Rabu, 28 September 2011

Alarm

Murai : Teh, kalau tidak siap terperosok lebih dalam, jangan iseng berdiri di pinggir hati seseorang.


Minggu, 18 September 2011

LogPenIl/Jurnal 1/#SaveUI


Ini jurnal perdana gw di mata kuliah Logika dan Penulisan Ilmiah (LogPenIl) yang berharap bisa gw bantai di semester ini. Untuk jurnal perdana ini, tema masih dibebaskan sesuai dengan apapun yang tengah menarik minat kita. Dengan rasa sok tahu dan pede yang ketinggian, gw sengaja mempublish tugas yang satu ini dengan harapan siapapun yang membaca berkenan untuk meberikan tanggapan, penilaian, atau bahkan koreksi yang membangun baik dari segi format, kaidah penulisan, maupun daris segi konten. Mengingat sampai tulisan ini di publish, gw masih geleng-geleng kepala dengan urusan daftar pustaka dan kutipan -__-

Selamat membaca :D

***

#SaveUI

Saat ini, pertengahan September 2011, belum genap dua bulan saya menginjakkan kaki di Kota Depok sebagai mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Akan tetapi, ada sebuah fenomena yang terjadi di kampus kuning ini yang cukup menarik perhatian saya. Tulisan #SaveUI dalam waktu singkat menjamur di berbagai sudut kampus ini dan di berbagai media masa.
Mengapa saya katakan dalam waktu singkat? Awalnya, saya hanya mendengar istilah ini melalui cerita-cerita singkat dari kakak-kakak senior. Dalam waktu yang begitu cepat, istilah ini mulai memadati berbagai media massa, seperti twitter, facebook, dan beberapa artikel harian nasional. Tidak lama kemudian, lebih tepatnya minggu lalu, kakak-kakak senior dari BEM UI melakukan orasi di beberapa titik kampus sambil membagikan pin gratis berwarna kuning dengan tulisan #SaveUI yang saat ini digunakan oleh beberapa mahasiswa Universitas Indonesia. Sampai pada puncaknya, siapapun yang masuk ke dalam lingkungan Universitas Indonesia melalui Stasiun UI pasti akan melihat sebuah baliho besar, pengumuman akan diadakannya sebuah diskusi terbuka dengan tulisan #SaveUI di dalamnya.
Pertanyaan demi pertanyaan pun memenuhi kepala saya yang pada akhirnya terangkum menjadi satu pertanyaan. Ada apa dengan UI? Walaupun saya belum lama resmi menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, saya merasa saya memiliki hak yang sama dengan mahasiswa senior lainnya untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Bumi Makara ini. Berbagai upaya saya coba lakukan untuk mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri.
Bermula dari seorang teman yang mengabarkan secara singkat bahwa Rektor UI, Bapak Gumilar Rusliwa Somantri, tengah didera kecaman oleh berbagai pihak karena tindakan yang beliau lakukan beberapa bulan yang lalu. Tidak serta merta percaya dengan kabar lisan yang diberikan oleh seorang teman, saya mencoba mencari sumber informasi lain yang akhirnya berhasil didapatkan melalui artikel sebuah harian nasional online. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa pada tanggal 21 Agustus 2011 lalu Rektor UI telah memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Raja Kerajaan Arab, Raja Abdullah, atas perhatiannya terhadap perkembangan kemanusiaan dan iptek, serta jasanya menjadikan Saudi sebagai pusat peradaban Islam moderat. Padahal di sisi lain, saat itu sebagian rakyat Indonesia masih berduka dan kecewa atas kebijakan Negara Arab Saudi yang sempat menjatuhkan hukuman pancung kepada beberapan  tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di Arab Saudi.
Tidak puas hanya dengan artikel tersebut, saya pun masih terus mencoba mencari informasi tentang keadaan terbaru seputar Universitas Indonesia, termasuk melalui kakak senior saya angkatan 2009 yang berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Selama mendengarkan informasi dari kakak kelas saya tersebut, saya mendapatkan sebuah istilah baru yang ternyata hal tersebut merupakan dasar dari seluruh permasalahan yang membuat suasana UI agak memanas belakangan ini. Tata Kelola UI.
Hari pun terus bergulir. Informasi seputar keadaan UI saat ini terus mengalir deras. Puncaknya saya rasakan ketika saya membaca sebuah artikel blog yang me-repost tulisan dengan tema gambaran umum keadaan UI saat ini yang ditulis oleh salah satu petinggi BEM Fakultas Psikologi UI dan sebuah live report kegiatan halal bihalal FEUI yang salah satu agenda utamanya adalah orasi dari Prof. Emil Salim seputar tata kelola UI saat ini.
Melalui artikel tersebut, saya mendapatkan sebuah gambaran bahwa keadaan UI saat ini memang sedang tidak baik-baik saja.  Shanti Nurfianti Andin, Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi UI, memaparkan pendapatnya dalam blog pribadinya tersebut. Shanti (2011) mengungkapkan bahwa pemberian gelar itu cuma pemantik dan bukan isu dasarnya. Pernyataan tersebut pun seolah diaminkan oleh Atha Rasyadi, Ketua Bem Psikologi 2011. Menurut Atha (2011) kasus pemberian gelar Doktor Honoris Causa dan kontroversinya hanyalah merupakan turunan dari suatu masalah yang lebih besar yang terjadi di UI.
Pada akhirnya, kegiatan halal bihalal yang diselenggarakan di FEUI pun seolah membuka secara lugas apa yang tengah terjadi saat ini di universitas yang menduduki peringkat 217 terbaik di dunia ini. Menurut Prof. Emil Salim (2011) hal yang dituntut adalah transparasi, akuntabilitas, partisipasi stakeholder, mekanisme check and balance, dan tumbuhnya suasana kreatif.
Mengapa banyak tuntutan yang tiba-tiba menghujam para pejabat tinggi UI tanpa ampun dalam kurun waktu yang sangat singkat? Orasi-orasi selanjutnya pun seolah menjawab pertanyaan tersebut. Maman Abdurakhman, Ketua BEM UI 2011, mengeluarkan sebuah pernyataan yang harusnya cukup menyentil para pejabat UI jika mau ditilik lebih dalam.
Menurut Maman (2011), jalur masuk membuat UI tidak pantas menjadi kampus rakyat karena kesempatan rakyat miskin berkuliah di UI semakin kecil. Andreas Senjaya, MWA UI Unsur Mahasiswa, pun tidak  mau ketinggalan. Andreas (2011) memaparkan bahwa evaluasi pimpinan selama tiga tahun tidak pernah digubris dan undangan rapat sulit untuk dihadiri.
Orasi-orasi selanjutnya pun, baik dari mahasiwsa yang menjadi korban insiden 17 Agustus 2011, dosen-dosen dan guru besar, serta perwakilan paguyuban pekerja UI, membuka satu persatu contoh-contoh kasus yang mengindikasikan mengapa tata kelola UI yang lebih baik saat ini merupakan sebuah urgensi.
Beberapa hari kemudian setelah membaca artikel tersebut dan  memberanikan diri menanyakan apa yang terjadi dengan UI kepada beberapa dosen saat di kelas, akhirnya saya mengerti apa yang dimaksud dengan istilah #SaveUI tersebut. Saya sudah tidak bertanya-tanya lagi ketika melihat kakak-kakak senior semakin gencar menyuarakan hal ini, baik dengan berorasi keliling UI maupun dengan menyelenggarakan diskusi terbuka di beberapa fakultas.
Pertanyaan ada apa dengan UI pun perlahan lenyap. Walaupun begitu, kini pertanyaan terssebut diganti dengan sebuah pertanyaan baru. Apa yang harus saya lakukan untuk UI saat ini? Walaupun saya sudah cukup banyak mendapatkan informasi mengenai kondisi UI saat ini, itu semua tidak serta merta membuat saya mampu dengan mudahnya membedakan mana fakta yang sebenarnya dan mana opini yang hanya berlandaskan kepentingan.
Sampai tulisan ini diturunkan pun saya masih mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri tersebut dengan banyak melihat dan mendengar. Entah apa yang akan saya lakukan untuk UI di kemudian hari. Satu hal yang pasti mampu saya lakukan saat ini, hanya berusaha untuk memulai berpikir kritis dan bertanggungjawab untuk tindakan dan keputusan apapun yang kelak akan saya lakukan.

Daftar Pustaka

Andin, Shani Nurfianti. “Untuk UI yang Lebih Baik!” http://heyinishanti.blogspot.com/2011/09/untuk-ui-yang-lebih-baik.html (6 September 2011)


Andin, Shani Nurfianti. “Untuk UI yang Lebih Baik – Gambaran Umum dari @atharasyadi.” http://heyinishanti.blogspot.com/2011/09/untuk-ui-yang-lebih-baik-gambaran-umum.html (6 September 2011)

Andin, Shani Nurfianti. “Untuk UI yang Lebih Baik! – Livetweet 5/9/2011 dari @jay_mwaui.” http://heyinishanti.blogspot.com/2011/09/ untuk-ui-yang-lebih-baik-livetweet.html (6 September 2011)

 

Febrian. “Pemberian Gelar kepada Raja Arab sama dengan Pengakuan Pancung.” http://www.tempo.co/hg/pendidikan/2011/08/26/brk,20110826-353722,id.html (4 September 2011) 


***


Gw mulai menulis tulisan ini di Bogor. Di H-beberapa jam pernikahan kakak gw. Berhubung rumah gw sedang disambangi oleh keluarga besar dari Yogyakarta, Cianjur, Jakarta, dan Tangerang, selama di Bogor gw mengungsi ke kamar Ibu. Di kamar, gw mencoba menyelesaikan tugas LogPenIl dan tugas Prosesi. Gw gak sendiri. Gw ditemani kakak gw yang juga ikut-ikutan mengungsi. Gw mengerjakan tugas ditemani Mas gw yang membaca Al-Quran. Di tengah persemayaman gw dengan pulpen dan logbook, kakak gw ngajak gw minggat sementara ke luar rumah. Beli jus. Berdua.



Yang mungkin bakal jarang-jarang lagi gw lakukan setelah esok hari :)


Setelahnya, gw dan kakak gw kembali ke kamar. Gw masih dengan pulpen dan logbook, sementara kakak gw memutuskan tidur untuk menyimpan stamina dan mental untuk esok hari.

Selanjutnya?

Masih sambil mengerjakan tugas, gw mata gw berkaca-kaca. Heu. Inget satu tahun yang lalu ketika gw nemenin kakak gw buat nyari calon istri. Perjalanan panjang yang membuat gw dan kakak gw mulai saling terbuka satu sama lain. Tiba-tiba inget waktu gw nemenin kakak gw waktu gagal yang bukan cuma sekali dua kali. Dan Allah baik ya? Ketika Allah ngasih kehidupan baru untuk gw, di waktu yang tidak lama setelahnya Dia pun memberikan kehidupan yang baru pula untuk kakak gw.

Foto Prawedding

Today is the Wedding

Selamat menempuh hidup baru, Mas. Terima kasih untuk selalu meyakinkan bahwa laki-laki baik-baik, sampai kapanpun, hanya untuk wanita baik-baik :)


Selasa, 13 September 2011

(nyaris) Nomor 22

Mobilitas gw hari ini cukup tinggi. Kostan-Fakultas Psikologi-Gedung Rektorat-MUI-Fasilkom-Fakultas Psikologi-PKM-Stasiun UI-Asrama UI-Kostan.

Yang di bold?

Setelah sholat zuhur di MUI, gw dan Aci segera beranjak menuju Fasilkom untuk nyari makan (baca : kantin Fasilkom). Setelah keluar melalui gerbang MUI, gw dan Aci melewati jalan setapak yang terbuat dari bata dan terletak di samping MUI. Mengapa disebut jalan setapak? Karena jalan tersebut hanya dikondisikan untuk dilalui satu sampai dua orang secara beriringan. Seperti gw dan Aci tadi. 

Tiba-tiba saat tengah mengobrol, Aci menyikut bahu gw.
Aci : Teh, Teh! Ada A'Maman, Teh! A'Maman!
Mudah dikenali. Siapa juga anak UI yang tidak mengenal sosok yang satu ini?  Sosok tersebut berada tidak jauh di depan gw dan Aci. Sendiri. Sepertinya A'Maman mau menuju MUI. Yang jadi masalah adalah A'Maman melewati jalan yang gw dan Aci lewati, atau lebih tepatnya menuju ke arah gw dan Aci!

Berhubung jalan yang kami lewati adalah jalan setapak, berpapasan dengan A'Maman pun tak dapat terelakkan dalam beberapa langkah ke depan. Paniklah gw! Gw mau narik Aci untuk menghindar dan melewati jalan lain, sayangnya kanan kiri jalan setapak itu rerumputan. Sampai kesadaran pun muncul, 'Ngapain gw ngehindar? Emang gw punya dosa apa sama A'Maman? Hahaha -___-

Tapi asli loh gw deg-degan. Kharismatiknya itu looh, gak nahaaaan. Alhasil? Gw segan.

Tiba-tiba otak gw teringat sesuatu, 'Nomor 22, Tuth! Nomor 22!'

Sambil mengumpulkan keberanian, hanya dalam jarak beberapa langkah lagi, secara spontan otak gw pun mulai merangkai percapakan nekat yang gw rencanakan akan gw eksekusi dalam beberapa detik ke depan.
Assalmualaikum, A'Maman.
Maaf mengganggu. Salam kenal A.
Saya Tuti Maba Psikologi 2011.
*'Adiknya' T'Marista Farmasi UI 2007, temennya A'Maman, khan?  (rencana cadangan kalau-kalau raut wajah A'Maman mulai mengkerut)
Berhubung sepertinya A'Maman lagi terburu-buru, saya boleh ganggu satu pertanyaaaaaan aja, A? Boleh?
A'Maman, UI lagi kenapa?
Lima langkah. Empat langkah. Tiga langkah. Dua langkah. Dan di saat jarak gw dan A'Maman tinggal satu langkah?

Jegeeeeeeeeeer.

Semua rangkaian kalimat itu menguap. Suara gw berhenti di pangkal tenggorokan. Dan berganti dengan senyuman yang secara refleks mati-matian gw usahakan sesantun mungkin.

Senyuman gw berbalas.

Santun. 
Aci : Teteh ih, tadi kenapa gak jadi kenalan?

Kesadaran gw kembali, dan...
Gw : Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! Aciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii! Suara gw gak keluar! Hahahahaha :'(
 ***

Ya Allah, malam ini saya mau membantai Psium 1. Mudahkanlah, Ya Allah. Izinkanlah buku yang setebal bantal ini, tidak benar-benar menjadi bantal malam ini :D

Minggu, 11 September 2011

Nomor 14 dan 15

Namanya Hari. Teman sekelompok OKK gw merangkap sebagai teman satu fakultas gw. Seperti yang pernah gw ceritakan sebelumnya, kelompok OKK gw adalah kelompok yang menyenangkan :D Gak butuh waktu lama untuk mencair bersama (es krim kali, Tuth, mencair -_-) dan Hari termasuk salah satu di dalamnya. Selama mengerjakan tugas kelompok OKK, Hari bertanggung jawab untuk membuat layout komik, sedangkan gw mengisi balon-balon di komik tersebut dengan percakapan dan alur cerita yang sudah disepakati bersama. Saat mengerjakan tugas tersebut melalui dunia maya, Hari menjadi teman baru pertama yang engeh kalau gw anak 2010 bahkan hanya melalui fb.
Hari : Tuti, kamu bukan anak 2011 ya? 
Tuh khan bener muka gw boros -_-

Beberapa minggu kerja kelompok bareng Hari, gw tahu bahwa gw sudah mendapatkan satu teman baru (di fakultas) yang menyenangkan untuk diajak bertukar pikiran :)

Asal? SMAN 3 Bandung. Sama seperti teman-teman baru gw lainnya, Hari juga salah satu orang yang bangga dengan identitas daerah asalnya. Kalau ngobrol sama Hari teh enakeun. Hari gak jarang pake bahasa Sunda yang memancing gw belajar memperlancar lagi bahasa Sunda gw yang masih abal-abal. Apalagi Sundanya teh lemes bin santun pisan (kunaon jadi Sunda kieu nya?). Dan mungkin hal itu menjadi salah satu alasan mengapa beberapa anak Psiko 2011 sempat memanggilnya dengan sebutan ‘Akang Hari’, termasuk gw. Soalnya pembawaannya emang Bandung banget, alias, Sunda pisan, hehehe.

Pernah suatu hari, didasari obsesi meggebu yang gak pernah kesampean, gw menyampaikan sebuah permintaan kepada Hari.
Gw : Ri, mau atuh urang main ke Bandung..
Dan tanggapan Hari? Gak jauh beda. Sama baiknya dengan tanggapan Aufa, Aii, dan T'Ijah ketika gw mengajukan pernyataan dan keinginan yang kurang lebih sama.
Hari : Hayu atuh. Mau kapan?
Selanjutnya? Selalu gw nya yang bermasalah menjawab pertanyaan selanjutnya. Mau kapan? Untuk gw yang mempunyai seorang ayah yang sayang banget sama putri bungsunya dan gak pernah absen menelpon saat magrib dengan pertanyaan, "Masih dimana? Sama siapa?", untuk gw yang punya kakak laki yang ngejagain banget adik perempuan satu-satunya dengan berbagai macam cara agar tidak melakukan kegiatan yang aneh-aneh di luar sana, untuk gw yang gak punya kepentingan akademis (baca : kuliah) di sana, untuk gw yang sedari kecil gak pernah dibiasakan untuk bepergian gak jelas kalau benar-benar gak ada tujuan, dan untuk gw yang gak punya sanak saudara  seorang pun di sana yang menyebabkan minim kunjungan ke sana (dulu ada satu, tapi sekarang udah pindah ke Makassar), ke Bandung gak pernah jadi urusan yang sederhana untuk gw. Hal itu pula lah yang membuat ITB gak pernah benar-benar mudah untuk gw tahun lalu.

Akhirnya? Keinginan itu pun akan selalu berakhir hanya menjadi sebuah wacana. Wacana lagi. Lagi. Dan lagi. Tanpa pernah ada realisasi.

Tapi setelah hari itu, setelah Buka Puasa Bareng Psikologi 2011, wacana itu berakhir :D

Gw gak tau apa rasanya jadi Hari yang sering banget gw hadapkan dengan keinginan gw itu berulang-ulang, anywhere, anytime. Solanya setiap ngeliat muka temen baru gw yang satu ini, bawaan gw inget Bandung terus, hehehe :P Bedanya, hari itu percakapan gw dan Hari didengar oleh Amei.
Amei : Teh, mau pada kemana? Mau ke Bandung bukan?
Gw : Iya, Mei, mau ke Bandung. Dan yang jelas gak ngajak Amei! Hahahaha :P
Dan gw gak pernah tahu kalau setelah percakapan ini, ternyata Amei lah yang memegang peranan penting untuk urusan yang satu ini ;)

Bogor, 5 September 2011
05.00 WIB

Brrrr...

Sebulan di Depok nyaris tanpa pulang sama sekali membuat gw untuk pertama kalinya lagi menggigil sewaktu mandi subuh-subuh di Bogor. Air Bogor gak nahaaaaan dinginya. Beda sama Depok yang airnya anget walaupun tanpa pemanas air -_- Belum lagi setelah mandi dan bersiap, gw langsung menembus Kota Bogor di subuh hari tanpa jaket, dibonceng ayah naik motor. Alamaaaaak. Brrr..

Terminal Baranangsiang Bogor.
05.30 WIB

Matahari belum benar-benar tinggi, tapi kehidupan sudah di mulai di terminal ini. Bis-bis, baik antarkota maupun antarprovinsi, sudah mulai berlalu lalang masuk dan keluar terminal menaik turunkan muatannya. Makin siang makin banyak manusia yang memadati terminal ini. Mulai dari yang hanya membawa tas berukuran kecil sampai yang membawa koper dan kardus-kardus yang mencerminkan ciri seorang pemudik pun ada di sini. Beberapa menit kemudian Amei datang dengan asinan Bogor ditangannya. Kami pun segera menuju salah satu bis yang harganya masih dalam edisi Lebaran ada di sudut terminal yang bertuliskan besar-besar di depannya : BOGOR-BANDUNG.

Namanya Amei. Amei merupakan adik kelas gw di SMP dan SMA yang sekarang menjadi teman satu fakultas gw dan merangkap sebagai teman satu kostan gw. Setelah Buka Puasa Psiko 2011 hari itu, gw mengajak Amei Sholat Tarawih di MUI. Ketika sedang meluruskan kaki sambil menunggu waktu sholat, ternyata Amei penasaran dengan percakapan gw dan Hari tadi.
Amei : Teh, tadi beneran mau main ke Bandung? Amei mau ikut atuh, Teh.
Gw : Hahaha, hayu aja atuh, Mei. Tapi tadi juga masih rencana doang kok. Gak tau kapan. Malah mungkin baru libur semester satu nanti.
Beberapa menit kemudian.
Gw : Tapi mei, libur semester satu mah kelamaan. Mau gak dijadiin liburan sekarang aja?
Amei : Yuk teh! Tapi mau naik apa? Terus kita mau ke mana aja?
Percakapan itu pun berlanjut di perjalanan pulang ke kostan. Komunikasi pun mulai berjalan tiga arah sejak hari itu, antara gw, Amei, dan Hari. Kebetulan Hari juga merupakan ketua kelompok PSAFnya Amei. Jadilah kami bertiga merencanakan perjalanan ini bak teman lama saja. Baik lewat sms maupun dunia maya, kami mulai merencanakan destinasi kami dan transportasi selama di sana.

Setelah Hari memberikan gambaran tentang rute destinasi kami, ketika Amei pun sudah menghubungi saudaranya di Bandung untuk membantu masalah transportasi, lagi-lagi urusan terakhir ada di gw. Semua rencana itu menunggu konfirmasi dari gw apakah gw mendapatkan perizinan dari keluarga untuk pergi ke kota yang satu ini atau tidak.

Negosiasi pun dimulai. Dengan memberikan keterangan sejelas-jelasnya tujuan gw ke sana, bersama siapa, dan tanpa meminta sepeser pun uang dari orang tua untuk keberangkatan ke sana, ayah pun mulai melunak untuk memberikan izin. Tapi yang paling dahsyat adalah ketika gw menyebutkan pernyataan, "Khan udah mahasiswa, Pak". Hohoho. Kata mahasiswa kekuatannya memang benar-benar 'maha'. Mampu mengakselerasi tingkat kepercayaan dengan luar biasa. Tapi tentu saja, harus diimbangi dengan tanggung jawab yang 'maha' pula ;)

Sampai akhirnya gw dan Amei benar-benar berada di dalam bis ini hari ini :D

Temu kangenlah gw sama Amei setelah beberapa lama tidak bertemu. Bis yang kami naiki melalui jalan tol Cipularang. Pagi itu jalanan lengang. Bahkan gw hanya butuh 2 jam untuk sampai di Bandung. Sampai di km 97, rusuhlah gw dan Amei melihat ke arah sekitar. Km ini beberapa hari yang lalu sempat menjadi sorotan di berbagai media massa berkenaan dengan kasus kecelakaan maut keluarga Saiful Jamil yang menewaskan istrinya yang tengah hamil. Gw yang sedang memperhatikan jalanan pun tiba-tiba tersadarkan dengan pernyataan Amei.
Amei : Teh, kita udah lewat km 97 ya? Berarti kita udah di titik aman dong ya?
Gubrak! Hahahaha. Gw gak berhenti ngakak denger celetukan Amei yang satu ini. Kayak Who Wants to be Millionaire aja, Mei, ada titik amannya segala -_- Sayangnya, kalau udah berurusan sama Malaikat Izrail, gak pernah benar-benar ada yang namanya titik aman khan, Mei?

Gw pun tertidur. Saat gw bangun lagi, gw sudah sampai di Terminal Leuwi Panjang. Dari terminal Leuwi Panjang, saudara Amei berbaik hati untuk mengantarkan ke destinasi pertama kami. Di sana gw dan Amei akan bertemu dengan Hari yang selanjutnya menjadi guide kami di Bandung.

Perjalanan pun dimulai!

#Jalan Riau

Saat merncanakan berangkat ke Bandung, gw, Amei, dan Hari, menyatukan destinasi kami masing-masing yang kemudian di susun berdasarkan jauh dekat jarak antartempat. Dan tempat pertama yang akan kami kunjungi adalah destinansi gw.
Gw : Jalan Riau tuh panjang ya? #norak1
Itu pernyataan gw saat saudara Amei bilang kalau kita sudah memasuki Jalan Riau. Maklum, gw benar-benar buta Bandung. Hehehe. Kalau pernah ke sini pun, hanya ke sudut-sudut beberapa tempatnya yang saat ini masih menjadi sebuah potongan-potongan buat gw.

Gw dam Amei di drop di sebuah Gedung Pos yang kini telah disulap menjadi outlet-outlet dan pertokoan. Di sini gw dan Amei bertemu dengan Hari. Hari menggembul! Kayakanya efek pasca Lebaran yang banyak makan tapi sedikit gerak. Hohoho. Tapi gw juga sih. Selama Ramadhan jadi maba, bobot gw sukses berkurang 4 kg. Eeeh, lebaran dua hari udah naik 2 kg lagi :(

Kami bertiga menelusuri Jalan Riau. Ceceritaan tentang liburan kami masing-masing. Sambil ceceritaan, layaknya guide Hari pun memperkenalkan gedung-gedung yang ada.
Ini semua FO, Tut, kalau mau masuk mah.
Ini FO buat cowok kayaknya.
Ini Rumah Sakit.
Sambil mendengarkan penjelasan Hari, gw pun terus melangkah tanpa menyentuh satu pun FO yang ada di sepanjang jalan ini.

Jalan ini tampak asing buat gw. Padahal dulu gw pernah ke sini.

Sampai di sebuah toko klappertaart, ternyata benar. Gw gak pernah benar-benar tahu jalan ini. Gw hanya tau salah satu sudut yang ada di jalan ini. Gw lapar. Tapi masih sama seperti dulu, gw gak suka klappertaart. Jadilah gw mengajak Amei dan Hari untuk menemani gw membeli sosis bakar di sebrang toko klappertaart untuk mengganjal perut.

Hahaha. Payah. Rasa sosis bakarnya masih sama persis kayak 2 tahun yang lalu. Gak ada perubahan. Tapi tetep enak sih, hehehe :P

Sambil menunggu di toko sosis tersebut, gw, Amei, dan Hari membicarakan jadwal gw dan Amei pulang ke Bogor nanti sore. Berhubung lusa kami harus langsung kembali lagi ke Depok, dengan berat hati perjalanan kali ini benar-benar dibuat singkat hanya dalam satu hari tanpa menginap. Yaudahlah ya, nyampe sini hari ini juga udah alhamdulilah banget kok :D Setelah selesai, kami pun melanjutkan perjalanan.

Kalau dianalogikan dengan Bogor, Jalan Riau kurang lebih sama dengan Jalan Pajajaran. Rajanya factory outlet. Malah lebih high class sepertinya. Gw cuma melihat kanan kiri jalan tanpa punya keinginan untuk melihat lihat ke dalamnya. Lagi gak ada yang mau dibeli. Lagipula, gw gak terlalu suka belanja.

Heran dengan kelakuan gw yang ngajak ke jalan ini tapi kayak gak tertarik sedikitpun dengan toko-toko yang ada di dalamnya, Hari pun akhirnya angkat bicara dan bertanya.
Hari : Terus kenapa mau ke Riau, Tut?
Gw :Hehehe..  Pokoknya pernah ada cerita lah, Ri, di sini.
Karena di sini gw pernah jatuh cinta, Ri. Kepada mereka yang pernah menjadi terang di hati gw.

Gw di Jalan Riau, Bandung

#Jalan Sultan Agung

Jalan yang satu ini merupakan destinasi Amei. Letaknya di persilangan Jalan Riau. Tidak jauh berbeda dengan Jalan Riau yang didominasi oleh factory outlet, di jalan ini pun dilengkapi juga tempat-tempat makan bagi para pecinta kuliner. Berbeda dengan di jalan sebelumnya, di sini kami bertiga menyambangi FO satu demi satu untuk menemani Amei yang niatnya memang mau belanja.

Sayang sungguh di sayang, gw memang gak terlalu suka belanja atau sekadar cuci mata kalau lagi gak benar-benar ada yang butuh dibeli. Jadilah gw cuma liat-liat sebentar di dalam menemani Amei melihat-lihat sekaligus fitting dan segera keluar menghampiri Hari yang menunggu di luar.

Gw ngobrol banyak sama Hari. Salah satunya tentang Bumi Makara yang akhir-akhir ini tengah gencar di sorot media. Mulai dari pro kontra pemberian gelar DHC oleh Pak Rektor sampai isu penggulingan Pak Rektor. Banyak pendapat. Banyak cerita. Banyak emosi. Setidaknya yang kami sepakati bersama, memang ada yang tidak beres saat ini. Sampai postingan ini di publish pun, gw pribadi masih mencoba meraba, membaca berbagai fakta berita dan opini, menyaksikan dialog di beberapa siaran televisi, mendengar cerita dari kakak kakak senior, dan berharap semua itu mampu menjawab pertanyaan kampus gw lagi kenapa?


Lebih jauh lagi gw ngobrol sama Hari, gw pun tahu kalau ternyata Hari pun adalah anak mentoring semasa SMA. Yippiiii! :D Nyambunglah gw ngobrolin kebiasan mentoring kita masing-masing selama di SMA. Untuk ukuran kampus seheterogen ini,  dapet teman yang menyenangkan untuk bisa berbagi tentang ilmu agama gak benar-benar mudah. Seneng banget deh gw!

Setelah Amei selesai, kami naik angkot dari Jalan Sultan Agung menuju destinasi selanjutnya.

#Institut Teknologi Bandung

Diantara kami bertiga, siapa lagi coba selain gw yang punya tujuan berkunjung ke sini? :P
Amei : Teh, emang mau ngapain ke ITB?
Menyelesaikan rasa penasaran gw dengan Kampus Gajah yang satu ini, Mei.

Terakhir kali gw ke sini? Empat tahun yang lalu saat gw masih kelas 1 SMA. Itu juga dalam rangka study tour. Saat itu yang gw ingat hanya dua, gw ngeliat presentasi di auditorium dan sholat di Masjid Salman. Dan ketika Hari bilang :
Hari : Itu gerbang utama ITB, Tut. Kalau Salman ada di sebrangnya.
Gw mengerutkan kening dan menjawab :
Gw : Kok gw baru tau ya kalau Salman letaknya gak di dalem ITB nya? #norak2

Amei dan Gw di Gerbang Utama Institut Teknologi Bandung



Waktu masih menunjukkan pukul 11.00 WIB. Masih ada waktu 1 jam menjelang sholat Zuhur. Akhirnya Amei dan Hari berbaik hati menemani gw masuk ke dalam ITB. Lagi-lagi, seolah khatam dengan tiap sudut kampus ini, Hari pun menjelaskan beberapa gedung dan istilah yang ada di kampus ini.

Karena kita pernahsama-sama  punya mimpi di Kampus Gajah ini khan, Ri?

Pernah berjuang untuk ini :)

Tengah hari. Dibandingkan dengan Depok yang jam segini sanggup mengeringkan jemuran dengan kecepatan yang fantastis, di sini gw masih bisa ngerasain adem-ademnya pagi hari. Maknyus :D Kami bertiga gak berkeliling. Lebih tepatnya hanya berjalan menarik garis lurus dari gerbang utama sampai gerbang belakang ITB.

Ada yang unik selama kami bertiga menyusuri ITB. Tak jauh dari tempat kami berjalan, ada sekelompok anak ITB yang sepertinya tengah mengerjakan tugas. Ternyata itu adalah teman-teman SMA nya Hari. Gw dan Amei pun membiarkan Hari nyangkut dengan teman-temannya. Wajarlah, SMAN 3 Bandung memiliki  jumlah yang tidak sedikit ketika ditanya berapa yang masuk ITB.

Kalau cuma sekali sih wajar. Tapi ini? Setiap maju beberapa langkah, tiba-tiba ada panggilan, "Hari!". Dan itu berulang ulang, berkali-kali, selama perjalanan selanjutnya. Gw dan Amei cuma bisa geleng-geleng kepala. Gw punya temen kok terkenal amat ya? Ckckck. Setidaknya satu yang bisa gw simpulkan, anak-anak SMAN 3 Bandung benar-benar bedol desa masuk ke ITB!

Ketika Hari lagi nyangkut di teman-teman SMA nya, tiba-tiba ada yang sms gw. Jemi. Dia memastikan apakah gw lagi di Bandung atau enggak. Soalnya dia seperti melihat gw barusan, padahal gw yang biasanya matanya kemana-mana sama sekali gak melihat keberadaan teman lama gw yang satu itu. Sayangya, ternyata arah kami berlawanan. Gw ke gerbang belakang ITB, sedangkan Jemi menuju Salman. Jadi gak bisa silaturahmi langsung. Yaudahlah ya, toh kapan-kapan masih bisa ketemu di NF :D Ngomong-ngomong, jadi kangen NF. Apa kabar Paledang?

Sampai di gerbang belakang ITB, gw dan Amei mencari tempat fotokopian. Mau fotokopi KTM. Demi meperjuangkan harga travel didiskon 10.000 untuk perjalanan pulang!

Azan Zuhur berkumandang. Kami menuju Salman dengan rute yang sama dan dengan kejadian yang sama. Hari nyangkut dimana-mana -__-
Ini Gerbang Utama ITB.
Itu Mesjid Salman.
Itu Taman Ganesha.
Kalau gak salah ini namanya Intel deh, Indonesia Tenggelam.
Terowongan yang di bawah itu tembusnya ke Sabuga.
Ini Jalan Ganehsa.
Itu Sabuganya.
Dan semua istilah-istilah itu, yang selama ini hanya bisa gw visualisasikan sendiri saat teman-teman bercerita tentang ITB dan Bandung, akhirnya benar-benar bisa gw lihat sendiri wujud nyatanya.

Setelah selesai sholat Zuhur, gw, Amei, dan Hari menuju ITB lagi (sakali). Tapi kali ini bukan mau berkeliling lagi. Menuju gerbang belakang ITB untuk naik angkot ke destinasi selanjutnya.

*Latihan padusa pertama setelah libur Lebaran di Balairung-pasca melihat gantungan ITB di tas gw.
Raras : Mbak Tuti, jadi hati Mbak Tuti tuh masih di ITB?
Gw : Alhamdulilah enggak kok, Ras. Rasa penasaran gw sama ITB sudah selesai. Tapi kalau gw bangga karena pernah mengejar ITB sukses membantu gw mendongkrak nilai matematika gw di SNMPTN kemarin, boleh khan? ;)
Gw di Kampus Gajah

# Jalan Cihampelas-Ciwalk


Kalau tempat yang satu ini merupakan destinasinya Hari. Hari mau mencari oleh-oleh untuk temen-temen di Depok. Tapi berhubung sudah masuk waktu makan siang (baca : laper), kami memutuskan cari makan dulu. Setelah berjalan menyusuri Jalan Cihampelas dan tidak menemukan tempat makan yang pas, akhirnya kami memutuskan ke Ciwalk. Dan jauh-jauh ke Bandung, ujung-ujungnya makan hokben juga -_- (dan Hari pun berbaik hati mentraktir gw dan Amei, hehehe, nuhun Ri!)

Ngomong-ngomong soal Ciwalk, gw jadi inget Aufa. Gw pernah nge-YM Aufa waktu dia lagi ada di sini.
Gw : Lagi dimana fa?
Aufa : Di Ciwalk
Gw : Ciwalk teh dimana?
Aufa : Di Cihampelas.
Saat itu, mau gw dijelasin kayak apaan tau sama Aufa, mana gw ngerti dimana itu Ciwalk dan Cihampelas. Tapi sekarang? Hehehehe. Gw udah tau dong, Fa! :P *sombong ceritanya*

Sambil makan, kami bertiga ceceritaan lagi. Tentang teman-teman masing-masing di SMA. Tentang Bandung. Dan akhirnya tentang Kampus.
Gw : Mei, kalau IE ada paralelnya, Amei bakal ngambil itu?
Hari : Kalau Amei ngambil IE paralel, mungkin kita gak akan ada di Bandung hari ini, Tut.
:)
Gw dan Amei (dan Hari yang gak pernah mau difoto) di Ciwalk, Bandung

Setelah selesai makan, kami berkeliling lagi. Dan Hari pun nyangkut lagi di salah satu temennya yang tidak sengaja bertemu di sini. Ckckck. Kami berkeliling Ciwalk dulu sampai akhirnya ke Jalan Cihampelas lagi. Hari mendapatkan oleh-oleh untuk teman-teman di Depok dan gw pun membeli selai pisang untuk orang rumah yang pada akhirnya gw habiskan sendiri di travel saat perjalanan pulang.


Selanjutnya? Diluar rencana. Ibunya Hari mau menjemput di Ciwalk dan menemani kami berkeliling Bandung! :D Dan berhubung dari tadi Amei ngidam banget sama yang namanya Brownies Prima Rasa, Ibunya Hari pun berbaik hati mengantarkan kami ke destinasi di luar rencana kami selanjutnya :D

#Jalan Kemuning
Gw : Gw kira brownies Bandung cuma Amanda doang? #norak3
Konon, Brownies Prima Rasa yang kami kunjungi ini, lebih enak dari Brownies Amanda (Amei, 2011). Konon pula, toko brownies Prima Rasa yang kami kunjungi di Jalan Kemuning ini merupakan toko pertama sebelum brownies Prima Rasa membuka berbagai cabangya di Kota Bandung (Ibunya Hari, 2011). Setelah menemani Amei membeli Brownies, gw, Amei dan Hari menunggu Ibu dan Adiknya Hari yang tengah masuk ke toko peralatan bayi.

Gw dan Amei di Jalan Kemuning

Setelah ini, Ibunya Amei masih berminat mengajak kami keliling Bandung. Kosambi, Dago, dan beberapa tempat lainnya. Sayang sungguh disayang, pak supir travel menelpon gw dan memberitahukan jam keberangkatan ke Bogor dipercepat dan kami harus segera standby di tempat yang sudah di sepakati. Akhirnya Ibunya Hari pun mengantarkan kami ke destinasi terakhir kami.
Ibunya Hari : Kapan-kapan main ke Bandung lagi, ya. Tapi harus nginep, minimal tiga hari lah. Bandung mah gak habis sehari :)
Terima kasih, Tante! Semoga bisa berkunjung lagi. Tapi untuk itu, saya butuh belajar negosiasi yang lebih 'maha' lagi, Tante :D

#Jalan Rasamala


Gw dan Amei sudah berpisah dengan Hari. Di sini bukan tempat wisata, bukan jalan full of factory outlet dan tempat makan, bukan juga toko kue. Ini rumahnya saudara Amei. Tempat travel menjemput kami kembali ke Bogor.
Gw : Bandung alamatnya enak banget. Cuma nama jalan dan nomor langsung bisa ketemu rumahnya #norak4
Di sini gw sama Amei ngaso dulu setelah seharian berjalan. Numpang sholat, numpang minum, dan numpang nonton. Terima kasih saudara Amei! :D

Setelah selesai sholat, sambil menunggu travel datang, gw nonton TV yang memang sudah menyala dari sananya. Kebetulan stasiun TV yang sedang gw tonton adalah sebuah reality show yang mempertemukan seseorang dengan idolanya. Ngomong-ngomong reality show, gw gak demen sama reality show yang akhir-akhir ini menjamur di televisi. Hoax euy.

Tapi kali ini, ada hal yang menarik perhatian gw. Penggemarnya namanya Tuti. Tapi bukan namanya yang menarik perhatian gw :P Tuti dalam reality show tersebut adalah penyandang tuna netra. Tiba-tiba gw jadi inget temen gw. Teman dengan standar ketahanan yang luar biasa.

Gw punya temen satu fakultas. Namanya Ogi. Asal Sumatra Barat. Tampak sekilas Ogi tidak berbeda dengan mahasiswa yang lain. Tapi ternyata Ogi adalah penyandang tuna netra. Ada yang istimewa dari Ogi. Walaupun tuna netra, Ogi tetap menjalani hidup seperti mahasiswa normal lainnya. Ogi mampu membalas, sms, mengerjakan tugas di laptop, mengupdate status fb, dan gw gak pernah liat Ogi sekalipun absen mengikuti seluruh rangkaian kegiatan maba termasuk PSAF. Saat ini Ogi tinggal di asrama UI. Bahkan Ogi memiliki televisi sendiri di kamarnya!

Yang istimewa, barang-barang elektronik yang dimilikinya saat ini, seperti TV, hp, dan laptop khusus, adalah hasil pemberian orang-orang di kampung halamannya. Konon, di rumahnya di Sumatra Barat, orang-orang di sekelilingnya simpatik dengan Ogi yang tidak memposisikan dirinya sebagai penyandang tuna netra dan mau hidup layaknya orang normal. Dan sepertinya hal itulah yang Ogi bawa sampai saat ini, yang membuat teman-teman Psiko 2011 pun simpatik kepadanya.

Tau apa yang ada di pikiran gw kawan? Kalau di sepanjang perjalanan menjadi mahasiswa psiko yang konon akan bersahabat dengan yang namanya buku setebel-tebel bantal, essay, makalah, dan paper, kalau ternyata Ogi mampu menjalaninya dengan baik sedangkan gw enggak, mending lw ke laut aja, Tuth! Malu!

Yap. Buat gw Ogi tetap seorang teman yang normal. Bahkan jauh lebih normal dibandingkan orang-orang yang menjadikan mengeluh sebagai hobinya seolah hidup tak pernah adil untukknya.

Tiiin.. Tiiin..!

Travel yang harganya masih dalam edisi Lebaran datang. Saatnya pulang!

***

Di travel saat perjalanan pulang, gw senyum-senyum sendiri :)

Di kepala gw? Mungkin memang baik jika gw tidak pernah meremehkan mimpi gw seremeh apapun bentuknya. Karena gw gak pernah tau, diceklisnya mimpi remeh itu ternyata akan memaksa diceklisnya mimpi-mimpi gw lainnya yang lebih besar. Bahkan Allah sudah menyiapkan orang-orang di sekeliling gw-yang gak pernah gw duga sebelumnya- yang akan membantu gw menggenggam mimpi itu.

Bener khan kawan? Allah gak pernah berhenti sayang sama gw, apapun bentuknya :)
Terima kasih Amei dan Hari. Untuk membantu gw, menceklis dua kotak lagi dari 97 kotak yang tersisa.

14. Berkunjung ke ITB ()
15. Berkunjung ke Jalan Riau, Bandung (√)

Akhirnya lw bisa, Tut, ke Bandung. Dan selanjutnya? Seharusnya lw bisa lebih jauh lagi dari ini.

Sabtu, 03 September 2011

Ini Agustus gw, Ramadhan gw, dan Lebaran gw.


Ini 2011.

Ini Agustus gw.
Dan ini Ramadhan gw.

#Di tempat menjarah ilmu yang baru.

Gw @ UI Wood

#Bersama teman-teman satu takdir yang baru.

 Psikologi UI 2011 @ sudut Situ Kenanga

#Kawan-kawan lintas daerah yang baru.

Kelompok 1 PSAF Psikologi 2011-Abraham Maslow
dari kiri ke kanan : Egi-Nisa-Kiki-Gw-Hana-Indri-Sahda-Chaul-Yuli

#Teman belajar baru.

Kelas OBM G2-B 2011 @ Lab ITTC 3 ex-Perpustakaan Pusat

#Jagoan-jagoan futsal baru.

Cowok-cowok Piskologi UI 2011 @ Lapangan Futsal-Barel

#Saudara baru.

Tari dan Gw @ Mushola FISIP

#Dan cerita baru untuk mereka. 
Mereka yang, dengan apapun bentuknya, sanggup memperbaharui semangat gw.

Gw @ Rakit Bambu
dari kiri ke kanan : Uu-Aii-Upay-Gw-Atana-Ar-Riri

-minus Nisop-

Pembaca baru?

Hampir genap tiga tahun gw melanglang buana di dunia blogging. Mulai dari tulisan yang pake hati sampai tulisan yang gak ada juntrungannya pernah  gw buat. Tapi selama kurun waktu tersebut, sampai sekarang, rasa gak pede apakah tulisan gw layak dibaca atau enggak masih sering menggantung di ujung jari-jari gw. Itu juga yang menjadi alasan mengapa gw jarang secara langsung menyuruh orang lain untuk membaca tulisan gw. Kalaupun pernah, berarti tulisan itu memang gw dedikasikan sebagai ucapan terima kasih kepada orang-orang yang pernah menyentuh gw (ex : Jemi dan Tari).

Akan tetapi, selama kurang lebih satu bulan kebelakang, entah asal muasalnya dari mana (yang pasti dari fb dan twitter yang jelas-jelas gw pampang alamat blog gw), tidak sedikit orang-orang baru yang merespon tulisan tulisan di blog gw. Bahkan dua minggu yang lalu, ada seorang kakak (yang bahkan gw lupa namanya -_-) yang tiba-tiba mengirimkan message melalui fb dan memberikan respon atas tulisan di blog gw sambil mendoakan semoga 100 mimpi gw benar-benar mampu gw ceklis semua. Subhanallah :’)

Dan untuk siapapun yang pernah singgah di teduhnya pohon di blog ini,  menyempatkan duduk melihat birunya langit dengan burung-burung yang mengangkasa di atasnya,  atau hanya sekedar meluruskan kaki diatas hijaunya rerumputan bak permadani, atas segala bentuk respon, komentar, dan apresiasi yang diberikan, di Bulan agustus gw, di Ramadhan gw,  dan di Lebaran gw kali ini, gw hanya mampu mengatupkan dua telapak tangan dan menyampaikan kata MAAF terbaik yang pernah gw punya.

MAAF.
Atas kemungkinan tulisan di blog ini yang terbaca halus, tapi tekstur tak terlihatnya menyayat hati.
Atas kemungkinan sebuah postingan yang tampak mengagungkan, tapi merendahkan di postingan yang lain.
Atas kemungkinan rangkaian kalimat yang menumbuhkan harapan dan langsung menjatuhkannya di postingan selanjutnya.

Dan..
TERIMA KASIH.
Untuk selalu menerima tulisan di blog ini apa adanya.
Walaupun tak jarang tulisannya memang ada-ada saja :P

*Pasca peristiwa dijambretnya gw di kereta ekonomi Bogor-Jakarta Kota. 
Mine : Gw bingung deh, Tuth. Hidup gw tuh kayaknya luruuuuus aja gak ada belok-beloknya.  Sedangkan lw? Kayaknya adaaaa aja kejadian dan ceritanya. Ckckck.
Gw : Mungkin itu yang menjadi alasan kenapa gw harus menulis, Min. Kalu hidup gw lurus-lurus aja, kayaknya gak ada yang bisa gw tulis di blog gw deh, hehehe ;P
Selamat Idul Fitri 1432 H.
Mohon maaf atas (kemungkinan) fisik yang tersakiti.
Dan mohon maaf atas (kemungkinan) mental yang terzalimi.

Mohon Maaf Lahir Batin :)

Dan kalau ada yang bisa gw maknai di bulan Agustus gw, Ramadhan gw, dan Lebaran gw kali ini : Allah berbaik hati membuka sekat-sekat sudut pandang, pikiran, dan keluwesan hati demi membiarkan gw melihat betapa maahaluasnya langit di malam hari. Dan yang paling penting, kebaikan hati-Nya berhasil meluaskan pandangan gw untuk menegaskan bahwa tidak hanya ada satu bintang menggantung di atasnya.

Jadi?  Menjadi berbeda bukan berarti  keputusan yang tidak bijak. Setidaknya, mencoba bertahan menjadi bintang yang sinarnya tak sama masih menjadi sesuatu yang layak diperjuangkan. 

Tidak menyilaukan, tetapi meneduhkan (Annisa Sophia)