Sabtu, 27 Desember 2014

Fokus

Foto ini salah satu foto favorit gw. Menjadi favorit lebih karena... setiap gw memandangi foto ini, gw punya energi lebih untuk fokus dengan tujuan gw.


Lapangan Tembak Senayan, 13 Desember 2014

Ya. Macam-macam distraksi belakangan ini terasa begitu menyebalkan.

Harusnya Kamu Paham

Dalam hidup ini, ada yang tidak pernah bagus kalau harus dipaksakan.

Kayak baju di Thamrin City. Kalau dinilai atasan dan bawahan masing-masing, dinilai kebaya dan rok nya masing-masing, bisa terlihat manis dan mewah ketika dilihat terpisah. Tapi kalau disatukan, belum tentu bagus. Belum tentu cocok. Itu mengapa gw memakan waktu 6 jam sendiri hanya untuk memasangkan atasan dan bawahan yang gw beli terpisah.

Dalam hidup ini, ada yang tidak pernah bagus kalau harus dipaksakan. 

Harusnya kamu paham urusan ini, Tut. Harusnya.

Bagaimanapun Caranya

Pagi ini Depok hujan. Kalau seperti ini, rasa rasanya seperti di Bogor. Dingin-dingin menyenangkan. Bangun-bangun melihat langit-langit. Mengerjap ngerjapkan mata. Kalau di Bogor, pasti akan langsung menggelung kembali. Menarik selimut. Tapi di Depok, kasurnya tidak terlalu empuk. Pun tidak ada selimut yang bisa ditarik. Jadi, mari kita bangun.

Lalu ada yang tiba-tiba numpang lewat.

Mata gw berputar. Mengingat-ingat apa yang sedang gw lakukan beberapa waktu belakangan. Bahwa ternyata, ada satu hal lain yang sedang gw perjuangkan. 

Bagi gw yang terpapar banyak cerita, termasuk tentang rasa sedih dan kecewa, secara gak sadar daftar apa apa yang gw usahakan bertambah satu.

Bahwa orang orang yang gw sayangi, gak boleh sedih dan kecewa lagi.

Bagaimana pun caranya.

Senin, 22 Desember 2014

Kamu Bukan Katalis

Setiap orang punya definisi bahagianya masing-masing. Juga punya cara masing-masing untuk mengejarnya.

Dengan kamu yang punya informasi lebih banyak dibandingkan siapapun, bukan berarti kamu punya hak untuk menginterupsi definisi dan cara orang lain mengejar kebahagiannya, Tut. 

Kamu gak pernah punya fungsi untuk menjadi katalis, Tut. Gak pernah. Kamu gak pernah punya hak untuk mempercepat sesuatu umtuk terjadi.

Termasuk untuk membuat orang lain menilai lebih cepat.

Sabtu, 20 Desember 2014

Trust

Isu trust belakangan menjadi salah satu isu yang menguras energi gw. Sekarang, gw cukup pilih pilih untuk menceritakan apa kepada siapa. Urusan ini juga yang pernah menjadi salah satu alasan mengapa gw menutup blog ini dan sempat menarik diri cukup lama dari beberapa media sosial. Karena satu dan lain kejadian yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, gw gak bisa percaya ke semua orang saat ini.

Tapi pelan-pelan. Gw mulai berdamai dengan urusan ini. Pelan pelan, gw mulai belajar untuk percaya lagi. Untuk cerita banyak hal lagi. Lewat orang orang ini :)


Ya. Trust gak pernah bisa dibuat, tetapi dilahirkan.

Maaf, Posesif

"Dia boleh baik ke semua laki laki. Dia boleh ramah ke semua laki laki. Dia juga boleh memberikan harapan ke banyak laki laki. Tapi salah satu laki laki itu, bukan sahabat gw."
Di ujung kalimat ini, gw membanting hp ke atas kasur. Menangis sejadi jadinya.

***

"Kalau lw ada di depan muka gw sekarang, gw tampar juga lw. Biar sakit lw pindah ke pipi aja. Hati lw gak usah sakit lagi"
Gw menarik nafas. Menahan untuk tidak ada yang tumpah.


***

Kalimatnya beda. Tapi polanya sama. Sama sama kalimat putus asa menghadapi sahabat sahabat yang keras kepala. 

Maaf, posesif. Gw cuma gak mau kalian kecewa lagi. 

Yang Paling Kita Sayangi

Kalau kata Mip,
"Emang iya ya, Teh. Sebaik baiknya memberi itu, memberikan apa yang paling kita sayangi kepada orang lain."
Ya. Memberikan yang paling kita sayangi, kepada orang lain.

Senin, 15 Desember 2014

Ciyee...

Belakangan, karena satu dan lain hal, ada beberapa orang yang men-ciyee-ciyee-kan gw dengan orang lain. Lalu dengan lugas gw katakan :
Boleh gak mulai sekarang gak ciye-ciye-in gw dengan siapapun? Sesungguhnya ciye itu dekat dengan berharap. Berharap itu dengan dengan kecewa. Dan kecewa itu sungguh dekat dengan kesedihan.
Ayolah. Gw gak punya banyak waktu untuk sedih sedihan saat ini. Lebih penting lagi, gw gak mau jatuh berkali kali. Di tempat yang sama. Dengan alasan yang sama.

Jadi, semoga mengerti ya :)

Make My Day

Hari ini seharian di depan laptop. Ke kampus ngumpulin tugas UAS, lalu kemudian kembali ke kamar lagi. Ke depan laptop. Keluar beli sarapan dan makan siang. Laku kemudian kembali ke kamar. ke depan latop. Sampai malam ini. 

Terus sambil ngetik ngetik ksenyum senyum sendiri. Menemukan counter attack buat pemikiran sendiri di postingan sebelumnya.

Ya. gw gak butuh teman yang mengakui gw di depan orang orang. Gw gak butuh teman yang mempublish gw di berbagai sosial medianya. Belakangan, sosial media kadang membuat semua terasa palsu dan hambar, Tuntutan mempublish sesuatu yang istimewa atau menunjukan kedekatan dengan orang yang dianggap istimewa, sesungguhnya tak sehangat aslinya. Tawar nyatanya. 

Tapi yang gw butuhkan, teman teman yang ada ketika gw butuh. Dan tau cara memperlakukan gw sesuai kebutuhan. Sesuai kadarnya.

Dan gw punya mereka. yang belakangan make my day cuma lewat obroolan di line.

Yang bisa bikin gw nangis karena dua hal : saking nyebelinnya dan saking perhatiannya. 

Rabu, 03 Desember 2014

Penghiburan Diri Terbaik

"Aku kok ngerasa dia gak respect the way you are ya, Tut. Kelihatannya tuh yang usaha lebih dalam pertemanan kalian itu cuma kamu, dia enggak"
Ada dua masalah dalam kalimat ini.

Pertama, kontennya. Kenapa kontennya harus... sebuah kalimat yang mungkin benar adanya, tapi gak pernah mau gw akui. Kedua, orang yang menyampaikan. Kenapa harus orang yang cukup signifikan buat gw.

Tiba-tiba gw diem. Gak bisa jawab apa apa. Sampai akhirnya gw jawab,
"Tuti cuma mau terus berbuat baik aja. Kita harus terus berbuat baik sama orang lain kan? Mungkin Tuti udah gak peduli urusan timbal balik, mungkin..."
Kalau diinget inget, getir juga gw jawabnya. Patah-patah jawabnya. Suara pelan. Sambil menunduk.

Atas jatuh bangun yang cukup bikin keras hati belakangan ini, ternyata masih ada sisi naif dalam diri gw.  Cuma pengen berbuat baik. Cuma pengen jadi orang baik. 

Entah ini naif. Atau ini penghiburan diri terbaik yang bisa gw lakukan. 

Minggu, 16 November 2014

Hujannya Berhenti

Saat gw menuliskan postingan ini, gw sedang berada di kamar kostan. Depok sedang turun hujan. Seperti biasa, hujan di depok selalu tidak santai jika dibandingkan dengan hujan di Bogor. Tiba tiba datang dengan volume yang besar dan petir yang menyambar nyambar. Dalam kurun waktu satu jam, bisa- bisa berhenti. Berbeda dengan di Bogor. Hujan di Bogor datang pelan pelan, tapi tak kunjung pergi dan bisa seharian. Walaupun, saat ini pola hujan di Bogor pun sedikit banyak sudah berubah.

Seperti gw. Selama gw tidak menulis di sini, gw banyak berubah. 

Di penghujung semester semester akhir menjadi mahasiswa, gw memutuskan untuk pindah kamar kostan. Ya, hanya kamarnya saja. Kostannya tetap yang lama. Gw pindah ke lantai 2. Banyak pemandangan baru yang lebih menyenangkan dari kamar gw saat ini. Saat gw membuka pintu, saat gw menghadap ke depan, menoleh ke kanan, ataupun ke kiri, gw bisa langsung melihat langit. Begitu hangat ketika pagi hari karena sinar matahari. Begitu menyenangkan saat malam hari karena bintang di mana mana. 

Saat gw menuliskan paragraf ini, pelan pelan hujannya mulai berhenti. Persis di depan kamar gw terdapat pohon rambutan dan pohon jambu yang cukup besar. Tetesan sisa hujan dari dua pohon itu tampias ke teras kamar gw. Ya, sepertinya mulai hari ini gw tidak boleh meninggalkan sepatu di depan kamar. 

Minggu ini semoga masih akan baik baik saja. Besok gw dimintai tolong oleh Panitia Pemira (Pemilihan Raya) UI untuk menjadi salah satu panelis eksplorasi CakaBEM UI 2015 di Psikologi. Besok juga gw harus menyerahkan konsep pelatihan untuk IME (Ikatan Mahasiswa Elektro) UI yang akan diselenggarakan akhir bulan ini. Belum tugas kuliah yang tiap mata kuliah isinya laporan dan presentasi semua. Berkas Indonesia Mengajar yang meraung raung minta dicicil. Juga itinerary keberangkatan backpacker-an minggu ini yang belum selesai.

Hujannya berhenti. Saatnya melanjutkan semua tugas ini. Ya, minggu ini masih akan baik baik saja :)

Hujannya berhenti di luar. Dan harusnya juga berhenti di dalam.

Rabu, 20 Agustus 2014

My Heart and Mind

Udah lama gak nulis di sini. Bukan berarti gw berhenti menulis. Tulisan gw pecah di tiga tempat. Facebook, Line, dan Path. Yang ditulis di tiga tempat ini, biasanya bukan satu hal yang sama terus di-link di semua media sosial. Tulisannya beda beda. Kalau tulisannya berupa alur cerita yang cukup panjang dan ada fotonya, gw menuliskannya di Facebook. Kalau tulisannya agak pendek dan lebih didukung dengan ekspresi emosi stiker stiker, gw lebih menulis di Line. Kalau di Path? Kalau tulisannya cukup pendek dan kecepatan internet hp gw sedang dalam keadaan baik. Buat hp gw, upload sesuatu di Path butuh effort yang paling besar dibandingkan yang lain.

Kenapa tiga medsos itu yang lebh gw pilih untuk menulis dibandingkan blog ini belakangan? Asosiasi gw dengan blog adalah tulisan tulisan yang panjang. Lebih panjang dibandingkan Facebook. Sedangkan belakangan, sebisa mungkin sesedikit apapun tercetus keinginan untuk menulis, sesegra mungkin harus gw luapkan. Tiga media sosial itu memfasilitasi itu. Setelah urusan menutup blog beberapa bulan yang lalu, sekecil apapun niat untuk menulis, sebisa mungkin harus gw fasilitasi. 

Ya. Gw masih berdamai dengan diri gw sendiri agar tetap menulis.

Well, belakangan gw mengalami banyak hal. Beberapa di antaranya, really blow my heart and mind. Untuk banyak hal hal yang gak bisa gw deskripsikan apa rasanya, gw cuma bisa percaya. Allah selalu sayang kepada gw, dengan cara yang tidak pernah diduga duga :)

Jumat, 01 Agustus 2014

Jauh Lebih Berarti

Yaudah atuh. Kalau minggu bisa, kabarin aja ya. Kalau bisa ketemu kita ketemu dulu. Kalau enggak kita bahas via whatsapp. Soalnya kalau lw jadinya gak bisa berangkat ke Rinjani karena gawe, gw Ujhee gak mau ninggalin lw. Nanti aja kita reschedule lagi biar bareng-bareng.
Uuuuuuuuuuuh kalian so sweet banget sih. Gw mau atuh liburan bareng kalian. Kayak tahun baruan.
Gampang Dy, kita kan murah kalau liburan mah, haha. Yang penting first impression lw di tempat kerja oke dulu. Nanti kita reschedule lagi ke tempat tempat kece :D
Tempat kece tuh kemana ya? Hahahaha
Tempat-tempat yang bisa lw bikin videonya laaah. Yang bagus. Karjaw? Malang? Gili? Belitong? Tugas lw sekarang adalah... Nyatetin tanggal-tanggal yang bisa dipake cuti Dy, hahaha
Siaaaaaaaaap brooow
Gak ada yang benar-benar tahu sebenarnya seberapa berarti pendakian ke Rinjani ini buat gw. Tapi, berangkat bareng orang-orang ini, selalu menjadi jauh lebih berarti.  

Entahlah

Apa lu ngerasa berkorban selama ini?
Entahlah. Gw gak pernah ngerasa itung-itungan sama orang ini. Seneng aja melakukan banyak hal dengan dan untuk orang ini. Gak pake acara ngitung korban-korbanan.

Sabtu, 26 Juli 2014

Indah di Hati

Tut, rotinya kalau sisa, dibawa aja. Nanti kalau di jalan ketemu anak jalanan, dikasih aja.
Hah? Hmm. Oke. (membungkus roti dengan plastik)
...
Itu ada anak jalanan. Boleh dikasih?
Rotinya ada banyak kan? Kasih satu aja, Tut.
Oke.
(Dalam hati : Sebentar, kan rotinya ada banyak, kenapa coba cuma dikasih satu aja? Kasih semua aja kali ya)
 ... 
Udah, Tut?
Udah. Gw kasih semua ya.
Loh kok dikasih semua? Kan gue bilang satu aja.
Kan ada banyak. Kenapa gak dikasih semua aja? Kan gak dimakan juga sama kita.
Tut, nanti kan di jalan kalau ketemu anak jalanan lainnya bisa dikasih lagi. Ngasihnya secukupnya aja. Sesuai kebutuhan. Kalau satu anak dikasih satu, manfaatnya lebih banyak anak yang gak lapar dibandingkan satu anak dikasih semua.
Untung saja orang ini duduk membelakangi gw. Setidaknya, orang ini tidak perlu melihat muka gw yang sedang melongo mendengarkan penjelasannya.

....
Gue biasanya kalau lagi beli roti,  makanan atau minuman apapun, sekalian dua tut. Siapa tau di jalan ada anak jalanan yang bisa dikasih. Daripada ngasih uang yang belum jelas dipake buat apa, lebih baik ngasih makanan yang jelas akan dipake makan.
Sederhana sekali. Gw nyaris lupa bahwa berbagi bisa sesederhana ini. Untuk gw yang sering bergelut di dunia pengabdian masyarakat, jangan-jangan pemahaman gw mulai terkotak-kotak bahwa urusan berbagi, hanya eventual dan kontekstual.

***
Gak setiap hari Tut, ketika ada berlebih aja. Soalnya enak banget pas sensasi ngasih bukan duit ke orang yang ngebutuhin itu. Kalau makanan kan pasti langsung 'dipake' untuk makan...
Pernah gue makan pizza di Pejaten Village sendiri emang lagi hedon (gak boleh ditiru), trus ga abis banyak. Terus dibungkus aja dengan wondering ketika di jalan ketemu anak jalanan, atau pengamen, atau pemulung, terus bisa berbagi. Eh ternyata ada tiga anak kecil dan satu bapaknya lagi ngamen.  Sontak gue langsung nawarin sekorak pizza itu ke anaknya. Anaknya bilang, "Wah itu apa kak?", "Ini pizza", "Wah makasih banyak ya, Kak" trus ucapan makasih di-repeat sama adek adeknya dan bapaknya.Ucapan makasih itu indikasi bahwa mereka lagi butuh, dan gue seneng banget, terharu mata merah biasanya udah ngasih itu.  
Itulah sensasi yang gue pengen rasain sendiri tut, indah di hati. 
Untung saja percakapan in terjadi melalui Line. Setidaknya, orang ini tidak perlu mengetahui bahwa gw sedang tersenyum.

Selasa, 15 Juli 2014

Selasa, 08 Juli 2014

Selamat Bertugas!


Di salah satu sesi pelatihan hari ini, gw meminta setiap mentor untuk menulis surat. Surat untuk diri mereka sendiri di masa depan. Dirinya di H-1 PSAF. Di Bulan Agustus mendatang. Surat yang mungkin bisa menyemangati diri sendiri, meredam ketegangan, dan mengingatkan hal hal yang mungkin tenggelam ditengah segala persiapan. Surat yang akan dibaca oleh mereka sendiri, di H-1 pertemuan.


Senyum-senyum bacanya. Termasuk saat baca surat yang satu ini :
Halo (nama dirinya)...
Semua ini bukan tentang diri sendiri.Lebih dari itu, ini tentang orang lain.Ini tentang ikhtiar berpikir dan bertindak melampaui.Yang didorong oleh kepedulian.
Kau sudah merasakan sendiri menjadi orang baru itu sulit.Dengan medan yang tidak bisa diterka lubang-lubangnya.Yang perlu kau lakukan adalah membantu mereka.Agar lebih cepat dan tepat menemukan diri mereka.Hingga akhirnya mereka akan melakukan kebaikan kebaikan.Yang bahkan melampaui dirimu sendiri.
What a heartwarming letter :')

Selamat bertugas, mentor Kamaba Psikologi UI 2014!

Mentor Kamaba Psikologi UI 2014

Senin, 07 Juli 2014

Di Wajah, Juga Dalam Hati

Tembok itu membentang di sepanjang bibir pantai. Tak begitu tinggi. Hanya sebatas pinggang. Membuat gw yang hanya memliki tinggi 160-an cm bisa dengan mudah naik ke atasnya. Gw duduk di salah satu sisinya. Menantang apa-apa yang membentang di hadapan. Menantang angin yang tak jera menerjang apa saja yang ada di hadapannya.

Gw menendang-nendang tembok bagian bawah dengan tumit. Bergantian. Kanan-kiri. Kanan-kiri. Maju-mundur. Maju-mundur. Bak anak kecil yang sedang menunggu teman bermainnya di taman. Tepat di bawah telapak kaki, batu-batu besar tersususun membentuk karang. Pelan dihantam air laut yang malu-malu mencium permukaannya.

Sempurna. Tanpa matahari, perbatasan antara perairan dan daratan ini jauh lebih indah. Langit seolah terbalik. Bintang gemintang tumpah ruah di permukaan air. Berkerlap kerlip. Merah. Jingga. Bukan. Bukan bintang. Ternyata lampu-lampu pelabuhan di kejauhan. Lampu-lampu kapal yang tengah merapat di dermaga.

Iya. Pantai di sebelah utara daerah khusus ibukota ini memang lebih sempurna di kala malam. Warna lautnya seolah senada dengan hitamnya langit. Karena kalau bukan malam, pemandangannya tentu saja kontras bukan buatan. Tidak seperti pantai selatan di daerah Banten sebelumnya.

Malam itu sempurna. Sejauh mata memandang hanya hitam dan kerlap kerlip bintang. Kerlap kerlip lampu pelabuhan. Satu dua pesawat melintas. Tiga empat. Tidak. Sepuluh sebelas. Melintas dari utara ke selatan. Dari barat ke timur. Dari Pulau Kalimatan ke Pulau Jawa. Dari Cengkareng ke Adisucipto. Seseorang bilang begitu ketika melihat arah pesawat.

Mata gw menantang apa-apa yang ada di hadapan. Tersenyum. Menyenangkan. Melihat luas apa yang ada di hadapan. Mendengar suara pasang surut air laut yang menenangkan. Kalau boleh, gw lebih memilih untuk tidak pulang.

Tak ada yang bisa dibahasakan dengan baik di sini. Menatap. Mendengar. Diam. Jauh lebih berharga dari pembahasaan perasaan dalam bentuk apapun saat ini. Keindahan lukisannya jauh lebih dari cukup menjelaskan semuanya. Kesyukuran itu merangsek dalam. Pengertian itu datang seperti hujan. Begitu saja. Mengalir deras.

Tapi rasa ingin tahu tiba-tiba menyeruak. Sebuah pertanyaan memecah keheningan. Baiklah, satu kali ini saja gw bertanya. Sekali ini saja. Janji, kekaguman itu hanya akan di simpan dalam-dalam.
Kenapa lw bisa tahu semuanya? Kenapa lw bisa menjawab banyak pertanyaan?
Pertanyaan itu melesat tenang. Tanpa intonasi kekaguman. Juga tanpa intonasi menantang. Datar saja. Hanya sebuah keingintahuan.
Karena gue suka melakukan hal-hal baru, pergi ke tempat-tempat baru, dan bertemu orang-orang baru.
Sebuah jawaban melesat. Tidak ada pergerakan yang berarti. Semua tatapan masih lurus ke depan. Kadang sedikit menengadah ke langit. Kalau kalau ada pesawat lagi yang lewat. Menambah hitungan pesawat yang melintas.
Kenapa? 
Biar nanti saat sudah jadi ayah dan jadi kakek, gue punya banyak cerita yang bisa diceritakan ke anak-anak dan cucu gue.
Gw refleks menoleh ke arah sumber suara. Ke arah pemberi jawaban. Yang ditoleh bergeming. Tetap menatap lurus ke depan. Dengan tatapan yakin tentang salah satu rencana masa depannya. Mendongengkan banyak kisah kepada anak dan cucunya.

Gw tersenyum. Di wajah dan di dalam hati.

Manis sekali. Untuk sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang laki-laki.

Minggu, 06 Juli 2014

If You Could

Banyak rencana hidup gw yang sampai saat ini masih menjadi wacana. Salah satunya, menulis buku. Gw cuma bisa nyengir-nyengir kuda saat ada beberapa orang yang bertanya dan menyatakan,
"Kapan Tut nulis buku?"
"Kalau bukunya udah ada di toko buku bilang-bilang ya, Tut?"
"Teteh nanti aku mau ngasih komentar di belakang bukunya ya!"
Ide sudah begitu banyak dikumpulkan. Tapi ide mana yang mau dielaborasi masih begitu membingungkan. Tapi sepertinya kalimat di atas hanya alasan belaka. Tidak pe-de menggulung habis niat gw. Mungkin kondisi itu lebih tepat. Siapapun, tolong tampar gw.

Baiklah, mungkin karir menulis gw bisa dimulai dengan menjadi endorser buku orang lain. Dimulai menjadi penulis komentar di belakang buku teman sendiri yang telah lebih dulu menerbitkan buku. Beberapa bulan lalu Cynthia, teman gw semasa SMA, mencari orang untuk menjadi endorser novelnya yang ketiga. Tugas endorser adalah memberikan feedback berupa masukan, kritik, maupun saran terhadap draft buku sebelum buku tersebut diterbitkan. Gw mengajukan diri untuk menjadi salah satu endorsernya. Voila! Ternyata komentar gw dipilih oleh editor Cynthia untuk dicantumkan di bagian belakang bukunya. Jadi kalau ada yang beli bukunya Cynthia yang ketiga ini... ehm... nama pemberi komentar yang paling terakhir dicantumkan di belakang buku... ehm... mungkin namanya sama dengan penulis blog ini.

Bahahaha. Ampuni ke-norak-an temanmu yang satu ini, Cyn :P

Buku yang berjudul If You Could ini merupakan buku ketiga Cynthia setelah Stasiun dan Bumi. Buku ini bercerita tentang acceptance. Penerimaan. Yang kalau kata Cynthia, kadang tidak bisa sesederhana itu dilakukan. 


"Dan untuk kamu yang sedang berusaha memahami konsep menerima dalam bentuk yang sederhana, semoga buku ini bukan menjadi tumpukan kertas belaka" (Cynthia Febrina, 2014)
Gw belum baca buku Cynthia yang pertama. Tapi kalau boleh hanya membandingkannya dengan buku kedua, tidak begitu jauh berbeda. Dalam buku ini Cynthia mengangkat cerita yang dekat dengan kehidupan sehari hari. Kalau sebelumnya tentang persahabatan, kali ini tentang cinta. Satu hal yang gw suka kalau Cynthia menuliskan tentang cinta, cintanya gak menye menye gitu. Gak mengharu biru. Cynthia mengajak kita untuk melihat bahwa cinta, mampu tampak elegan apabila dibungkus dengan pemahaman yang baik. Cynthia juga, seperti di buku kedua, masih berani untuk mengangkat isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) yang masih dianggap isu kontroversial di Indonesia. Jujur saja, gw sendiri masih belum berani menulis dengan mengangkat isu ini. Oia, satu lagi hal yang gw suka dari tulisannya Cynthia, by riset!

Untuk siapapun yang pernah atau sedang merasa tidak bisa menerima banyak hal yang terjadi, tidak bisa menerima kondisi orang lain, atau mungkin tidak bisa menerima kondisi dirimu sendiri, buku ini bisa jadi pilihan. Tidak ada nasihat nasihat bijak di sini, tidak ada saran saran psikologis di sini, tapi setidaknya, buku ini akan memberimu kebesaran hati. Bahwa kamu berhak sedih, kamu berhak kecewa, dan kamu berhak merasa lelah ketika harus memahami banyak hal, memahami  orang lain, bahkan memahami orang yang kamu sayangi sekalipun. Karena sejatinya, menerima tidak pernah mudah. 

Di Sini Kami Menemukan

Hari sudah mulai gelap. Kurang lebih 2 setengah jam kami berjalan. Sawah, hutan, tanjakan, turunan adalah medan yang kami lewati.  Di tengah hujan yang pelan pelan menderas, dibalut setelan jas hujan berwarna ungu, gw membungkukan badan. Gw menggendong carrier di pundak, sambil menggendong sebuah ransel di bagian depan, juga menyelempangkan sebuah tas kecil. Gw sempurna dalam posisi rukuk. Mengambil nafas. Dibandingkan duduk, posisi ini dapat membantu kita untuk beristirahat sejenak saat kelelahan berjalan. Melancarkan peredaran darah tanpa harus kehilangan panas tubuh yang akan membuat lebih lelah. Gandewa mengajarkan ini kepada gw. 

Setelah dianggap cukup, gw menarik tali carrier. Mengencangkannya agar carrier dan pundak gw tak berjarak. Gw kembali berjalan sambil sesekali melihat ke belakang. Uty, Kak Seto, Mushab, dan  Kak Nuel bergantian menjijing koper milik Uty yang ukurannya cukup besar. Tentu saja, di medan seperti ini koper tidak bisa ditarik. Bisa bisa tenggelam di dalam lumpur. Koper itu harus dijinjing. Besok besok akan gw bilang kepada Uty, " Ty, udah dibilang jangan bawa butik ke sini. Repot kan"

Gw berniat untuk menawarkan bantuan. Tapi niat itu gw tepis saat gw ingat kondisi gw sekarang. Ini carrier terberat yang pernah gw bawa. Redo (nama carrier gw) berukuran 65 liter. Itu belum termasuk ruang ekstensinya. Biasanya, ruang ekstensi itu tidak pernah dipakai. Bahkan saat gw mendaki ke Semeru sekalipun yang merupakan perjalanan terpanjang gw. Kali ini, muatan barang yang gw bawa begitu banyak. Ruang ekstensi itu terpakai seluruhnya. Belum ditambah dengan ransel dan dalam kondisi kehujanan. Untuk pertama kalinya muka gw sampai merah saat membawa carrier. Gw kepayahan. Baiklah, jangan sok tahu mau bantu orang lain, Tut. Bantu diri lw sendiri. 

Tepat di samping tempat gw membungkukan badan tadi, gw tidak menyadari adanya sebuah tiang listrik yang ambruk. 

*** 

Hari kedua di Desa Cipeuti. Hari pertama mengajar. Hari pertama tanpa kemewahan. Tanpa penerangan.

Jumat, 11 Januari 2013
                     
Saat gw berniat menuliskan tulisan ini, di depan gw, dua adik angkat gw sedang  menggambar cita-citanya. Murti yang tertua. Gambarnya sebuah toko baju dan sepatu yang berada di pinggir jalan raya. Yap. Murti bilang ia ingin menjadi pengusaha toko. Sedangkan Sada, si adik laki-laki menggambar lapangan sepakbola lengkap dengan gawangnya. Ia ingin menjadi pemain sepakbola (Yang kemudian berubah menjadi dokter). Cita-cita yang biasa kita dengar bukan? Yang tidak biasa, mereka bersemangat menggambar hanya dengan satu lilin untuk penerangan. Tiang listrik desa yang ambruk karena hujan besar, menyebabkan sudah empat hari empat malam tidak ada listrik di desa ini.

Mereka bersekolah di SDN Kertaraharja 1. Tempat gw mengajar dalam Gerakan UI Mengajar. Hari ini hari pertama gw mengajar. Sebelumnya, gw mendengar bahwa ada warga yang hampir menangis saat melihat kedatangan kami dalam kondisi hujan lebat, berjalan kaki dari desa sebelumnya, dengan membawa bawaan yang luar biasa berat, dan harus melewati kondisi jalan yang… di kemudian hari membuat gw serasa terbang saat berada di atas aspal.


Kondisi jalan Desa Cipeuti dan Pancal saat musim hujan

Sayangnya, warga tidak tahu bahwa bukan hanya mereka yang hampir menangis. Gw, pengajar kelas 5 SDN Kertaraharja 1 juga hampir menangis melihat sambutan dan antusiasme anak-anak di sini. Mereka saling berebut mencium tangan kami sambil mengucapkan salam kepada kami yang mereka ketahui akan menjadi guru barunya.

Belum banyak yang bisa gw tumpahkan di tulisan ini. Tapi yang perlu kawan ketahui, kata siapa anak Indonesia  pemalas? Di sini, kami menemukan banyak anak yang tetap menerjang hujan dan lumpur, tiba di sekolah satu jam sebelum mereka masuk, walaupun mereka tahu terkadang harus pulang kembali karena guru mereka tidak akan datang karena hambatan geografis.

SDN Kertaraharja 1

Membunuh Ekspektasi

Kamis, 10 Januari 2013
Kantor Kecamatan Sobang
Aku bisa aku pasti bisa ku tak pernah berputus asa. Bila ku gagal itu tak mengapa, setidaknya ku telah mencoba!
Entah sudah berapa lagu yang gw dan Icha nyanyikan di depan kantor Kecamatan Sobang. Buku kumpulan lagu wajib dan lagu anak-anak kami bolak balik. Kami senandungkan. Kebanyakan lagu-lagu anak-anak yang kami nyanyikan adalah lagu yang diketahui oleh anak anak kelahiran 1990-an. Kami duduk di atas kursi plastik di depan lumpur sisa sisa banjir. Sesekali kami masuk ke dalam karena gerimis. Lalu kembali keluar saat gerimis reda. Beberapa teman teman pengajar lainnya pun sesekali ikut bergabung. Dengan ceria kami bernyanyi, sengaja melupakan bahwa tempat yang kami duduki saat ini, kemarin malam dipenuhi air setinggi pinggang. Tidak boleh ada urusan sedih sedan karena banjir, di perjalanan yang bahkan belum dimulai.

Lagu lagu yang kami nyanyikan pun akhirnya harus terhenti. Truk yang akan membawa kami ke titik penempatan masing-masing datang. Truk yang seharusnya membawa kami kemarin sore.

***

Setibanya di Kantor Kecamatan, harusnya kami langsung berangkat ke titik kami masing-masing. Kami akan ditempatkan di lima titik yang berbeda. Kami biasanya menyebutnya titk 1 sampai titik 5. Kami akan dijemput dengan menggunakan truk. Iya, truk besar terbuka yang biasa digunakan untuk membawa sapi. Hanya truk semacam itu yang dapat melewati medan menuju titik-titik penempatan kami dan membawa orang dan barang dalam jumlah besar sekaligus. Truk tersebut di beberapa titik akan mengantarkan langsung ke tempat tujuan. Tapi di beberapa titik lainnya, termasuk titik gw yang merupakan desa terjauh dari kantor kecamatan, truk ini hanya akan mengantarkan kami sampai titik tertentu. Setelahnya, kami harus lanjutkan dengan berjalan kaki karena kontur jalan sudah tidak memungkinkan truk untuk masuk lebih dalam lagi ke arah desa.

Setibanya di kantor kecamatan, kami mendapatkan kabar dari korlap (koordinator lapangan) titik kami masing-masing bahwa banjir menutup beberapa akses jalan, termasuk ke desa gw. Hanya titk 5 yang berhasil tiba di tempat tujuan tanpa terhadang banjir. Empat titik lainnya diputuskan baru bisa berangkat esok hari dan harus menginap di Kantor Kecamatan. 

Di tengah hujan yang masih mengguyur, kami pun merapikan salah satu ruangan yang akan digunakan untuk tempat kami menginap. Gw tersenyum saat membongkar barang barang yang gw bawa. Banyak barang yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dibawa, seperti sleeping bag, matras, jas hujan, dan headlamp, tapi tetap gw paksa untuk dijejalkan di Redo (Redo : carrier merah kesayangan gw). Barang-barang ini  termasuk ke dalam barang-barang yang harus dibawa sesuai SOP pendakian. Gandewa yang mengajarkannya. Barang-barang ini pun begitu bermanfaat di saat saat seperti ini. Prinsip help yourself first selalu berlaku di banyak waktu dan tempat, termasuk saat ini.

Menjelang malam, hujan mulai mereda. Tapi tanpa bilang bilang, air pelan-pelan naik. Kantor kecamatan ini bak rumah panggung. Hanya saja terbuat dari beton. Di depannya merupakan undakan tangga yang membuatnya tidak sejajajar dengan tanah. Air tidak benar benar masuk ke kantor kecamatan. Tapi saat kita menuruni tangga, air sudah setinggi pinggang orang dewasa. 

Di depan Kantor Kecamatan Sobang

Rumah warga dan sekolah sudah digenangi air. Warga beramai ramai mengungsi ke rumah warga yang berada di dataran yang lebih tinggi. Warga pun meneriaki kami untuk segera mengungsi karena air bisa kapan saja memasuki kantor kecamatan. Konon, daerah kantor kecamatan ini  berada di titik temu antara gunung dan pantai. Air hujan yang mengalir dari gunung turun dan air laut yang pasang naik. Jadilah seluruh aliran air menggenang di titik ini.

Setelah menimbang-nimbang berbagai kemungkinan, panitia akhirnya membuat keputusan. Malamnya  panitia dan pengajar harus mengungsi ke rumah warga yang berada di dataran yang lebih tinggi. Perempuan diharapkan membawa baju ganti dan makanan secukupnya karena kemungkinan akan bermalam di sana. Barang barang lainnya ditinggal di Kantor Kecamatan. Adapun panitia dan pengajar laki-laki, diputuskan untuk bermalam di Kantor Kecamatan. Menjaga barang-barang yang tidak mungkin dibawa mengungsi dalam keadaan seperti ini. 

Bersama Nova dan pengajar lainnya, pelan pelan gw berjalan menembus banjir. Tas kami letakkan di atas kepala demi tidak membiarkannya basah karena banjir. Hanya cahaya headlamp yang membantu kami untk tetap berjalan ke depan. Kanan kiri depan belakang kami dipenuhi oleh air. Satu doanya. Dalam kondisi banjir di malam hari seperti ini, berharap tidak ada binatang yang tiba-tiba menyergap di antara genangan air.

Tiba di dataran yang lebih tinggi, sepatu boots yang gw kenakan tergenang air. Kaki gw mendadak sakit. Nova menyuruh gw untuk segera melepaskan sepatu boots. Sepatu boots gw setinggi lutut. Ukurannya pas dengan kaki gw sehingga agak sulit untuk melepaskannya. Bukannya melepaskannya dengan pelan-pelan, gw langsung melepasnya dalam satu kali tarikan.
Astagfirullahalazim...
Gw ambruk ke tanah. Kaki gw tegang. Urat gw serasa ditarik dari arah yang berlawanan. Rasanya mau putus. Gw memejamkan mata berusaha tidak menangis. Gw berjanji untuk tidak pernah menangis apapun yang terjadi di sini. Beberapa warga menghampiri gw. Patah patah gw menjelaskan apa yang gw rasakan sambil tertawa. Kadang batas ekspreksi kesakitan dan kebahagiaan itu tipis. Rasa mau menangis bisa dibelokkan menjadi bentuk yang sungguh berbeda, tertawa. Samar samar gw dengar kata keram, uratnya tegang, dan lain sebagainya. Gw tidak bisa berjalan. Nova dan beberapa warga memapah gw ke tempat yang lebih kering. Untuk meluruskan kaki.

Terlambat datang ke Desa. Banjir. Kaki kram. Setelah ini, apa lagi?

***

Gw melambaikan tangan ke Icha. Mengucapkan sampai jumpa di sini satu bulan lagi. Truk titik 4, yaitu titik di mana Icha akan mengajar tiba lebih dulu. Bertahun tahun setelahnya gw akan mengetahui, orang yang gw lambaikan tangan akan menjadi partner yang paling menyenangkan dalam  urusan belajar mengajar. Di kelas, di kostan,  K2N, Telkomsel Mengajar, sampai Fasilitator OBM. 

Gw tersenyum. Diam diam gw berterima kasih kepada panitia. Panitia selalu menggembar gemborkan bahwa titik gw adalah titik yang paling memprihatinkan. Titik kami terletak paling jauh dari Kantor Kecamatan. Paling jauh dengan pasar. Sulit dimasuki oleh mobil. Motor saja harus bersiap melalui medan semacam off road. Kondisi jalan tidak memungkinkan dilalui apabila tidak menggunakan sepatu boots. Ditambah kamar mandi yang hanya terdapat 1 untuk satu desa, selain MCK terbuka. Semua deskripsi ini secara tidak langsung menurunkan ekspekstasi untuk hidup bermanja manja, hidup nyaman,  dan hidup baik baik saja. Bahkan, panitia sukses membuat gw tidak berekspektasi apapun. Pun bersiap untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Banjir dan kaki kram ini pada akhirnya gw anggap sebagai ujian dari pernyataan. Seberapa siap gw untuk membuktikan bahwa gw tidak berekspektasi apapun. Seberapa siap untuk menerima kemungkinan terburuk yang terjadi. Pun seberapa siap untuk terus berpikir bahwa ini bukan tentang gw, tapi tentang mereka.

Sabtu, 05 Juli 2014

Transformers Age of Extinction

Eh eh, masa puasa-puasa gw denger gosip tentang lw. Mau gw klarifikasi nih. boleh nanya gak?

.....
*senyumin aja :)
....
Honestly yah...
....
:(
Jangaaan sedih. Maaafin ya. Lots of thing happen to me. Jadinya agak blak-blakan. Jangan diambil hati dan pikiran ya. Pokoknya semoga lancar semua-muanya yang sedang diperjuangkan.
Seneng kok gw kalau ada yang ngomong jujur di depan gw...
Daripada ngomongin di belakang :)
....
Eta pisan. Sayangnya, gak banyak orang yang mau nanya dan ngomong langsung di depan. Banyak yang memilih diam tapi menimbun prasangka, heu..
....
Soal jodoh sama kayak maut. Gak ada yang tau ke depannya gimana... Jadi ya daripada ngomong macem-macem, mending jalani dulu aja apa yang diperjuangkan.

Se-pa-kat! :)
Kalau kata Optimus Prime, ada misteri di dunia ini yang tidak boleh dipecahkan. Mungkin maksudnya, karena belum waktunya kali ya? ;)
Ini nih, salah satu contoh tulisan yang menyebalkan. Judul yang tidak merepresentasikan isinya. Terlepas dari itu, masa saat mau extinct, gw baru ngefans sama Optimus Prime :3


Antusiasme

Rabu, 9 Januari 2013
Kantor Kecamatan Sobang.

Pagi itu hujan. Gerimis lebih tepatnya. Tiga bus dan satu minibus berwarna biru bersusah payah untuk parkir di depan kantor kecamatan Sobang. Susah karena jalan yang tidak terlalu lebar. Hanya sepelemparan batu antara sisi satu dengan sisi lainnya. Susah karena jalan ini bukan aspal yang tak bergeming dihantam tetesan hujan. Jalan ini tanah. Menjerembabkan banyak langkah yang tak biasa menjejak.

Di salah satu bus yang sedang bersusah payah memposisikan tubuh besarnya, gw duduk bersandar di kursi. Menyangga kepala pada salah satu jendela kaca. Mengerjap ngerjapkan mata. Mengumpulkan nyawa. Mengusir jauh jauh dingin akibat perpaduan AC dan hujan yang membungkus. Menggerak gerakan badan sekenanya. Kembali bersandar sambil menghitung hitung posisi di mana gw berada sekarang.

Di sebelah kanan dan kiri gw terdapat dua buah bangunan. Satu persamaannya. Sama sama memiliki tiang bendera. Tapi bangunan sebelah kanan bertuliskan SD Negeri 1 Sobang sedangkan bangunan yang kiri bertuliskan kantor Kecamatan Sobang.

Iya. Kita telah sampai. Di titik di mana setelah ini, masing masing dari kita akan berjuang di tempat masing masing.

Kawan, mari gw ajak untuk membayangkan di mana letak kecamatan Sobang. Kecamatan ini masih berada di pulau yang konon menjadi pulau paling padat di Indonesia, Pulau Jawa. Tau provinsi yang paling baru terbentuk di pulau ini? Yap. Kecamatan ini berada di Provinsi Banten. Provinsi di sebelah barat Provinsi Jawa Barat. Layaknya provinsi yang banyak terdiri dari kota dan kabupaten, begitu juga dengan Banten. Salah satu kabupaten yang ada di Banten adalah Kabupaten Pandeglang. Kalau kita pernah belajar bahwa kabupaten/kota terdiri dari kecamatan-kecamatan, Sobang salah satu kecamatan yang ada di kabupaten pandeglang. Dan di sinilah kami berada sekarang.

Tapi kehidupan tidak hanya berhenti sampai di Kecamatan Sobang kawan. Tiap kecamatan bisa terdiri dari desa-desa. Dan, di Desa Cipeuti, salah satu desa yang berada di Kecamatan Sobang, gw bersama 14 orang lainnya berjuang untuk menghidupi kehidupan.

Sungguh kawan, di desa itu ada kehidupan. Sayangnya, dalam kehidupan yang sederhana itu, tidak banyak yang tau bawa mereka memiliki kehidupan yang lebih besar dibandingkan hanya besarnya jarak antara Cipeuti-Sobang. Sama seperti di kemudian hari, gw mengetahui bahwa anak anak gw tidak mengetahui bahwa dirinya tinggal di Provinsi Banten, di Pulau Jawa, yang menjadi bagian dari gugusan pulau di Indonesia.

Posisi gw masih sama. Duduk  bersandar di kursi. Menyangga kepala pada salah satu jendela kaca.  Hujan menderas. Satu dua warna warni bermunculan di tengah hantaman hujan. Bukan. Bukan pelangi. Warna warna ini tidak melengkung membentuk setengah lingkaran. Warna warna ini bergerak beriringan bak semut yang sedang berjalan.

Itu warna payung, warna seragam, dan warna sepatu boots anak-anak SD yang beriringan menuju sekolah. Bangunan di bagian kiri posisi gw. Iya, sekarang sekolahnya berada di sebelah kiri gw. Busnya sudah memutar, dengan susah payah. Payungnya sungguh besar kawan. Jangan bayangkan payung mereka adalah payung payung lipat macam kita yang bisa masuk ke dalam tas. Di sini tidak tren payung macam itu. Sepatu? Aah, di sini juga tidak tren sepatu crocs. Sepatu crocs yang menjadi primadona di musim hujan karena gampang dicuci kalau kotor masih kalah pamor dengan sepatu boots di sini. Aah, di sini boots lebih menjanjikan. Selain mudah dicuci, bonus tidak akan kena kotor sampai betis. Satu dua dari mereka begitu repot sekali. Satu tangan memegang payung, tangan lainnya menjinjing sepatu yang dibungkus plastik. Sepatu non boots yang akan mereka kenakan sesampainya di sekolah.

Gw memperbaiki posisi duduk. Sambutan ini sungguh menyenangkan. Di kemudian hari, pemandangan ini akan begitu familiar buat gw. Tentang budaya tidak peduli. Tidak peduli hujan menderas dalam intensitas yang besar. Tidak peduli harus membawa dua sepatu. Tidak peduli dengan medan yang tidak benar-benar bersahabat untuk menjejak. Yang penting, kaki ini harus menjejak ke sekolah. Dan di kemudian hari, gw mengetahui. Ini tentang kekuatan habituasi.

Gw nyengir. Halo Tuti. Malukah kau untuk banyak menggunakan jatah bolos kuliah hanya karena alasan-alasan... badannya lagi ngedrop?

Satu satu iring-iringan warna warni itu memasuki gerbang sekolah. Payung-payung yang mengembang itu seketika menutup. Berganti dengan jejeran payung besar yang menggantung di jendela dan pintu kelas. Berbanding terbalik dengan ada yang antusiasme yang ada di dalam bis-bis berwarna biru yang terparkir di depannya.

Antusisme ini mengembang. Sempurna meluap. Segala kebahagiaan, keriangan, kecemasan, dan kekhawatiran mendobrak masuk. Mendesak tak tertahankan. Bahkan luapan air hujan yang membanjiri kantor kecamatan di malam harinya, tidak benar-benar sanggup membendung antusiasme ini.
Warga : Iya neng. Ini teh baru pertama kali banjir sampai kayak gini di sini. Kebetulan pas mahasiswa lagi dateng.

 Dan luapan antusiasme ini, dimulai...

Prolog

Sertifikat Gerakan UI Mengajar gw ditahan sama Raihan, Kepala Sekolah GUIM 2 yang super taat sama aturan. Penyebabnya, diari pengajar gw belum selesai. Iya. Satu setengah tahun berlalu, kewajiban itu masih saja belum selasai.

Bahkan kalah dengan skripsinya Raihan yang sudah selesai lebih cepat dan sukses membawanya ke Balairung dengan toga bergaris abu-abu.  Payah, ya? Perfeksionis sekali gw dalam urusan tulisan. Bukan demi menyempurnakan juga sesungguhnya. Toh setelah ditulis gak bagus-bagus amat juga. Ya. Pengalaman mengajarkan gw untuk gak asal dalam menulis

Gw gak pernah tau tulisan gw dibaca oleh siapa dan dipersepsikan seperti apa. Juga akan dipergunakan untuk apa. Tapi setidaknya, ada satu hal yang bisa gw pastikan. Diari itu, tulisan itu, datangnya dari hati. Bukan seadanya dan sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Yah. Mungkin memang butuh satu tahun lebih untuk bisa memiliki niat menyelesaikan semua tulisan ini. Setahun kebelakang hatinya masih lari-lari. Gak sanggup menyelesaikan tulisan ini. Payah.

Ditha : "Tut, nanti kalau udah lulus sertifikat dipake buat ngelamar kerja loh.."

Mungkin itu salah satu alasannya. Selfish reason sekali. Tapi bukan alasan itu yang membuat sesak. Saat diwawancara dalam proses ini, gw berbicara tentang motivasi. Berjanji untuk menuliskan semua cerita tentang anak-anak di sana kepada banyak orang. Ada cerita yang layak diketahui dunia di sudut Kota Pandeglang. Sayangnya, janji ini belum lunas walaupun satu tahun lebih telah berselang.

Satu doanya, semua tidak lagi menjadi wacana. Ini diari pengajar gw. Tulisan ini hasil mengais-ngais dari sisa-sisa kenangan yang masih diingat. Dibantu oleh jepretan kamera dan blog seorang kawan. Validitas detailnya boleh dipertanyakan. Kenangan yang ditulis pun tidak sesuai dengan runtut kejadian. Memakai prinsip penyimpanan memori : yang mudah di-recall adalah kenangan-kenangan yang mengandung muatan emosi.

Untuk semua orang yang merasa bahwa hidup ini sempurna dan menyenangkan, tidak juga. Ada yang tidak baik baik saja  dan butuh perjuangan. Dan Tuhan menciptakannya, untuk menjaga keseimbangan.

Selamat membaca :)

Khusus untuk Kepala Sekolah GUIM 2, yang kepadanya gw angkat topi atas konsistensi ucapan dan tingkah lakunya, ini hadiah untuk gelar S.E.nya.  Terima kasih. Untuk kesabarannya menunggu selesainya diari pengajar gw, sampai detik ini.

Karena Kita Selalu Bisa Memilih

Bos, udah baca buku Tere Liye terbaru?
Seorang teman bertanya beberapa minggu yang lalu. Saat pertanyaan itu diajukan, gw belum satu pun menyentuh buku karya Bang Tere lagi. Sengaja menghindar. Memilih membaca buku yang lain. Buku yang lebih realistis.

Gw muak.

Gw tumbuh di lingkungan yang begitu baik. Lingkungan yang mengajarkan nilai-nilai yang baik. Dikelilingi orang-orang yang selalu  percaya bahwa gw selalu bisa melakukan hal-hal yang baik. Begitu juga buku. Gw tumbuh bersama buku-buku yang mengajarkan pemahaman-pemahaman yang baik. Menunjukkan bahwa hidup ini indah. Sekalinya tidak baik baik saja pun, kita selalu bisa melihat celah keindahannya. Buku-buku yang menunjukkan bahwa semua orang baik. Sekalinya tidak, mungkin hanya caranya yang berbeda yang belum bisa kita terima. Atau karena kita tidak tahu alasannya dan belum bertanya. Gw tumbuh berama buku-buku Mizan, Ahmad Fuadi, Dhonny Dhirgantoro, Andrea Hirata, Dewi Lestari, juga tentu saja, buku-buku Bang Tere Liye.

Setelahnya, gw pun menjelma menjadi orang-yang-katanya-selalu bisa positif thinking. Di tengah banyak kejadian yang bisa membuat lw merutuki diri lw sendiri, gw dianggap bisa mengambil hikmah. Di tengah banyak orang yang berkonflik, gw dianggap bisa menengahinya. Atau ketika gw bersitegang dengan orang lain, gw dianggap selalu bisa mengalah.

Tentu saja. Karena buat gw, semua kejadian ada hikmahnya. Kalaupun tidak, kita yang belum bisa menemukan celah keindahannya. Karena buat gw, setiap orang baik. Kalaupun tidak, mungkin hanya caranya saja yang berbeda dan belum bisa kita terima. Atau karena kita tidak tahu alasan dibalik apa yang ia lakukan. Dan kita cenderung menimbun prasangka, dibandingkan bertanya.

Tapi gw mulai jengah. 

Hei, bukankah gw terlalu naif memandang hidup? Ternyata hidup tidak selalu indah bukan? Bagaimana pun gw berjuang mencari celah keindahannya. Ternyata tidak semua orang baik bukan? Bagaimanapun gw sudah berjuang untuk memahami, bertanya, dan membuang jauh-jauh prasangka.

Untuk banyak cerita yang harus gw dengar belakangan, untuk banyak kejadian yang pernah gw alami belakangan, semuanya pelan-pelan meruntuhkan pemahaman.

Tidak semua orang baik, ternyata. Hidup tidak seindah itu, pada akhirnya. 

Anggaplah semua cerita dan kejadian itu adalah air. Air tersebut dituangkan ke teko. Air tersebut dituang terus menerus memenuhi ruang yang kosong. Biasanya air tersebut langsung dituangkan ke gelas gelas kecil. untuk menghindari tekonya terlalu penuh. Masalahnya, kapasitas tekonya segitu segitu saja. Tekonya tidak berubah. Sampai tiba masanya aliran air tersebut dituang ke teko terus menerus, memenuhi teko dengan kecepatan dan volume yang tak terbayangkan, tanpa ampun.

Kapasitas teko segitu-segitu saja. Aliran airnya berubah lebih besar. Teko tak kuat menampungnya.

Airnya tumpah ruah. Tumpah dengan berbagai kesedihan. Berbagai kekecewaan. Kepada banyak hal. Kepada banyak orang. Yang lebih menyebalkan, kepada diri sendiri. Kamu pernah menangis? Saya pernah. Setiap malam dalam sebulan penuh.

Diputuskanlah corong yang biasa digunakan untuk mengalirkan air untuk ditutup. Demi menahan kebocorannya lebih besar. Khawatir merugikan orang lain. Membuat orang lain terpeleset. Lalu karena banyak hal yang menyedihkan dan mengecewakan yang terjadi, pemahaman pemahaman selama ini dianggap kadaluarsa? Lalu menyerah dan menganggap hidup ini menyedihkan dan mengecewakan semua? Beruntung pernah diajarkan keras kepala, untuk tidak pernah menyerah.

Tapi mungkin itu yang dikatakan para psikolog untuk tidak membuat keputusan dalam keadaan sedih dan kecewa. Karena keputusannya akan menjadi konyol. Padahal, ada keputusan yang lebih baik yang bisa dibuat dibandingkan menutup corongnya, ternyata.

Perbesar tekonya. Perbesar kapasitasnya. Juga menambah ruang pemahaman di tekonya, bahwa its okay that life is not always good. Its okay that people not always good. Juga tentu saja, its okay that you ever make mistake. Selama kita belajar darinya. Selama kita tidak mengulanginya.

Banyak kesedihan dan kekecewaan ini mengubah banyak hal. Mengubah gw. Tapi satu hal yang begitu disyukuri, di tengah banyak kekecewaan dan kesedihan, gw masih punya iman.

Allah masih sayang kepada gw, selalu. 

Ada dua orang yang setiap gw mendengar ceritanya dan gw tatap matanya, selalu membuat gw bergumam dalam hati. Mengingatkan diri sendiri. Kalau kata Queen Elsa,  Be a good girl you always have to be, Tut. They always do the same thing.


Setelah ini, hidup bisa berjalan baik baik saja ataupun tidak. Orang bisa bersikap baik ataupun tidak. Tapi seperti pemilihan Capres-Cawapres, kita selalu bisa memilih bukan? Untuk berada di sudut yang mana. Untuk bertahan di pemahaman yang mana.

Baiklah. Mari menulis lagi. Dengan pemahaman lama, tapi dengan pengetahuan baru. Bahwa kau selalu bisa mengubah tekonya, memperbesar kapasitasnya, dan memodifikasi bentuknya. Tentu saja tidak mudah. Ayat Al-Quran sebelah mana yang menjanjikan hidup ini selalu indah, Tut? Mungkin fakta ini yang kamu lupakan.
Bro, gw udah baca buku Amelia. Inti ceritanya, tentang anak bungsu yang paling kuat. Anak bungsu paling tangguh di keluarganya, untuk tetap mengambil hikmah dan bertahan dengan pemahaman-pemahaman yang baik. Bahkan di saat semua tiba tiba tampak  gelap untuknya.

Selasa, 04 Februari 2014

Sedih.

Tapi mau bagaimana lagi.
Posted on by Annisa Dwi Astuti | 2 comments

Jumat, 31 Januari 2014

Rabu, 29 Januari 2014

Telkomsel Mengajar untuk Indonesia

Bersama 24 pengajar lainnya, sepanjang tahun 2014 ini gw terikat kontrak dengan program Telkomsel Mengajar untuk Indonesia (selanjutnya, hanya akan gw sebut Telkomsel Mengajar saja). Program Telkomsel Mengajar ini merupakan program kerjasama antara CSR Telkomsel, Partner in Learning Microsoft, dan Sampoerna University.

Pengajar Telkomsel Mengajar

Pesatnya perkembangan teknologi di masa ini menjadi latar belakang dari adanya program ini. Pertumbuhan teknologi yang begitu cepat membuat kita tidak dapat memungkiri bahwa generasi saat ini dan mendatang adalah generasi yang akrab dengan teknologi. Contohnya? Anak baru lahir saja sudah terpapar dengan jepretan kamera yang kemudian oleh ayah atau keluarganya langsung diunduh di media sosial seperti twitter, facebook, ataupun path (ini lucu juga ya contohnya ._.)

Dengan begitu banyak manfaat yang dihadirkan dari perkembangan teknologi, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa ancaman yang dihadirkan teknologi pun bisa membahayakan. Gw suka sama istilah teknologi sejatinya seperti dua mata pisau. Kalau pisaunya ada di tangan chef, bisa menghasilkan karya makanan yang luar biasa ueenak. Kalau pisaunya jatuh di tangan batita? Hmm. Ada juga ibunya teriak teriak panik sendiri.

Contoh sederhana dari ancaman teknologi yang bisa saja terjadi adalah pemanfaatan teknologi yang dominan digunakan untuk bermain, sedangkan di sisi lain begitu banyak manfaat teknologi yang bisa digunakan untuk belajar. Ancaman lainnya adalah kesenjangan digital. Dalam konteks di sekolah, kesenjangan digital ini terjadi antara guru dan murid. Kita gak bisa pura-pura gak tau kalau saat ini, dalam penggunaan teknologi, muridnya bahkan bisa lebih jagoan daripada gurunya. Fungsi guru yang saat ini telah bergeser dari pusat semua ilmu pengetahuan menjadi fasilitator anak untuk membangun pengetahuannya sendiri mengalami kendala karena kesenjangan digital ini. Self esteem guru menurun karena begitu banyak hal yang dikuasai muridnya dibandingkan gurunya. Akhirnya? Fungsi kontrol dan pengawasannya melemah. Ada juga ancaman yang kadang tak terdeteksi tapi akan berdampak hebat di kemudian hari, plagiarisme. Kalau boleh meminjam istilah dari salah satu perwakilan Partner in Learning Microsoft saat memberikan kata sambutan pada pembukaan program, kebiasaan plagiarisme, mengkopi karya orang lain, sama saja membiasakan anak Indonesia menjahit pola yang sama. Ketika kebiasaan menjahit pola yang sama begitu melenakan, anak akan kesulitan membuat sendiri pola yang baru. Dampaknya? Indonesia akan kekurangan pemikiran inovatif, khusunya dalam pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu, apa yang harus dilakukan? 25 pengajar pada program ini diturunkan untuk memfasilitasi pengenalan pendidikan berbasis teknologi di sekolah-sekolah di Indonesia, menyentuh guru dan murid. Mulai dari pengenalan, pemanfaatan, dan pengoptimalan teknologi di bidang pendidikan. Harapannya, setelah program ini berlangsung, statistik mengenai penggunaan pisau oleh para chef bisa meningkat.

Dua puluh lima pengajar Telkomsel Mengajar merupakan perwakilan dari 12 kota di Indonesia, yaitu Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Samarinda, Makassar, Bali, dan Ambon. Tiap kota diwakili 2-3 orang pengajar. Gw bersama Icha (Psikologi UI) dan Adlin (Bioproses UI) dipilih sebagai perwakilan Ibukota Jakarta. Tiap-tiap pengajar di tiap kotanya memiliki tugas untuk melakukan proses pengajaran di 4 sekolah (2 SD dan 2 SMP Negeri) sebanyak 6 kali di tiap-tiap sekolah. Target sasaran dari program ini adalah siswa dan guru. Program ini memiliki silabusnya sendiri. Akan tetapi, pengajar diberikan kebebasan untuk merancang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) disesuaikan dengan kebutuhan sekolah, mengingat tingkat pemahaman tiap sekolah mengenai pemanfaatan teknologi berbeda-beda.

Sebelum program ini berlangsung, selama lima hari pada tanggal 13-17 Januari lalu, kami ber-25 dipertemukan dalam training di Jakarta. Kami tinggal di Hotel Bidakara, Jakarta dan menjalani training di Sampoerna University. Training dilakukan seharian penuh. Kami biasa berangkat dari hotel pukul 08.00 dan tiba kembali di hotel pada pukul 21.30. Kalau kata teman gw perwakilan dari Bali, “Kita sudah seperti Putri Indonesia saja ya dikarantina?” Haha, benar juga.

Training Telkomsel Mengajar

Belajar banyak selama training kemarin. Dari segi materinya, udah kayak memperdalam mata kuliah Psikologi Pendidikan Terkini gw, haha. Terus salah satu fasilitatornya adalah seorang affective educational psychologist. Lulusan S2 Profesi Psikologi UI. Untuk gw yang apa-apa urusannya pake hati, nyambung banget lah pas ngobrol sama si Ibu. Sepakat bahwa manusia, besar karena rasa nya. Salah satu yang penting lagi, materi-materinya membuat level kegagapan teknologi gw berkurang jauh lah, hehe. Iya. Openness to experience gw untuk makanan dan teknologi agak rendah. Jadilah training ini membuka banyak pemahaman baru untuk gw.

Selain dari materi, juga dari teman-temannya. Seneng banget berkesempatan bersinggungan dengan teman-teman lintas universitas dan lintas daerah di Indonesia. Keseruan lainnya adalah, selama seminggu ngedengerin logat dan bahasa daerah yang super macem-macem. Gak tau kenapa, buat gw, enak banget dengernya :’)

Teman baru, lingkaran baru :)

Ngeliat sendiri bahwa benar, Jakarta, menjadi kota yang diidam-idamkan oleh beberapa teman di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa. Beberapa teman pengajar mengaku bahwa ini kali pertama mereka menjejakkan kaki di Ibukota Jakarta. Sayangnya, kedatangan mereka disambut banjir tahunan di Januari. Sisi lain dari kota metropolitan yang mereka kenal di tv-tv.

Terus ngerasa tersentil juga dengan percakapan seorang kawan perwakilan Yogyakarta.
Kawan : Mba Tuti, bener ya kata orang, kalau tinggal di Jakarta harus bisa bertahan. Cuma yang beneran berjuang ya yang bisa bertahan.

Gw : Hehe.. iyaa. Kenapa gitu?
Kawan : Ini tiap jam 08.00 kita udah berangkat terus baru pulang lagi malem. Seharian kegiatannya penuh. Belum harus berangkat pagi buat menghindari macet dan banjir. Badanku remuk toh, Mba. Aku gak mau tinggal di Jakarta.
Gw cuma bisa tersenyum mendengarnya. Detik selanjutnya gw merasa beruntung, pernah dibiasakan dengan ritme hidup kayak gini. Tanpa tahu bahwa minggu depan, gw melihat sendiri ritme hidup yang berlipat lipat lebih gila dari Jakarta.

Pernah satu malam di antara malam malam pasca training, malam itu tidak ada tugas. Setelah makan, mandi dengan air hangat, menyetrika baju untuk besok, gw bergelung di kasur super empuk dengan selimut, dengan tangan memegang remote tv dan memindah-mindah channel dari National Geographic, HBO, dan channel channel tv kabel lainnya. Mendadak iseng-iseng ngeliat sekeliling. Gw benar-benar merasa seperti putri.

Ini kali pertama gw menginap, cukup lama, di hotel bintang 4 dengan segala fasilitasnya. Sarapan dan makan malam super mewah, fasilitas kamar yang memanjakan, dan pemandangan luar kota Jakarta dari ketinggian yang sama sekali tidak menggambarkan bahwa ada musibah banjir di beberapa sudut kotanya.

Tempat sarapan selama training

Tetiba merinding sendiri. Ingat kalau ini Januari.

Januari tahun ini dan januari tahun lalu. Judulnya sama-sama ‘mengajar’, tapi bentuknya di dua kutub yang ujung-ujungan.

Januari tahun lalu, gw dituntut untuk bisa memfasilitasi anak untuk belajar dengan sumberdaya seadanya. Semua barang sejauh mata memandang disulap menjadi bahan ajar. Mulai dari kertas bekas yang dimanfaatkan jadi bentuk-bentuk binatang untuk tokoh dongeng, bola voli yang digunakan untuk saling melempar di sesi tanya jawab, sampai gagang sapu yang digunakan sebagai bambu runcing saat drama perang melawan Belanda. Januari tahun ini, gw hanya membawa tiga amunisi, laptop, modem, dan LCD, untuk memberikan pemahaman kepada anak, bahwa ia bisa menggenggam dunianya.

Januari 2013, persiapan drama perlawanan penjajahan Belanda bersama anak-anak

Januari tahun lalu, inget banget makan selalu dengan lauk pauk seadanya, Tiap hari selalu ada unsur jagung dan mie instant. Telur, tahu, dan tempe yang dianggap makanan anak kostan paling sederhana saja jarang ditemui. Sering banget makan rebung dan sayur yang bahkan gak gw ketahui namanya. Oh iya! Makan ikan dan belut hasil tangkapan anak-anak. Makan daging, kalau gw tidak salah ingat, hanya dua kali dalam kurun waktu 23 hari itu. Januari tahun ini?  Gw makan tiga kali sehari dengan komposisi 4 sehat 5 sempurna. Selalu ada daging di setiap lauknya. Belum ditambah dua kali coffee break menjelang makan siang dan makan malam. Bahkan jadwal makan hadir ketika kita belum benar-benar lapar. Training ini seolah ingin menyampaikan pesan bahwa hanya fokus dan konsentrasi kami yang dibutuhkan di sini tanpa harus khawatir urusan perut.

Januari tahun lalu, gw tidur di rumah Ibu dan Bapak. Sebuah rumah panggung sederhana yang berbaik hati menampung gw selama 23 hari. Ketika gw tidur di atas rumah, sejatinya gw tidur bersama sama dengan bebek dan ayam yang tidur di bawah rumah panggung, melindungi diri dari hujan. Alarm gw adalah suara ayam dan bebek yang bangun lebih dulu dibandingkan gw. Pernah suatu hari handphone gw jatuh dari atas rumah melalui celah-celah tembikar yang menjadi alas rumah. Tangan gw yang gw turunkan ke bawah rumah harus berkelahi bersama moncong bebek yang berhasrat untuk mengambil handphone gw. Sory Bek, gw yang menang! Haha. Januari ini? Gw tidur di kasur super besar dan super empuk. Berselimutkan empat lapis kain untuk melawan AC hotel yang super dingin. Kedinginan? Air hangat tersedia untuk mandi dan menyeduh teh.

Bersama Bapak, Ibu, Sahda, dan Murti, di depan rumah panggung kami

Januari tahun lalu, Ibu menemani gw yang sedang memerika PR anak-anak ditemani dengan lampu tempel remang-remang dan film Brama Kumbara. Ah, andai ibu tau, bahwa Januari tahun ini, tipa malam aku menonton tv kabel, Bu. Banyak film tentang masak memasak yang mungkin ibu suka.

Urusan januari  tahun lalu dan januari tahun ini mendadak mengganggu. Membuat gw tidak nyaman.

Baca berita di koran dan diskusi dengan teman urusan kesenjangan, kayaknya paham betul di kepala. Teorinya mantep bener. Bikin essay tentang urusan ini jago banget deh kayaknya. Tapi, ngerasain sendiri berada di dua kutub yang saling ujung-ujungan, beda perkara. Ngerasain gap yang jauh banget bikin mikir, posisi gw di mana? Apa yang bisa gw lakukan untuk memperpendek gap nya?

Gerakan UI Mengajar, K2N Tematik, Children of Heaven, Terminal Hujan, dan Telkomsel Mengajar, masih menguatkan sebuah pemahaman. Belajar mengajar, tidak melulu urusan gedung dan seragam sekolah. Buku Sekolah Rimba pun menyederhanakan banyak pertanyaan. Tentang pendidikan, sejatinya membantu individu menghadapi tekanan perubahan.

Di saat beberapa teman-teman Psikologi Pendidikan sudah memantapkan hati apa yang mau diperjuangkan, ada yang mau jadi konselor sekolah,  ada yang mau jadi psikolog sekolah, ada yang mau bikin sekolah, ada yang mau terlibat di penyusunan kurikulum di Indonesia, gw masih sesederhana mau mengajar. Gw masih mencari apa esensi mengajar, bagaimana sebenarnya mengajar yang baik, sistem yang baik, kurikulum yang baik, dan tentu saja yang paling penting, bagaimana cara mengusahakannya dan memastikan bahwa hal tersebut tepat guna.

Gak nyaman senndiri ketika sadar belum punya sikap untuk ini semua. Masih pengen mencari. Masih ingin belajar. Mungkin benar kata seorang teman,
Cuman kalau masalah perasaan yang miris lihat kesenjangan itu, cukup pikir bahwa Allah Maha Adil dan bakal jaga keseimbangan dunia deh. Saat ini sih belum punya sikap tut. Tapi gw yakin deh orang yang yang pernah di dua ujung pasti ada waktunya juga buat bersikap.
Tapi sampai kapan? Semoga dalam waktu dekat.
Nah, itu maksudnya tut, kumpulin amunisi, susun bom sama dinamitnya di tempat yang pas, terus pencet detonatornya, haha.
Susah ye diskusi sama anak teknik, mainnya pake istilah detonator, haha.

Semoga atas banyak fasilitas dan kemewahan untuk urusan ini, niatnya masih tetap buat Allah aja. Aamiin.

Kerja besar, dimulai lagi.