Senin, 27 Februari 2012

Seni

*Have a quality time with Acy this afternoon in library.

Kesimpulannya?
Dunia luas, Bro.
Sangat.

Buat bisa bertahan di dalamnya, harus pake seni.
Seninya?
Bukan tentang bisa menggenggam seluruh isi bumi.
Bukan tentang bisa menjejak setiap permukannya.

Seninya hanya tentang bersyukur.

Di setiap hal yang berhasil digenggam.
Di setiap permukaan yang berhasil dipijak.

:)

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Aku akan menambah nikmat-Ku kepadamu dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim : 7)

Page 4 of 15

#Now Playing : Saat Bahagia - Ungu feat Andien

saat bahagiaku duduk berdua denganmu
hanyalah bersamamu 


15 Februari 2012
Surprise ulang tahun Kautsar di depan BTN

mungkin aku terlanjur
tak sanggup jauh dari dirimu
ku ingin engkau selalu


24 Februari 2012
Surprise ulang tahun Kamal di depan Alfamart

tuk jadi milikku 
ku ingin engkau mampu
ku ingin engkau selalu bisa

 26 Februari 2012
Surprise ulang tahun gw di Kostan Hanifah

temani diriku sampai akhir hayatmu
meskipun itu hanya terucap
dari mulutmu oooh dari dirimu 

27 Februari 2012
Surprise ulang tahun Rima di depan BTN

yang terlanjur mampu bahagiakan aku
hingga ujung waktuku

selalu :)

*menggurat tanda titik terakhir-menutup halaman 4-menutup buku-melanjutkan tugas kuliah*

Itu Angka 2 aja, Loh..

26 Februari tahun ini dibuka dan ditutup dengan hamdalah.
Segala puji hanya milik-Mu Tuhan semsta alam.
Segala puji hanya milik-Mu Yang Maha Memelihara rasa sayang.

Kalau sedih itu capek, bahagia juga ternyata capek loh. Saking capeknya, lw gak bisa ngomong apa-apa. Speechless. Dan hanya bisa berdoa, orang-orang yang menjadi sumber kebahagian itu, selalu diselimuti kebahagian yang berlipat di setiap langkah mereka. Selalu diselimuti oleh rasa sayang-Nya :)
 
Surprise dari Gandewa 5 plus Raras, Amei, Nirwan di Kostan Hanifah


Surprise dari Murai, Hana, Nila, Tari, Kiki, Icha di Kostan gw

Ada yang mengejutkan dari doa-doa tahun ini yang dilontarkan orang-orang baik di sekitar gw, baik lewat sms, twitter, facebook, maupun ucapan secara langsung. Ada hal yang didoakan secara khusus. Entah ada formatnya atau gimana, tapi hal itu dilontarkan di akhir setiap doa.
Semoga dimudahkan menentukan pilihan hatinya ya, Teh!
Semoga dimudahkan cita dan cintanya, Tut!
Semoga cepet dapet jodoh ya, Teh!
Ditunggu undangannya..
Semoga siap diajak mapan bersama ya, Teh..
Jedaaar! Hahahaha -_-" 
Sumpahlah itu ucapan-ucapan membuat ngerasa bentar lagi gw mau naik pelaminan aja loh, hehehe :P Awalnya gw bingung kenapa orang-orang serempak mengirimkan doa semacam itu. Tapi pas gw pikir-pikir, itu faktor angka yang ada di atas kue kemarin kali yak? :)

 Kue dari orang-orang baik :)

Itu angka 2 aja loh :D


Resolusi berganti kepala usia?
Bukan sebuah pengharapan lagi.
Tapi tidak menyerah untuk terus memantaskan diri.
Semoga :)

Minggu, 26 Februari 2012

Doa di Penghujung 19

Kukusan Kelurahan.

Tempat yang awalnya hanya gw identikan dengan kata jauh dan kostan Murai-Hari, malam ini memiliki arti tambahan bagi gw. Di tempat ini baru saja gw lemparkan sebuah doa, di penghujung 19 tahun gw.

Pasca shalat magrib, tengah berkutat dengan tugas Psium tentang human senses, tiba-tiba ada yang sms ngajak makan bareng. Gw senyum-senyum doang waktu ngeliat nama pengirim smsnya. Kembaran gw di Metalurgi. Gimana gak senyum-senyum? Wong gw juga dari tadi kepikiran buat ngajak makan bareng nih orang, eeh dia sms duluan. Saking terbiasanya dengan kejadian-kejadian macam ini, gw pun akhirnya cuma bisa senyum-senyum doang. Sindrom 26 Februari itu emang gak pernah berubah, bahkan ketika kami sudah sama-sama duduk di bangku kuliah.
Erje : Tuth, lw masuk UI dong, biar gw kalau mau curhat gampang.
Itu kalimat yang Erje lontarkan setahun lalu waktu jaman-jamannya gw masih berjuang untuk dapet PTN. Waktu pun benar-benar bergulir begitu saja. Gw udah jadi anak UI. Berbanding lurus dengan waktu  gw dan Erje bertukar cerita yang tiba-tiba terhampar begitu banyak. Seperti malam ini.

Erje. Metalurgi 2010. Kembaran gw yang lahir di tanggal, bulan, dan tahun yang sama dengan selisih waktu dua jam dan di pulau yang berbeda. Orang yang dihadapannya saat ini gak ada sedikitpun rahasia yang gw tutupin. Orang yang saat berinteraksi dengannya saat ini sudah gak ada rasa gak enak dan segen sama sekali. Orang yang saat berbicara dengannya nyaris tanpa intensitas basa-basi. Orang yang saat minta pertolongannya udah gak kenal kata maaf, sory, dan punten.

Sahabat gw. Yang kepada-Nya gw bersyukur pernah dipertemukan dengannya.

Malam ini gw makan bareng, lagi, sama Erje. Tidak menemukan tempat yang oke di Kutek, gw dan Erje pun menjelajah. Nemu tempat makan di Kukel yang, alhamdulilahnya, nasi gorengnya oke banget. Dari segi porsi dan rasa :D Secara gw lagi ngidam banget sama nasi goreng, hehehe.

Ditemani kipas angin dan tv yang menayangkan stasiun tv dengan film elang-elangan, seperti biasa, cerita pun mengalir begitu saja. Gw bercerita tentang apa-apa yang sedang gw pelajari di Psikologi, tentang gw yang belakangan merasa takut untuk mengambil kesempatan, tentang postingan gw beberapa hari yang lalu sempat dianggap mengerikan oleh banyak orang -ternyata Erje pun beranggapan sama-, dan tentang-tentang lainnya.
 
Begitu pun sebaliknya, Erje pun bercerita.

Waktu gw mendengarkan cerita Erje, gw ngerasa lagi ngaca. Itu mengapa gw sering merasa gw kembaran sama Erje. Ada momen-momen tertentu yang membuat gw ngerasa kalau gw jadi cowok, ya mungkin akan mirip kayak Erje.

Everything gonna be alright, Je :)

Cerita berlanjut. Dan untuk selanjutnya, ini yang membuat kami mulai geleng-geleng kepala. Sindrom 26 Februari nya kambuh lagi!

Dimulai dari Erje yang tadi pagi pergi ke Senayan buat menservis laptopnya. Tadinya Erje mau ngajak gw, tapi intuisinya yang bilang mungkin gw lagi sibuk membuatnya mengurungkan niatnya. Dan benar saja, gw memang lagi mengerjakan tugas Psium dan berencana untuk tidak kemana-mana pagi ini. Lucunya, laptop gw pun sama-sama lagi rusak dan memang mau gw servis ke Detos sore tadi.

Belum selesai sampai di sini, Rj pun menanyakan sesuatu kepada gw.
Erje : Bentar Tuth, gw mau nanya. Kemaren lw sakit khan? Lw sakit apa?
Gw : Radang, Je.
Erje : Radang apa?
Gw : Radang tenggorokan gw kambuh. Bentar, jangan bilang lw juga kemaren radang juga?
Erje : Kemaren radang gw juga kambuh, Tuth! Sampe gak bisa makan Tuth saking sakitnya.
Gw : Gw gak bisa ngomong Je saking sakitnya.
Loncat dari satu cerita masuk ke cerita lain.
Erje : Gw tuh.. apa ya namanya?
Gw : Kalah sama intensitas, Je? Aduh Erje, kita khan emang sama orangnya -_-"
Puncaknya, saat gw menceritakan apa yang gw alami siang tadi. Lagi berkutat dengan Psium dan Filsafat Manusia, gw ketiduran. Tadinya cuma berniat tidur setengah jam. Eh bablas sampe dua jam. Gw ngerasa tidurnya berkualitas banget. Karena gw benar-benar tidur. Tidak mendengar suara apapun di luar kamar yang biasa gw dengar samar-samar, entah motor, suara penampungan air penuh, ataupun suara kucing yang lagi berantem. Saking berkualitasnya, gw mimpi. Full selama dua jam tanpa putus.

Dalam mimpi itu, gw bertengkar hebat dengan seseorang. Sumber kompleksitas gw di masa lalu. Pertengkaran itu dipicu dari semua hal-hal yang tak terceritakan di masa lalu. Hal-hal yang gw pendam sampai saat ini. Cerita yang tak terceritakan dan hal-hal yang terpendam selama ini keluar semua di dalam mimpi itu. Jelas-jelas gw tumpahkan dan lontarkan di depan sumber kompleksitas gw. Entah apa asal musababnya gw bisa bermimpi seperti itu. Tapi mimpi itu sungguh nyata. Fisik dan mental gw bermain di dalam mimpi itu. Sampai di penghujung mimpi, gw mendapatkan akhir yang indah. Gw amat ingat akhirnya. Di situ gw nangis. Nangis bahagia seperti habis menumpahkan bom yang terkubur dalam-dalam di tenggorokan gw yang awalnya gw ragukan bisa gw ledakkan. Akhir yang jelas-jelas gak akan pernah terjadi di kehidupan nyata.

Gw terbangun tepat dua jam saat gw sadar gw mulai ketiduran. Gw bangun dalam keadaan tegang dan bersimbah keringat. Bangun dalam keadaan lelah yang luar biasa seperti baru saja selesai mengerjakan tugas besar. Gw tercengang sejenak. Antara tidak percaya dengan apa yang gw mimpikan dan berharap besar itu bukan hanya sebuah mimpi. Sebelum gw memutuskan untuk semakin lelah dengan memompa katong air mata gw. Gw bergegas mengambil air wudhu. Shalat Ashar.

Kemungkinannya cuma dua. Kalau bukan Allah begitu baik untuk menyadarkan gw kalau gw memang sudah segitunya, Allah begitu baik mewujudkan pengharapan besar gw untuk bisa mengeluarkan apa yang terpendam selama ini, walaupun hanya dalam mimpi.

Waktu Erje mendengarkan cerita gw itu, Erje memasang mimik antara tersenyum dan tercengang. Tahu apa yang ia katakan selanjutnya? Kemarin malam pun ia bermimpi. Objek dan alur ceritanya tentu saja berbeda. Tapi yang membuat gw tercengang, tema mimpinya sama. Tentang pengharapan yang (mungkin) tertanam di alam tidak sadar kami masing-masing.

Gw yang memang sudah terbiasa dengan kesamaan-kesamaan kejadian yang kami miliki sejak SMA ini, yang selanjutnya kami sebut dengan sindrom 26 Februari, tidak terlalu terkejut dengan temuan-temuan yang kami dapatkan barusan. Saking terbiasanya, gw pun gak ambil pusing dengan kesamaan-kesamaan ini.

Berbeda dengan Erje yang sepertinya makin tertarik dengan apa yang terjadi diantara kami.
Erje : Tuth, sumpah gw penasaran. Kok bisa sih? Sebenarnya kita kenapa sih?

Entahlah :)

Apapun itu, terkadang dibandingkan dengan persamaan-persamaan yang kami miliki, gw malah bersyukur atas perbedaan yang kami miliki.

Buat gw, Erje yang lebih visioner, logis, pekerja keras, dan sering gak nyambung kalau diajak ngomong masalah hati :P selalu bisa jadi peneyeimbang gw yang lebih sering mikir pake hati daripada otak. Ngobrol sama Erje yang pernah membadai di FTUI tingkat jurusan, departemen, UI, dan Indonesia (saat ini) selalu bisa bikin gw ngerasa hidup gak sesempit kayak ngeliat pake kacamata kuda. 

Waktu gw ketemu dengan masa-masa minder gw, ketika gw ngerasa ada yang harus diubah dengan kekurangan-kekurangan gw, brainstorm sama Erje selalu sukses membuat gw  sayang sama diri sendiri. Ngerasa sayang dengan gak perlu ada yang diubah dari diri gw. Karena ketika kekurangan-kekurangan itu mulai mendominasi lagi, gw punya orang yang akan membantu gw memangenya kembali.
Erje : Ciee, yang besok 20 tahun :D
Gw : Kayak yang enggak aja lw, hehehe. 20 tahun kita mau ngapain, Je?
Jam menunjukkan pukul 10 kurang. Gw dan Erje beranjak pergi meninggalkan rumah makan. Sambil menunggu Erje yang tengah membayar, gw memperhatikan jalanan sekitar. Kukel gak jauh berbeda ternyata dengan Kutek. Jalanan utamanya masih terasa ramai walaupun malam semakin larut. Gw pun menoleh ke arah kanan sambil menerka-nerka dimana gerbang utama Kukel yang pernah gw lewati berada. Menoleh ke kiri sambil menerka-nerka belokan menuju kostan Murai dan Hari yang pernah gw kunjungi. Senyum-senyum sendiri mengingat-ingat lokasi rumah sakit di Kukel yang pernah Gw, Murai, Hari, dan Nipeh perdebatkan namanya.

Sambil terus melihat-lihat, gw tiba-tiba teringat sesuatu. Orang yang pertama kali ngajarin gw  untuk berani jadi bocah petualang, orang pertama yang ngajarin gw untuk berani naik kereta ekonomi dan memperkenalkan gw dengan ganasnya dunia perkeretapiaan, orang pertama yang memperkenalkan gw dengan Monas, orang pertama yang memperkenalkan gw dengan Kota Tua, Orang pertama yang mengajak gw untuk menjejakkan kaki di Gelora Bung Karno dan Senayan, orang pertama yang mengenalkan gw dengan Trans Jakarta, orang pertama yang memperkenalkan gw dengan Kukusan Teknik, adalah orang yang sama dengan orang yang malam ini mengajak gw membedah Kukusan Kelurahan untuk mencari makan.

Sejurus kemudian sebuah doa pun melesat di langit malam Kukusan Keluruhan. Persis di penghujung umur 19 tahun gw. Di penghujung umur 19 kami.

Rabb, Kuatkan langkah kami berdua untuk mimpi kami masing-masing. Kuatkan pundak kami masing-masing untuk tidak menyerah memantaskan diri. Dan kalau boleh, izinkan kami sama-sama menjejakkan kaki di Rinjani.

Sabtu, 25 Februari 2012

Page ... of 15

Teman-teman satu peer lw adalah orang-orang yang lw pilih untuk diajak susah dan seneng bareng. Sedangkan orang-orang di Gandewa? Lw dipaksa untuk susah dan senang bareng dengan mereka yang bukan lw pilih dengan sengaja.
Tolong ya, anak Gandewa angkatan 5 yang merasa pernah mengucapkan kalimat ini waktu family building, angkat tangan! Soalnya gw sempurna lupa siapa yang melontarkan kalimat itu -_-"

Kalau katanya ilmu dan teman  bisa datang dari mana saja, gw percaya :)

Diklat Manajeman Perjalanan di Gunung Kencana, Diklat Navigasi Darat di Gunung Kencana, Diklat Jungle Survival dan PPGD di Geger Bentang Gunung Pangrango, kunjungan ke Pecinta Alam (let's say Pala for the next story) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok (KAPA FTUI, HUMUS FEUI, CICERA Universitas Pancasila, Pala Universitas Gunadarama, Pala IISIP, Astadeca PNJ, Ural SMA 28 Jakarta, Palabsky Labschool Kebayoran, dan PPRPG Satya Soedirman SMAN 1 Bogor), sempat bersilaturahmi jarak jauh dengan beberapa Pala yang terpisah letak geografis cukup jauh (KMPA Ganesha ITB, STAPALA STAN, Pala UNJ, dan Pala Trisakti),  Pelantikan Caang 5 Gandewa di Puncak Gunung Kencana, Family Buliding Angkatan 5 Gandewa di kostan Hanifan dan Kostan gw, surprise birthday party anak-anak Gandewa angkatan 5, bolang jakarta berburu perlengkapan naik gunung, sukses membuat gw kebanjiran ilmu dan teman.

Juga tentu saja, kebanjiran cerita.

Dan judul postingan ini akan mewarnai postingan-postingan gw selanjutnya (walaupun tidak berurutan dan tidak dalam jangka waktu yang berdekatan) di blog ini sebagai pengganti tak terlampiaskannya hasrat menulis gw saat momen-momen itu terjadi. Saat ilmu, teman, dan cerita banjir di satu waktu. Cerita tentang kebersamaan gw dengan 14 orang angkatan 5 Gandewa saat momen-momen itu terjadi. Mereka yang belakangan membuat gw merasa jadi orang kaya karena dikelilingi begitu banyak orang kaya. Kaya kepribadian, kaya karakter, kaya cerita, dan kaya warna.

Tentang 15 anak panah yang sebelumnya gak pernah memilih untuk bisa melesat bersama.

Diklat Manajemen Perjalanan di Kaki Gunung Kencana

Jumat, 24 Februari 2012

Lingkaran Baru

Kalau lw mau tau, gw juga kesel kalau ngeliat Tuti disakitin.
Hey, dibalik muka gw yang nyeleneh tadi malem, gw terharu loh dengernya :')

Yap. Sekarang gw punya lingkaran baru, lagi. Lingkaran yang membuat gw tak perlu merasa khawatir  melakukan kesalahan untuk menyayangi orang-orang di dalamnya, dengan cara paling berlebihan sekalipun. Sayang sebagai sebuah lingkaran utuh, ataupun sebagai bagian-bagian penyusun lingkaran.

Dan seneng itu..

Bisa melihat orang yang sama-sama saling menyayangi bisa saling melempar senyum.
Bisa mendengar orang yang sama-sama saling menyayangi mau mengerti seberapa pantas dirinya layak untuk disayangi.

:)

Rabu, 22 Februari 2012

Blood Brain Barrier

Hari ini gw masuk kelas Faal A. Sebenarnya bukan kelas gw. Tapi berhubung kemarin gw mangkir dari mata kuliah ini, jadi hari ini gw nimbrung di kelas yang super besar dengan jumlah lebih dari 100 orang di dalamnya.

Belajar pagi ini, entah mengapa, nikmat banget buat gw. Selain ngerasa lebih ringan, nostalgia dengan pelajaran biologi di masa SMA bikin mood jadi oke juga kali yak? :D
Kalau kata Mba Manda, dosen Faal gw, sebenernya mata kuliah ini gak cukup tepat dikatakan sebagai mata kuliah Faal. Ada kemungkinan akan berubah namanya menjadi Biopsikologi.

Mata kuliah ini, yaa, memang belajar biologi. Tapi tentu saja kaitannya dengan ilmu psikologi. Tadi gw belajar sistem saraf dan sinapsis. Bersyukur bangetlah dapet dosen Mba Manda. Gaya penyampaian materinya sungguh mengalihkan duaniaku :D

Diantara materi-materi tadi yang emang bener-bener bisa bikin gw bertasbih beberapa kali,  ada satu momen yang, sumpah, membuat gw sempat mengerjap-ngerjapkan mata sambil mendesiskan takbir.

Materi tentang Blood Brain Barrier.

 Blood Brain Barrier

Blood Brain Barrier, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Sawar Darah Otak, memiliki fungsi untuk mencegah menembusnya bahan kimia masuk ke lapisan otak. Karena sel otak tidak dapat melakukan regenerasi kembali ketika mengalami kerusakan akibat terinfeksi zat-zat kimia atau virus-virus yang membahayakan, keberadaan Blood Brain Barrier ini menempati fungsi yang cukup krusial bagi manusia. Keberadaannya sebagai pencegah kemungkinan adanya kerusakan otak.

Hebatnya lagi, Blood Brain Barrier ini hanya terdapat di otak. (yaiyalaaah, udah jelas namanya 'brain', bukan body -_-). Bukan.. Bukan.. Bukan itu maksudnya, hehehe. Maksudnya, dengan fungsi yang begitu oke, kenapa cuma otak yang punya? Kenapa gak semua organ yang memiliki barrier itu?

Jawabannya? Karena zat kimia yang mengalir menuju otak, tidak semuanya membahayakan. Ada zat-zat yang bermanfaat yang memang sebenarnya dibutuhkan otak. Proses menembusnya zat-zat bermanfaat untuk melewati barrier tersebut menggunakan proses transpor aktif. Proses yang membutuhkan energi yang luar biasa. Naah, dengan kebutuhan energi yang luar biasa itu, kalau semua organ memiliki barrier tersebut, tanpa beraktivitas apapun, kita benar-benar bisa kelelahan terlebih dahulu.

Dan kenapa otak yang diberi penjagaan yang begitu luar biasa?

Jawaban dari pertanyaan tersebut lah yang pada akhirnya cuma bisa gw jawab dengan desisan takbir.

Allahuakbar :')

Bahkan Allah begitu sempurna menyusun penjagaan bagi penciptaan-Nya. Jauh berabad-abad lalu. Jauh sebelum teknologi ditemukan. Jauh sebelum gw tahu gw akan menemukan fakta ini di bangku fakultas psikologi UI.

Kesadaran akan kesempurnaan penjagaan-Nya pun menyentil gw yang sempat masih dalam keadaan berkabung. Bahkan jauh sebelum ini terjadi, kalau gw mau mengingat, sejatinya Dia selalu menjaga gw dari kelelahan yang seharusnya tak perlu terjadi.
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd : 28)
*** 
#Faal Kelas A
Mba Manda : Kalian tahu gak? Faktor psikologis itu mempengaruhi sitem imun kita loh.
Gw : (Menunduk dalam-dalam) 
Rabb, izinkan hamba pulang :) 

***
  #Etika Kelas C
Murai : Teh, masih berkabung?
Hari ini setiap langkah gw ditemani dengan pertanyaan, "Teh Tuti udah sembuh?", "Teh Tuti cepet sembuh doong!", ditambah dengan quality time bareng lw, Hana, Nila, Tari, Kiki, dan Raras,  ditambah mendadak dapet sms dari Rj, bonus ketemu Ujhee dan Dimash di gerbang Kutek, gw pun pada akhirnya gak punya alasan untuk berkabung lebih lama, Rai :D

Selasa, 21 Februari 2012

Untuk Anda, yang (Awalnya) Dianggap Tepat

Surat ini untuk Anda.

Anda yang mungkin tidak akan pernah membaca surat ini karena tak sedikitpun memiliki atensi.
Anda yang entah kapan mulai menjadi signifikan.
Anda yang awalnya dianggap tepat.
Kehadiran dan keberadaannya.

Gw datang dengan membawa cerita lama.
Kompleksitas dengan nama yang baru diketahui di kemudian hari.
Dalam keadaan melarikan diri.
Gw mencari janji pengharapan yang baru.
Janji untuk sembuh dari cerita di masa lalu.

Saat itu, Anda datang.
Datang dengan segala bentuk konspirasi alam yang menyertainya.
Tanpa ada unsur kesengajaan.
Tanpa alur cerita yang direncanakan.
Anda datang, dengan janji pertemanan yang manis.
Atau mungkin, gw yang menganggap itu sebuah janji yang manis.

Semua begitu cepat.
Seperti biasa, intensitas pun meruntuhkan banyak hal.
Kesamaan-kesamaan itu bermunculan.
Atau gw yang sengaja menyama-nyamakan?
Kebiasaan-kebiasaan itu berdatangan.
Atau gw yang sengaja membuat itu terbiasa? 
Kesempatan itu datang silih berganti.
Atau gw yang sengaja membuat kesempatan?

Gw nyaman.
Berada dalam pengertian yang sama.
Pemahaman yang tak jauh berbeda.
Dalam keadaan Anda yang apa adanya.
Dan berharap Anda pun menerima gw apa adanya.

Tapi begitulah intensitas.
Gw gak pernah benar-benar bisa berteman baik dengannya.
Ia pun meruntuhkan tembok pertahanan.

Kejahatan silaturahmi pun, perlahan tapi pasti, mulai menggerogoti gw.

Gw jahat.
Memiliki prasangka yang tidak-tidak kepada Anda.
Hanya karena Anda baik kepada semua orang.
Karena gw pencemburu.
Gw hanya ingin kebaikan itu ditujukan untuk gw seorang.

Gw jahat.
Gw bilang gw orang yang benci ketika tali silaturahmi harus terputus entah alasan apapun.
Tapi apa?
Gw memalingkan muka atas apa yang gw lihat.
Melihat Anda begitu baik ramah kepada banyak orang.
Tapi begitu panas terasa di mata gw.

Gw jahat.
Gw sering sengaja bercerita tentang orang di masa lalu.
Langsung di hadapan Anda.
Dengan satu harapan.
Raut wajah Anda berubah.
Sungguh.
Gw berharap ada sedikit saja denting kekecewaan di wajah Anda.
Tapi ternyata?
Anda begitu sempurna mempertahankan ekspresi wajah Anda.
Dan bagi gw itu bumerang.
Gw yang kecewa melihatnya.

Anda tahu apa yang paling jahat?
Gw pernah berharap.
Anda berkenan menjadi obat dari kompleksitas gw.
Menyembuhkan kesakitan gw.

Sampai akhirnya gw sadar.
Gw begitu jahat.
Gw hanya menjadikan Anda bayang-bayang atas orang di masa lalu.
Atas segala kemiripannya.
Atau gw yang sengaja memirip-miripkannya?
Atas segala kesamaannya.
Atau gw yang sengaja membuatnya terlihat sama?

Gw jahat.
Karena kepada Anda gw berharap lebih.
Kepada Anda gw berlari.

Tapi Anda mau tahu lagi?
Bukan hanya gw saja yang jahat.
Tapi Anda.
Anda juga sama jahatnya!

Mengapa ketika gw mulai merasa segala sikap tak sesuai pada tempatnya.
Saat gw tahu ada yang harus dibenahi.
Perkataan Anda membuat gw berpikir ulang untuk membenahi diri?

Kenapa?
Kenapa Anda begitu jahat?!
Kenapa Anda harus memperlakukan gw berbeda.

Anda tahu?
Diperlakukan berbeda itu menyesakkan.
Apalagi kalau itu hanya perasaan gw saja.
Hanya halusinasi gw saja.

Gw boleh jujur kepada Anda?
Gw lelah.
Gw lelah berharap.
Gw lelah cemburu.
Gw lelah tidak ditatap sewajarnya.
Gw lelah memalingkan muka ketika anda berbaik hati kepada orang lain.
Gw lelah diperlakukan berbeda.

Gw lelah karena gw tahu.
Lelah ini akan berakhir sia-sia.

Dan kini, gw memilih mundur.
Gw memilih kembali kepada kompleksitas di masa lalu.

Anda tahu?
Saat ini, kembali pada masa lalu jauh lebih menyenangkan bagi gw.
Masa lalu memang memang tak memberi pengharapan yang pasti.
Bahkan jaraknya yang jauh, tak sungkan bisa menguliti kembali luka yang telah lama tertutup akibat kehadiran Anda.
Tapi masa lalu memberikan janji pengharapan yang jelas buat gw.
Sejelas linearina yang tak pernah absen mengisi ruang-ruang kosong di tengah rimbunnya hutan.

Tidak seperti Anda.
Anda begitu dekat.
Sangat dekat.
Tapi Anda hanya sebuah kabut.
Begitu setia mengelilingi gw.
Hawa dingin Anda dekat dengan kulit gw.
Menyelimuti gw.
Tapi Anda tetap hanyalah sebuah kabut.
Mengaburkan pandangan gw.
Ada.
Nyata.
Tapi tak pernah bisa  digenggam.

Gw pamit.
Mundur.
Mengambil tikungan di persimpangan.
Kembali mengejar mimpi besar gw.
Mimpi besar yang sempat teralihkan karena keberadaan Anda.
Anda pun punya mimpi bukan?
Semoga cita, dan cinta, Anda tak harus berakhir seperti gw.

Sampai jumpa.

Anda tahu?
Seseorang pernah mengajarkan gw untuk tidak pernah memutuskan tali silaturahmi.
Apapun alasannya.
Nama Anda yang saat ini masuk dalam daftar doa setelah shalat.
Semoga mampu merepresentasikan hal itu.

Walaupun entah kapan, semoga lingkaran kita bersinggungan lagi.
Tentu saja, tanpa pengharapan yang menyertainya.

Selamat memantaskan diri dengan mimpi dan prestasi.
Berharap doa yang sama pun tak sungkan dikirimkan kembali.

Anda tahu?
Seorang adik berkata kepada gw.
Dia tercengang atas perubahan sikap gw.
Sikap gw yang mengalami regeresi.
Seperti anak kecil.
Sikap yang begitu mahal untuk gw bagi kepada orang lain.
Adik ini pula yang sejak awal mengingatkan untuk tidak berdiri di pinggir jurang.
Sayangnya, saat itu gw menganggap dia terlalu kecil untuk memperingatkan gw.
Yang pada akhirnya membuat gw tidak mengindahkannya.
Tapi sekarang?
Semoga cengkraman kaki dan tangan gw cukup kuat untuk terus merangkak naik ke atas.

Apakah Anda tahu juga?
Hanya beberapa orang yang sanggup membuat  gw mengalami regresi.
Hanya beberapa orang yang sanggup membuat sorot mata gw meredup.
Dan saat ini, Anda masuk di dalam salah satu daftarnya.

Satu hal yang gw syukuri dari keputusan ini.
Sorot mata gw bisa kembali seperti sedia kala.

Ah ya, gw rasa Anda memang tidak akan pernah tahu hal-hal itu.
Karena Anda memang tak memiliki atensi.

Terima kasih untuk banyak hal.
Terutama penjagaan Anda selama ini.

Sayangnya, gw sedang tidak ingin minta maaf untuk sebagian hal lainnya.

Untuk Anda yang (awalnya) dianggap tepat.
Untuk pertama kali gw memberanikan diri untuk bilang.
Gw menyayangi Anda.
Tapi kini, dalam bentuk yang berbeda.

Universal, bukan partikular.

Semua-Orang-Adalah-Orang-Baik

Hari ini radang tenggorokan gw kambuh. Entah akumulasi capek karena gw memang belum berhenti sama sekali pasca pelantikan atau apa. Gw pun tumbang. Mangkir di tiga mata kuliah sekaligus.

Gw sms Hana, Nila, dan Murai kalau gw memutuskan untuk gak kuliah hari ini. Sejurus setelah menerima sms gw, pagi-pagi Hana dan Nila udah ngegedor-gedor kamar gw. Dalam keadaan lampu masih mati dan gw masih terkapar di kasur, gw gak bisa ngapa-ngapain. Menjawab gedoran mereka aja gak bisa. Tenggorokan gw lagi gak bersahabat. Sakit setengah mati bahkan hanya untuk bilang kalau di kamar yang gelap itu ada orang. Beberapa menit kemudian Hana dan Nila pun beranjak pergi. Berbanding terbalik dengan gw yang sama sekali gak bisa beranjak dari kasur.

Gw kira mimpi. Tapi sekitar pukul 11.00 ada yang menggedor pintu kamar gw lagi. Hana dan Nila lagi. Kali ini gw memaksakan bangun. Memberi isyarat kalau ada gw di dalam kamar. Masih dalam keadaan mengumpulkan nyawa. Gw membuka pintu.

Muka-muka khawatir pun menyambut gw saat gw keluar. Gimana gak khawatir? Masih dalam keadaan muka bantal, muka gw merah dan panas. Mata gw bengkak-bengkak. Tapi yang paling mengenaskan, apa lagi kalau bukan suara gw. Suara yang dipaksakan keluar karena menahan sakit. 

Hana Nila menawarkan berbagai hal. Mulai dari membelikan gw makanan, menemani gw, sampai hal-hal yang tidak bisa gw dengar karena gw masih mengumpulkan nyawa.

Menolak semua tawaran Hana Nila, Hana Nila pun pamit ke kostan masing-masing. Gw memutuskan memanusiakan diri gw lagi dengan mandi dan melanjutkan berkutat dengan buku Faal yang belum terselesaikan tadi malam, walaupun dalam diam.

Beberapa menit kemudian, ada lagi yang mengetok kamar gw. Tari Kiki. Mereka pun menyempatkan menjenguk gw. Seneng dijenguk sama mereka berdua. Berbeda dengan Hana Nila yang seberbeda apapun kesibukannya dengan gw, karena jarak kostan kami yang terlampau dekat, kami masih punya banyak quality time bersama. Sedangkan Tari Kiki? Intensitas gw yang cukup tinggi dengan Gandewa, cukup membuat gw kehilangan banyak quality time bersama mereka berdua.

Berbeda dengan kehadiran Hana Nila saat gw masih mengumpulkan nyawa, kehadiran Tari Kiki sudah berada dalam kondisi gw yang sudah menjadi manusia. Sudah mandi dan bisa ngomong lagi maksudnya. Pertanyaan-pertanyaan mereka tentang kondisi gw pun memancing gw menyadari apa yang terjadi pada gw hari ini. Mengapa gw bisa sesakit ini. Kalau sakit semacam ini, gw ngerasa lebih butuh calon-calon psikolog daripada seorang dokter.

Memutuskan untuk makan siang bersama, apalagi gw yang gak sarapan karena gak bisa bangun dari kasur, kami bertiga nyusul Nila yang lagi makan di Warteg Kutek. Beberapa menit kemudian, Hana nyusul bersama Raras dan Mif yang memang datang untuk menjenguk gw.

Setelah selesai makan, Hana Nila Tari Kiki Raras Mif bergegas menuju kampus, masih ada satu mata kuliah lagi. Inkemas. Sebenernya gw bisa aja memaksakan untuk ikut mata kuliah itu. Tapi entahlah. Istirahat di kasur dan berkutat dengan buku Faal lebih menjanjikan buat gw dibandingkan ke kampus hari ini. Cukup tenggorokan gw aja yang sakit hari ini, bukan yang lain.

Berhasil merangkum satu bab Faal, gw ketiduran. Hujan dan angin yang gede banget membuat gw gak mendengar alarm yang gw set untuk membangunkan gw lagi sore ini. Sampai entah gedoran ke berapa hari ini, membangunkan gw lagi. Nadya dan Nipeh.

Sebulan belakang gw menghabiskan banyak waktu dengan mereka berdua, dan tentunya anak-anak Gandewa lainnya. Ngobrol sama mereka berdua menyenangkan. Khusunya Nadya. Gw suka banget sama pola pikir temen gw yang satu ini. Mau ngajak gw untuk bisa melihat suatu hal dari sudut yang berbeda yang kadang gw sengaja menutup mata akan kemungkinan sudut pandang itu. Termasuk ketika harus menghadapi perbedaan sikap seseorang yang mendadak begitu tidak mau menatap mata gw. Dia gak mau PHP, Tuth.

Makan siang bareng Hana Nila Tari Kiki Raras Mif, makan malam bareng Nadya dan Nipeh.

Setelah mereka pamit, gw pun kembali ke kamar. Di tengah-tengah kunjungan orang-orang silih berganti ke kostan gw, sms-sms menanyakan kabar gw datang silih berganti. Yaah, sepertinya dinding dan tiang fakultas psikologi memang benar-benar mendengar dan berbicara.

Mau tau gak apa jadinya orang yang tumbuh di tengah-tengah begitu banyak orang yang sayang sama dirinya?

Jadinya kayak gw. 
Orang yang mungkin akan selalu menganggap bahwa semua-orang-adalah-orang-baik.

Senin, 20 Februari 2012

Melesat

Dengan resminya gw dilantik sebagai anggota angkatan 5 Gandewa Fakultas Psikologi UI, gw pun mau launching label blog baru looh.

.:Tentang Anak Panah:.

Kiri ke kanan : Gw, Anah, Tata, Rima, Hari
Kelompok 2 Pelantikan Angkatan 5 Gandewa
 
Gandewa Fakultas Psikologi UI
Pasca Pelantikan Angkatan 5

Cerita tentang anak panah yang tajam dan siap melesat menembus kejamnya alam :D

Berengsek

Beberapa hari yang lalu, gw dipercaya untuk mendengarkan sebuah kronologis cerita seorang teman (baca : perempuan). Topiknya? Seputar lika-liku cinta remaja kalau boleh dibilang. Masih dalam keadaan menggendong carrier pasca nyuci alat-alat Gandewa, gw pun mendengarkan ceritanya dengan seksama.

Semakin gw dengarkan, sepertinya topik ceritanya pun mengerucut menjadi sebuat istilah yang belakangan mulai familiar buat gw. Platonic Relationship. Gw gak punya hak untuk menceritakan kembali apa yang diceritakan oleh teman gw itu. Intinya, cerita itu bertumpu pada satu objek. Seorang laki-laki. 

Yang gw salut dari cerita teman gw itu, setiap dia bercerita, dia begitu detail menceritakan kronologis kejadiannya, bagaimana perasaannya saat itu, asumsi-asumsi yang ia buat, sampai kekhawatiran dan ketakutan-ketakutan yang ia rasakan.

Semakin gw mendengarkan ceritanya, semakin geleng-geleng kepala lah gw.

Seperti yang pernah gw bilang sebelumnya, gw susah sama yang namanya bersikap. Termasuk menilai orang dengan mengeluarkan judgement tertentu. Tapi kali ini lain. Gw tau objek yang diceritakan oleh teman gw itu. Dan jujur, keseluruhan ceritanya, ditambah prior knowladge gw tentang orang itu membuat gw untuk pertama kalinya berani nge-judge orang sembarangan. Dengan nyengir gak jelas, gw pun mengungkapkan apa yang tiba-tiba melintas di pikiran gw.
Kok dari cerita lw dia kayak berengsek banget ya?
Beberapa minggu kebelakang, hidup gw berkutat dengan Gandewa. Orang-orang di dalamnya, kebiasan-kebiasaannya, kehidupan di atas gunungnya, dan banyak hal lainnya yang cukup signifikan buat gw saat ini. Salah satu kebiasaan yang gw dapet di atas gunung adalah masalah keterbukaan. 

Di atas gunung, walaupun secara tersirat, gw diajarkan untuk bisa lebih terbuka dengan orang lain. Mengomunikasikan apa-apa yang dianggap tidak nyaman dan tidak sesuai. Mengomunikasikan walaupun itu tidak menyenangkan sekalipun. Ngomomg langsung di depan orangnya. Bukan main belakang. Bukan juga sok kuat untuk memendamnya dalam-dalam. Walaupun kadang tidak menuruti kaidah estetika. Karena ketika gw dan teman gw tidak saling terbuka satu sama lain, nyawa bisa jadi taruhannya. Gw dan temen gw gak bisa tau kondisi satu sama lain. Kalau ada yang mendadak hypotermia atau hilang di tengah gunung tanpa sepengetahuan temannya, nyawa jadi taruhan kan?

Kebiasan terbuka dan mengomunikasikan ketidaknyamanan itu pun tidak jarang membuat gw menjadi impulsif. Dan hal itu pun terbawa ketika gw turun gunung.

Ketika gw nge-judge objek pembicaraan itu berengsek, gw pun ngerasa gak nyaman. untuk memendamnya sendiri. Dengan impulsifnya, beberapa hari kemudian, gw ngomong langsung di hadapan orangnya.
Boleh jujur gak? Kok gw ngerasa lw berengsek ya?
Ekspresi orang tersebut pun tercengang mendengar penilaian gw. Secara dia pun tahu, gw tipikal orang yang jarang nge-judge  orang seenak jidat. Kalau sudah seperti itu? Berarti memang benar-benar ada yang salah. At least, di mata gw.

Orang tersebut pun gak langsung mengelak. Raut wajahnya berpikir keras. Mencerna penilaian gw. Ia pun menyikapi penilaian gw. Kalau gw tidak salah tangkap, bahkan ia pun benar-benar tidak mengelak dari penilaian gw. 

Hebatnya, dia malah memberikan penjelasan tentang ke-berengsek-an nya itu yang sukses membuat gw memutar otak. Sukses membuat gw berpikir keras dan memaklumi itu menjadi suatu hal yang wajar. Yap. MEMAKLUMI.

Hebatnya lagi, segala bentuk pejelasannya membuat gw berpikir lebih jauh. Kalau bentuk ke-berengsek-an nya didasari premis-premis yang berakhir pada kesimpulan logis seperti itu, berarti yang selama ini gw lakukan?

SAMA BERENGSEKNYA!

Kalau sudah begini, harusnya gw gak perlu sakit hati dong. Karena wajar ketika gw bertingkah berengsek seperti ini, gw pun diperlakukan berengsek juga oleh orang lain.

Rabu, 15 Februari 2012

Signifikan

Berapa minggu ya gw baru nulis blog lagi? Huaaa. Kangenlah gw mengajak jari-jari gw menari-nari di atas laptop lagi. Kayak malam ini :)

Sebenernya masih banyak yang belum rampung malam ini. Baca Metpen buat besok. Baca buku Etika yang baru setengah. Nyuci gunungan baju sisa pelantikan yang belum kelar. Rekap alat-alat pinjeman Gandewa yang harus segera dikembalikan. Nyampul buku yang harus dijaga setengah mati karena harganya yang mahalnya bikin garuk-garuk tanah. Ngerapihin catetan minggu pertama kuliah. Tapi rindu setengah mati ini terlalu menyiksa gw. Hahaha. Jadi? Nulis dulu lah bentar :D

Selama gw gak menulis di sini, banyak banget hal yang terjadi pada gw. Dan hal-hal tersebut, jujur, cukup signifikan pengaruhnya untuk gw. Sangat. Kalau boleh gw rangkum, hal-hal signifikan tersebut terjadi dari dua kejadian yang baru gw alami. Pindah kostan dan pelantikan calon anggota angkatan 5 Gandewa.

Pindah kostan?
Secara geografis, Kutek jauh dari Psikologi. Tapi secara psikologis, gw bisa jauh lebih dekat dengan banyak orang :)
Pelantikan?
Entah postingan kayak apa yang bakal gw buat untuk dua momen ini. Yang pasti, ketika pindah ke kostan gw tau gw punya satu sahabat lagi yang intensitas basa-basinya sudah mendekati nol. Dan ketika pelantikan, gw tau gw benar-benar sudah jatuh ke jurang! (secara harfiah maupun tidak).

Mau bercengkerama dengan Metpen dulu yaa! See yaa Cerita Hari Ini (2) :)

Oia, nangung, satu lagi hal yang lagi kepikiran. Dua momen ini jadi tempat pembuktian akan satu kebiasaan yang baru gw sadari. Ada dua alasan yang bisa membuat gw jengah untuk menatap mata lawan bicara gw. 

Pertama, gw gak suka banget sama orang itu. Kedua, gw takut ada yang tidak bisa dikontrol saat menatap balik orang itu.

Untuk ketidakmampuan ketidakinginan menatap, maaf.

Rabu, 08 Februari 2012