dibuat, tandu tersebut pun patah. Hal ini pun terjadi pada kelompok lain. Ternyata, masalah utamanya terletak pada proses pemilihan kayu. Kayu yang kami pilih ternyata kayu yang tampak luarnya terlihat kuat, padahal tidak memiliki kambium. Hal tersebut pun menjadi bahan pembelajaran untuk kami tentang bagaimana memilih kayu yang baik untuk digunakan sebagai tandu.

Sementara pada praktek pembuatan api dan perapian, kami diajarkan untuk membuat sumber api dengan menggunakan sedikit bahan bakar tetapi bisa bertahan lama. Kami diajarkan kayu-kayu seperti apa yang bisa dimanfaatkan sebagai bara api dan bagaimana bentuk-bentuk perapian yang lazim digunakan. Setelahnya, kami diintruksikan untuk langsung mempraktekannya. Jika pada materi mencari makanan survival semua bahan makanan yang kami bawa disita oleh pengurus, pada materi kali ini bahan bakar yang kami bawalah (baca : parafin) yang disita oleh pengurus. Kami hanya dibekali empat kotak kecil parafin (baca : dalam arti kata sebenar-benarnya kecil) sebagai modal untuk membuat perapian guna memasak makan siang kami.

Pada praktek kali ini, Nadya lah yang berjasa besar dalam proses pembuatan perapian. Dengan semangat dan kekuatan meniupnya yang luar biasa, api buatan kami pun berhasil terjaga sampai proses memasak selesai.

Setelah selesai memasak, kami segera melakukan packing dan bersiap untuk turun gunung. Sama seperti waktu mendaki, kami pun turun sesuai dengan kelompok masing-masing. Bersama kelompok 3, saya pun menuruni Gunung Pangrango dengan jalur yang agak sedikit berbeda dengan jalur saat mendaki. Pada perjalanan pulang ini Amel dan Izzat memilih berjalan di depan, Kautsar ketahuan menggunakan baju lapis tiga yang dapat mengancam dirinya terkena dehidrasi, sedangkan saya berkali-kali terjatuh dan terpeleset karena kehilangan fokus selama perjalanan pulang.

Sampai di bawah, kami singgah di sebuah tempat peristirahatan tidak jauh dari gerbang Taman Nasional Gede Pangrango. Di sana kami memesan makanan, minuman, bebersih diri, dan sholat zuhur. Tak lama, kami pamit kepada pengurus Gandewa untuk melanjutkan perjalanan pulang kami menuju Depok.

Sama seperti perjalanan berangkat, kami menaiki angkot berwarna kuning untuk menuju pertigaan Cibodas. Masih dengan sistem yang sama, kami hanya menaiki satu angkot dengan carrier-carrier kami diletakan di atas angkot tanpa pengamanan. Bedanya, terdapat insiden kecil disini. Di tengah perjalanan, salah satu carrier ada yang terjatuh. Beruntung semua caang menyadari hal tersebut. Akhirnya carrier tersebut pun diamankan masuk ke dalam angkot.

Awalnya, sampai di pertigaan Cibodas, kami ingin mencoba menggunakan bis sebagai alat transportasi pulang. Akan tetapi, karena berbagai pertimbangan, kami pun memutuskan untuk men-charter angkot sampai stasiun Bogor yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan Commuter Line sampai kembali ke Fakultas Psikologi UI.

Kelelahan selama diklat tiga hari lalu, tidak serta merta membuat kami tertidur selama perjalanan. Sepanjang jalan dari angkot kuning sampai Commuter Line, kami terlibat pembicaraan yang cukup seru. Semua bermula dengan menjadikan Bimo sebagai objek penderita. Secara tidak sadar, di saat yang bersamaan kami membahas seluruh kejadian yang terjadi selama diklat 1 dan diklat 2.  Kami pun mendadak membicarakan dan merindukan rekan-rekan caang 5 kami yang lain yang tidak bisa mengikuti diklat 3 kali ini. Bahkan, saat perjalanan di Commuter Line, tiba-tiba Nadya mengeluarkan sebuah pernyataan yang sempat membuat saya merasa tertegun sejenak.

Nadya : Bete nih gw. Gak ikut diklat 2 kayak kehilangan sepertiga kehidupan bareng-bareng kalian.

Andai ada fitur likes atau retweet di kalimat Nadya.

Diklat Manajemen Perjalanan, Diklat Navigasi Darat, dan Diklat Jungle Survival dan PPGD masing-masing memang memiliki sepertiga kehidupan masing-masing bagi caang 5 Gandewa. Sepertiga kehidupan dengan ilmu yang dikandungnya masing-masing. Sepertiga kehidupan dengan ceritanya masing-masing. Dan sepertiga kehidupan dengan bekas dan pemaknaan masing-masing bagi tiap-tiap caang 5 Gandewa.

Entah kehidupan seperti apa yang akan terjadi di pelantikan mendatang dan kehidupan setelah pelantikan bagi caang 5 Gandewa. Apapun itu, semoga disini, selain menemukan apa yang kami cari melalui motivasi sederhana kami, kami pun benar-benar berhasil menemukan hakikat penciptaan kami.

#1- Sepertiga Kehidupan di Geger Bentang (Part 2)

Sabtu, 10 Desember 2011

Kami tiba di pertigaan Cibodas pukul 01.00 WIB. Masih dalam keadaan mengumpulkan nyawa, saat turun dari bis sedikit terjadi kepanikan. Kamalia panik mencari-cari carriernya yang belum berada di tangannya. Setelah dilihat lebih teliti, ternyata carriernya berada tumpukan carrier  di sisi yang lain.

Selanjutnya, proses tawar menawar pun diakukan kembali. Kali ini dengan supir angkot berwarna kuning yang berada di pertigaan Cibodas. Angkot berwarna kuning ini akan membawa kami ke pintu masuk Taman Nasional Gede Panrango yang selanjutnya dilanjutkan dengan berjalan kaki untuk mencapai Sekretariat Montana. Setelah terjadi kesepakatan, kami pun mendapatkan satu angkot untuk dinaiki. Ada yang unik dengan angkot kali ini jika dibandingkan dengan angkot-angkot sebelumnya yang pernah kami naiki. Dengan kami yang berjumlah tiga belas orang, kali ini kami hanya membutuhkan satu angkot. Hal ini bisa terjadi karena carrier-carrier yang tidak kecil dan tidak sedikit milik kami kali ini diletakan di atas angkot. Bak ibu-ibu di pedesaan yang sanggup membawa beras di atas kepalanya tanpa dipegangi, angkot kali ini pun begitu adanya. Seolah-olah sudah menjadi sarapan sehari-hari bagi angkot dan supirnya, carrier-carrier kami diletakan di atas angkot tanpa menggunakan tali pengikat apapun.

Pukul 01.25 WIB kami tiba di pintu gerbang Taman Nasional Gede Pangrango. Keadaan sekeliling begitu gelap yang membuat kami tak bisa melihat pemandangan apapun di sekitar. Beberapa caang mulai mengeluarkan headlamp-nya masing-masing sebagai alat penerangan. Dipimpin oleh Kak Adi, kami menuju Sekretariat Montana dengan berjalan kaki.

Sampai di Sekretariat Montana, kami disuruh menunggu sejenak. Awalnya saya kira akan dilakukan pemeriksaan identitas dan barang bawaan mengingat sebelumnya saya diberitahu bahwa ada beberapa barang yang dilarang dibawa masuk ke dalam taman nasional, termasuk Tramontina (baca : golok tebas). Akan tetapi, beberapa saat kemudian kami langsung disuruh masuk tanpa pemeriksaan menuju ke sebuah gedung menyerupai aula kecil. Di sana pengurus Gandewa yang lain sudah tiba terlebih dahulu. Di tempat tersebutlah kami akan beristirahat sebelum melanjutkan aktifitas di pagi hari. Setelah sholat isya, menyelesaikan urusan di kamar mandi, briefing bersama Kak Resty, kami pun bergegas tidur. Walaupun pada kenyataanya, ada yang tidak bisa benar-benar langsung tidur saat itu.

Malam itu, diketahuilah bahwa Bimo ternyata tidak membawa sleeping bag. Bimo memang melakukan packing mendadak yang menyebabkan sleeping bag menjadi salah satu barang yang luput untuk dibawa. Walaupun Bimo tipikal orang yang tidak terlalau rewel dengan hal tersebut-terlebih kemampuan dasar yang ia miliki dalam berkegiatan alam-, hal tersebut tidak serta merta membuat caang lainnya untuk tidak peduli dengan ketidaktersediaan sleeping bag untuk Bimo selama beberapa hari ke depan. Mungkin memang tidak membantu banyak, tetapi meminjamkan jaket atau apapun yang bisa menjadi penahan dingin tetap dilakukan oleh caang lainnya demi tidak membiarkan Bimo tidur tanpa menggunakan penahan dingin apapun.

Pukul 05.00 WIB caang bangun. Setelah sholat, caang bergegas memasak sarapan. Kegiatan masak pagi ini masih dilakukan berdasarkan manajemen perjalanan kelompok masing-masing. Seluruh kelompok sama-sama memasak nasi, yang berbeda hanya lauknya saja. Kelompok 1 memasak sup. Kelompok 2 memasak semacam salad. Kelompok 3 memasak bihun dan  tahu goreng.

Setelah selesai sarapan, kami mencuci peralatan makan dan bergegas packing. Packing kali ini bisa dikatakan tidak terlalu memakan waktu dibandingkan packing-packing sebelumnya. Salah satu faktornya adalah kami tidak membuka tenda. Kami hanya mengeluarkan perlengkapan tidur, matras, dan perlengkapan makan yang tidak membutuhkan wakltu lama untuk di-packing kembali.

Setelah selesai packing, kami melakukan pemanasan. Pemanasan dilakukan karena setelah ini kami akan berjalan kaki menuju Geger Bentang. Pemanasan dilakukan di depan aula. Saat pemanasan, mulai terdengar hiruk pikuk orang-orang yang mendekati TNGP. Entah pendaki lain entah rombongan yang tengah berwisata. Setelah pemanasan, kami melakukan briefing. Briefing dipimpin oleh Kak Resty. Kak Resty menjelaskan bahwa medan yang akan kami lalui menuju Geger Bentang bukanlah jalur resmi. Walaupun begitu, jalur tidak resmi ini sejatinya merupakan jalur yang memang sudah menjadi rahasia umum untuk digunakan di sebagian kalangan pendaki.  Akan ada kemungkinan kami bertemu dengan petugas selama perjalanan. Untuk mengantisipasinya, kami pun diarahkan untuk tidak berjalan beriringan seluruhnya, tetapi berjalan satu kelompok satu kelompok terlebih dahulu. Kami pun dibekali pengetahuan bagaimana jika kami benar-benar menghadapi kemungkinan terburuk bertemu petugas di tengah perjalanan. Selain itu, kami pun dijelaskan untuk mengikuti tanda-tanda yang telah dipasang tim advance yang berupa tali rafia berwarna biru.

Setelah dirasa sudah siap, briefing ditutup dengan doa. Perjalanan di mulai dengan keberangkatan kelompok 1 yang didampingi oleh Kak Dina dan beberapa pengurus Gandewa. Setelah jeda 10 menit, kelompok 2 pun berangkat didampingi oleh Kak Adi. Sebagai kelompok dengan jeda 20 menit sebelum keberangkatan, saya dan kelompok 3 melakukan beberapa kegiatan untuk mengisi waktu. Izzat dengan Al-Matsuratnya, Kautsar dan Amel menyelesaikan urusan dengan kamar mandi, dan saya dengan minya kayuk putih saya.

Setelah jeda 10 menit setelah keberangkatan kelompok 2, kelompok 3 segera berangkat. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan banyak orang. Mulai dari pendaki lain sampai beberapa rombongan sekelompok, entah siswa entah mahasiswa, yang menggunakan jaket alamamater berwarna hijau. Kami pun sempat melihat Kak Ismi yang bercengkerama dengan salah satu pendaki yang sebelumnya bertanya, “Ini Gandewa, ya?”.

Entah siapa yang melakukan percakapan dengan Kak Ismi, ternyata apa yang dijelaskan oleh seorang kawan di Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) ITB benar adanya. Bahwasanya menurut kode etik pecinta alam, sesama pecinta alam bersaudara. Di gunung, kita tidak akan merasa sendirian karena sesama pecinta alam akan berbaik hati saling bertegur sapa dan menanyakan kabar. Itu alasan mengapa Kak Ismi begitu akrab dengan pendaki yang kami temui di tengah perjalanan tersebut dan itu pula yang menjadi alasan mengapa kami selalu disambut hangat oleh KAPA FTUI dan Humus FEUI setiap berkunjung untuk meminjam alat-alat.

Perjalanan pun terus dilanjutkan. Kami melalui jalan yang berlawanan arah dengan rombongan dan beberapa pendaki kebanyakan. Kami berjalan keluar dari Sekretariat Montana menuju pintu gerbang Taman Nasional Gede Pangrango. Di sepanjang perjalanan menuju gerbang, di kanan kiri jalan terlihat para penjual tanaman hias. Udara Cibodas yang cukup dingin memang menjadi lahan basah bagi para penjual tanaman hias untuk membudidayakan tanamannya. Pemandangan tanaman-tanamah hias di sepanjang kiri kanan jalan pun segera berganti dengan toko-toko kecil yang menjajakan berbagai macam souvenir dan panganan khas Cibodas. Mulai dari kaos, kerajinan tangan, buah arbei, sampai sale pisang.

Setelah sampai di gerbang utama, kami tidak keluar gerbang. Kami belok kiri dan menuju tempat yang telah ditentukan. Setelah sampai, kami bertemu denagn kelompok 2. Kelompok 2 bertugas kepada kami untuk menjelaskan rute jalan yang selanjutnya harus kami lalui. Hal yang sama pun dilakukan oleh kelompok 1 kepada kelompok 2 sebelumnya.

Setelah jeda 10 menit keberangkatan kelompok 2, kami pun bergegas berangkat. Ada sedikit perubahan yang dilakukan selama perjalanan. Kami yang awalnya berniat mengikuti tanda-tanda dari tim advance yang berupa tali rafia warna biru, berubah menjadi mengikuti petunjuk cat berbentuk panah yang ada di batu. Selain karena kami tidak menemukan cukup banyak tanda-tanda tali rafia berwarna biru, tanda cat berbentuk panah itu cukup banyak tersebar di beberapa titik. Cat yang terlihat sudah lama tersebut mengindikasikan bahwa petunjuk itu memang dibuat oleh orang-orang sebelum kami yang memang sudah terbiasa melalui jalur ini.

Awal perjalanan kami lalui dengan baik. Kami menyusuri pinggir sungai kecil. Melintasi perkebunan milik penduduk yang ditanamai oleh pohon cabai dan arbei. Bertegur sapa dengan para petani yang tengah menggarap tanahnya. Tidak jarang petani yang ditegur pun membalas dan berpesan untuk hati-hati di tengah perjalanan. Kebiasaan ini menjadi satu hal yang menyenangkan bagi saya pribadi selama berkegiatan alam. Menyapa dan menebar senyum kepada orang-orang yang
ditemui di jalan walaupun belum pernah dikenal sebelumnya terasa begitu meyenangkan. Lebih jauh lagi, saya pun menemukan bukti bahwa klaim penduduk Indonesia adalah penduduk yang ramah memang benar adanya.

Sampai akhirnya kami tiba di sebuah persimpangan. Persimpangan tersebut terdiri dari dua jalan kecil. Jalan pertama sebuah jalan mendaki dan jalan kedua berupa jalan menurun. Di depan dua jalan tersebut terdapat dua buah batu yang sama-sama bertanda cat berwarna biru di atasnya. Di batu yang terletak di depan jalan yang mendaki terdapat sebuah tanda silang dan di batu di depan jalan menurun terdapat sebuah tanda panah. Logikanya, Geger Bentang yang dituju adalah sebuah titik yang berada di atas Gunung Pangrango yang seharusnya membuat kami memilih untuk terus mendaki ke atas. Akan tetapi, kami ragu untuk terus mendaki ke atas mengingat batu dihadapan jalan tersebut bertanda silang. Pada umumnya, tanda silang digunakan untuk menandai daerah yang seharusnya tidak dilewati. Dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan setelah mencoba mengecek bahwa ada tanda-tanda selanjutnya setelah batu tersebut, kami pun memilih untuk mengambil jalan menurun yang di depannya terdapat sebuah batu yang bertanda panah.

Jalan yang kami ambil pun terus menurun. Langkah kami hanya dikuatkan dengan adanya tali rafia biru di sekeliling tanaman cabai milik penduduk, walaupun bukan hanya tali rafia berwarna biru yang ada di sekeliling tanaman tersebut. Kami tetap terus melangkah sampai akhirnya kami pun semakin ragu dengan jalan yang kami ambil. Perlahan cat berwarna biru dan tali rafia berwarna biru hilang dari pandangan. Kami mencoba bertanya kepada orang yang kami temui apakah sebelum kami ada sekelompok orang yang menggunakan tas besar (baca : carrier) melewati daerah yang kami lalui. Semua orang yang kami temui menjawab bahwa kami orang pertama yang berpenampilan seperti ini yang melalui daerah ini. Kesimpulan bahwa kami pun tersasar sempurna sudah ketika kami menyadari bahwa kami berada di pinggir gunung, bukan di  atas gunung. Dengan menguatkan diri bahwa inilah praktek jungle survival yang sebenarnya, kami pun memutuskan untuk kembali ke persimpangan tadi.

Setelah memilih jalan yang satunya, jalan yang didepannya terdapat batu dengan tanda silang di depannya, akhirnya kami tiba di bibir hutan. Kak Ismi menghubungi Kak Resty untuk memastikan apakah jalan yang kami lalui ini sudah benar. Setelah yakin bahwa jalan yang kami lalui benar, sebelum melanjutkan perjalanan masuk ke dalam hutan, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tempat kami beristirahat tepat berada di bibir hutan. Tempat ini merupakan titik tertinggi di mana kami masih bisa melihat tempat kami bertemu kelompok 2 tadi. Tempat ini merupakan sebuah lahan terbuka yang ditanami oleh tanaman semacam kubis. Kami yang sedari tadi bergumul dengan tanaman-tanaman tinggi di kanan kiri jalan dimanjakan sejenak dengan hembusan angin di lahan terbuka tersebut. Sampai beberapa saat kemudian, kami segera melanjutkan perjalanan memasuki hutan.

Sebelumnya Izzat sempat mendapatkan informasi dari Kak Odi, wakil Ketua BEM UI 2012 terpilih, yang memiliki hobi traveling bahwa medan untuk menuju Geger Bentang merupakan tanjakan yang tidak ada habisnya. Pernyataan dari Izzat tersebut pun kami buktikan sendiri dan memang benar adanya. Tanjakan tersebut seolah tidak kunjung berakhir. Mulai dari tanjakan dengan jalan setapak yang masih jelas terlihat sampai tanjakan yang pijakannya harus dipilah sendiri oleh pendaki.

Wajah-wajah kelelahan sudah tidak bisa dibendung lagi di tiga perempat perjalanan. Kautsar yang lebih banyak di depan hanya bisa sesekali menoleh ke arah belakang untuk memastikan bahwa kami dalam keadaan baik-baik saja. Izzat dengan keistiqomahannya menggunakan rok masih luar biasa menjejak langkah demi langkah untuk terus mendaki. Amel yang berada paling belakang dan ditemani oleh Kak Ismi mulai menggunakan kayu sebagai alat bantu dengan wajah luar biasa lelah. Sedangkan saya sendiri hanya bisa memberikan semangat sekenanya kepada teman-teman yang lain karena jujur saja, saat itu pikiran saya tidak benar-benar sedang ikut mendaki.

Kami benar-benar mendaki di pinggir gunung dan di bibir jurang. Salah melangkah, kami bisa tergelicir jatuh ke jurang. Masing-masing dari kami begitu lelah, tapi pantang bagi kami merengek manja, seperti yang telah Gandewa ajarkan kepada kami. Entah apa yang ada di kepala kami masing-masing untuk menguatkan langkah. Tapi raut wajah kami masing-masing menyiratkan kelelahan yang amat sangat sekaligus usaha mati-matian untuk tidak menyerah. Bagi saya pribadi, kelelahan yang amat sangat itu pun menuntun pada kesadaran bahwa gunung ini begitu besar dan sudah selayaknya seorang manusia tidak mempertanyakan kembali kebesaran pemilik gunung yang begitu besar ini.

Sampai di ujung kelelahan itu, kami pun tiba di daerah Geger Bentang, di titik yang ditentukan oleh panitia. Kelompok 1 dan Kelompok 2 sudah tiba terlebih dahulu. Setelah beristirahat sejenak, kami langsung melanjutkan kegiatan. Kegiatan selanjutnya adalah materi bivak buatan. Awalnya, saya mengira pemberian materi bivak buatan ini benar-benar akan ditunjukkan cara membuatnya baru kami langsung mempraktikannya. Diklat pamungkas ini pun menumbuhkan kesadaran saya bahwa pembelajaran yang dilakukan selama diklat Gandewa pun sejatinya sudah mengikuti proses pembelajaran di perkuliahan, yaitu belajar mandiri. Atas dasar kepercayaan bahwa kami sudah mengerti cara pembuatan bivak yang disampaikan di diklat kelas, percaya bahwa kami telah membaca materi di booklet, dan percaya bahwa kami mampu mengambil gambaran dari contoh bivak yang telah didirikan oleh pengurus, kami langsung disuruh membuat bivak buatan dengan peralatan kami punya.

Kami yang sejujurnya belum pernah membuat bivak secara mandiri, kecuali bivak yang dipasang berdampingan dengan tenda, cukup mengalami kesulitan. Diantara tiga kelompok, hanya bivak kelompok 1 yang benar-benar berdiri. Bivak kelompok 2 dan 3 tidak bisa berdiri dengan kendala yang sama, yaitu bentuk flysheet yang tidak segi empat sehingga sulit untuk dibentuk. Lebih khusus lagi, untuk kelompok 3 sendiri kesulitan dihadapi karena kebingungan untuk menggunakan simpul dan jenis tali yang tepat. Selain itu, diskusi untuk menentukan bentuk bivak yang terlalu panjang membuat bivak tidak segera selesai sampai waktu yang diberikan habis.

Setelah praktik dilakukan, satu orang pengurus memberikan evaluasi untuk bivak buatan yang didirikan oleh masing-masing kelompok. Untuk kelompok 3, evaluasi diberikan oleh Kak Bimo. Menurut Kak Bimo, apapun bentuk flysheet-nya, seharusnya tidak perlu menjadi kendala dalam prosespembuatan bivak, walaupun flysheet yang kami gunakan kemarin memang tidak direkomendasikan untuk digunakan. Hal yang terpenting dalam pembuatan bivak adalah tegangnya tali yang menyangga dan tegangnya flysheet atau ponco sehingga bisa sempurna berfungsi sebagai aliran air. Adapun tentang simpul yang digunakan seharusnya tidak perlu menjadi masalah. Simpul apapun bisa digunakan selama bisa dipastikan kekuatannya. Jika perdebatan bentuk bivak seperti apa yang akan dibuat dan simpul apa yang akan digunakan terlalu lama, bisa-bisa kita dan carrier kita sudah terlanjur basah oleh hujan sebelum bivak dibuat.

Setelah setiap kelompok mendapatkan evaluasi masing-masing, kami mendapat tugas angkatan untuk membuat sebuah bivak buatan besar sebagai tempat meletakkan carrier-carrier kami.  Mulai dari sini, kegiatan-kegiatan selanjutnya pun sudah tidak berorientasi pada tiap-tiap kelompok. Kami mulai berkegiatan sebagai satu angkatan. Sebagai caang 5 Gandewa.

Walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya kami berhasil membuat sebuah bivak buatan besar untuk satu angkatan. Kami melakukan pembagian tugas tanpa komando. Ada yang membuat atap bivak dan menalikannya di beberapa sudut pohon. Ada yang menggelar ponco sambil merapikan carrier-carrier yang berada di atasnya. Ada pula yang membuat aliran air di sekeliling bivak mengingat lahan yang kami gunakan sebagai tempat pembuatan bivak merupakan sebuah turuan. Setelah siap, kami meletakkan carrier-carrier kami di bawah bivak tersebut dan melanjutkan kegiatan selanjutnya.

Kegiatan selanjutnya adalah pemberian materi tentang makanan survival. Setelah sebelumnya kami diperkenalkan makanan-makanan survival yang terdapat di Geger Bentang melalui slide pada diklat kelas lalu, di sini, kami ditunjukkan secara langsung makanan-makan tersebut. Ada daun Begonia yang dimakan di bagian batangnya. Rasanya asam menyegarkan seperti belimbing wuluh. Daun yang berwarna merah dan berbentuk menjari ini pun menjadi salah satu favorit makanan survival bagi para caang. Ada pula Palma. Palma yang memang merupakan jenis palem-paleman ini merupakan tanaman yang dimakan di bagian batangnya pula. Berbeda dengan Begonia yang batangnya langsung bisa dimakan, bagian batang palma yang bisa dimakan adalah bagian yang berwarna putih. Jadi, untuk memakannya, batang palma yang berwarna hijau harus dikupas terlebih dahulu. Ada pula paku-pakuan. Tanaman ini tidak bisa mentah-mentah dimakan seperti Begonia dan Palma. Tanaman ini harus dimasak dan direbus terlebih dahulu layaknya sayur, baru bisa dikonsumsi setelahnya. Sambil ditunjukkan secara langsung, kami pun mencicipi makanan-makanan survival yang disedikan sebagai contoh tersebut.

Diantara tanaman-tanaman tersebut, terselip satu jenis hewan diantaranya. Cacing tanah. Sayangnya, ketika kami berhamburan sementara untuk mengambil rain coat dan payung saat tiba-tiba hujan turun, cacing tersebut menghilang dari tempatnya yang menyebabkan tidak ada yang sempat mencicipinya sebagai makanan survival.

Setelah diperkenalkan, kami langsung diberi tugas untuk ‘berbelanja’ makanan survival. Makanan yang akan kami cari adalah makanan yang akan digunakan sebagai santap siang kami. Seluruh bahan makanan dan cemilan yang kami miliki disita oleh pengurus. Hanya beberapa bumbu masakan yang diberikan kepada kami untuk membantu mengolah bahan makanan yang kami dapatkan. Di tengah rintik hujan yang semakin lama semakin deras, kami pun segera menuruni gunung. Pencarian makanan survival pun dimulai.

Berbekal Tramontina dan pisau lipat, kami pun mencari beberapa bahan makanan untuk santap siang kami. Amel mendapatkan begitu banyak Begonia. Saya dan beberapa caang lainnya lebih banyak mendapatkan palma dan paku-pakuan. Beberapa saat kemudian, Kak Adi, Hari, Kautsar, dan Bimo pun berhasil menemukan pohon pisang yang masih lengkap dengan jantung pisangnya. Menurut pengurus Gandewa, dalam keadaan survival, mendapatkan jantung pisang bak mendapatkan makanan mewah. Hal itu disebabkan karena jika bisa mengolahnya, jantung pisang merupakan makanan olahan yang enak.

Saya sendiri yang penasaran dengan rasa cacing tanah berusaha mencarinya di akar tanaman epifit yang menempel di beberapa pohon besar. Menurut Kak Dina, dibandingkan dengan cacing tanah, cacing yang menempel di akar tanaman epifit lebih sehat dan bergizi. Sayangnya, berkali-kali saya menemukan akar tanaman epifit yang masih menggantung ataupun sudah tergeletak di tanah, tidak ada satu pun cacing di dalamnya.

Merasa sudah cukup dengan bahan makanan yang dibawa, kami pun segera bergegas kembali ke atas. Tangan-tangan para caang penuh dengan bahan makanan masing-masing. Saya dan Kamal membawa jantung pisang yang berhasil didapatkan oleh Kak Adi, Hari, Kautsar, dan Bimo. Tangan Amel penuh dengan Begonia. Tangan-tangan caang lainnya pun menggenggam palma dan paku-pakuan.

Setelah sampai di atas, kami mengumpulkan semua bahan makanan di satu tempat. Bimo begitu antusias dengan apa yang didapatkannya, yaitu jantung pisang dengan pisangnya yang masih begitu bayi. Sayangnya, beberapa saat kemudian antusiasmenya memudar saat menghadapi kenyataan bahwa bayi pisang yang dibawanya tidak layak untuk dimakan. Bayi pisang tersebut masih berupa getah dan biji-biji hitam di dalamnya. Bimo pun mendadak kecewa mengingat begitu susah payah dirinya mendapatkan jantung pisang dan bayi pisang tersebut.

Begitu mengetahui bahwa kami mendapatkan jantung pisang sebagai bahan makanan, penanggung jawab konsumsi masing-masing kelompok pun dipanggil untuk menemui Kak Alim. Danti dari kelompok 1, Nadila dari kelompok 2, dan Amel dari kelompok 3. Kak Alim, pengurus Gandewa angkatan 2008, yang memang dikenal dengan keahliannya dalam meracik bahan makanan (baca : memasak) mengajarkan para penanggung jawab konsumsi bagaimana cara untuk mengolah jantung pisang.

Waktu pun sudah lewat beberapa jam dari waktu Zuhur. Izzat yang memang memiliki pemahaman agama yang cukup baik diantara caang mengajak caang untuk segera sholat. Kami yang kebingungan karena kondisi kami saat itu dalam keadaan berlumpur, tidak memungkinkan untuk mengganti pakaian, dan tengah minim air mendapatkan pengetahuan baru tentang kemudahan sholat lainnya dari Izzat. Izzat memberi tahu bahwa ternyata kami bisa sholat dalam keadaan seperti itu. Kami cukup berwudhu dengan mengusap setiap bagian yang menjadi rukun wudhu dengan sekali usapan menggunakan air yang berada di atas bivak. Sementara untuk kaki, kami cukup mengusap ujung-ujung sepatu saja. Setelahnya, kami sholat dengan menggelar ponco sebagai tempat bersujud, tanpa melepas sepatu, kami memulai sholat. Kemudahan tersebut tidak berlaku ketika kita melepas sepatu karena itu berarti ada bagian tubuh kita yang bersih yang mengharuskannya dibersihkan pula seluruh bagian tubunh lainnya.

Setelah selesai sholat, kami pun diinstruksikan untuk segera memasak makan siang. Kami pun memutuskan untuk memasak bersama sebagai satu angkatan, tidak berkelompok-kelompok lagi. Di saat penanggung jawab konsumsi mempersiapkan proses memasak, basecamp manager dari setiap kelompok dipanggil Kak Resty. Kelompok 1 Bimo, Kelompok 2 Hari, dan Kelompok 3 saya sendiri. Kami diinstruksikan untuk mendirikan sebuah tenda di lahan yang sudah ditentukan Kak Resty. Tenda tersebut dibangun bukan untuk tempat beristirahat kami nanti malam, melainkan untuk meletakan carrier-carrier kami karena malam ini kami akan tidur di bivak alam yang akan kami buat setelah ini. Sedangkan tenda-tenda yang kami bawa sebelumnya diserahkan kepada pengurus.

Saya, Bimo, dan Hari, serta dibantu Kautsar bergegas mendirikan tenda. Tenda yang dipasang kali ini agak berbeda dengan tenda-tenda biasanya. Tendanya bagus. Terdapat beberapa rangka dalam yang membuatnya terlihat megah dan  mewah. Cukup untuk memuat 5-6 orang di dalamnya. Sayangnya, tenda bagus kali ini tidak diperuntukkan untuk kami, tapi untuk carrier-carrier kami.

Setelah tenda berhasil berdiri dengan aliran air di sekelilingnya, kami segera naik ke bivak buatan dan bergabung dengan teman-teman caang lainnya untuk makan siang. Santap siang kami hari itu adalah nasi, telur orak arik, dan jantung pisang olahan bersama. Enak. Bukan karena di atas gunung makanan apapun selalu tampak enak, melainkan karena sepertinya para penanggung jawab konsumsi sukses mengolah jantung pisang dengan baik.

Setelah selesai makan siang, kami pun berkumpul kembali untuk melanjutkan kegiatan. Secara pribadi, saya merasa diklat kali ini adalah diklat paling tak berjeda. Sebanding dengan banjirnya ilmu yang kami dapatkan. Kami dikumpulkan karena kami akan diinstruksikan untuk membuat bivak alam. Pembuatan bivak alam ini tidak boleh main-main karena di bivak tersebutlah kami akan memanfaatkan waktu istirahat kami. Kami diminta untuk membuat bivak sebaik mungkin. Kami pun segera mengadakan pembagian tugas. Sebagian membersihkan lahan yang akan digunakan untuk membuat bivak, sebagian lagi berbelanja untuk mencari bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat bivak.

Danti, Rima, Amel, dan Kamalia bertugas untuk merapikan lahan yang akan digunakan untuk membuat bivak alam. Kami mendapatkan lahan tepat di bibir jurang. Lahan dengan kemiringan yang sanggup membuat kami bisa sekaligus bermain perosotan saking miringnya. Sebenarnya kami memiliki kesempatan untuk mencari lahan yang lebih layak. Akan tetapi, berhubung waktu sudah mendesak menjelang malam, dan tidak ada lahan yang lebih layak di sekitar tenda yang berisi carrier-carrier kami untuk bisa digunakan, akhirnya kami mencoba mensiasati lahan yang miring tersebut agar bisa digunakan sebagi tempat beristirahat.

Di sisi lain, Bimo, Hari, Nadila, Nadya, Kautsar, Izzat, dan saya bertugas berbelanja mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bivak alam. Bahan-bahan yang kami butuhkan adalah kayu-kayu penopang yang cukup kuat, kayu-kayu ringan sebagai atap diatasnya, dan daun-daunan yang cukup lebar untuk menutupi atap tersebut. Kami pun menuruni gunung. Melihat kanan kiri kalau-kalau ada bahan yang cocok untuk digunakan sebagai bahan untuk membuat bivak alam lagi. Kami turun cukup jauh dari tempat dimana kami akan membuat bivak alam. Setelah dirasa cukup, kami memutuskan untuk segera naik karena takut terlalu banyak bahan yang dicari tetapi tidak sanggup dibawa lagi ke atas.

Di tengah perjalanan naik, caang laki-laki dipanggil untuk turun kembali. Ternyata di bagian bawah banyak batang pohon dengan daun yang cukup lebar untuk digunakan sebagai bahan pembuat bivak. Caang laki-laki pun kembali turun dan caang perempuan tetap melanjutkan perjalanan naik sambil mengambil bahan-bahan yang ditinggalkan di sisi kanan jalan tersebut. Di tengah perjalanan kembali, kami baru mengetahui bahwa dalam pembuatan bivak buatan tidak boleh menggunakan tali rafia, tambang, dan semacmanya. Alat yang digunakan untuk mengikat pun harus berasal dari alam. Akhirnya kami pun baru mencari tanaman menjalar sebagai alat pengikat di sekitar lahan tempat kami akan membuat bivak alam.

Beberapa lama kemudian, Hari, Bimo, dan Kautsar datang dengan wajah yang teramat lelah dari bawah. Hal itu wajar ketika melihat mereka membawa batang pohon yang, sungguh, besar lengkap dengan daunnya. Belum selesai sampai di situ, masing-masing orang membawa tiga batang pohon yang, sungguh, besar itu. Wajah mereka terlihat pucat yang membuat beberapa caang perempuan segera bergerak untuk mencarikan mereka minum. Kalau mau diukur tingkat kelelahannya, kalau tadi kami berangkat menuju titik ini, mendaki, hanya dengan membawa satu carrier di punggung, kali ini mereka  membawa tiga batang pohon sekaligus yang, sungguh, besar di punggung. Bahkan ternyata di tengah kelelahan itu, Kautsar bercerita bahwa ia tiba-tiba merindukan Kutek sebagai tempat kostnya dan Warteg Shinta sebagai tempat makannya.

Setelah beristirahat sejenak, kami pun berkumpul lagi untuk melakukan briefing seperti apa bivak alam yang akan kami buat. Jujur saja, ketika ditanya oleh Kak Resty dan Kak Vira tentang bentuk bivak alam seperti apa yang akan kami buat, kami bingung. Pengetahuan kami tentang bentuk-bentuk bivak belum cukup baik. Sampai akhirnya ide spontan Bimo untuk membuat dua buah bivak, di atas dan di bawah, tanpa dinding penghalang apapun di empat sisinya yang menjadi pilihan kami.

Lagi-lagi, dengan pembagian yang terjadi tanpa isntruksi, kami terbagi menjadi dua tim. Ada yang menyelesaikan bivak bagian atas dan bivak bagian bawah. Kami memotong batang, mengikatnya satu sama lain, dan menutupinya dengan daun. Terdengar mudah, tapi tidak sebenarnya. Kami kekurangan tali temali untuk mengikat ranting. Kami kekurangan daun untuk menutupi bagian atas. Kami kekurangan pencahayaan karena jumlah headlamp yang minim. Kami pun mulai kehilangan stamina. Kami mulai lelah dengan padatnya kegiatan hari ini. Tapi entah apa yang menguatkan kami, kami pun sanggup menyelesaikan bivak alam ini dengan baik. Di luar ekspetasi kami yang sebelumnya tidak tahu akan membuat bivak seperti apa.

Setelah bivak alam selesai, kami pun melakukan pembagian tugas lagi. Ada yang merapikan dan menyiapkan bagian bawah bivak untuk tempat beristirahat kami, ada pula yang memulai untuk memasak makan malam. Setelah tim yang merapikan bagian bawah bivak selesai, kami bergabung dengan tim yang memasak di dekat tenda tempat kami menyimpan carrier. Seolah hadiah dari kerja keras kami seharian ini, makan malam hari itu sungguh mewah. Kami menikmati ikan, ayam bakar, tumis udang, sayur kangkung, dan beberapa lauk lainnya didampingi dengan energen yang begitu hangat. Dua jempol untuk para penanggung jawab konsumsi, khusunya Izzat yang dikenal memang handal dalam memasak.  Makan bersama memang selalu terasa enak, apalagi bersama orang-orang yang telah berlelah-lelah bersama.

Setelah selesai makan, kami menuju bivak buatan kami sebelumnya untuk melakukan evaluasi harian bersama pengurus Gandewa. Malam itu, seperti biasa, caang mengeluarkan segala unek-uneknya dan menjelaskan kondisi kesehatannya. Sedangkan pengurus mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh kami dan mengapresiasi apa-apa yang dianggap baik yang  telah kami lakukan.

Mengetahui bahwa kami belum berganti baju sejak siang, sebelum tidur kami pun diinstruksikan untuk segera berganti baju sebelum tidur. Setelah berganti baju, sebagian caang ada yang sholat. Kami solat di bivak alam yang kami buat di bagian tas. Butuh perjuangan juga untuk sholat kali ini karena lahan yang kami gunakan miring sempurna.

Setelah semua selesai membersihkan diri dan sholat, kami bergegas tidur. Bivak atas ditempati oleh Saya, Amel, Kamal, Nadila, Danti, dan Izzat. Sementara bivak bawah ditempati oleh Hari, Bimo, Kautsar, Nadya, dan Rima. Walaupun bivak berhasil dibuat, bukan tanpa perjuangan untuk bisa tidur dengan baik di masing-masing bivak. Bivak bagian atas merupakan turunan yang cukup curam. Beberapa orang yang tidur di bivak atas harus tidur dengan kondisi menahan kakinya di tanah agar badannya tidak merosot menghantam kepala orang-orang yang tidur di bivak bawah. Di sisi lain, orang-orang yang tidur di bivak bawah harus menjaga gerakan tidurnya karena mereka benar-benar tidur menghadap jurang dan hanya dibatasi oleh beberapa batang pohon yang diikat tali rafia sebagai penjaga.

Sebelum tidur, kami pun berdoa bersama semoga malam ini cerah dan tidak hujan. Berhasil membuat bivak bukan berarti berhasil selamat dari ancaman ketika hujan tiba-tiba mengguyur karena iami sadar bivak yang kami buat tidak memenuhi standar untuk sebagai tempat berlindung. Walaupun begitu, di dalam sleeping bag masing-masing, pada akhirnya lelahlah yang membawa kami untuk segera tidur dan tidak memedulikan dimana kami dan dengan posisi apa kami tidur sekarang.

(bersambung, lagi...)