Selasa, 26 Februari 2013

Dua Puluh Satu

Depan gerbang Kukusan Teknik.
00.01

Dua puluh satu

Tau bahwa masih ada tugas psikologi kognitif yang harus diselesaikan untuk besok. Tau ada yang sedang dalam kondisi lelah. Tau ada yang baru saja menyelesaikan masalah. Tau sampai membuat group whatsapp untuk semua ini. 

Gw. Speechless. Sangat.

Icha, Nila, Hana, Esse, Ami, Murai, Acy, Davi, Tari, Dinda.

Terima kasih ya, kalian :')


Dan.


Selamat ulang tahun. Semoga tetap membumi ya, kita
Di belahan bumi masing-masing, yang kita pilih untuk kita jejak :)

Rabu, 20 Februari 2013

Halo :D

Apa kabar? Semoga yang membaca kabarnya baik seperti yang menulis. Baik karena yang menulis sudah mulai mencoba lagi menulis runtutan tulisan. Bukan hanya kaliamat-kalimat random seperti beberapa postingan sebelumnya.

Nama gw (masih) Annisa Dwi Astuti. Tapi mulai ragu sebenarnya dengan nama lengkap ini. Karena jangan-jangan, nama lengkap gw sebenarnya adalan Annisa Dwi Tehtuti. Karena gw biasa dipanggil Teh Tuti. Sekarang punya nama panggilan baru juga sebenarnya, "Ibu Tuti". Yaa, panggilan kesayangan dari 11 bintang kesayangan gw.

My eleven little stars :)

Dan panggilan kesayangan dari lima orang yang sukses membuat gw se-merinding itu karena jadi bukti nyata tentang keajaiban satu visi.

Pengajar Titik 1 Gerakan UI mengajar Angkatan 2

Jadi ceritanya kemarin-kemarin sempat berada dalam keadaan tertekan. Karena begitu punya banyak cerita yang berputar di kepala, memaksa untuk dibagi, tapi apa daya tak tersalurkan karena gw lagi berlari.
Lia : (angkat tangan)
Gw : Ada apa Lia?
Lia : Ibu, tadi saya bilang "Tidak Bisa". Ini bintang saya, Bu (sambil menyerahkan bintang yang baru diambil dari gelas miliknya)
Selama aksi mengajar bulan lalu, gw menerapkan 4 peraturan di kelas gw.
1. Ayo perbanyak bintangmu!
2. Kata "Tidak Bisa" = Bintangmu berkurang 1.
3. Ayo katakan "Mau Bisa!"
4. Angkat tangan dulu yuk sebelum bertanya!
Empat peraturan itu tanpa gw duga mengurai banyak kisah selama aksi mengajar. Salah satunya kejujuran yang disampaikan Lia. Pengakuan dan pengurangan bintang secara sadar bahkan tanpa harus gw minta.

Kejujuran. Ketulusan. Kekecewaan. Kekaguman. Perjuangan. Pengabdian. Semua berputar di kepala. Tentang mereka. Tentang 11 bintang kelas gw. Tentang 5 orang bukti nyata keajaiban satu visi.

Nambah lagi satu doa setelah ini. Berharap diberi kekuatan untuk membagi segala cerita sebelumnya, sambil terus berlari mengukir cerita yang baru.

Iya. Cerita baru bersama orang-orang ini. Orang-orang yang bersama mereka selama setahun ke depan, gw akan  menyerukan kata, BISA! :D

Pengurus Inti BEM IKM Psikologi UI 2013

Saya mau melanjutkan banyak pengejaran dulu ya teman-teman. Mohon doa. Untuk segera melunasi banyak janji. Menjalankan amanah yang telah disanggupi. Dan yang paling penting..

Tetap ingat untuk mensyukuri  diberi sebuah kesempatan untuk berlari :)

Selasa, 19 Februari 2013

Random Thought (3)

Ternyata, gw emang cuma butuh tumpah.

Emang cuma tentang lupa untuk senyum kepada banyak orang. 
Emang cuma tentang lupa untuk bersyukur akan banyak hal.

Maaf untuk lupa kalau kita sama-sama se-gak-punya-jeda itu.
Selamat membadai ya, kita! 

Terima kasih.
Terima kasih banyak.

Gw sudah kembali.
Jadi Tuti yang hobinya senyum sana sini :D


Minggu, 17 Februari 2013

Random Thought (2)

Rezeki datang di tempat dan waktu yang tidak diduga-duga.

Allah menjawab pinta dengan cara yang tidak disangka-sangka. Termasuk pinta yang bahkan belum terlisankan dan masih berputar-putar di kepala.

Ketika cinta akan anak-anak dalam pendidikan terlalu naif untuk dunia yang penuh dengan kepentingan, pilihan untuk memilih yang lain menjadi hal yang lebih menyenangkan. Allah menghamparkan banyak kesempatan. Allah mengizinkan untuk membuat kesempatan.

Terima kasih Ya Allah, untuk mengingatkan bahwa hanya Engkau yang benar-benar tidak pernah meninggalkan. Yang tak pernah menjadi sumber ketakutan. Yang menjadi sebaik-baiknya sandaran.


Kamis, 14 Februari 2013

Hasan Menangis

Rabu, 16 Januari 2013
Di kelas. Mata pelajaran SBK (Seni, Budaya, dan Keterampilan).
Gw : Hasan kunaon? Hasan geuring? – Hasan kenapa? Hasan sakit? 
Hasan : (diam) 
Gw : Hasan tos dahar? Bebeja ka ibu Hasan teh kunaon? – Hasan sudah makan? Coba bilang ke Ibu Hasan kenapa?
Hasan : (diam)
Di saat teman-temannya yang lain ramai menggambar dan mewarnai tokoh-tokoh yang mereka perankan untuk drama penjajahan Belanda di Indonesia, Hasan hanya diam dengan spidol coklat di tangan dan kertas HVS kosongnya. Memerhatikan gw yang sedang sibuk meyakinkan bahwa gambar mereka tidak ada yang jelek. Mata gw dan Hasan beradu pandang. Menyadari gw memerhatikannya, Hasan menunduk. Gw menghampirinya. Hasan menampilkan gelagat tidak nyaman. Tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum ketika gw hampiri, kali ini Hasan enggan melihat gw. Setiap gw mengajukan pertanyaan ia semakin menunduk. Sampai akhirnya pipi kanannya tepat menempel di atas meja. Satu. Dua. Tiba-tiba air matanya menetes. Hasan menangis.

Seingat gw, Hasan mulai menunjukkan gelagat tidak nyaman saat mulai menggambar. Sebelum menggambar, gw menghapus countdown kepulangan saya ke Depok dari H-17 menjadi H-16.
Kadiman : Bu, sebulan lagi we, Bu. 
Gw : (tersenyum) Kalau bisa juga Ibu mau nya gitu. Tapi Ibu harus pulang. Gak papa ya?
Susan : Naonna nu gak papa, Bu?! – Apanya yang gak papa, Bu?!  (nada tinggi)
Nada tinggi Susan diikuti oleh kondisi kelas yang mendadak hening. Ritual penghapusan countdown ini selalu menjadi hal yang tidak mudah untuk siswa kelas 5 SD yang sudah mengerti definisi pergi dan pulang.

Alhamdulilahnya, keceriaan mereka menggambar tokoh-tokoh yang akan mereka perankan setelahnya mengaburkan kondisi hening yang selalu menghinggapi ritual penghapusan countdown.

Tapi tidak dengan Hasan. Kondisi Hasan yang menangis langsung mengembalikan ingatan gw pada penghapusan countdown itu.

Apa Hasan menangis karena countdown H-16?

Melihat Hasan yang selalu mengantar gw ke rumah anak-anak. Hasan yang selalu berangkat bersama gw. Hasan yang selalu membantu gw membawa map. Hasan yang diam tetapi selalu tersenyum.  Melihatnya tiba-tiba menangis… dan mungkin karena penghapusan countdown?

Hasan

Tiba-tiba gw sesak. Ikut menangis. Buru-buru mendongakkan kepala ke atas kalau-kalau tangisan gwlebih deras dari Hasan. Gw yang awalnya berada di hadapan Hasan, segera duduk di sebelah Hasan sambil merangkul dan mengusap kepalanya.

Hasan masih menangis dalam diam. Hasan masih tidak mau bicara.

Ya Allah… ini masih H-16. Apa kabar 2 Februari?

Sampai akhirnya, terpikirkan sebuah pertanyaan yang mendadak membuat rasa sesak gw berhenti dalam sekejap.
Gw : Hasan dilanjutkeun yuk gambar Sultan Hasanudin na? – Hasan dilanjutkan yuk gambar Sultan Hasanudinnya? 
Hasan : (menggelengkan kepala) 
Gw : Kunaon Hasan teu hayang ngagambar? – Kenapa hasan gak mau menggambar? 
Hasan : (bisik-bisik) Teu bisa ngegambar Sultan Hasanudin. – Gak bisa menggambar Sultan Hasanudin.
 
Air mata gw dalam sekejap kering.
Gw : Hasan teu tiasa gambar Sultan Hasanudin? Hasan rek ngagambar naon atuh? – Hasan gak bisa gambar Sultan Hasanudin? Hasan mau menggambar apa? 
Hasan : (bisik-bisik) Soekarno, Bu 
Gw : Sok mangga atuh Hasan ayeuna ngagambar Soekarno waenya. – Hasan sekarang menggambar Soekarno aja yaa.
Lalu kemudian, Hasan mulai menggambar dan kembali ceria.

Takut Terlambat

Sabtu, 26 Januari 2013
Menjelang uapacara pembukaan Persami.
Gw : Mus, tadi si Hamim gw tegur. Udah gw bilang petugas upacara wajib makan dulu sebelum ke sekolah. Dia malah belum makan.

Mushab : Iya. Tadi jam setengah 1 disuruh makan dulu gak mau. Langsung ke sekolah bilangnya takut terlambat.
Terlambat? Ibu minta petugas datang jam 2, Mim. 

Hamim, Herman, dan Masdi.
Petugas upacara kebanggaan gw :)

***

Kemarin siang lagi hectic bikin rancangan anggaran BEM  selama setahun. Payahnya ketiduran. Dilengkapi dengan mimpi siang-siang. Di dalam mimpi ada Mushab dan Hamim. Hamim sedang belajar bareng gw dan Mushab. Dilanjutkan dengan bergurau yang diiringi dengan gelak tawa. Sampai tiba di akhir mimpi, Hamim meluk gw dan Mushab sambil berbisik di telinga kami, 

"Jangan pulang...."

Bangun-bangun gak langsung bergegas untuk melanjutkan coretan angka-angka di atas kertas. Diamnya lama. Kenapa sesiang itu, akhir mimpinya harus sesedih itu.

Selasa, 12 Februari 2013

Random Thought

Lagi nunggu kereta menuju bogor. Hujan. Deras. Banyak kalimat berloncatan di kepala.
  • Sampai detik ini, bahkan gw benar benar belum bisa move on. Iya, mungkin memang semua ini bukan tentang 'pindah', tapi tentang bertahan dalam ketulusan. Ya Allah, peluklah mimpi anak anak kami di sana.
  • Paginya, literally mengucap syukur karena ditakdirkan menjadi irisan. Malamnya, nangis hingga sulit bernafas karena benar benar teriris.
  • Bercermin. Mematung lama. Tersenyum. Hei, saya egois ya? Saya rindu. Tapi malu. Dan urung mengaku.

Sabtu, 09 Februari 2013

Se-Signifikan Ini

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Tiba-tiba hujan turun sederas-derasnya di Depok. Hari ini hari Sabtu dan tidak ada Bikun yang beroperasi. Naik ojek bukan pilihan saat itu karena hanya akan membuat baju dan barang bawaan gw basah sebasah-basahnya. Akhirnya, bermodalkan payung (yang ternyata blong-bolong dan sedikit banyak meneteskan titik titik air di kepala) bergegas menerjang hujan dengan jalan kaki dari Kutek, melewati Teknik, Pusgiwa, PNJ, Rektorat, sampai akhirnya tiba di Balairung.

Tiba di Balairung dalam kondisi basah sebasah basahnya. Masih dalam keadaan hujan. Tapi kondisinya sudah seramai itu. Senyum-senyum sendiri memikirkan bahwa orang-orang di sini, yang rela menerjang hujan deras untuk akhirnya tiba di sini, jangan-jangan isi kepalanya sama kayak gw,
 Apa sih yang enggak buat orang-orang yang sesiginifikan ini?

A'Fadlan Mauli Gozali, S.T

Happy graduation A Fadlan Mauli Gozali :D Terima kasih untuk 'pelabelan' yang dampaknya masih signifikan sampai detik ini. Selamat melanjutkan FIGHT dan menjemput WIN di pilihan tempat selanjutnya :)


Teh Niken Kinanti Suryanto, S.Kom
Teh Tatan : Tut, Niken wisudawan terbaik se-FISIP.
Happy graduation Teh Niken Kinanti Suryanto :D Terima kasih karena telah menjadi bukti bahwa kita akan selalu bisa menjadi badai di tempat kita masing-masing. Selamat melanjutkan tugasnya sebagai inspirator, Teh. Selamat menjadi badai di tempat selanjutnya :) 

Di Sini Kami Menemukan

Hari kedua di Desa Cipeuti. Hari pertama mengajar. Hari pertama tanpa kemewahan.Tanpa penerangan.

Jumat, 11 Januari 2013

Saat gw berniat menuliskan tulisan ini, di depan gw, dua adik angkat gw sedang  menggambar cita-citanya. Murti yang tertua. Gambarnya sebuah toko baju dan sepatu yang berada di pinggir jalan raya. Yap. Murti bilang ia ingin menjadi pengusaha toko. Sedangkan Sada, si adik laki-laki menggambar lapangan  sepakbola lengkap dengan gawangnya. Ia ingin menjadi pemain sepakbola (Yang kemudian berubah menjadi dokter). Cita-cita yang biasa bukan? Yang tidak biasa, mereka bersemangat menggambar hanya dengan satu lilin untuk penerangan. Tiang listrik desa yang ambruk karena hujan besar, menyebabkan sudah empat hari empat malam tidak ada listrik di desa ini.

Mereka bersekolah di SDN Kertaraharja 1. Tempat gw mengajar dalam Gerakan UI Mengajar. Hari ini hari pertama gw mengajar. Sebelumnya, gw mendengar bahwa ada warga yang hampir menangis saat melihat kedatangan kami dalam kondisi hujan lebat, berjalan kaki dari desa sebelumnya, dengan membawa bawaan yang luar biasa berat, dan harus melewati kondisi jalan yang… di kemudian hari membuat gw serasa terbang saat berada di atas aspal.


Kondisi jalan Desa Cipeuti dan Pancal saat musim hujan

Sayangnya, warga tidak tahu bahwa bukan hanya mereka yang hampir menangis. Gw, pengajar kelas 5 SDN Kertaraharja 1 juga hampir menangis melihat sambutan dan antusiasme anak-anak di sini. Mereka saling berebut mencium tangan kami sambil mengucapkan salam kepada kami yang mereka ketahui akan menjadi guru barunya.

Belum banyak yang bisa gw tumpahkan di tulisan ini. Tapi yang perlu kawan ketahui, kata siapa anak Indonesia  pemalas? Di sini, kami menemukan banyak anak yang tetap menerjang hujan dan lumpur, tiba di sekolah satu jam sebelum mereka masuk, walaupun mereka tahu terkadang harus pulang kembali karena guru mereka tidak akan datang karena hambatan geografis.

SDN Kertaraharja 1

Selasa, 05 Februari 2013

Bertahan

Mengabdi memang bukan sekedar kata-kata. Ada harga mahal yang harus dibayar. Ada banyak hal yang harus ditinggalkan. Termasuk bulan Januari yang menjadi bulan paling krusial dalam banyak kelembagaan.

Cipeuti, 22 Januari 2013.

Kepada : 
BEM Psikologi UI, MPM Psikologi UI, Formasi FIB UI, BEM FMIPA UI, MPM FTUI, dan FLAC Indonesia.


Maaf untuk telah meninggalkan banyak tanggung jawab. Maaf untuk memilih bertahan dan menyelesaikan tugas di sini.

***

Sampai akhirnya...Selamat datang Jakarta Raya! 
Kami siap untuk membadai kembali :)

Senin, 04 Februari 2013

"Ibu, saya... mau.. sampe... SMP aja..."

Terpapar dengan romantisme ketulusan di setiap detiknya, di setiap menjejak langkah, sukses membuat gw gagal berespon untuk berbagai jenis ketulusan selain dengan sebuah senyuman. Selain dengan sebuah kesyukuran.
Kak Shally : Karena kita ingin menunjukkan apa yang bisa kita lakukan bersama mereka, bukan tentang melulu terjebak dengan romantisme keterbatasan mereka.
Gw anaknya gampang terharu. Kalau bukan karena kalimat dari Kak Shally, pengajar muda Indonesia Mengajar angkatan 2, yang berputar-putar di kepala gw selama 23 hari lalu, gw udah nangis entah berapa kali mungkin karena berbagai bentuk keterbatasan, ketulusan, dan kesyukuran. 
Iya. Tentang apa yang bisa gw lakukan untuk dan bersama mereka. Bukan tentang keterbatasan mereka.
Akhirnya, 23 hari kemarin, setiap bangun pagi, setiap pergerakan langkah, setiap perpindahan,  selalu diiringi dengan pertanyaan-pertanyaan, "Setelah ini apa lagi?", "Setelah ini bisa ngasih apa lagi?", "Setelah ini mereka harus mengetahui dan mengerti apa lagi?", "Setelah ini mereka bisa apa lagi?" demi menolak mentah-mentah dalam jebakan romantisme keterbatasan

Walau akhirnya, tangis itu pun tak bisa dibendung. Pecah dalam bentuk sejadi-jadinya, di H-2 kepulangan ke Jakarta.

Hari itu, kondisi kelas se-chaos itu. Anak-anak tidak mau diatur. Diajak latihan drama untuk pentas seni tidak mau. Diajak bernyanyi malah merajuk. Mereka berlari kesana kemari. Bergelantungan di bawah meja. Tidur-tiduran diatas meja. Biasanya gw yang tiba-tiba diam di depan kelas sambil tersenyum cukup ampuh mendiamkan mereka. Ini tidak. Mereka tidak memedulikan apa yang gw katakan. Yang mereka pedulikan cuma satu. Countdown di papan tulis yang tertulis H-2 yang telah mereka ganti menjadi H-21.

Gw melihat kondisi kelas lain. Sama. Suasana kepulangan ini sungguh membuat mereka tidak nyaman. Menganggap ini bagian dari pelampiasan emosi mereka, untuk pertama kali gw menyerah menghadapi kelas. Gw meminta tolong kepada Kak Ara untuk mengambil alih kelas. Gw keluar kelas untuk menyelesaikan tugas yang bisa gw selesaikan. Gw ke ruang guru mengajak salah satu anak gw untuk memberitahukan bahwa ia mendapatkan beasiswa. Namanya Kadiman.



Kadiman, pemimpin pasukan yang paling kanan

Kadiman adalah salah satu dari sebelas anak gw di kelas 5. Sebenarnya Kadiman bukan yang paling bersinar di kelas. Ada Susan yang jauh lebih bersinar dari dirinya. Susan murid paling cerdas di kelas yang mampu mengerjakan soal ulangan selama 10 menit ketika teman-temannya butuh waktu satu jam untuk mengerjakannya. Tapi yang paling membedakannya dengan Susan, ilmu yang dia miliki tidak hanya untuk dirinya sendiri. Susan menjadi paling bersinar karena ia bisa di saat teman-teman yang lain tidak bisa, tetapi  ia tidak membaginya dengan teman lainnya. Bisa nya hanya untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Kadiman yang ketika bisa mengerjakan soal, ia berbagi dan mengajarkan kepada teman-temannya. Bisa nya ia bagi dengan teman-temannya. 

Kadiman dan hasil karyanya

Berdasarkan pertimbangan status ekonomi keluarga, prestasi di kelas, motivasi belajar, dukungan keluarga,  dan budi pekertinya, gw memilih Kadiman menjadi yang lebih berhak mendapatkan beasiswa. Beasiswa ini diberikan oleh sponsor Gerakan UI Mengajar Angkatan 2 yang akan membantu siswa yang mendapatkannya untuk bebas biaya sekolah sampai jenjang SMA. 

Gw duduk berhadapan dengan Kadiman di ruang guru. Pelan-pelan gw menjelaskan bahwa ia mendapatkan beasiswa. Gw jelaskan apa pertimbangannya. Apa alasannya. Beasiswanya berbentuk apa. Dan memintanya untuk membawa rapotnya besok sebagai salah satu persyaratan.

Mendadak Kadiman menangis.
Gw sesak.

Dibandingkan dengan anak-anak lainnya di kelas 5, khususnya anak laki-laki di kelas 5, Kadiman berbeda. Ketika anak-anak lain masih sering gelayutan kepada gw, ketika anak anak lain senang rambutnya gw acak-acak, dan ketika anak-anak lain membalas rangkulan gw. Kadiman tidak. Kadiman hanya tersenyum dan seolah ingin berkata bahwa ia anak laki-laki yang sudah besar. Dia tidak nyaman diperlakukan seperti itu. Bahkan ketika anak laki-laki lain menangis saat mengungkit masalah kepulangan, Kadiman masih bertahan dengan senyumnya. Tanpa raut wajah sedih sedikitpun. Iya, Kadiman berbeda. Membuat gw pada akhirnya pun memutuskan untuk memperlakukannya dengan cara berbeda.

Tapi hari itu, Kadiman menangis di hadapan gw. Ia memalingkan wajahnya dari gw. Sibuk memainkan kawat yang ada di tangan kanannya sambil mengusap-usap matanya dengan tangan kirinya berusaha menghentikan air matanya. Tanpa terlihat cengeng sedikitpun. Gw sesak. Tambah sesak lagi, tangisan itu tidak terlihat seperti tangisan terharu.
Gw : Kadiman kenapa? Ibu ada salah sama Kadiman?
Kadiman : (menggeleng)
Gw : Ibu salah ngomong ya?
Kadiman : (diam)
Kadiman masih dengan posisi yang sama. Memalingkan wajahnya dari gw. Sibuk memainkan kawat yang ada di tangan kanannya sambil mengusap-usap matanya dengan tangan kirinya berusaha menghentikan air matanya. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Pertanyaan demi pertanyaan pun gw lontarkan demi membuatnya berbicara. Bahkan pertanyaan iya atau tidak pun tidak dijawab dengan anggukan atau gelengan kepala.

Allah... kamu kenapa, Nak?

Setengah jam tidak ada percakapan yang berarti. Gw diam. Memerhatikan Kadiman. Pelan-pelan ikut menangis. Siapa juga yang tahan melihat seorang anak yang biasanya tersenyum manis kepada gw saat ini tiba-tiba menangis dan tidak mau berbicara kepada gw? Siapa juga yang tidak menangis ketika melihat anak yang pernah menulis di sebuah kertas, "Kadiman tidak boleh sedih. Soalnya nanti Ibu Tuti ikut sedih. Khan anaknya Bu Tuti harus selalu senang", saat ini benar benar menangis di hadapan gw? Beberapa kali gw menengadahkan kepala. Sambil berusaha menyederhanakan pertanyaan.
Gw : Kadiman, beasiswa ini dikasih untuk anak-anak yang semangat dan mau ngelanjutin sekolah sampai SMA. Ibunya Kadiman khan udah ngedukung Kadiman sampai SMA. Kadiman mau khan ya ngelanjutin sampai SMA?
Air mata Kadiman saat itu makin deras. Bersamaan dengan itu, sambil terbata-bata sebuah kalimat terlontar dari mulut Kadiman.
Kadiman : Ibu, saya... mau.. sampe... SMP aja...
Suara itu bergetar. Dan tentu saja menyentak gw yang setahu gw Kadiman memiliki motivasi belajar yang tinggi dan keluarga yang mendukung pendidikannya seterbatas apapun kondisi keluarganya.
Gw : Ibu boleh tau kenapa Kadiman mau sampai SMP aja?
Tangisnya makin deras. Gw mencoba merangkul Kadiman. Rangkulan gw ditepisnya. Ia masih memalingkan muka sambil sibuk menghapus air matanya yang menderas.

Allah... Kamu kenapa, Nak? Kamu kenapa?

Setengah jam selanjutnya gw habiskan untuk melontarkan pertanyaan lagi. Berharap ia mau menjelaskan alasannya. Pertanyaan-pertanyaan gw tidak digubrisnya. Hanya kalimat yang sama yang berulang ulang ia keluarkan.

Kadiman : Saya mau sampai SMP aja, Bu. Saya mau sampe SMP aja, Bu.
Kalimat itu masih terbata. Tangisannya menderas. Gw hampir menyerah. Gw ikut menangis.
Gw : Kadiman, Ibu boleh tau alasannya kenapa? Kalau Kadiman gak mau ngomong sama Ibu, Ibu sedih Kadiman...
Gw mulai menangis. Kadiman masih memalingkan muka. Gw menatap lekat-lekat tangisannya.

Allah, keadaan ini sungguh tidak menyenangkan. 

Tiba-tiba Pak Caca, Kepala SDN Kertaraharja 1 datang.
Pak Caca : Kenapa, Bu?
Gw : Ini Pak. Kadiman saya beritahu kalau ia dapet beasiswa. Tapi mendadak nangis. Mungkin kaget kali ya, Pak?
Pak Caca : Iya, Bu. Mungkin kaget. Saya setuju kalau Kadiman yang dapat beasiswa. Anaknya pinter. Santun. Penurut. Mungkin dia terharu, Bu. Inget sama Bapaknya.
Iya. Mungkin ia ingat Bapaknya. Kadiman anak sulung. Ia punya adik yang bernama Akbar, umurnya tiga tahun. Selain bersama adiknya, ia tinggal bersama ibu dan neneknya yang sudah sepuh. Ibunya terkena epilepsi. Sering sekali kambuh. Dan sering menjadi bahan gunjingan tetangga yang tidak mengerti apa itu epilepsi. Bapaknya meninggal sejak ia kecil. Pernah memiliki Bapak tiri tapi kemudian Bapak dan ibunya bercerai. Iya, mungkin ia ingat Bapaknya. Tapi terharu? Tidak. Itu bukan tangisan terharu.

Sambil menangis gw pun terus bertanya kepada Kadiman. Mencoba meyakinkan bahwa gw tidak akan memaksanya kalau ia hanya ingin meneruskan sampai SMP. Tapi gw ingin tahu mengapa. Apa alasannya.

Setengah jam beralu lagi. Akhirnya sebuah kalimat keluar lagi dari mulut Kadiman.
Kadiman : Saya... gak... mau... jauh.. jauh.. dari.. sini.. Bu...
Air matanya menderas. Di sini, SDN Kertaraharja 1 bersebelahan dengan SMPN 4 Sobang. Sedangkan SMA, jauh berada di kecamatan. Dua jam perjalanan dari sini. Tapi bukan berarti dua jam yang mudah. Barrier tipografi, kenampakan alam, kondisi jalan yang sulit dilalui kendaraan dan tidak bisa dilalui mobil menjadikan desa ini menjadi desa paling terpencil dari kecamatan. Membuat kecamatan menjadi tempat yang begitu jauh untuk dikunjungi anak-anak di sini. Menjadi tempat yang sulit dijejak.


Kondisi jalan di Desa Cipeuti

Dan kalimat Kadiman selanjutnya, menjadi alasan mengapa ia memalingkan muka. Mengapa ia tidak mau berbicara. Dan mengapa ia mau sampai SMP aja.
Kadiman : Saya.. gak mau.. jauh-jauh dari sini, Bu... Saya mau jaga Ibu sama Akbar....
Allahuakbar...

Dan kalimat itu, keluar dari seorang anak laki-laki kelas 5 SD. Anak yang biasanya tersenyum dengan masnisnya. Yang saat ini menangis di depan gw karena.... lebih memilih menjaga keluarganya dibandingkan melanjutkan sekolah di tempat yang jauh.

Allah... maafkan hamba... untuk pertama kalinya, detik itu, hamba merutuki keterbatasan di desa ini.

Air muka Kadiman membaik. Sudah tidak ada air mata yang mengalir. Menyisakan matanya yang masih berkaca-kaca. Seolah melepaskan beban yang sejak tadi dipendamnya. Berbeda dengan gw yang semakin sesak. Ketulusan ini terlalu manis untuk didengar dari seorang anak kelas 5 SD. Kedewasaan ini terlalu indah  untuk dimiliki seorang anak kelas 5 SD. 

Akhirnya semua ini telah jelas. Sebelum Kadiman melihat ibu gurunya benar-benar meledak karena menangis di hadapannya, gw menutup pembicaraan itu dengan pertanyaan terakhir.
Gw : Kadiman...kalau di sini ada SMA.. Kadiman mau ngelanjutin ke SMA?
Kadiman : (mengangguk perlahan)
Gw : Sekarang Kadiman boleh pulang. Besok rapotnya tetap di bawa yaa.
Kadiman pergi meninggalkan ruang guru tanpa tahu ibu gurunya menangis sejadi-jadinya setelahnya. Urusan ini telah jelas.

Astagfirullahalazim... Astagfirullahalazim...

Gw menangis sesenggukan di pelukan Kak Qori. Merutuki keterbatasan ini. Merutuki semangat yang terbatas oleh jarak dan fasilitas. Merutuki diri sendiri yang bebas bermimpi tapi kadang tak menghargai apa-apa yang telah dimiliki.

Diakhiri sebuah tangisan kesyukuran. Memiliki dan mengenal anak sedewasa ini.

Bersama Kadiman

***

H-1 Kepulangan.
Mengapa waktu cepat berganti
Hingga Ibu Tuti pulang lagi

Padahal kami sangat menyayangi, Ibu Tuti
Tulisan itu tertulis di papan tulis saat gw memasuki kelas untuk persiapan drama. Tulisan tersebut diakhiri oleh tanda hati. Diikuti dengan beberapa tanda tangan tanpa nama pemiliknya.
Gw : (tersenyum) siapa yang menulis tulisan di papan tulis? 
Angga : Kadiman, Bu! 
Gw : (tersenyum)
Yang namanya disebut hanya tersenyum manis sambil mengangkat bahu. Seolah tidak pernah melakukan apa-apa.

Terima kasih sudah menyayangi Ibu, Kadiman. Kejadian kemarin membuat ibu semakin yakin bahwa kamu yang paling berhak mendapatkan beasiswa itu.

Minggu, 03 Februari 2013

Sifat Bintang

Dikirimnya 8 Januari lalu. Tapi baru bisa buka email sekarang.


Terima kasih Nila untuk SIAK nya. Terima kasih juga untuk... bintangnya :)

Di Ness. Di tengah sawah di kaki bukit.

Ness
Sariman : Bu, kenapa setiap yang bisa jawab Ibu kasih bintang?
Gw : Karena yang bisa menjawab pertanyaan Ibu, berarti dia punya pengetahuan lebih dibandingkan teman-teman yang lain. Dia punya pengetahuan lebih karena belajar. Dan Ibu menghragai anak-anak yang mau belajar.
Sariman : Kenapa bentuknya bintang, Bu? Ibu suka bintang ya?
Gw : Iya, Ibu suka bintang. Ada yang inget sifat bintang apa?
Anak-anak : Memancarkan cahayanya sendiri, Bu!
Gw : Pinter! Nah, sekarang liat di leher kalian. Kalian punya bintang masing-masing ya?
Anak-anak : Iya, Bu.
Gw : Sama kayak bintang di leher kalian sekarang. Buat ibu, kalian itu punya cahayanya masing-masing. Kayak Hasan yang terampil origami. Sariman yang punya semangat membaca tinggi. Kadiman yang jago matematika. Masing-masing dari kalian punya keahlian masing-masing. Punya cahayanya masing-masing yang kalau kalian latih terus akan indah banget. Sama kayak cahayanya bintang.
Sariman : Jadi kita gak harus jadi orang lain ya, Bu, karena kita punya keahlian masing-masing?
Gw : (tersenyum) Iya. Kalian gak perlu jadi orang lain. Karena apa?
Anak-anak : Kami sudah punya sinar sendiri-sendiri!
Kalau ada yang gw rindukan saat ini, salah satunya adalah melihat bintang di langit Desa Cipeuti, dan bintang-bintang di kelas 5 SDN Kertaraharja 1.

Romantisme Ketulusan

Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu.

Kelas 5 SDN kertaraharja 1
 Desa Cipeuti, Kecamatan Sobang, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Rasanya semua begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya.


Pengajar Titik 1 Gerakan UI Mengajar Angkatan 2

Semoga silaturahmi ini tak akan pernah putus walaupun hanya melalui doa. Semoga ketulusan itu terus mengakar di desa yang ditinggalkan. Dan semoga yang baru saja pergi meninggalkan, tidak hanya akan terjebak romantisme ketulusan, tapi mengiringinya dengan sebuah kesyukuran, dan setelah ini tahu apa yang bisa dilakukan.
Jangan bersedih karena ini telah berakhir, tapi berbahagialah karena kita telah berhasil melakukannya (Kak Ara, 2013)