Rabu, 25 Juli 2012

Catatan Perjalanan ke Atap Jawa - Bagian 1

 Papan Peringatan di Kalimati

Dini hari itu hari Minggu. Tanggal 15 Juli 2012. Sekitar pukul 00.46, semua sudah berada di luar tenda. Peralatan masak dan makan yang digunakan sebelumnya dimasukan ke dalam tenda. Pengecekan akhir dilakukan. Jaket berlapis sudah dikenakan. Headlamp sudah terpasang baik di kepala. Satu orang dari tiap kelompok berbaik hati membawa carrier yang berisi minum untuk tiap kelompok. Kak Syanmil dari kelompok 1, Nadya dari kelompok 2, dan Hari dari kelompok 3. Sisanya, tiap orang membawa tas kecil yang isinya dianggap dibutuhkan selama pendakian ke puncak berlangsung.

Setelah pemanasan, Mas Gigih dan Nadya memimpin briefing. Briefing pun dibantu oleh Kumala, junior Bimo di Pattupala (pecinta alam SMAN 47 Jakarta) yang saat itu menjadi satu-satunya orang yang pernah ke Mahameru di rombongan.
...

Mas Gigih : Untuk malam ini, berhubung kita sama-sama gak tau medannya kayak apa dan gelap juga, gw minta jalannya strictly per kelompok. Saling jagain temen satu kelompoknya.

....

Kumala : Setelah ini kita ke Arcopodo, jalannya naik terus. Medannya jalan setapak dan udah mulai agak berpasir. Nanti di jalan ada besi di kanan kiri. Jangan pegangan sama besinya, soalnya rawan longsor. Pegangan sama pohon aja. Habis dari Arcopodo naik terus sampai Cemoro Tunggal. Tapi pohon cemaranya udah gak ada. Habis itu mulai trek berpasir.

....
Briefing ditutup dengan doa. Detik itu, gw memutuskan membongkar habis semua tabungan mental yang pernah gw punya. Berusaha tidak peduli dengan apapun medan yang dihadapi setelah ini. Berusaha tidak peduli dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi selama pendakian. Segala ketidakpedulian itu pun gw beranikan diri untuk diselipkan dalam doa.
Rabb, jagalah hamba dan teman-teman Gandewa hamba. Izinkan hamba naik, Ya Rabb. Dan semoga setelah semua ini berakhir, hamba masih bisa bertemu orang-orang yang hamba sayangi. Amin.
Seteleah berdoa, kami meneriakan nama Gandewa. Kami pun bergegas berangkat. Berangkat untuk melanggar peraturan di papan peringatan di Kalimati.

Kalimati adalah sebuah padang ilalang luas yang diselingi oleh beberapa pohon edelweis. Konon, kawasan ini merupakan daerah sungai yang kini sudah mengering. Itu yang menyebabkan daerah ini diberi nama Kalimati. Dari Kalimati, puncak Mahameru terlihat jelas. Bahkan sore hari sebelumnya, kami berkesempatan melihat pelangi yang ujungnya sampai menyentuh Kalimati. Selain Ranu Kumbolo, topografinya yang  datar menjadikan Kalimati merupakan salah satu titik yang biasa digunakan para pendaki untuk bermalam mendirikan tenda. Akan tetapi, topografinya yang datar, merupakan padang terbuka, dan berada di ketinggian mendekati 2900 mdpl inilah yang pada akhirnya menyebabkan suhu udara di sini sangat dingin.

Pelangi di Kalimati

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa titik pendakian terakhir yang diizinkan oleh Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah Kalimati. Setelah Kalimati, Taman Nasional tidak bertanggung jawab apabila terjadi insiden maupun kecelakaan yang menimpa para pendaki. Akan tetapi, sudah menjadi pengetahuan bersama pula bahwa Kalimati adalah salah satu titik terakhir (selain Arcopodo) yang dimanfaatkan oleh para pendaki untuk bermalam, mendirikan tenda, dan meninggalkan barang-barangnya sebelum pendakian pamungkas ke Mahameru. Malam itu, Gandewa pun menjadi salah satu bagian dari para pendaki itu.

Kami jalan sesuai dengan kelompok masing-masing. Kelompok 1 mendahului di depan. Ada Kak Syanmil, Izzat, Kamal, dan Rima. Kelompok 2 menyusul di belakang. Nadya, Tata, Bimo, Mas Gigih. Kemudian ditutup oleh kelompok 3. Kautsar, Hari, Kak Pudut, dan gw.

Jarak antara Kalimati ke Arcopodo kurang lebih 1,5 km. Medannya berupa jalan setapak yang terus menanjak ke atas. Tanah yang gw jejak pun berupa jalan yang sudah ditutupi oleh pasir. Kanan kiri jalan dipenuhi oleh tetumbuhan tinggi dan rendah yang mungkin sedikit banyak menjelaskan mengapa gw sedikit merasa sesak saat berjalan. Gw rebutan oksigen dengan tanaman di jalan yang tidak terlalu besar ini.
Mas Gigih : ...gw minta jalannya strictly per kelompok. Saling jagain temen satu kelompoknya.
Gw berjalan bersama kelompok gw. Dengan urutan jalan Kautsar paling depan, disusul oleh gw, Kak Pudut, dan Hari menjaga di belakang. Medannya terus menanjak. Bisa dihitung jari berapa jumlah pijakan yang cukup datar yang available digunakan untuk beristirahat sebentar. Selama berjalan gw hanya melihat ke bawah dan melihat langkah Kautsar.

Selalu menyenangkan berjalan di belakang Kautsar. Kalau gw bawel ritme jalannya terlalu cepat, Kautsar selalu berusaha menyesuaikan. Memperlambat. Kalau Kautsar merasa jaraknya dan jarak gw terlalu jauh, ia selalu berhenti, melihat ke belakang, dan melanjutkan berjalan jika dirasa jaraknya dengan gw sudah cukup dekat. Bahkan ketika di tengah jalan gw sudah mulai terengah-engah dan sudah tidak cukup sanggup untuk bawel dan berkomunikasi dua arah, komunikasi nonverbal kami pun tetap berlanjut. Sama seperti di Papandayan, kalau gw tiba-tiba berhenti untuk mengatur nafas, tersandung, bahkan terjatuh tanpa mengeluarkan suara, Kautsar selalu bisa menyadarinya.

Dalam kondisi itu, kami sama-sama diam. Kautsar akan langsung menghentikan langkahnya. Ia akan menoleh ke belakang dan melihat kondisi gw. Memastikan gw berada dalam keadaan baik-baik saja. Gw yang terjatuh pun akan berusaha sendiri mengembalikan keseimbangan dan posisi ke keadaan semula tanpa mengeluarkan suara apapun. Menggenggam apa saja yang ada di kanan kiri gw untuk bisa berdiri kembali. Setelah gw rasa gw siap untuk berjalan lagi, gw melihat ke arah Kautsar, menganggukan kepala, dan Kautsar pun kembali membalikan badan dan melanjutkan langkahnya. Komunikasi non verbal itu pun berlangsung selama pendakian. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Menjadi komunikasi yang jauh lebih berharga dari kata semangat apapun hari itu.
Kumala : ...Nanti di jalan ada besi di kanan kiri. Jangan pegangan sama besinya, soalnya rawan longsor...
Besi yang dimaksud oleh Kumala mulai tampak satu per satu. Gw tidak terlalu dekat dengan Kumala di rombongan. Tapi Kumala menjadi sosok yang menyenangkan bagi gw untuk perkenalan pertama. Tidak seperti beberapa pendaki lainnya yang menyatakan sebentar lagi-sebentar lagi padahal masih jauh. Kumala akan bilang masih jauh kalau itu memang masih jauh. Ia pun akan bilang sebenatar lagi kalau itu memang sebentar lagi. Begitu pun urusan besi itu. Satu dua besi yang gw lewati sebenarnya gw nilai ragu rawan longsor. Karena besi itu seolah kokoh menancap tanah. Tapi beberapa meter di depan, apa yang dikatakan Kumala memang benar adanya. Banyak besi-besi tumbang di kanan kiri jalan. Besi yang sebenarnya tidak benar-benar menancap tanah karena ia hanya menancap pasir. Mengerikan melihatnya.
Kumala : Ayo Arcopodonya sebentar lagi. Dari sini, naik ke atas tinggal belok kanan.
Akan tetapi, sebelum kami benar-benar tiba di Arcopodo, satu per satu kejadian yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya terjadi. Bimo tumbang. Fisiknya mendadak drop. Bimo muntah bahkan sebelum kami berhasil setengah jalan menuju Arcopodo. Perjalanan dihentikan sementara untuk mencari jalan keluar dari kondisi Bimo saat ini. Gw dan kelompok gw yang berada beberapa meter di depan Bimo dan kelompoknya akhirnya diberi kabar bahwa Bimo memutuskan untuk memutar balik kembali ke Kalimati dan tidak melanjutkan pendakian ke Mahameru.

Selang beberapa waktu Bimo kembali ke Kalimati, Kak Syanmil dikabarkan drop. Kak Syanmil yang dikenal dengan fisik yang begitu baik dan selalu berjalan di depan saat pendakian, malam itu terlihat pucat. Bahkan kondisinya tidak memungkinkan untuk membawa carrier kelompoknya. Setelah mengalihtugaskan pembawaan carrier ke Kautsar, perjalanan dilanjutkan. Bimo dan Kak Syanmil adalah sedikit dari beberapa orang dengan kondisi fisik terbaik yang gw tahu di Gandewa. Tapi sekarang? Setelah ini, apapun benar-benar bisa terjadi. Gw cuma bisa menarik nafas panjang. Beristigfar.
Rabb, jagalalah hamba dan teman-teman hamba.
Disela-sela kejadian-kejadian yang tak pernah terprediksi sebelumnya, di tengah gelap dan sorot headlamp para pendaki, gw sesekali mencuri pandang ke arah Nadya. Denting kecemasan yang amat sangat terlihat jelas di wajahnya. Nadya adalah ketua perjalanan pendakian ke Gunung Semeru ini. Seperti yang gw duga, kalau terjadi apa-apa selama pendakian ini, Nadya akan menjadi orang nomor satu yang begitu cemas dengan keadaan anak-anak. Bahkan mungkin walaupun ia bukan ketua perjalanan sekalipun.

Jauh sebelum pendakian ini direncanakan, gw belajar banyak dari Nadya. Khususnya tentang empati. Gak akan cukup satu dua postingan untuk berceita tentang Nadya. Karena secara harfiah, Nadya memang sudah mengukir banyak cerita di Gandewa. Gw belajar teladan empati dari Nadya. Empati luar biasa yang bahkan masih ia bawa sampai di Mahameru keesokan harinya.

Kurang lebih setelah dua jam perjalanan, kami pun tiba di Arcopodo.

 Arcopodo

Dalam bahasa Jawa, Arcopodo memiliki arti arca yang sama. Konon, dulu memang ada dua buah arca kembar di sini. Akan tetapi, entah apa yang terjadi, sekarang sudah tidak ada lagi. Walaupun tidak seluas Kalimati, Arcopodo pun menjadi salah satu tempat yang dipilih oleh beberapa pendaki  untuk bermalam sebelum melanjutkan pendakian ke Mahameru. Beberapa tenda berdiri di sekitar sini. Di dekat tulisan Arcopodo, terdapat sebuah memoriam. Memoriam yang dibuat untuk mengenang salah satu pendaki yang tewas saat perjalanan menuju Mahameru. Di perjalanan selanjutnya pun terdapat beberapa memoriam di sudut-sudut jalan setapak. Isinya serupa. Mengenang seorang kawan yang tewas di tengah perjalanan.

Gw bergeming. Apapun memang benar-benar bisa terjadi di sini.

Selepas dari Arcopodo, formasi berubah. Kondisi Bimo dan Kak Syanmil yang sempat drop, membuat formasi jalan kelompok sedikit banyak berubah. Kami saling susul menyusul. Selepas dari Arcopodo, masih dengan urutan yang sama, kelompok gw pun akhirnya berjalan di depan.

Semakin ke atas, vegetasi di kanan kiri jalan perlahan berubah. Pohon-pohon tinggi perlahan digantikan dengan pepohonan rendah dan rerumputan. Semakin ke atas pasir yang kami pijak semakin tebal. Semakin ke atas langit semakin terbuka. Menyajikan, kalau kata Padi, hamparan langit maha sempurna. Bertahta bintang-bintang angkasa.
Rasi bintang layang-layang...
Gw hanya bergumam dalam hati karena takjub dengan apa yang gw lihat. Nafas gw mulai terengah-engah. Sudah mulai tidak sanggup memverbalkan apa yang ada di pikiran gw. Di belakang gw Kak Pudut berseru melihat bintang jatuh. Di ketinggian ini, bintang begitu jelas. Langit begitu dekat. Iseng gw angkat tangan gw ke atas, kalau-kalau ada bintang yang bisa gw genggam.

Jalan masih menanjak. Sesekali Kautsar memutuskan untuk berhenti istirahat. Minum. Kami pun melanjutkan perjalanan. Hari masih gelap. Gw masih mengandalkan headlamp dan langkah Kautsar untuk berjalan. Penerangan yang gw punya pun berbaik hati untuk tidak memberitahu gw bahwa kanan kiri jalan yang tengah gw lewati adalah jurang.
Kumala : Setelah ini, trek berpasirnya dimulai.
Dalam waktu normal, dari titik ini sampai ke Mahameru memakan waktu kurang lebih empat jam. Gw berhenti sejenak. Menjaga jarak dari Kautsar. Gw menengadah ke atas. Setelah ini, medan yang gw hadapi adalah trek berpasir dengan kemiringan 80 derajat. Peraturannya, pendaki tidak boleh menginjak batu karena akan rawan longsor dan menjatuhi pendaki di bawahnya. Hanya ada beberapa batu yang benar-benar menancap di badan gunung yang harus benar-benar dipastikan terlebih dahulu.

Akan tetapi, tidak ada yang benar-benar terlihat selain pergerakan lampu pendaki lainnya yang menuju ke satu titik. Hanya pasir yang benar-benar terasa mulai gw pijak. Dari belakang gw memandangi Kautsar dengan carriernya. Membayangkan Hari di belakang dengan membawa barang yang sama. Berharap dan berdoa carrier itu tidak mengganggu mereka setelah ini.

Mendadak kata-kata Kak Fiera memenuhi kepala gw.
Kak Fiera : Saat summit attack, bener-bener tinggal mental yang main. Karena lo bisa dalam keadaan benar-benar sendirian.
Gw menarik nafas panjang. Berdoa, lagi.
Rabb, hamba ingin naik. Sungguh. Kalau hamba tidak punya fisik yang cukup baik, izinkanlah hamba naik dengan mental hamba. Jagalah hamba dan teman-teman hamba.
(bersambung)

0 komentar: