Hari ini radang tenggorokan gw kambuh. Entah akumulasi capek karena gw memang belum berhenti sama sekali pasca pelantikan atau apa. Gw pun tumbang. Mangkir di tiga mata kuliah sekaligus.
Gw sms Hana, Nila, dan Murai kalau gw memutuskan untuk gak kuliah hari ini. Sejurus setelah menerima sms gw, pagi-pagi Hana dan Nila udah ngegedor-gedor kamar gw. Dalam keadaan lampu masih mati dan gw masih terkapar di kasur, gw gak bisa ngapa-ngapain. Menjawab gedoran mereka aja gak bisa. Tenggorokan gw lagi gak bersahabat. Sakit setengah mati bahkan hanya untuk bilang kalau di kamar yang gelap itu ada orang. Beberapa menit kemudian Hana dan Nila pun beranjak pergi. Berbanding terbalik dengan gw yang sama sekali gak bisa beranjak dari kasur.
Gw kira mimpi. Tapi sekitar pukul 11.00 ada yang menggedor pintu kamar gw lagi. Hana dan Nila lagi. Kali ini gw memaksakan bangun. Memberi isyarat kalau ada gw di dalam kamar. Masih dalam keadaan mengumpulkan nyawa. Gw membuka pintu.
Muka-muka khawatir pun menyambut gw saat gw keluar. Gimana gak khawatir? Masih dalam keadaan muka bantal, muka gw merah dan panas. Mata gw bengkak-bengkak. Tapi yang paling mengenaskan, apa lagi kalau bukan suara gw. Suara yang dipaksakan keluar karena menahan sakit.
Hana Nila menawarkan berbagai hal. Mulai dari membelikan gw makanan, menemani gw, sampai hal-hal yang tidak bisa gw dengar karena gw masih mengumpulkan nyawa.
Menolak semua tawaran Hana Nila, Hana Nila pun pamit ke kostan masing-masing. Gw memutuskan memanusiakan diri gw lagi dengan mandi dan melanjutkan berkutat dengan buku Faal yang belum terselesaikan tadi malam, walaupun dalam diam.
Beberapa menit kemudian, ada lagi yang mengetok kamar gw. Tari Kiki. Mereka pun menyempatkan menjenguk gw. Seneng dijenguk sama mereka berdua. Berbeda dengan Hana Nila yang seberbeda apapun kesibukannya dengan gw, karena jarak kostan kami yang terlampau dekat, kami masih punya banyak quality time bersama. Sedangkan Tari Kiki? Intensitas gw yang cukup tinggi dengan Gandewa, cukup membuat gw kehilangan banyak quality time bersama mereka berdua.
Berbeda dengan kehadiran Hana Nila saat gw masih mengumpulkan nyawa, kehadiran Tari Kiki sudah berada dalam kondisi gw yang sudah menjadi manusia. Sudah mandi dan bisa ngomong lagi maksudnya. Pertanyaan-pertanyaan mereka tentang kondisi gw pun memancing gw menyadari apa yang terjadi pada gw hari ini. Mengapa gw bisa sesakit ini. Kalau sakit semacam ini, gw ngerasa lebih butuh calon-calon psikolog daripada seorang dokter.
Memutuskan untuk makan siang bersama, apalagi gw yang gak sarapan karena gak bisa bangun dari kasur, kami bertiga nyusul Nila yang lagi makan di Warteg Kutek. Beberapa menit kemudian, Hana nyusul bersama Raras dan Mif yang memang datang untuk menjenguk gw.
Setelah selesai makan, Hana Nila Tari Kiki Raras Mif bergegas menuju kampus, masih ada satu mata kuliah lagi. Inkemas. Sebenernya gw bisa aja memaksakan untuk ikut mata kuliah itu. Tapi entahlah. Istirahat di kasur dan berkutat dengan buku Faal lebih menjanjikan buat gw dibandingkan ke kampus hari ini. Cukup tenggorokan gw aja yang sakit hari ini, bukan yang lain.
Berhasil merangkum satu bab Faal, gw ketiduran. Hujan dan angin yang gede banget membuat gw gak mendengar alarm yang gw set untuk membangunkan gw lagi sore ini. Sampai entah gedoran ke berapa hari ini, membangunkan gw lagi. Nadya dan Nipeh.
Sebulan belakang gw menghabiskan banyak waktu dengan mereka berdua, dan tentunya anak-anak Gandewa lainnya. Ngobrol sama mereka berdua menyenangkan. Khusunya Nadya. Gw suka banget sama pola pikir temen gw yang satu ini. Mau ngajak gw untuk bisa melihat suatu hal dari sudut yang berbeda yang kadang gw sengaja menutup mata akan kemungkinan sudut pandang itu. Termasuk ketika harus menghadapi perbedaan sikap seseorang yang mendadak begitu tidak mau menatap mata gw. Dia gak mau PHP, Tuth.
Makan siang bareng Hana Nila Tari Kiki Raras Mif, makan malam bareng Nadya dan Nipeh.
Setelah mereka pamit, gw pun kembali ke kamar. Di tengah-tengah kunjungan orang-orang silih berganti ke kostan gw, sms-sms menanyakan kabar gw datang silih berganti. Yaah, sepertinya dinding dan tiang fakultas psikologi memang benar-benar mendengar dan berbicara.
Mau tau gak apa jadinya orang yang tumbuh di tengah-tengah begitu banyak orang yang sayang sama dirinya?
Jadinya kayak gw.
Orang yang mungkin akan selalu menganggap bahwa semua-orang-adalah-orang-baik.
0 komentar:
Posting Komentar