Kamis, 26 Juli 2012

Catatan Perjalanan ke Atap Jawa - Bagian 2

Pendakian di trek berpasir dimulai. Di awal pendakian, Kautsar, gw, Kak Pudut, dan Hari hanya berjarak dua tiga langkah. Posisi badan kami masih bisa berdiri secara sempurna. Tapi semua yang kami baca dan kami dengar, benar. Semua benar. Di trek berpasir ini, setiap maju dua langkah, mundur selangkah. Setiap maju lima langkah, mundur tiga langkah. Mental mulai bermain. Trek ini yang seolah membuat pendaki tidak kunjung sampai sebanyak apapun ia melangkah.

Untuk menjaga jarak dalam kegelapan, gw memanggil Kautsar, Kak Pudut, dan Hari dalam gelap untuk memastikan posisi kami masing-masing.
Saaaar..
Kaaak..
Riii...
Setiap gw memutuskan untuk menjaga jarak, gw berhenti. Setelah teriakan gw direspon, gw melanjutkan pendakian. Beberapa kali pertama kami masih bisa istirahat bersama di sebuah batu besar. Minum. Saling mengecek kondisi masing-masing.

Jalur Pendakian ke Mahameru

Tapi itu awalnya. Itu hanya di awal. Tanpa tahu sebelumnya kalua gw benar-benar akan berada dalam kondisi sendirian.

Semakin ke atas, setiap orang mulai menemukan ritme mendakinya masing-masing. Semakin ke atas, posisi tubuh mulai tidak bisa berdiri secara sempurna. Beberapa mulai merangkak untuk menjaga posisi tubuh tetap seimbang dalam kemiringan. Begitu pula dengan gw. Gw mulai merangkak. Merangkak dua langkah, mundur satu langkah. Merangkak lima langkah, mundur tiga langkah. Seluruh badan gw mulai ikut mendaki. Jari-jari tangan refleks gw buka membentuk cakar, kemudian gw tancapkan ke pasir untuk menopang berat badan gw.

Masih dalam keadaan merangkak, sesekali gw berhenti. Mengatur nafas. Setiap memutuskan untuk berhenti mengatur nafas, gw menghindari duduk. Gw memilih tetap dalam posisi merangkak demi pijakan gw yang bisa longsor kapan saja dalam jarak yang cukup jauh. Setiap berhenti, gw cuma bisa beristigfar, mencoba menormalkan kembali nafas, mengucapkan basmallah, menggumamkan doa yang sama, dan melanjutkan merangkak.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Ritual itu gw ulang berkali-kali. Setiap gw berhenti dan memulai perjalanan lagi.

Satu keajaiban yang gw sadari belakangan, selama mendaki dan merangkak, badan gw menuruti mental gw untuk tidak duduk terlalu lama demi tidak membiarkan tubuh gw kehilangan panasnya. Lisan gw menuruti mental gw untuk tidak mengucapkan kata lelah dan capek sedikit pun. Pikiran gw menuruti mental gw untuk tidak terlintas sedikitpun kata memutar arah untuk turun. Karena sedikit saja gw mengucapkan kata lelah dan terlintas keinginan untuk turun, pikiran gw bisa menyetir badan gw menjadi benar-benar lumpuh seketika untuk diajak mendaki.

Dalam kondisi mental gw yang menguasai seluruh fisik dan pikiran gw saat itu, gw pun mencoba menjaga jarak lagi.
Saaar..
Tidak ada respon.
Saaar...
Tidak ada respon.
Kaaak...
Tidak ada respon.
Kaaak...
Tidak ada respon.

Gw diam. Mulai menyadari bahwa jarak gw terlalu jauh di depan dari kelompok gw.
Ri...
Tidak ada respon.
Ri..
Tidak ada respon.
Hariiii...
Yooo...
Ada. Hari ada di jarak yang tidak jauh dari gw. Gw pun melanjutkan merangkak.

Selama pendakian, sesekali gw bertegur sapa dengan pendaki lainnya. Saling menyemangati. Sampai akhirnya gw tiba di salah satu batu besar, gw pun berhenti untuk mengatur nafas kembali. Seorang bule yang sedari tadi sempat gw perhatikan selalu mengucapkan assalamualaikum setiap bertemu pendaki lain pun menyapa gw yang sedang terengah-engah.
Bule : Heloo
Gw : Helo, Sir.
Bule :Hey, you're so beautiful.
Gw : Really? Thank you.
Masih sambil terengah-engah, gw cuma bisa nyengir. Bule tadi mengigau kali yak? Orang gelap gelap gini, muka gw pasir dan debu semua, masih bisa-bisanya dibilang cantik -___-"

Gw pun mencoba menjaga jarak lagi. Kautsar dan Kak Pudut pun sudah tidak merespon teriakan gw. Detik itu, gw sadar gw harus tetap menjaga jarak dengan Hari.

Gw pun diberi semangat oleh beberapa pendaki lainnya. Sepasang, entah kekasih entah suami istri, ikut menyemangati gw. Perempuannya membantu menarik tangan gw saat gw hendak menuju sebuah batu besar lainnya untuk berpegangan. Saat gw tiba di batu itu, mereka meninggalkan gw sambil memberi semangat. Sambil bersandar di batu besar, gw memerhatikan pasangan tersebut. Gw cuma bisa geleng-geleng kepala waktu menyadari sepatu yang digunakan sang perempuan hanya sepatu kets biasa. Begitu kentara bahwa sang perempuan benar-benar mengandalkan cengkraman tangan sang laki-laki sebagai tumpuan. Kakinya tidak bisa benar-benar berpijak dengan kuat. Sang laki-laki pun mencengkram kuat tangan yang perempuan, menarik tangannya, dan menyemangati perempuannya kalau mereka bisa.


Hari pun tiba di dekat batu yang gw pijak. Gw pun menarik tangan Hari dan memutuskan untuk beristirahat bersama. Gw memastikan kondisi Hari baik-baik saja. Memastikan carrier yang ia bawa tidak mengganggunya, dan setelahnya memutuskan untuk merangkak beriringan.


Gw dan Hari pun saling susul menyusul. Saling memberikan pegangan. Saling mengingatkan ketika ada runtuhan batu yang siap menghantam dari atas. Kami pun merangkak bersisian dalam diam. Nafas kami yang sama-sama memburu sudah lebih dari cukup untuk membahasakan banyak hal.

Mental yang menggila itu mulai menguasai gw lagi. Ketika Hari harus berhenti berkali-kali untuk mengatur nafas dan membuka sepatunya karena kemasukan kerikil dan pasir, gw terus merangkak tanpa jeda. Gw kalap. Entah bagaimana ekspresi muka gw saat itu, tapi nafas gw yang memburu dan teriakan gw untuk melepaskan kegeraman karena tidak kunjung sampai, sempat membuat pendaki di sekitar gw yang rata-rata laki-laki menoleh.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Semakin ke atas, kemiringan badan gunung semakin curam. Semakin ke atas, gw semakin takut untuk berdiri dalam posisi sempurna. Semakin takut untuk menoleh ke belakang. Terakhir gw menoleh ke belakang untuk memanggil Hari, posisi gw sudah bersisian dengan gumpalan awan.

Jam tangan gw menunjukkan pukul 04.30. Mahameru belum terlihat. Hanya pergerakan headlamp dan senter yang dibawa oleh pendaki lain yang mampu tertangkap mata gw. Gw masih dalam posisi merangkak. Jari jari tangan gw masih mencengkram pasir. Telapak kaki masih berusaha menyeimbangkan pijakan.

Mendadak mata gw berkunang-kunang. Perut gw panas. Badan gw panas dingin. Seluruh tubuh gw mengirimkan satu sinyal ke otak gw. Gw lapar. Kesadaran gw bilang gw gak bisa lanjut merangkak. Gw harus memasukan sesuatu ke dalam perut. Sesegera mungkin. Gw gak boleh nekat. Karena kalau iya, gw bisa benar-benar pingsan di ketinggian. Gw memberanikan diri setengah berdiri. Mencabut tangan kiri dari pasir. Mendongak ke atas. Mencari tempat persinggahan.

Persis beberapa meter di depan gw ada sebuah batu besar. Sempurna berada di tengah-tengah badan gunung. Cepat gw menyimpulkan bahwa itu adalah sedikit dari batu yang menancap mantap di badan gunung. Salah satu batu yang bisa dijadikan tempat beristirahat. Setelah mengingat ada sebungkus madu di dalam tas kecil yang gw bawa, setelah berteriak sekali lagi memanggil nama Hari untuk memastikan gw berada di jarak yang tidak jauh dari Hari, gw mencengkramkan kembali jari-jari tangan ke dalam pasir. Bersiap merangkak lagi.

Cengkraman tangan itu melemah. Pijakan kaki semakin tak tentu arah. Merangkak tiga langkah, mundur satu langkah. Merangkak dua langkah, mundur satu langkah. Entah sudah berbentuk apa jari jari kaki dan tangan gw saat itu. Tapi saat itu, gw harus sampai di batu besar itu. Gw gak boleh pingsan di sini. Gak boleh.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Gw mencengkramkan tangan gw di ujung batu, mencari tumpuan untuk menarik badan gw yang mulai limbung. Gw pun berhasil menggapai batu besar yang menancap secara horisontal di badan gunung. Sempurna berada di tengah badan gunung. Untuk pertama kalinya lagi, gw memberanikan diri untuk membalikkan badan demi bisa duduk di atas batu yang berada di ketinggian lebih dari 3000 meter itu..
Allahuakbar...
Di depan gw membentang deretan pegunungan yang tidak gw ketahui namanya. Di sebelah kanan badan gunung disajikan gumpalan awan bak lautan kapas putih. Di sebelah kiri badan gunung kiri menggambarkan ketinggian yang menggetarkan.

Sebelum tenggelam dengan semua keindahan dan ketakutan ini, gw segera sadar apa yang seharusnya segera gw lakukan. Dibalik sarung tangan, tangan gw bergetar hebat. Entah karena dingin entah karena kebas menghantam pasir. Susah payah gw mengambil botol minum dari saku celana. Lupa bahwa sudah tak ada lagi air yang tersisa di dalamnya. Pergerakan tangan gw pun berganti ke dalam tas kecil gw. Sebungkus madu pun berhasil gw ambil dari tas gw yang sudah tak jelas apa warnanya.

Tangan gw kebas. Gak cukup kuat untuk menyobek bungkus madurasa. Teringat ada pisau lipat di dalam jaket yang gw ikatkan di pinggang. Gw mencoba meraba-raba jaket gw di tengah kegelapan. Di tengah kedinginan. Tak terjangkau. Gw harus berdiri untuk mengambilnya. Tidak. Gw gak cukup berani untuk berdiri dalam ketinggian dan posisi seperti itu.

Gw lapar. Gw harus makan sesuatu. Gw gak mau turun. Gw gak mau pingsan di sini.
Rabb, hamba mau naik. Hamba mau naik...
Gw pun kalap. Gw menggigit seenaknya bagian ujung bungkus madu. Bungkus madu pun terbuka tak beraturan bersama isinya.Gw segera mengarahkan madu yang masih berada di dalam bungkusnya ke arah mulut gw. Sambil terus menyedot isi madu, gw duduk terpekur. Diam. Memerhatikan pemandangan di hadapan gw. Tidak memedulikan pendaki di kanan kiri gw yang melintas begitu saja. Mengabaikan rasa dingin yang semakin memaksa menembus tulang. Mendadak gw merasa sendirian.

Dari tempat gw, Hari mulai terlihat mendekat. Masih dalam posisi duduk sambil menyedot madu, gw hanya bisa berdoa hari segera tiba di tempat gw. Mendadak gw takut sendirian.

Sampai akhirnya Hari tiba di hadapan gw, gw menarik tangan Hari. Mempersilakannya duduk di atas batu, di sebelah gw. Tangan Hari bergetar. Nafasnya masih terengah-engah. Air minum di botolnya pun sama-sama sudah tak bersisa. Gw pun membagi madu yang ada di tangan gw. Hari masih mengatur nafasnya. Sekilas gw melihat mata Hari berkaca-kaca. Pemandangan itu merangsek menggetarkan gw. Belakangan gw tahu saat itu Hari tengah menangis. Kami sama-sama diam. Berkutat dengan pikiran masing-masing.

Dalam kondisi haus, lapar, dingin, dan sendirian, kehadiran Hari saat itu berarti banyak buat gw. Mendadak perkenalan gw dengan Hari saat OKK terlintas di kepala gw. Tanpa tau selanjutnya bahwa orang yang ada di sebelah gw saat ini kelak memiliki banyak cerita yang bersisian dengan gw. Keinginan gw yang sempat ingin memprotes Hari tentang mukanya yang galak dan kebiasaannya susah dihubungi mendadak runtuh pagi itu. Ada kesadaran datang tentang terlalu banyak menuntut sebagai seorang teman.
Hari : Tut, duluan jalan lagi.
Kalimat Hari tetiba memecah lamunan gw. Tahu gw sudah dari tadi duduk dan khawatir akan kehilangan panas tubuh, Hari mempersilakan gw jalan duluan. Gw pun bersiap merangkak kembali dalam diam, sambil bergumam dalam hati.
Maafin gw, Ri. Setelah ini, gw janji gak akan banyak menuntut lagi.
Sugesti bahwa madu sudah menyelematkan fisik gw, cukup ampuh untuk membuat gw sanggup melanjutkan pendakian. Gw pun mulai merangkak lagi. Gw berkenalan lagi dengan seorang pendaki. Seorang laki-laki yang berasal dari Malang, yang kemudian gw sebut sebagai Mas-Mas Malang. Dari Mas-Mas Malang gw mulai memberanikan diri untuk mendaki dengan posisi berdiri sempurna. Gw melihat dari cara mendakinya bahwa berdiri pun tidak akan benar-benar membuat kita jatuh ke bawah selama kita mencondongkan badan ke arah depan. Gw pun mulai mencobanya walaupun sesekali gw masih harus merangkak karena tidak sanggup berpijak dengan kuat. Kami berjalan bersisian. Saling susul menyusul. Saling menyemangati satu sama lain tanpa perlu tahu nama masing-masing.

Sudah satu jam lebih sejak gw istirahat bersama Hari. Terlalu fokus naik membuat gw tidak menyadari bahwa langit mulai kemerahan. Satu persatu pendaki mulai mematikan headlamp-nya. Gw pun tidak menyadari bahwa pergerakan pendaki yang berada di atas gw mulai melambat. Masih dalam posisi merangkak, tiba-tiba Hari teriak ke arah gw dari bawah.
Hari : Tut, liaat!
Gw pun refleks menoleh ke arah Hari. Tersenyum. Menganggukan kepala. Menyetujui apa yang Hari bilang harus dilihat.

Menjelang Matahari Terbit

Gumpalan awan yang sedari tadi diselubungi langit hitam penuh bintang, kini bergeser memperlihatkan pesonanya yang lain. Langit mulai kebiruan. Di batas gumpalan awan tersebut semburat merah dan oranye mulai terlihat. Pelan-pelan, sumber warna kemerahan itu menampakan wujudnya. Benda bulat oranye menyembul dari gumpalan awan. Menantang seluruh tatapan mata yang menghujam ke arahnya. Meredam keangkuhan yang sedikit-sedikit menelisik masuk demi tiba di puncak tertinggi.

Semua kegiatan pendakian seolah sempurna terhenti. Semua bersiap dengan kemunculan salah satu benda langit terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya. Semua mata siap merekam. Semua kamera siap menunjukan performa terbaiknya.

Gw yang masih dalam posisi merangkak, memberanikan diri melepaskan cengkaraman tangan kiri demi bisa menoleh dengan sempurna. Saat benda bulat oranye itu keluar dengan sempurna dari balik awan, saat mata tak mampu merekam lebih lama, gw memejamkan mata. Menangis.
Allahuakbar...
Menangis demi mengingat teman-teman Gandewa gw di bawah yang entah bagaimana kabarnya. Demi mengingat sholat Subuh yang kadang tak tepat waktu. Demi mengingat keinginan untuk cepat tiba di atas. Demi mengingat kaki dan tangan yang mulai meronta tapi tak pernah diizinkan mental gw untuk duduk lebih lama, melisankan kata lelah, dan memutar balik arah untuk turun.
Rabb, hamba ingin naik. Hamba ingin naik...
Di saat benda bulat itu masih sempurna membuat para pendaki mematung di tempatnya, sambil menangis gw terus merangkak naik. Keinginan untuk segera sampai tak dapat dibendung lagi. Bersamaan dengan munculnya benda bulat oranye itu, jalur macam apa yang tengah gw daki mulai menampakan wujud aslinya. Begitu juga wujud Mahameru yang mulai tertangkap mata.

 Jalur Pendakian ke Mahameru
Seorang Pendaki : Ayo semangat Mba! Setengah jam lagi sampai.
Setengah jam untuk pendaki itu, tapi satu setengah jam buat gw. Semakin terang, semakin jelas jalur jenis macam apa yang gw lewati. Semakin jelas dimana Mahameru, tapi semakin jelas membuat pustus asa karena tidak kunjung sampai.

Gw pun tidak memedulilkan berapa menit lagi gw bisa sampai di atas. Di kepala gw, apapun yang terjadi, gw harus tetep jalan. Gw harus tetap merangkak. Sekecil apapun langkahnya. Sebanyak apapun gw harus mundur lagi. Gandewa harus sesegera mungkin sampai di atas.

Gw pun masih berjalan bersisian dengan Mas-Mas Malang. Semakin ke atas, medan pasirnya mulai bersahabat. Gw sudah mulai bisa berdiri dengan sempurna. Gw pun sedikit banyak bisa bercakap-cakap dengan Mas-Mas Malang. Saat gw bertanya apakah benar kita hanya bisa sampai jam 9 di Mahameru, Mas-Mas Malang membenarkan. Selain karena arah angin yang akan membawa gas belerang ke arah jalur pendakian, panasnya matahari yang kontras dengan suhu udara di Mahameru membuat tidak banyak orang yang kuat berlama-lama di atas. Menyadari gw berada paling depan saat ini, gw mempercepat langkah.  Gandewa harus sesegera mungkin sampai di atas.
Pendaki Lain : Ayo semangat, Mba. Lima menit lagi sampai.
Dan itu, sebenar-benarnya lima menit terakhir yang harus gw lalui. Setelah menyeberangi jalur setapak dengan kanan kiri jurang, setelah naik menukik ke kanan atas melewati sebuah batu besar, bersama Mas-Mas Malang,  tepat pukul 06.55, gw menginjakan kaki di Mahameru.

Gw dan Mas-Mas Malang pun saling mengucapkan selamat. Kemudian berpisah. Gw melihat Mas-Mas Malang beramai-ramai diberi selamat oleh teman-temannya yang  lebih dulu tiba di Mahameru. Mendadak gw sedih. Ditengah riuh rendah suara suka cita di Mahameru, gw merasa sendirian lagi.

Bersamaan dengan itu, mental gw selesai menjalankan tugasnya. Gw mulai dikuasai oleh diri gw sendiri. Badan gw tumbang. Gw jatuh terduduk sambil meluruskan kaki. Kaki gw remuk redam. Jari-jari tangan gw kebas. Gw meringis menahan nyut-nyutan di kaki dan jari-jari tangan. Gw duduk diam. Berharap teman-teman lain segera datang.

Hanya bisa bertakbir berkali-kali dalam hati demi apa-apa yang gw lihat saat itu. Pemandangannya masih sama. Di depan kami membentang deretan pegunungan yang kemudian gw ketahui namanya.Gunung Arjuno-Welirang dan Gunung Panenggungan.  Di sebelah kanan badan gunung disajikan gumpalan awan bak lautan kapas putih. Di sebelah kiri badan gunung kiri menggambarkan ketinggian yang menggetarkan. Bedanya, tak ada lagi dataran setelah ini. Ini dataran terakhir yang bisa gw pijak.
Sepuluh menit berselang, Hari muncul dari balik batu. Menyusul.
Hariiii!!
Kaki gw remuk redam. Masih dalam posisi yang sama, gw hanya bisa berseru senang menyambut Hari dari kejauhan. Gw mengangkat kedua tangan gw untuk memberitahu posisi gw. Masih beberapa meter dari posisi Hari untuk sampai di tempat gw.

Sampai akhirnya Hari tiba di tempat gw. Ia berlutut persis di hadapan gw. Tumbang. Matanya berkaca-kaca. Ia pun segera memejamkan mata. Tersenyum.

Gw pun mengguncang-guncangkan badan hari.
Ri, kita nyampe, Ri! Kita nyampe!
Hari masih tersenyum memejamkan mata. Masih diam. Entah apa yang ada dipikirannya. Matanya yang tadi berkaca-kaca pun tak bisa menjelaskan apapun. Entah senang. Entah lelah.

Hari pun bersandar pada sebuah batu. Gw pun membiarkannya berkutat dengan pikirannya. Mengatur nafas. Kami duduk bersisian mengahadap pemandangan yang sedari tadi menemani kami selama pendakian.

Gw masih diam.  Memandangi apa-apa yang di hadapan gw. Menelanjangi dataran yang kemudian baru gw sadari ini adalah puncak pertama gw. Mata gw memaksa menembus celah-celah kosong di atas lautan kapas. Menyapa puncak-puncak tertinggi tiang pancang lainnya. Menyadari bahwa di ketinggian ini sudah tak ada satu pun vegetasi yang mampu bertahan.

Gw ikut memejamkan mata.  Menarik nafas panjang. Tersenyum.

Ada yang berhasil ditaklukan, lagi.
Kak Rono : Ketika kalian naik gunung, sebenarnya bukan gunung yang kalian taklukan. Tapi diri kalian sendiri.

Mahameru

Gw dan Hari masih terdiam. Menunggu Gandewa yang lain menyusul datang. Menunggu tanpa tahu sebelumnya bahwa tiap-tiap dari kami akan membawa ceritanya masing-masing sampai ke Mahameru.

(bersambung)

6 komentar:

Mu'minah Mustaqimah mengatakan...

teh tutii. subhanallah. nggak kebayang perasaan yang mendaki gunung langsung --baca post teteh aja udah merinding sendiri. kereen. serasa baca novel 5cm --sedikit-sedikit inget ada beberapa spot yang juga disebutin di sana.

jadi penasaran pengen coba daki gunung juga :p

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@Mu'minah Mustaqimah : terima kasih sudah membaca dan berkunjung :) iya neng, memang latarnya sama persis dengan yang ada di 5 cm. naik gunung bisa loh jadi sesuatu yang direkomendasikan untuk dicoba minimal sekali semur hidup, soalnya ketika kita naik gunung, kita gak akan cuma dapet 'puncaknya' aja :) btw, hapunten pisan, nama panggilanmu siapa ya sayang? tuti lupa, hehe :P

Almitra Indira mengatakan...

Teh Tuti ini asli keren banget. Merinding banget baca nyaaa o:)aaaa semoga suatu hari nanti indi juga ada kesempatan untuk naik gunung! :)

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@indi : hatur nuhun sudah berkunjung dan membaca sayang :) allahuma amiin, semoga berkesempatan ya neng. Dijamin gak bakal nyesel kalau udah nyoba ;)

Fadlan mengatakan...

tuti, waw, bener kata komen2 diatas. bacanya bikin merinding. kagum dan salut sama kamu. the way you conquer yourself is something that makes you 'sakti'. that's why i called you tuti sakti. semoga semakin sakti terus ya. fight and win untuk pencapaian2 selanjutnya. :)

.fadlan.

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@a'fadlan : :') a'fadlan, kangen. Hatur nuhun untuk labellingnya selama ini. Berpengaruh banyak buat tuti untuk jangan pernah mengecewakan orang-orang yang percaya sama tuti. doa dan semangat yang sama untuk a'fadlan untuk apapun yang sedang diperjuangkan :')