Jumat, 31 Januari 2014

Rabu, 29 Januari 2014

Telkomsel Mengajar untuk Indonesia

Bersama 24 pengajar lainnya, sepanjang tahun 2014 ini gw terikat kontrak dengan program Telkomsel Mengajar untuk Indonesia (selanjutnya, hanya akan gw sebut Telkomsel Mengajar saja). Program Telkomsel Mengajar ini merupakan program kerjasama antara CSR Telkomsel, Partner in Learning Microsoft, dan Sampoerna University.

Pengajar Telkomsel Mengajar

Pesatnya perkembangan teknologi di masa ini menjadi latar belakang dari adanya program ini. Pertumbuhan teknologi yang begitu cepat membuat kita tidak dapat memungkiri bahwa generasi saat ini dan mendatang adalah generasi yang akrab dengan teknologi. Contohnya? Anak baru lahir saja sudah terpapar dengan jepretan kamera yang kemudian oleh ayah atau keluarganya langsung diunduh di media sosial seperti twitter, facebook, ataupun path (ini lucu juga ya contohnya ._.)

Dengan begitu banyak manfaat yang dihadirkan dari perkembangan teknologi, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa ancaman yang dihadirkan teknologi pun bisa membahayakan. Gw suka sama istilah teknologi sejatinya seperti dua mata pisau. Kalau pisaunya ada di tangan chef, bisa menghasilkan karya makanan yang luar biasa ueenak. Kalau pisaunya jatuh di tangan batita? Hmm. Ada juga ibunya teriak teriak panik sendiri.

Contoh sederhana dari ancaman teknologi yang bisa saja terjadi adalah pemanfaatan teknologi yang dominan digunakan untuk bermain, sedangkan di sisi lain begitu banyak manfaat teknologi yang bisa digunakan untuk belajar. Ancaman lainnya adalah kesenjangan digital. Dalam konteks di sekolah, kesenjangan digital ini terjadi antara guru dan murid. Kita gak bisa pura-pura gak tau kalau saat ini, dalam penggunaan teknologi, muridnya bahkan bisa lebih jagoan daripada gurunya. Fungsi guru yang saat ini telah bergeser dari pusat semua ilmu pengetahuan menjadi fasilitator anak untuk membangun pengetahuannya sendiri mengalami kendala karena kesenjangan digital ini. Self esteem guru menurun karena begitu banyak hal yang dikuasai muridnya dibandingkan gurunya. Akhirnya? Fungsi kontrol dan pengawasannya melemah. Ada juga ancaman yang kadang tak terdeteksi tapi akan berdampak hebat di kemudian hari, plagiarisme. Kalau boleh meminjam istilah dari salah satu perwakilan Partner in Learning Microsoft saat memberikan kata sambutan pada pembukaan program, kebiasaan plagiarisme, mengkopi karya orang lain, sama saja membiasakan anak Indonesia menjahit pola yang sama. Ketika kebiasaan menjahit pola yang sama begitu melenakan, anak akan kesulitan membuat sendiri pola yang baru. Dampaknya? Indonesia akan kekurangan pemikiran inovatif, khusunya dalam pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu, apa yang harus dilakukan? 25 pengajar pada program ini diturunkan untuk memfasilitasi pengenalan pendidikan berbasis teknologi di sekolah-sekolah di Indonesia, menyentuh guru dan murid. Mulai dari pengenalan, pemanfaatan, dan pengoptimalan teknologi di bidang pendidikan. Harapannya, setelah program ini berlangsung, statistik mengenai penggunaan pisau oleh para chef bisa meningkat.

Dua puluh lima pengajar Telkomsel Mengajar merupakan perwakilan dari 12 kota di Indonesia, yaitu Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Samarinda, Makassar, Bali, dan Ambon. Tiap kota diwakili 2-3 orang pengajar. Gw bersama Icha (Psikologi UI) dan Adlin (Bioproses UI) dipilih sebagai perwakilan Ibukota Jakarta. Tiap-tiap pengajar di tiap kotanya memiliki tugas untuk melakukan proses pengajaran di 4 sekolah (2 SD dan 2 SMP Negeri) sebanyak 6 kali di tiap-tiap sekolah. Target sasaran dari program ini adalah siswa dan guru. Program ini memiliki silabusnya sendiri. Akan tetapi, pengajar diberikan kebebasan untuk merancang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) disesuaikan dengan kebutuhan sekolah, mengingat tingkat pemahaman tiap sekolah mengenai pemanfaatan teknologi berbeda-beda.

Sebelum program ini berlangsung, selama lima hari pada tanggal 13-17 Januari lalu, kami ber-25 dipertemukan dalam training di Jakarta. Kami tinggal di Hotel Bidakara, Jakarta dan menjalani training di Sampoerna University. Training dilakukan seharian penuh. Kami biasa berangkat dari hotel pukul 08.00 dan tiba kembali di hotel pada pukul 21.30. Kalau kata teman gw perwakilan dari Bali, “Kita sudah seperti Putri Indonesia saja ya dikarantina?” Haha, benar juga.

Training Telkomsel Mengajar

Belajar banyak selama training kemarin. Dari segi materinya, udah kayak memperdalam mata kuliah Psikologi Pendidikan Terkini gw, haha. Terus salah satu fasilitatornya adalah seorang affective educational psychologist. Lulusan S2 Profesi Psikologi UI. Untuk gw yang apa-apa urusannya pake hati, nyambung banget lah pas ngobrol sama si Ibu. Sepakat bahwa manusia, besar karena rasa nya. Salah satu yang penting lagi, materi-materinya membuat level kegagapan teknologi gw berkurang jauh lah, hehe. Iya. Openness to experience gw untuk makanan dan teknologi agak rendah. Jadilah training ini membuka banyak pemahaman baru untuk gw.

Selain dari materi, juga dari teman-temannya. Seneng banget berkesempatan bersinggungan dengan teman-teman lintas universitas dan lintas daerah di Indonesia. Keseruan lainnya adalah, selama seminggu ngedengerin logat dan bahasa daerah yang super macem-macem. Gak tau kenapa, buat gw, enak banget dengernya :’)

Teman baru, lingkaran baru :)

Ngeliat sendiri bahwa benar, Jakarta, menjadi kota yang diidam-idamkan oleh beberapa teman di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa. Beberapa teman pengajar mengaku bahwa ini kali pertama mereka menjejakkan kaki di Ibukota Jakarta. Sayangnya, kedatangan mereka disambut banjir tahunan di Januari. Sisi lain dari kota metropolitan yang mereka kenal di tv-tv.

Terus ngerasa tersentil juga dengan percakapan seorang kawan perwakilan Yogyakarta.
Kawan : Mba Tuti, bener ya kata orang, kalau tinggal di Jakarta harus bisa bertahan. Cuma yang beneran berjuang ya yang bisa bertahan.

Gw : Hehe.. iyaa. Kenapa gitu?
Kawan : Ini tiap jam 08.00 kita udah berangkat terus baru pulang lagi malem. Seharian kegiatannya penuh. Belum harus berangkat pagi buat menghindari macet dan banjir. Badanku remuk toh, Mba. Aku gak mau tinggal di Jakarta.
Gw cuma bisa tersenyum mendengarnya. Detik selanjutnya gw merasa beruntung, pernah dibiasakan dengan ritme hidup kayak gini. Tanpa tahu bahwa minggu depan, gw melihat sendiri ritme hidup yang berlipat lipat lebih gila dari Jakarta.

Pernah satu malam di antara malam malam pasca training, malam itu tidak ada tugas. Setelah makan, mandi dengan air hangat, menyetrika baju untuk besok, gw bergelung di kasur super empuk dengan selimut, dengan tangan memegang remote tv dan memindah-mindah channel dari National Geographic, HBO, dan channel channel tv kabel lainnya. Mendadak iseng-iseng ngeliat sekeliling. Gw benar-benar merasa seperti putri.

Ini kali pertama gw menginap, cukup lama, di hotel bintang 4 dengan segala fasilitasnya. Sarapan dan makan malam super mewah, fasilitas kamar yang memanjakan, dan pemandangan luar kota Jakarta dari ketinggian yang sama sekali tidak menggambarkan bahwa ada musibah banjir di beberapa sudut kotanya.

Tempat sarapan selama training

Tetiba merinding sendiri. Ingat kalau ini Januari.

Januari tahun ini dan januari tahun lalu. Judulnya sama-sama ‘mengajar’, tapi bentuknya di dua kutub yang ujung-ujungan.

Januari tahun lalu, gw dituntut untuk bisa memfasilitasi anak untuk belajar dengan sumberdaya seadanya. Semua barang sejauh mata memandang disulap menjadi bahan ajar. Mulai dari kertas bekas yang dimanfaatkan jadi bentuk-bentuk binatang untuk tokoh dongeng, bola voli yang digunakan untuk saling melempar di sesi tanya jawab, sampai gagang sapu yang digunakan sebagai bambu runcing saat drama perang melawan Belanda. Januari tahun ini, gw hanya membawa tiga amunisi, laptop, modem, dan LCD, untuk memberikan pemahaman kepada anak, bahwa ia bisa menggenggam dunianya.

Januari 2013, persiapan drama perlawanan penjajahan Belanda bersama anak-anak

Januari tahun lalu, inget banget makan selalu dengan lauk pauk seadanya, Tiap hari selalu ada unsur jagung dan mie instant. Telur, tahu, dan tempe yang dianggap makanan anak kostan paling sederhana saja jarang ditemui. Sering banget makan rebung dan sayur yang bahkan gak gw ketahui namanya. Oh iya! Makan ikan dan belut hasil tangkapan anak-anak. Makan daging, kalau gw tidak salah ingat, hanya dua kali dalam kurun waktu 23 hari itu. Januari tahun ini?  Gw makan tiga kali sehari dengan komposisi 4 sehat 5 sempurna. Selalu ada daging di setiap lauknya. Belum ditambah dua kali coffee break menjelang makan siang dan makan malam. Bahkan jadwal makan hadir ketika kita belum benar-benar lapar. Training ini seolah ingin menyampaikan pesan bahwa hanya fokus dan konsentrasi kami yang dibutuhkan di sini tanpa harus khawatir urusan perut.

Januari tahun lalu, gw tidur di rumah Ibu dan Bapak. Sebuah rumah panggung sederhana yang berbaik hati menampung gw selama 23 hari. Ketika gw tidur di atas rumah, sejatinya gw tidur bersama sama dengan bebek dan ayam yang tidur di bawah rumah panggung, melindungi diri dari hujan. Alarm gw adalah suara ayam dan bebek yang bangun lebih dulu dibandingkan gw. Pernah suatu hari handphone gw jatuh dari atas rumah melalui celah-celah tembikar yang menjadi alas rumah. Tangan gw yang gw turunkan ke bawah rumah harus berkelahi bersama moncong bebek yang berhasrat untuk mengambil handphone gw. Sory Bek, gw yang menang! Haha. Januari ini? Gw tidur di kasur super besar dan super empuk. Berselimutkan empat lapis kain untuk melawan AC hotel yang super dingin. Kedinginan? Air hangat tersedia untuk mandi dan menyeduh teh.

Bersama Bapak, Ibu, Sahda, dan Murti, di depan rumah panggung kami

Januari tahun lalu, Ibu menemani gw yang sedang memerika PR anak-anak ditemani dengan lampu tempel remang-remang dan film Brama Kumbara. Ah, andai ibu tau, bahwa Januari tahun ini, tipa malam aku menonton tv kabel, Bu. Banyak film tentang masak memasak yang mungkin ibu suka.

Urusan januari  tahun lalu dan januari tahun ini mendadak mengganggu. Membuat gw tidak nyaman.

Baca berita di koran dan diskusi dengan teman urusan kesenjangan, kayaknya paham betul di kepala. Teorinya mantep bener. Bikin essay tentang urusan ini jago banget deh kayaknya. Tapi, ngerasain sendiri berada di dua kutub yang saling ujung-ujungan, beda perkara. Ngerasain gap yang jauh banget bikin mikir, posisi gw di mana? Apa yang bisa gw lakukan untuk memperpendek gap nya?

Gerakan UI Mengajar, K2N Tematik, Children of Heaven, Terminal Hujan, dan Telkomsel Mengajar, masih menguatkan sebuah pemahaman. Belajar mengajar, tidak melulu urusan gedung dan seragam sekolah. Buku Sekolah Rimba pun menyederhanakan banyak pertanyaan. Tentang pendidikan, sejatinya membantu individu menghadapi tekanan perubahan.

Di saat beberapa teman-teman Psikologi Pendidikan sudah memantapkan hati apa yang mau diperjuangkan, ada yang mau jadi konselor sekolah,  ada yang mau jadi psikolog sekolah, ada yang mau bikin sekolah, ada yang mau terlibat di penyusunan kurikulum di Indonesia, gw masih sesederhana mau mengajar. Gw masih mencari apa esensi mengajar, bagaimana sebenarnya mengajar yang baik, sistem yang baik, kurikulum yang baik, dan tentu saja yang paling penting, bagaimana cara mengusahakannya dan memastikan bahwa hal tersebut tepat guna.

Gak nyaman senndiri ketika sadar belum punya sikap untuk ini semua. Masih pengen mencari. Masih ingin belajar. Mungkin benar kata seorang teman,
Cuman kalau masalah perasaan yang miris lihat kesenjangan itu, cukup pikir bahwa Allah Maha Adil dan bakal jaga keseimbangan dunia deh. Saat ini sih belum punya sikap tut. Tapi gw yakin deh orang yang yang pernah di dua ujung pasti ada waktunya juga buat bersikap.
Tapi sampai kapan? Semoga dalam waktu dekat.
Nah, itu maksudnya tut, kumpulin amunisi, susun bom sama dinamitnya di tempat yang pas, terus pencet detonatornya, haha.
Susah ye diskusi sama anak teknik, mainnya pake istilah detonator, haha.

Semoga atas banyak fasilitas dan kemewahan untuk urusan ini, niatnya masih tetap buat Allah aja. Aamiin.

Kerja besar, dimulai lagi.

Selasa, 28 Januari 2014

Bersisian

Iya. Gw suka dengan kata bersisian.

Mungkin karena bersisian punya arah yang sama. Yang seberbeda apapun kecepatan langkahnya, walaupun ada kemungkinan saling menjauh, tapi juga ada kemungkinan saling berpotongan.

Mungkin juga karena itu yang sering kulakukan denganmu. Kita benci berhadapan. Benci saling menatap mata. Untuk banyak kesemobongan, kita terlalu malas untuk menunjukan kelemahan. Duduk bersisian selalu terasa lebih menyenangkan. Menatap jauh ke depan saling menguatkan. Memaksa bahu tetap tegak tanpa sandaran. 

Mungkin itu juga yang menjadi satu-satunya penghiburan. Pembenaran bahwa kita tetap dekat. Tapa jarak. Di saat selain urusan keberadaan, sisanya sungguh berjarak ribuan mil jauhnya. 

Lari

Fakta bahwa kita sama-sama lari dari kekecewaan, selalu berbuah pencapaian. Semoga langkah mau berdamai untuk tak pernah lelah dan enggan berhenti, sampai batas yang tak pasti.

Sampai kita, berani untuk menetapkan batasannya sendiri.

Sabtu, 25 Januari 2014

Gap

Sejujurnya bingung mau mulai dari mana. Dua tahun ke belakang, Januari selalu terasa begitu cepat. Tiba-tiba udah di penghujung Januari aja. Tiba-tiba udah mau ketemu Februari aja. Tiba-tiba umur gw nambah aja. Saking cepetnya, saking banyak, berharga, dan bingung mengungkapkannya, banyak hal yang gak ketulis di Januari. 

Terus belakangan ini lagi banyak bengongnya. Mikir. Ngerasa di bulan yang sama, di tahun yang berbeda, ngerasain dua kutub yang ujung-ujungan. Terus ngerasa ketampar sendiri pernah ada di kedua kutubnya, ngerasa... apa ya namanya? Gelisah? Gak nyaman lah pokoknya. Ngerasa ada gap yang cukup jauh yang pernah dialami. Secara teori bahwa gap itu ada, jelas paham betul. Tapi perkara ngerasain sendiri pernah ada di dua kutub yang ujung-ujungan, lain cerita. Merinding sendiri. Bikin disonan. Bikir mikir keras. Ada gap yang harus diperpendek. Pertanyaan besarnya, ilmunya cukup gak untuk memperpendek gap-nya?

Tuh khan omongannya ngelantur kemana-mana. Intinya, setelah ini akan mencoba menuliskan kembali apa-apa yang dialami di Januari. Maap kalau ceritanya akan loncat-loncat, akan banyak emosi yang meluap-luap, dan kehilangan runtut ceritanya.

Tapi, semoga pesannya tersampaikan :)

Rabu, 15 Januari 2014

Senin, 13 Januari 2014

Terpukul

Tp gw yakin deh lu abis nangis kan semalem?
Jgn sedih sedih lagi ya
Ya Allah... kok ya terpukul rasanya gini amat ya. 

Tapi ya di antara semua sedih, terima kasih. Gw, selalu, masih punya Tuhan. Juga teman.

Juga benar bahwa seharusnya gw merasa beruntung ketika semua sedih datang. Semua jumawa ambruk. Cuma ingat urusan bersyukur.

Ya Allah... saya gak percaya lagi sama semua urusan ini.