Senin, 30 Juli 2012

Nyaman itu gak bisa dibeli.
Itu mengapa...

Banyak topi diangkat untuk orang-orang yang berani keluar dari wilayah tak terbeli itu.

Kamis, 26 Juli 2012

Catatan Perjalanan ke Atap Jawa - Bagian 2

Pendakian di trek berpasir dimulai. Di awal pendakian, Kautsar, gw, Kak Pudut, dan Hari hanya berjarak dua tiga langkah. Posisi badan kami masih bisa berdiri secara sempurna. Tapi semua yang kami baca dan kami dengar, benar. Semua benar. Di trek berpasir ini, setiap maju dua langkah, mundur selangkah. Setiap maju lima langkah, mundur tiga langkah. Mental mulai bermain. Trek ini yang seolah membuat pendaki tidak kunjung sampai sebanyak apapun ia melangkah.

Untuk menjaga jarak dalam kegelapan, gw memanggil Kautsar, Kak Pudut, dan Hari dalam gelap untuk memastikan posisi kami masing-masing.
Saaaar..
Kaaak..
Riii...
Setiap gw memutuskan untuk menjaga jarak, gw berhenti. Setelah teriakan gw direspon, gw melanjutkan pendakian. Beberapa kali pertama kami masih bisa istirahat bersama di sebuah batu besar. Minum. Saling mengecek kondisi masing-masing.

Jalur Pendakian ke Mahameru

Tapi itu awalnya. Itu hanya di awal. Tanpa tahu sebelumnya kalua gw benar-benar akan berada dalam kondisi sendirian.

Semakin ke atas, setiap orang mulai menemukan ritme mendakinya masing-masing. Semakin ke atas, posisi tubuh mulai tidak bisa berdiri secara sempurna. Beberapa mulai merangkak untuk menjaga posisi tubuh tetap seimbang dalam kemiringan. Begitu pula dengan gw. Gw mulai merangkak. Merangkak dua langkah, mundur satu langkah. Merangkak lima langkah, mundur tiga langkah. Seluruh badan gw mulai ikut mendaki. Jari-jari tangan refleks gw buka membentuk cakar, kemudian gw tancapkan ke pasir untuk menopang berat badan gw.

Masih dalam keadaan merangkak, sesekali gw berhenti. Mengatur nafas. Setiap memutuskan untuk berhenti mengatur nafas, gw menghindari duduk. Gw memilih tetap dalam posisi merangkak demi pijakan gw yang bisa longsor kapan saja dalam jarak yang cukup jauh. Setiap berhenti, gw cuma bisa beristigfar, mencoba menormalkan kembali nafas, mengucapkan basmallah, menggumamkan doa yang sama, dan melanjutkan merangkak.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Ritual itu gw ulang berkali-kali. Setiap gw berhenti dan memulai perjalanan lagi.

Satu keajaiban yang gw sadari belakangan, selama mendaki dan merangkak, badan gw menuruti mental gw untuk tidak duduk terlalu lama demi tidak membiarkan tubuh gw kehilangan panasnya. Lisan gw menuruti mental gw untuk tidak mengucapkan kata lelah dan capek sedikit pun. Pikiran gw menuruti mental gw untuk tidak terlintas sedikitpun kata memutar arah untuk turun. Karena sedikit saja gw mengucapkan kata lelah dan terlintas keinginan untuk turun, pikiran gw bisa menyetir badan gw menjadi benar-benar lumpuh seketika untuk diajak mendaki.

Dalam kondisi mental gw yang menguasai seluruh fisik dan pikiran gw saat itu, gw pun mencoba menjaga jarak lagi.
Saaar..
Tidak ada respon.
Saaar...
Tidak ada respon.
Kaaak...
Tidak ada respon.
Kaaak...
Tidak ada respon.

Gw diam. Mulai menyadari bahwa jarak gw terlalu jauh di depan dari kelompok gw.
Ri...
Tidak ada respon.
Ri..
Tidak ada respon.
Hariiii...
Yooo...
Ada. Hari ada di jarak yang tidak jauh dari gw. Gw pun melanjutkan merangkak.

Selama pendakian, sesekali gw bertegur sapa dengan pendaki lainnya. Saling menyemangati. Sampai akhirnya gw tiba di salah satu batu besar, gw pun berhenti untuk mengatur nafas kembali. Seorang bule yang sedari tadi sempat gw perhatikan selalu mengucapkan assalamualaikum setiap bertemu pendaki lain pun menyapa gw yang sedang terengah-engah.
Bule : Heloo
Gw : Helo, Sir.
Bule :Hey, you're so beautiful.
Gw : Really? Thank you.
Masih sambil terengah-engah, gw cuma bisa nyengir. Bule tadi mengigau kali yak? Orang gelap gelap gini, muka gw pasir dan debu semua, masih bisa-bisanya dibilang cantik -___-"

Gw pun mencoba menjaga jarak lagi. Kautsar dan Kak Pudut pun sudah tidak merespon teriakan gw. Detik itu, gw sadar gw harus tetap menjaga jarak dengan Hari.

Gw pun diberi semangat oleh beberapa pendaki lainnya. Sepasang, entah kekasih entah suami istri, ikut menyemangati gw. Perempuannya membantu menarik tangan gw saat gw hendak menuju sebuah batu besar lainnya untuk berpegangan. Saat gw tiba di batu itu, mereka meninggalkan gw sambil memberi semangat. Sambil bersandar di batu besar, gw memerhatikan pasangan tersebut. Gw cuma bisa geleng-geleng kepala waktu menyadari sepatu yang digunakan sang perempuan hanya sepatu kets biasa. Begitu kentara bahwa sang perempuan benar-benar mengandalkan cengkraman tangan sang laki-laki sebagai tumpuan. Kakinya tidak bisa benar-benar berpijak dengan kuat. Sang laki-laki pun mencengkram kuat tangan yang perempuan, menarik tangannya, dan menyemangati perempuannya kalau mereka bisa.


Hari pun tiba di dekat batu yang gw pijak. Gw pun menarik tangan Hari dan memutuskan untuk beristirahat bersama. Gw memastikan kondisi Hari baik-baik saja. Memastikan carrier yang ia bawa tidak mengganggunya, dan setelahnya memutuskan untuk merangkak beriringan.


Gw dan Hari pun saling susul menyusul. Saling memberikan pegangan. Saling mengingatkan ketika ada runtuhan batu yang siap menghantam dari atas. Kami pun merangkak bersisian dalam diam. Nafas kami yang sama-sama memburu sudah lebih dari cukup untuk membahasakan banyak hal.

Mental yang menggila itu mulai menguasai gw lagi. Ketika Hari harus berhenti berkali-kali untuk mengatur nafas dan membuka sepatunya karena kemasukan kerikil dan pasir, gw terus merangkak tanpa jeda. Gw kalap. Entah bagaimana ekspresi muka gw saat itu, tapi nafas gw yang memburu dan teriakan gw untuk melepaskan kegeraman karena tidak kunjung sampai, sempat membuat pendaki di sekitar gw yang rata-rata laki-laki menoleh.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Semakin ke atas, kemiringan badan gunung semakin curam. Semakin ke atas, gw semakin takut untuk berdiri dalam posisi sempurna. Semakin takut untuk menoleh ke belakang. Terakhir gw menoleh ke belakang untuk memanggil Hari, posisi gw sudah bersisian dengan gumpalan awan.

Jam tangan gw menunjukkan pukul 04.30. Mahameru belum terlihat. Hanya pergerakan headlamp dan senter yang dibawa oleh pendaki lain yang mampu tertangkap mata gw. Gw masih dalam posisi merangkak. Jari jari tangan gw masih mencengkram pasir. Telapak kaki masih berusaha menyeimbangkan pijakan.

Mendadak mata gw berkunang-kunang. Perut gw panas. Badan gw panas dingin. Seluruh tubuh gw mengirimkan satu sinyal ke otak gw. Gw lapar. Kesadaran gw bilang gw gak bisa lanjut merangkak. Gw harus memasukan sesuatu ke dalam perut. Sesegera mungkin. Gw gak boleh nekat. Karena kalau iya, gw bisa benar-benar pingsan di ketinggian. Gw memberanikan diri setengah berdiri. Mencabut tangan kiri dari pasir. Mendongak ke atas. Mencari tempat persinggahan.

Persis beberapa meter di depan gw ada sebuah batu besar. Sempurna berada di tengah-tengah badan gunung. Cepat gw menyimpulkan bahwa itu adalah sedikit dari batu yang menancap mantap di badan gunung. Salah satu batu yang bisa dijadikan tempat beristirahat. Setelah mengingat ada sebungkus madu di dalam tas kecil yang gw bawa, setelah berteriak sekali lagi memanggil nama Hari untuk memastikan gw berada di jarak yang tidak jauh dari Hari, gw mencengkramkan kembali jari-jari tangan ke dalam pasir. Bersiap merangkak lagi.

Cengkraman tangan itu melemah. Pijakan kaki semakin tak tentu arah. Merangkak tiga langkah, mundur satu langkah. Merangkak dua langkah, mundur satu langkah. Entah sudah berbentuk apa jari jari kaki dan tangan gw saat itu. Tapi saat itu, gw harus sampai di batu besar itu. Gw gak boleh pingsan di sini. Gak boleh.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Gw mencengkramkan tangan gw di ujung batu, mencari tumpuan untuk menarik badan gw yang mulai limbung. Gw pun berhasil menggapai batu besar yang menancap secara horisontal di badan gunung. Sempurna berada di tengah badan gunung. Untuk pertama kalinya lagi, gw memberanikan diri untuk membalikkan badan demi bisa duduk di atas batu yang berada di ketinggian lebih dari 3000 meter itu..
Allahuakbar...
Di depan gw membentang deretan pegunungan yang tidak gw ketahui namanya. Di sebelah kanan badan gunung disajikan gumpalan awan bak lautan kapas putih. Di sebelah kiri badan gunung kiri menggambarkan ketinggian yang menggetarkan.

Sebelum tenggelam dengan semua keindahan dan ketakutan ini, gw segera sadar apa yang seharusnya segera gw lakukan. Dibalik sarung tangan, tangan gw bergetar hebat. Entah karena dingin entah karena kebas menghantam pasir. Susah payah gw mengambil botol minum dari saku celana. Lupa bahwa sudah tak ada lagi air yang tersisa di dalamnya. Pergerakan tangan gw pun berganti ke dalam tas kecil gw. Sebungkus madu pun berhasil gw ambil dari tas gw yang sudah tak jelas apa warnanya.

Tangan gw kebas. Gak cukup kuat untuk menyobek bungkus madurasa. Teringat ada pisau lipat di dalam jaket yang gw ikatkan di pinggang. Gw mencoba meraba-raba jaket gw di tengah kegelapan. Di tengah kedinginan. Tak terjangkau. Gw harus berdiri untuk mengambilnya. Tidak. Gw gak cukup berani untuk berdiri dalam ketinggian dan posisi seperti itu.

Gw lapar. Gw harus makan sesuatu. Gw gak mau turun. Gw gak mau pingsan di sini.
Rabb, hamba mau naik. Hamba mau naik...
Gw pun kalap. Gw menggigit seenaknya bagian ujung bungkus madu. Bungkus madu pun terbuka tak beraturan bersama isinya.Gw segera mengarahkan madu yang masih berada di dalam bungkusnya ke arah mulut gw. Sambil terus menyedot isi madu, gw duduk terpekur. Diam. Memerhatikan pemandangan di hadapan gw. Tidak memedulikan pendaki di kanan kiri gw yang melintas begitu saja. Mengabaikan rasa dingin yang semakin memaksa menembus tulang. Mendadak gw merasa sendirian.

Dari tempat gw, Hari mulai terlihat mendekat. Masih dalam posisi duduk sambil menyedot madu, gw hanya bisa berdoa hari segera tiba di tempat gw. Mendadak gw takut sendirian.

Sampai akhirnya Hari tiba di hadapan gw, gw menarik tangan Hari. Mempersilakannya duduk di atas batu, di sebelah gw. Tangan Hari bergetar. Nafasnya masih terengah-engah. Air minum di botolnya pun sama-sama sudah tak bersisa. Gw pun membagi madu yang ada di tangan gw. Hari masih mengatur nafasnya. Sekilas gw melihat mata Hari berkaca-kaca. Pemandangan itu merangsek menggetarkan gw. Belakangan gw tahu saat itu Hari tengah menangis. Kami sama-sama diam. Berkutat dengan pikiran masing-masing.

Dalam kondisi haus, lapar, dingin, dan sendirian, kehadiran Hari saat itu berarti banyak buat gw. Mendadak perkenalan gw dengan Hari saat OKK terlintas di kepala gw. Tanpa tau selanjutnya bahwa orang yang ada di sebelah gw saat ini kelak memiliki banyak cerita yang bersisian dengan gw. Keinginan gw yang sempat ingin memprotes Hari tentang mukanya yang galak dan kebiasaannya susah dihubungi mendadak runtuh pagi itu. Ada kesadaran datang tentang terlalu banyak menuntut sebagai seorang teman.
Hari : Tut, duluan jalan lagi.
Kalimat Hari tetiba memecah lamunan gw. Tahu gw sudah dari tadi duduk dan khawatir akan kehilangan panas tubuh, Hari mempersilakan gw jalan duluan. Gw pun bersiap merangkak kembali dalam diam, sambil bergumam dalam hati.
Maafin gw, Ri. Setelah ini, gw janji gak akan banyak menuntut lagi.
Sugesti bahwa madu sudah menyelematkan fisik gw, cukup ampuh untuk membuat gw sanggup melanjutkan pendakian. Gw pun mulai merangkak lagi. Gw berkenalan lagi dengan seorang pendaki. Seorang laki-laki yang berasal dari Malang, yang kemudian gw sebut sebagai Mas-Mas Malang. Dari Mas-Mas Malang gw mulai memberanikan diri untuk mendaki dengan posisi berdiri sempurna. Gw melihat dari cara mendakinya bahwa berdiri pun tidak akan benar-benar membuat kita jatuh ke bawah selama kita mencondongkan badan ke arah depan. Gw pun mulai mencobanya walaupun sesekali gw masih harus merangkak karena tidak sanggup berpijak dengan kuat. Kami berjalan bersisian. Saling susul menyusul. Saling menyemangati satu sama lain tanpa perlu tahu nama masing-masing.

Sudah satu jam lebih sejak gw istirahat bersama Hari. Terlalu fokus naik membuat gw tidak menyadari bahwa langit mulai kemerahan. Satu persatu pendaki mulai mematikan headlamp-nya. Gw pun tidak menyadari bahwa pergerakan pendaki yang berada di atas gw mulai melambat. Masih dalam posisi merangkak, tiba-tiba Hari teriak ke arah gw dari bawah.
Hari : Tut, liaat!
Gw pun refleks menoleh ke arah Hari. Tersenyum. Menganggukan kepala. Menyetujui apa yang Hari bilang harus dilihat.

Menjelang Matahari Terbit

Gumpalan awan yang sedari tadi diselubungi langit hitam penuh bintang, kini bergeser memperlihatkan pesonanya yang lain. Langit mulai kebiruan. Di batas gumpalan awan tersebut semburat merah dan oranye mulai terlihat. Pelan-pelan, sumber warna kemerahan itu menampakan wujudnya. Benda bulat oranye menyembul dari gumpalan awan. Menantang seluruh tatapan mata yang menghujam ke arahnya. Meredam keangkuhan yang sedikit-sedikit menelisik masuk demi tiba di puncak tertinggi.

Semua kegiatan pendakian seolah sempurna terhenti. Semua bersiap dengan kemunculan salah satu benda langit terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya. Semua mata siap merekam. Semua kamera siap menunjukan performa terbaiknya.

Gw yang masih dalam posisi merangkak, memberanikan diri melepaskan cengkaraman tangan kiri demi bisa menoleh dengan sempurna. Saat benda bulat oranye itu keluar dengan sempurna dari balik awan, saat mata tak mampu merekam lebih lama, gw memejamkan mata. Menangis.
Allahuakbar...
Menangis demi mengingat teman-teman Gandewa gw di bawah yang entah bagaimana kabarnya. Demi mengingat sholat Subuh yang kadang tak tepat waktu. Demi mengingat keinginan untuk cepat tiba di atas. Demi mengingat kaki dan tangan yang mulai meronta tapi tak pernah diizinkan mental gw untuk duduk lebih lama, melisankan kata lelah, dan memutar balik arah untuk turun.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Di saat benda bulat itu masih sempurna membuat para pendaki mematung di tempatnya, sambil menangis gw terus merangkak naik. Keinginan untuk segera sampai tak dapat dibendung lagi. Bersamaan dengan munculnya benda bulat oranye itu, jalur macam apa yang tengah gw daki mulai menampakan wujud aslinya. Begitu juga wujud Mahameru yang mulai tertangkap mata.

 Jalur Pendakian ke Mahameru
Seorang Pendaki : Ayo semangat Mba! Setengah jam lagi sampai.
Setengah jam untuk pendaki itu, tapi satu setengah jam buat gw. Semakin terang, semakin jelas jalur jenis macam apa yang gw lewati. Semakin jelas dimana Mahameru, tapi semakin jelas membuat pustus asa karena tidak kunjung sampai.

Gw pun tidak memedulilkan berapa menit lagi gw bisa sampai di atas. Di kepala gw, apapun yang terjadi, gw harus tetep jalan. Gw harus tetap merangkak. Sekecil apapun langkahnya. Sebanyak apapun gw harus mundur lagi. Gandewa harus sesegera mungkin sampai di atas.

Gw pun masih berjalan bersisian dengan Mas-Mas Malang. Semakin ke atas, medan pasirnya mulai bersahabat. Gw sudah mulai bisa berdiri dengan sempurna. Gw pun sedikit banyak bisa bercakap-cakap dengan Mas-Mas Malang. Saat gw bertanya apakah benar kita hanya bisa sampai jam 9 di Mahameru, Mas-Mas Malang membenarkan. Selain karena arah angin yang akan membawa gas belerang ke arah jalur pendakian, panasnya matahari yang kontras dengan suhu udara di Mahameru membuat tidak banyak orang yang kuat berlama-lama di atas. Menyadari gw berada paling depan saat ini, gw mempercepat langkah.  Gandewa harus sesegera mungkin sampai di atas.
Pendaki Lain : Ayo semangat, Mba. Lima menit lagi sampai.
Dan itu, sebenar-benarnya lima menit terakhir yang harus gw lalui. Setelah menyeberangi jalur setapak dengan kanan kiri jurang, setelah naik menukik ke kanan atas melewati sebuah batu besar, bersama Mas-Mas Malang,  tepat pukul 06.55, gw menginjakan kaki di Mahameru.

Gw dan Mas-Mas Malang pun saling mengucapkan selamat. Kemudian berpisah. Gw melihat Mas-Mas Malang beramai-ramai diberi selamat oleh teman-temannya yang  lebih dulu tiba di Mahameru. Mendadak gw sedih. Ditengah riuh rendah suara suka cita di Mahameru, gw merasa sendirian lagi.

Bersamaan dengan itu, mental gw selesai menjalankan tugasnya. Gw mulai dikuasai oleh diri gw sendiri. Badan gw tumbang. Gw jatuh terduduk sambil meluruskan kaki. Kaki gw remuk redam. Jari-jari tangan gw kebas. Gw meringis menahan nyut-nyutan di kaki dan jari-jari tangan. Gw duduk diam. Berharap teman-teman lain segera datang.

Hanya bisa bertakbir berkali-kali dalam hati demi apa-apa yang gw lihat saat itu. Pemandangannya masih sama. Di depan kami membentang deretan pegunungan yang kemudian gw ketahui namanya.Gunung Arjuno-Welirang dan Gunung Panenggungan.  Di sebelah kanan badan gunung disajikan gumpalan awan bak lautan kapas putih. Di sebelah kiri badan gunung kiri menggambarkan ketinggian yang menggetarkan. Bedanya, tak ada lagi dataran setelah ini. Ini dataran terakhir yang bisa gw pijak.
Sepuluh menit berselang, Hari muncul dari balik batu. Menyusul.
Hariiii!!
Kaki gw remuk redam. Masih dalam posisi yang sama, gw hanya bisa berseru senang menyambut Hari dari kejauhan. Gw mengangkat kedua tangan gw untuk memberitahu posisi gw. Masih beberapa meter dari posisi Hari untuk sampai di tempat gw.

Sampai akhirnya Hari tiba di tempat gw. Ia berlutut persis di hadapan gw. Tumbang. Matanya berkaca-kaca. Ia pun segera memejamkan mata. Tersenyum.

Gw pun mengguncang-guncangkan badan hari.
Ri, kita nyampe, Ri! Kita nyampe!
Hari masih tersenyum memejamkan mata. Masih diam. Entah apa yang ada dipikirannya. Matanya yang tadi berkaca-kaca pun tak bisa menjelaskan apapun. Entah senang. Entah lelah.

Hari pun bersandar pada sebuah batu. Gw pun membiarkannya berkutat dengan pikirannya. Mengatur nafas. Kami duduk bersisian mengahadap pemandangan yang sedari tadi menemani kami selama pendakian.

Gw masih diam.  Memandangi apa-apa yang di hadapan gw. Menelanjangi dataran yang kemudian baru gw sadari ini adalah puncak pertama gw. Mata gw memaksa menembus celah-celah kosong di atas lautan kapas. Menyapa puncak-puncak tertinggi tiang pancang lainnya. Menyadari bahwa di ketinggian ini sudah tak ada satu pun vegetasi yang mampu bertahan.

Gw ikut memejamkan mata.  Menarik nafas panjang. Tersenyum.

Ada yang berhasil ditaklukan, lagi.
Kak Rono : Ketika kalian naik gunung, sebenarnya bukan gunung yang kalian taklukan. Tapi diri kalian sendiri.

Mahameru

Gw dan Hari masih terdiam. Menunggu Gandewa yang lain menyusul datang. Menunggu tanpa tahu sebelumnya bahwa tiap-tiap dari kami akan membawa ceritanya masing-masing sampai ke Mahameru.

(bersambung)

Rabu, 25 Juli 2012

Catatan Perjalanan ke Atap Jawa - Bagian 1

 Papan Peringatan di Kalimati

Dini hari itu hari Minggu. Tanggal 15 Juli 2012. Sekitar pukul 00.46, semua sudah berada di luar tenda. Peralatan masak dan makan yang digunakan sebelumnya dimasukan ke dalam tenda. Pengecekan akhir dilakukan. Jaket berlapis sudah dikenakan. Headlamp sudah terpasang baik di kepala. Satu orang dari tiap kelompok berbaik hati membawa carrier yang berisi minum untuk tiap kelompok. Kak Syanmil dari kelompok 1, Nadya dari kelompok 2, dan Hari dari kelompok 3. Sisanya, tiap orang membawa tas kecil yang isinya dianggap dibutuhkan selama pendakian ke puncak berlangsung.

Setelah pemanasan, Mas Gigih dan Nadya memimpin briefing. Briefing pun dibantu oleh Kumala, junior Bimo di Pattupala (pecinta alam SMAN 47 Jakarta) yang saat itu menjadi satu-satunya orang yang pernah ke Mahameru di rombongan.
...

Mas Gigih : Untuk malam ini, berhubung kita sama-sama gak tau medannya kayak apa dan gelap juga, gw minta jalannya strictly per kelompok. Saling jagain temen satu kelompoknya.

....

Kumala : Setelah ini kita ke Arcopodo, jalannya naik terus. Medannya jalan setapak dan udah mulai agak berpasir. Nanti di jalan ada besi di kanan kiri. Jangan pegangan sama besinya, soalnya rawan longsor. Pegangan sama pohon aja. Habis dari Arcopodo naik terus sampai Cemoro Tunggal. Tapi pohon cemaranya udah gak ada. Habis itu mulai trek berpasir.

....
Briefing ditutup dengan doa. Detik itu, gw memutuskan membongkar habis semua tabungan mental yang pernah gw punya. Berusaha tidak peduli dengan apapun medan yang dihadapi setelah ini. Berusaha tidak peduli dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi selama pendakian. Segala ketidakpedulian itu pun gw beranikan diri untuk diselipkan dalam doa.
Rabb, jagalah hamba dan teman-teman Gandewa hamba. Izinkan hamba naik, Ya Rabb. Dan semoga setelah semua ini berakhir, hamba masih bisa bertemu orang-orang yang hamba sayangi. Amin.
Seteleah berdoa, kami meneriakan nama Gandewa. Kami pun bergegas berangkat. Berangkat untuk melanggar peraturan di papan peringatan di Kalimati.

Kalimati adalah sebuah padang ilalang luas yang diselingi oleh beberapa pohon edelweis. Konon, kawasan ini merupakan daerah sungai yang kini sudah mengering. Itu yang menyebabkan daerah ini diberi nama Kalimati. Dari Kalimati, puncak Mahameru terlihat jelas. Bahkan sore hari sebelumnya, kami berkesempatan melihat pelangi yang ujungnya sampai menyentuh Kalimati. Selain Ranu Kumbolo, topografinya yang  datar menjadikan Kalimati merupakan salah satu titik yang biasa digunakan para pendaki untuk bermalam mendirikan tenda. Akan tetapi, topografinya yang datar, merupakan padang terbuka, dan berada di ketinggian mendekati 2900 mdpl inilah yang pada akhirnya menyebabkan suhu udara di sini sangat dingin.

Pelangi di Kalimati

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa titik pendakian terakhir yang diizinkan oleh Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah Kalimati. Setelah Kalimati, Taman Nasional tidak bertanggung jawab apabila terjadi insiden maupun kecelakaan yang menimpa para pendaki. Akan tetapi, sudah menjadi pengetahuan bersama pula bahwa Kalimati adalah salah satu titik terakhir (selain Arcopodo) yang dimanfaatkan oleh para pendaki untuk bermalam, mendirikan tenda, dan meninggalkan barang-barangnya sebelum pendakian pamungkas ke Mahameru. Malam itu, Gandewa pun menjadi salah satu bagian dari para pendaki itu.

Kami jalan sesuai dengan kelompok masing-masing. Kelompok 1 mendahului di depan. Ada Kak Syanmil, Izzat, Kamal, dan Rima. Kelompok 2 menyusul di belakang. Nadya, Tata, Bimo, Mas Gigih. Kemudian ditutup oleh kelompok 3. Kautsar, Hari, Kak Pudut, dan gw.

Jarak antara Kalimati ke Arcopodo kurang lebih 1,5 km. Medannya berupa jalan setapak yang terus menanjak ke atas. Tanah yang gw jejak pun berupa jalan yang sudah ditutupi oleh pasir. Kanan kiri jalan dipenuhi oleh tetumbuhan tinggi dan rendah yang mungkin sedikit banyak menjelaskan mengapa gw sedikit merasa sesak saat berjalan. Gw rebutan oksigen dengan tanaman di jalan yang tidak terlalu besar ini.
Mas Gigih : ...gw minta jalannya strictly per kelompok. Saling jagain temen satu kelompoknya.
Gw berjalan bersama kelompok gw. Dengan urutan jalan Kautsar paling depan, disusul oleh gw, Kak Pudut, dan Hari menjaga di belakang. Medannya terus menanjak. Bisa dihitung jari berapa jumlah pijakan yang cukup datar yang available digunakan untuk beristirahat sebentar. Selama berjalan gw hanya melihat ke bawah dan melihat langkah Kautsar.

Selalu menyenangkan berjalan di belakang Kautsar. Kalau gw bawel ritme jalannya terlalu cepat, Kautsar selalu berusaha menyesuaikan. Memperlambat. Kalau Kautsar merasa jaraknya dan jarak gw terlalu jauh, ia selalu berhenti, melihat ke belakang, dan melanjutkan berjalan jika dirasa jaraknya dengan gw sudah cukup dekat. Bahkan ketika di tengah jalan gw sudah mulai terengah-engah dan sudah tidak cukup sanggup untuk bawel dan berkomunikasi dua arah, komunikasi nonverbal kami pun tetap berlanjut. Sama seperti di Papandayan, kalau gw tiba-tiba berhenti untuk mengatur nafas, tersandung, bahkan terjatuh tanpa mengeluarkan suara, Kautsar selalu bisa menyadarinya.

Dalam kondisi itu, kami sama-sama diam. Kautsar akan langsung menghentikan langkahnya. Ia akan menoleh ke belakang dan melihat kondisi gw. Memastikan gw berada dalam keadaan baik-baik saja. Gw yang terjatuh pun akan berusaha sendiri mengembalikan keseimbangan dan posisi ke keadaan semula tanpa mengeluarkan suara apapun. Menggenggam apa saja yang ada di kanan kiri gw untuk bisa berdiri kembali. Setelah gw rasa gw siap untuk berjalan lagi, gw melihat ke arah Kautsar, menganggukan kepala, dan Kautsar pun kembali membalikan badan dan melanjutkan langkahnya. Komunikasi non verbal itu pun berlangsung selama pendakian. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Menjadi komunikasi yang jauh lebih berharga dari kata semangat apapun hari itu.
Kumala : ...Nanti di jalan ada besi di kanan kiri. Jangan pegangan sama besinya, soalnya rawan longsor...
Besi yang dimaksud oleh Kumala mulai tampak satu per satu. Gw tidak terlalu dekat dengan Kumala di rombongan. Tapi Kumala menjadi sosok yang menyenangkan bagi gw untuk perkenalan pertama. Tidak seperti beberapa pendaki lainnya yang menyatakan sebentar lagi-sebentar lagi padahal masih jauh. Kumala akan bilang masih jauh kalau itu memang masih jauh. Ia pun akan bilang sebenatar lagi kalau itu memang sebentar lagi. Begitu pun urusan besi itu. Satu dua besi yang gw lewati sebenarnya gw nilai ragu rawan longsor. Karena besi itu seolah kokoh menancap tanah. Tapi beberapa meter di depan, apa yang dikatakan Kumala memang benar adanya. Banyak besi-besi tumbang di kanan kiri jalan. Besi yang sebenarnya tidak benar-benar menancap tanah karena ia hanya menancap pasir. Mengerikan melihatnya.
Kumala : Ayo Arcopodonya sebentar lagi. Dari sini, naik ke atas tinggal belok kanan.
Akan tetapi, sebelum kami benar-benar tiba di Arcopodo, satu per satu kejadian yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya terjadi. Bimo tumbang. Fisiknya mendadak drop. Bimo muntah bahkan sebelum kami berhasil setengah jalan menuju Arcopodo. Perjalanan dihentikan sementara untuk mencari jalan keluar dari kondisi Bimo saat ini. Gw dan kelompok gw yang berada beberapa meter di depan Bimo dan kelompoknya akhirnya diberi kabar bahwa Bimo memutuskan untuk memutar balik kembali ke Kalimati dan tidak melanjutkan pendakian ke Mahameru.

Selang beberapa waktu Bimo kembali ke Kalimati, Kak Syanmil dikabarkan drop. Kak Syanmil yang dikenal dengan fisik yang begitu baik dan selalu berjalan di depan saat pendakian, malam itu terlihat pucat. Bahkan kondisinya tidak memungkinkan untuk membawa carrier kelompoknya. Setelah mengalihtugaskan pembawaan carrier ke Kautsar, perjalanan dilanjutkan. Bimo dan Kak Syanmil adalah sedikit dari beberapa orang dengan kondisi fisik terbaik yang gw tahu di Gandewa. Tapi sekarang? Setelah ini, apapun benar-benar bisa terjadi. Gw cuma bisa menarik nafas panjang. Beristigfar.
Rabb, jagalalah hamba dan teman-teman hamba.
Disela-sela kejadian-kejadian yang tak pernah terprediksi sebelumnya, di tengah gelap dan sorot headlamp para pendaki, gw sesekali mencuri pandang ke arah Nadya. Denting kecemasan yang amat sangat terlihat jelas di wajahnya. Nadya adalah ketua perjalanan pendakian ke Gunung Semeru ini. Seperti yang gw duga, kalau terjadi apa-apa selama pendakian ini, Nadya akan menjadi orang nomor satu yang begitu cemas dengan keadaan anak-anak. Bahkan mungkin walaupun ia bukan ketua perjalanan sekalipun.

Jauh sebelum pendakian ini direncanakan, gw belajar banyak dari Nadya. Khususnya tentang empati. Gak akan cukup satu dua postingan untuk berceita tentang Nadya. Karena secara harfiah, Nadya memang sudah mengukir banyak cerita di Gandewa. Gw belajar teladan empati dari Nadya. Empati luar biasa yang bahkan masih ia bawa sampai di Mahameru keesokan harinya.

Kurang lebih setelah dua jam perjalanan, kami pun tiba di Arcopodo.

 Arcopodo

Dalam bahasa Jawa, Arcopodo memiliki arti arca yang sama. Konon, dulu memang ada dua buah arca kembar di sini. Akan tetapi, entah apa yang terjadi, sekarang sudah tidak ada lagi. Walaupun tidak seluas Kalimati, Arcopodo pun menjadi salah satu tempat yang dipilih oleh beberapa pendaki  untuk bermalam sebelum melanjutkan pendakian ke Mahameru. Beberapa tenda berdiri di sekitar sini. Di dekat tulisan Arcopodo, terdapat sebuah memoriam. Memoriam yang dibuat untuk mengenang salah satu pendaki yang tewas saat perjalanan menuju Mahameru. Di perjalanan selanjutnya pun terdapat beberapa memoriam di sudut-sudut jalan setapak. Isinya serupa. Mengenang seorang kawan yang tewas di tengah perjalanan.

Gw bergeming. Apapun memang benar-benar bisa terjadi di sini.

Selepas dari Arcopodo, formasi berubah. Kondisi Bimo dan Kak Syanmil yang sempat drop, membuat formasi jalan kelompok sedikit banyak berubah. Kami saling susul menyusul. Selepas dari Arcopodo, masih dengan urutan yang sama, kelompok gw pun akhirnya berjalan di depan.

Semakin ke atas, vegetasi di kanan kiri jalan perlahan berubah. Pohon-pohon tinggi perlahan digantikan dengan pepohonan rendah dan rerumputan. Semakin ke atas pasir yang kami pijak semakin tebal. Semakin ke atas langit semakin terbuka. Menyajikan, kalau kata Padi, hamparan langit maha sempurna. Bertahta bintang-bintang angkasa.
Rasi bintang layang-layang...
Gw hanya bergumam dalam hati karena takjub dengan apa yang gw lihat. Nafas gw mulai terengah-engah. Sudah mulai tidak sanggup memverbalkan apa yang ada di pikiran gw. Di belakang gw Kak Pudut berseru melihat bintang jatuh. Di ketinggian ini, bintang begitu jelas. Langit begitu dekat. Iseng gw angkat tangan gw ke atas, kalau-kalau ada bintang yang bisa gw genggam.

Jalan masih menanjak. Sesekali Kautsar memutuskan untuk berhenti istirahat. Minum. Kami pun melanjutkan perjalanan. Hari masih gelap. Gw masih mengandalkan headlamp dan langkah Kautsar untuk berjalan. Penerangan yang gw punya pun berbaik hati untuk tidak memberitahu gw bahwa kanan kiri jalan yang tengah gw lewati adalah jurang.
Kumala : Setelah ini, trek berpasirnya dimulai.
Dalam waktu normal, dari titik ini sampai ke Mahameru memakan waktu kurang lebih empat jam. Gw berhenti sejenak. Menjaga jarak dari Kautsar. Gw menengadah ke atas. Setelah ini, medan yang gw hadapi adalah trek berpasir dengan kemiringan 80 derajat. Peraturannya, pendaki tidak boleh menginjak batu karena akan rawan longsor dan menjatuhi pendaki di bawahnya. Hanya ada beberapa batu yang benar-benar menancap di badan gunung yang harus benar-benar dipastikan terlebih dahulu.

Akan tetapi, tidak ada yang benar-benar terlihat selain pergerakan lampu pendaki lainnya yang menuju ke satu titik. Hanya pasir yang benar-benar terasa mulai gw pijak. Dari belakang gw memandangi Kautsar dengan carriernya. Membayangkan Hari di belakang dengan membawa barang yang sama. Berharap dan berdoa carrier itu tidak mengganggu mereka setelah ini.

Mendadak kata-kata Kak Fiera memenuhi kepala gw.
Kak Fiera : Saat summit attack, bener-bener tinggal mental yang main. Karena lo bisa dalam keadaan benar-benar sendirian.
Gw menarik nafas panjang. Berdoa, lagi.
Rabb, hamba ingin naik. Sungguh. Kalau hamba tidak punya fisik yang cukup baik, izinkanlah hamba naik dengan mental hamba. Jagalah hamba dan teman-teman hamba.
(bersambung)

Minggu, 22 Juli 2012

Tanpa Syarat

Untuk cinta, yang bahkan masih gw bawa sampai ke atap Jawa.


Windmill di Mahameru

Dan setelah ini, akan ada deretan nama yang membentuk daftar baru. Daftar orang-orang yang dicintai tanpa syarat. Dicintai karena perbedaannya. Karena keberagamannya dalam usaha untuk bertahan.

*Bersambung ke : Catatan Perjalanan ke Atap Jawa.

Kamis, 12 Juli 2012

Tabungan Mental

Kak Fiera : Saat summit attack, bener-bener tinggal mental yang main. Karena lo bisa dalam keadaan benar-benar sendirian.
Semoga tabungan mental yang pernah dibuat sepanjang tahun 2010, cukup untuk mendampingi sampai puncak Mahameru.

12 - 16 Juli 2012
Fun Hiking Gandewa Fakultas Psikologi UI
Gunung Semeru, Malang-Lumajang, Jawa Timur, Indonesia.

Hanya kepada Engkau hamba menyembah. Hanya kepada Engkau hamba memohon perlindungan.

 MAHAMERU*

Senin, 09 Juli 2012

Sampaikan

Karena kita memang tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang
(Tania Miranti, Fadlan Mauli, 2011)

Sampaikan. Sampaikan. Sampaikan, Tuth. Dan semua akan baik-baik saja.

Minggu, 08 Juli 2012

Janjian

Gandewa, BKUI 13, KAMABA 2012, dan PDKM 2012, seolah-olah lagi janjian. Seminggu ke belakang sama-sama mengingatkan gw tentang urusan menyampaikan.

Ternyata, kesalahan komunikasi urusannya bukan hanya karena salah mengerti. Menunda untuk menyampaikan pun bisa berbuah masalah.

Lagi senang sama kebiasaan : 
Segera sampaikan, dan semua akan baik-baik saja :)

Mengimbangi

Kemarin dibuat speechless seharian.
Di Pleno 2 BKUI 13.

Dimulai dari proses presensi panitia yang menggunakan scan barcode di kartu identitas panitia. Lanjut dengan Aula Setyaningrum yang dibatasi menjadi dua bagian dengan tulisan 'tepat' dan 'telat' di tiap-tiap bagiannya. Dipertunjukan sebuah video profil UI untuk roadshow di awal pleno yang... men, kampus gw ternyata bagus banget loh.

Sampai di penghujung pleno...

Ah... Terima kasih pleno 2 BKUI 13...

Kalau boleh jujur, hanya sedang berusaha untuk mengimbangi orang-orang yang terlebih dahulu ada di dalamnya. Mencoba mengimbangi dengan melakukan semua-semuanya dari hati. Mencoba mengimbangi orang-orang yang jauh lebih dahulu mencintai BKUI :)

BKUI 13 - Break Your Limit! 

*Photo by : Fadli Wafianda- @walfiandafadli

Kamis, 05 Juli 2012

Jingkrak - Jingkrak

Jadi, jadi, ceritanya adalah gw mau menyelesaikan catatan perjalanan ke Gunung Papandayan. Gw mau cerita tentang senengnya gw yang seneng banget waktu nyuci-nyuci alat dan evaluasi perjalanan ke Papandayan di rumah Rima Selasa lalu. Gw mau cerita juga tentang apa-apa yang gw dan Nadya pikirkan tentang cowok-cowok Gandewa.
...
Nadya : Sekarang gua ngerti deh kenapa banyak yang ngefans sama Hari...
...
Gw : Sekarang gw ngerti deh kenapa banyak yang ngefans sama Kautsar...
...
Mau cerita juga tentang untuk pertama kalinya nginep di stasiun kereta api. Bareng sama anak-anak Gandewa ngantri tiket tujuan Malang dari jam 23.00 sampai 04.00 keesokan harinya di Stasiun Senen. Tentang segala riweuh karena kehabisan tiket sampai harus berurusan dengan calo. Berdampak pada alumni Gandewa yang berbaik hati memberi subsidi untuk keberangkatan adik-adiknya ke Semeru. Sampai masalah ternyata ada 3 tiket yang salah ketik tanggal keberangkatan.

Melihat sendiri perjuangan orang-orang yang rela ngantri dari pagi-pagi buta demi bertemu sanak saudara di kampung halaman. Pemandangan dan perjuangan yang dulu cuma bisa gw saksikan di tv-tv kesayangan keluarga. Melihat langusng usaha perkeretaapian Indonesia yang sedang sibuk bebenah diri demi meminimalisasi ruang gerak calo yang meresahkan masyarakat.

Tapinya, tapinya, hari ini semua tiba-tiba  menggila. Tentang banyak perkerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Jarkom untuk pertama kalinya lagi dengan kata Windmill di dalamnya. Proposal dan surat-surat PDKM yang harus segera diselesaikan. Hubungan dengan Kementrian Kesehatan RI yang harus segera dijalin. Tentang kepercayaan dan kesempatan menulis yang diberikan Pak Pilot. Tentang menjadi mentor yang belum tersentuh tangan dan hati. Tentang keseruan untuk menghadapi kegilaan komitmen yang datang secara berjamaah di waktu yang sama.
Hari : Kebanyakan komitmen sih, jadi ketarik-tarik.
Yap. Itu gw. Keseruan menghadapi komitmen yang diambil dalam keadaan sesadar-sadarnya :D

Terusnya, terusnya, antara apa-apa yang pengen gw tulis yang belum kesampean untuk gw selesaikan, ditambah banyak pekerjaan rumah yang dengan serunya harus segera gw selesaikan, berdampak pada gw yang jadi pengen banget jingkrak-jingkrak!

Jingkrak-jingkrak  karena terlalu senang. Terlalu antusias. Karena gemas. Bercampur lelah. Antara gak mau berhenti berlari. Tapi badan merengek meminta jeda berhenti.

Tadi belajar Psikologi dan Pendidikan Keluarga. Materinya tentang meningkatakan kemampuan berbahasa, membaca, dan menulis pada anak. Besok UTS Psikologi Soisal.  Bikin pengen jingkrak-jingkrak lagi malam ini.

Terlelap sebentar dulu boleh kali ya. Mengisi tenaga untuk nanti malam demi memulai jingkrakan lagi yang entah kapan baru akan berhenti :D

Selasa, 03 Juli 2012

Baru Sadar

...
Gw : Ta, orangtua gw juga over protective loh..
Tata : Orangtua lu, Teh? Lu sebebas ini over protective dari mana?
...
Ibu..
Anak perempuan satu-satunya baru sadar. Ternyata kepercayaan itu telah tumbuh lama. Kepercayaan kalau anak perempuan satu-satunya bisa menjaga dirinya sendiri. Kepercayaan bahwa anak perempuannya  mampu memilih apa yang layak dilakukan. Apa yang layak diperjuangkan.

Ibu..
Anak perempuan satu-satunya baru sadar. Dulu, dirinya tidak diizinkan pergi tanpa pendampingan Sang Ayah. Tidak diperkenankan keluar zona nyaman tanpa pendampingan Sang Kakak. Saat ini, ternyata berbagai kota berhasil dilintasinya. Depok. Jakarta. Bandung. Sukabumi. Banten. Sumedang. Garut.  Tanpa dua pendampingan itu.

Ibu..
Anak perempuan satu-satunya pun baru sadar. Bintang jatuh yang ia lihat kemarin. Padang edelweis yang membentang di hadapannya kemarin. Kawah belerang yang ia lintasi kemarin. Matahari terbit dibalik gunung yang menyinarinya kemarin. Buah dari semua kepercayaan itu. Kepercayaan yang begitu mahal harganya. Karena harus ditukar dengan denting kecemasan nada suaramu dari jarak jauh.

Ibu..
Anak perempuan satu-satunya pun baru sadar. Sampai akhirnya keinginan mengabdikan diri di pulau terluar di Indonesia tahun depan tersampaikan, dirinya sepenuhnya sadar. Kepercayaan itu telah diberikan sebenar-benarnya. Seutuh-utuhnya. Hanya dengan satu syarat. Syarat manfaat yang harus disampaikan.

Dan Ibu..
Tak pernah terbayangkan bahwa dirimu memberikan izin pada anak perempuanmu satu-satunya. Izin melintasi provinsi. Izin melintasi batas ketinggian. Tanpa semua pendampingan itu.

Tapi Ibu..
Ada yang hancur sejak kemarin. Sejak turun dari pendakian 2662 mdpl kemarin. Ada mental yang harus segera dibenahi. Ada keraguan yang membuncah untuk 3676 mdpl. Ada ketakutan menjadi beban selama perjalanan. Anak perempuanmu sungguh takut ibu. Sungguh takut tak bisa menjaga dirinya sendiri.

Ibu..
Anak perempuan satu-satunya pun, mau tidak mau, sadar kembali. Ada khayalan yang menanti untuk dijadikan kenyataan. Ada pembelajaran tentang kehidupan yang menunggu didatangi. Ada izin yang tidak datang dua kali. Ada kepercayaan yang tidak dapat dipastikan kapan akan datang lagi. Pilihannya hanya dua. Mental yang harus segera dibenahi atau tidak sama sekali. Anak perempuanmu pun, memilih pilihan pertama.

Ibu..
Waktu untuk anak perempuanmu satu-satunya hanya satu minggu. Banyak yang berkata doamu selalu menggetarkan Arsy.  Boleh anak perempuanmu satu-satunya meminta didoakan (lagi)?

Tentang mental yang tidak bisa menunggu lagi untuk segera dibenahi.

Senin, 02 Juli 2012