Senin, 07 Juli 2014

Di Wajah, Juga Dalam Hati

Tembok itu membentang di sepanjang bibir pantai. Tak begitu tinggi. Hanya sebatas pinggang. Membuat gw yang hanya memliki tinggi 160-an cm bisa dengan mudah naik ke atasnya. Gw duduk di salah satu sisinya. Menantang apa-apa yang membentang di hadapan. Menantang angin yang tak jera menerjang apa saja yang ada di hadapannya.

Gw menendang-nendang tembok bagian bawah dengan tumit. Bergantian. Kanan-kiri. Kanan-kiri. Maju-mundur. Maju-mundur. Bak anak kecil yang sedang menunggu teman bermainnya di taman. Tepat di bawah telapak kaki, batu-batu besar tersususun membentuk karang. Pelan dihantam air laut yang malu-malu mencium permukaannya.

Sempurna. Tanpa matahari, perbatasan antara perairan dan daratan ini jauh lebih indah. Langit seolah terbalik. Bintang gemintang tumpah ruah di permukaan air. Berkerlap kerlip. Merah. Jingga. Bukan. Bukan bintang. Ternyata lampu-lampu pelabuhan di kejauhan. Lampu-lampu kapal yang tengah merapat di dermaga.

Iya. Pantai di sebelah utara daerah khusus ibukota ini memang lebih sempurna di kala malam. Warna lautnya seolah senada dengan hitamnya langit. Karena kalau bukan malam, pemandangannya tentu saja kontras bukan buatan. Tidak seperti pantai selatan di daerah Banten sebelumnya.

Malam itu sempurna. Sejauh mata memandang hanya hitam dan kerlap kerlip bintang. Kerlap kerlip lampu pelabuhan. Satu dua pesawat melintas. Tiga empat. Tidak. Sepuluh sebelas. Melintas dari utara ke selatan. Dari barat ke timur. Dari Pulau Kalimatan ke Pulau Jawa. Dari Cengkareng ke Adisucipto. Seseorang bilang begitu ketika melihat arah pesawat.

Mata gw menantang apa-apa yang ada di hadapan. Tersenyum. Menyenangkan. Melihat luas apa yang ada di hadapan. Mendengar suara pasang surut air laut yang menenangkan. Kalau boleh, gw lebih memilih untuk tidak pulang.

Tak ada yang bisa dibahasakan dengan baik di sini. Menatap. Mendengar. Diam. Jauh lebih berharga dari pembahasaan perasaan dalam bentuk apapun saat ini. Keindahan lukisannya jauh lebih dari cukup menjelaskan semuanya. Kesyukuran itu merangsek dalam. Pengertian itu datang seperti hujan. Begitu saja. Mengalir deras.

Tapi rasa ingin tahu tiba-tiba menyeruak. Sebuah pertanyaan memecah keheningan. Baiklah, satu kali ini saja gw bertanya. Sekali ini saja. Janji, kekaguman itu hanya akan di simpan dalam-dalam.
Kenapa lw bisa tahu semuanya? Kenapa lw bisa menjawab banyak pertanyaan?
Pertanyaan itu melesat tenang. Tanpa intonasi kekaguman. Juga tanpa intonasi menantang. Datar saja. Hanya sebuah keingintahuan.
Karena gue suka melakukan hal-hal baru, pergi ke tempat-tempat baru, dan bertemu orang-orang baru.
Sebuah jawaban melesat. Tidak ada pergerakan yang berarti. Semua tatapan masih lurus ke depan. Kadang sedikit menengadah ke langit. Kalau kalau ada pesawat lagi yang lewat. Menambah hitungan pesawat yang melintas.
Kenapa? 
Biar nanti saat sudah jadi ayah dan jadi kakek, gue punya banyak cerita yang bisa diceritakan ke anak-anak dan cucu gue.
Gw refleks menoleh ke arah sumber suara. Ke arah pemberi jawaban. Yang ditoleh bergeming. Tetap menatap lurus ke depan. Dengan tatapan yakin tentang salah satu rencana masa depannya. Mendongengkan banyak kisah kepada anak dan cucunya.

Gw tersenyum. Di wajah dan di dalam hati.

Manis sekali. Untuk sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang laki-laki.

0 komentar: