Minggu, 26 Februari 2012

Doa di Penghujung 19

Kukusan Kelurahan.

Tempat yang awalnya hanya gw identikan dengan kata jauh dan kostan Murai-Hari, malam ini memiliki arti tambahan bagi gw. Di tempat ini baru saja gw lemparkan sebuah doa, di penghujung 19 tahun gw.

Pasca shalat magrib, tengah berkutat dengan tugas Psium tentang human senses, tiba-tiba ada yang sms ngajak makan bareng. Gw senyum-senyum doang waktu ngeliat nama pengirim smsnya. Kembaran gw di Metalurgi. Gimana gak senyum-senyum? Wong gw juga dari tadi kepikiran buat ngajak makan bareng nih orang, eeh dia sms duluan. Saking terbiasanya dengan kejadian-kejadian macam ini, gw pun akhirnya cuma bisa senyum-senyum doang. Sindrom 26 Februari itu emang gak pernah berubah, bahkan ketika kami sudah sama-sama duduk di bangku kuliah.
Erje : Tuth, lw masuk UI dong, biar gw kalau mau curhat gampang.
Itu kalimat yang Erje lontarkan setahun lalu waktu jaman-jamannya gw masih berjuang untuk dapet PTN. Waktu pun benar-benar bergulir begitu saja. Gw udah jadi anak UI. Berbanding lurus dengan waktu  gw dan Erje bertukar cerita yang tiba-tiba terhampar begitu banyak. Seperti malam ini.

Erje. Metalurgi 2010. Kembaran gw yang lahir di tanggal, bulan, dan tahun yang sama dengan selisih waktu dua jam dan di pulau yang berbeda. Orang yang dihadapannya saat ini gak ada sedikitpun rahasia yang gw tutupin. Orang yang saat berinteraksi dengannya saat ini sudah gak ada rasa gak enak dan segen sama sekali. Orang yang saat berbicara dengannya nyaris tanpa intensitas basa-basi. Orang yang saat minta pertolongannya udah gak kenal kata maaf, sory, dan punten.

Sahabat gw. Yang kepada-Nya gw bersyukur pernah dipertemukan dengannya.

Malam ini gw makan bareng, lagi, sama Erje. Tidak menemukan tempat yang oke di Kutek, gw dan Erje pun menjelajah. Nemu tempat makan di Kukel yang, alhamdulilahnya, nasi gorengnya oke banget. Dari segi porsi dan rasa :D Secara gw lagi ngidam banget sama nasi goreng, hehehe.

Ditemani kipas angin dan tv yang menayangkan stasiun tv dengan film elang-elangan, seperti biasa, cerita pun mengalir begitu saja. Gw bercerita tentang apa-apa yang sedang gw pelajari di Psikologi, tentang gw yang belakangan merasa takut untuk mengambil kesempatan, tentang postingan gw beberapa hari yang lalu sempat dianggap mengerikan oleh banyak orang -ternyata Erje pun beranggapan sama-, dan tentang-tentang lainnya.
 
Begitu pun sebaliknya, Erje pun bercerita.

Waktu gw mendengarkan cerita Erje, gw ngerasa lagi ngaca. Itu mengapa gw sering merasa gw kembaran sama Erje. Ada momen-momen tertentu yang membuat gw ngerasa kalau gw jadi cowok, ya mungkin akan mirip kayak Erje.

Everything gonna be alright, Je :)

Cerita berlanjut. Dan untuk selanjutnya, ini yang membuat kami mulai geleng-geleng kepala. Sindrom 26 Februari nya kambuh lagi!

Dimulai dari Erje yang tadi pagi pergi ke Senayan buat menservis laptopnya. Tadinya Erje mau ngajak gw, tapi intuisinya yang bilang mungkin gw lagi sibuk membuatnya mengurungkan niatnya. Dan benar saja, gw memang lagi mengerjakan tugas Psium dan berencana untuk tidak kemana-mana pagi ini. Lucunya, laptop gw pun sama-sama lagi rusak dan memang mau gw servis ke Detos sore tadi.

Belum selesai sampai di sini, Rj pun menanyakan sesuatu kepada gw.
Erje : Bentar Tuth, gw mau nanya. Kemaren lw sakit khan? Lw sakit apa?
Gw : Radang, Je.
Erje : Radang apa?
Gw : Radang tenggorokan gw kambuh. Bentar, jangan bilang lw juga kemaren radang juga?
Erje : Kemaren radang gw juga kambuh, Tuth! Sampe gak bisa makan Tuth saking sakitnya.
Gw : Gw gak bisa ngomong Je saking sakitnya.
Loncat dari satu cerita masuk ke cerita lain.
Erje : Gw tuh.. apa ya namanya?
Gw : Kalah sama intensitas, Je? Aduh Erje, kita khan emang sama orangnya -_-"
Puncaknya, saat gw menceritakan apa yang gw alami siang tadi. Lagi berkutat dengan Psium dan Filsafat Manusia, gw ketiduran. Tadinya cuma berniat tidur setengah jam. Eh bablas sampe dua jam. Gw ngerasa tidurnya berkualitas banget. Karena gw benar-benar tidur. Tidak mendengar suara apapun di luar kamar yang biasa gw dengar samar-samar, entah motor, suara penampungan air penuh, ataupun suara kucing yang lagi berantem. Saking berkualitasnya, gw mimpi. Full selama dua jam tanpa putus.

Dalam mimpi itu, gw bertengkar hebat dengan seseorang. Sumber kompleksitas gw di masa lalu. Pertengkaran itu dipicu dari semua hal-hal yang tak terceritakan di masa lalu. Hal-hal yang gw pendam sampai saat ini. Cerita yang tak terceritakan dan hal-hal yang terpendam selama ini keluar semua di dalam mimpi itu. Jelas-jelas gw tumpahkan dan lontarkan di depan sumber kompleksitas gw. Entah apa asal musababnya gw bisa bermimpi seperti itu. Tapi mimpi itu sungguh nyata. Fisik dan mental gw bermain di dalam mimpi itu. Sampai di penghujung mimpi, gw mendapatkan akhir yang indah. Gw amat ingat akhirnya. Di situ gw nangis. Nangis bahagia seperti habis menumpahkan bom yang terkubur dalam-dalam di tenggorokan gw yang awalnya gw ragukan bisa gw ledakkan. Akhir yang jelas-jelas gak akan pernah terjadi di kehidupan nyata.

Gw terbangun tepat dua jam saat gw sadar gw mulai ketiduran. Gw bangun dalam keadaan tegang dan bersimbah keringat. Bangun dalam keadaan lelah yang luar biasa seperti baru saja selesai mengerjakan tugas besar. Gw tercengang sejenak. Antara tidak percaya dengan apa yang gw mimpikan dan berharap besar itu bukan hanya sebuah mimpi. Sebelum gw memutuskan untuk semakin lelah dengan memompa katong air mata gw. Gw bergegas mengambil air wudhu. Shalat Ashar.

Kemungkinannya cuma dua. Kalau bukan Allah begitu baik untuk menyadarkan gw kalau gw memang sudah segitunya, Allah begitu baik mewujudkan pengharapan besar gw untuk bisa mengeluarkan apa yang terpendam selama ini, walaupun hanya dalam mimpi.

Waktu Erje mendengarkan cerita gw itu, Erje memasang mimik antara tersenyum dan tercengang. Tahu apa yang ia katakan selanjutnya? Kemarin malam pun ia bermimpi. Objek dan alur ceritanya tentu saja berbeda. Tapi yang membuat gw tercengang, tema mimpinya sama. Tentang pengharapan yang (mungkin) tertanam di alam tidak sadar kami masing-masing.

Gw yang memang sudah terbiasa dengan kesamaan-kesamaan kejadian yang kami miliki sejak SMA ini, yang selanjutnya kami sebut dengan sindrom 26 Februari, tidak terlalu terkejut dengan temuan-temuan yang kami dapatkan barusan. Saking terbiasanya, gw pun gak ambil pusing dengan kesamaan-kesamaan ini.

Berbeda dengan Erje yang sepertinya makin tertarik dengan apa yang terjadi diantara kami.
Erje : Tuth, sumpah gw penasaran. Kok bisa sih? Sebenarnya kita kenapa sih?

Entahlah :)

Apapun itu, terkadang dibandingkan dengan persamaan-persamaan yang kami miliki, gw malah bersyukur atas perbedaan yang kami miliki.

Buat gw, Erje yang lebih visioner, logis, pekerja keras, dan sering gak nyambung kalau diajak ngomong masalah hati :P selalu bisa jadi peneyeimbang gw yang lebih sering mikir pake hati daripada otak. Ngobrol sama Erje yang pernah membadai di FTUI tingkat jurusan, departemen, UI, dan Indonesia (saat ini) selalu bisa bikin gw ngerasa hidup gak sesempit kayak ngeliat pake kacamata kuda. 

Waktu gw ketemu dengan masa-masa minder gw, ketika gw ngerasa ada yang harus diubah dengan kekurangan-kekurangan gw, brainstorm sama Erje selalu sukses membuat gw  sayang sama diri sendiri. Ngerasa sayang dengan gak perlu ada yang diubah dari diri gw. Karena ketika kekurangan-kekurangan itu mulai mendominasi lagi, gw punya orang yang akan membantu gw memangenya kembali.
Erje : Ciee, yang besok 20 tahun :D
Gw : Kayak yang enggak aja lw, hehehe. 20 tahun kita mau ngapain, Je?
Jam menunjukkan pukul 10 kurang. Gw dan Erje beranjak pergi meninggalkan rumah makan. Sambil menunggu Erje yang tengah membayar, gw memperhatikan jalanan sekitar. Kukel gak jauh berbeda ternyata dengan Kutek. Jalanan utamanya masih terasa ramai walaupun malam semakin larut. Gw pun menoleh ke arah kanan sambil menerka-nerka dimana gerbang utama Kukel yang pernah gw lewati berada. Menoleh ke kiri sambil menerka-nerka belokan menuju kostan Murai dan Hari yang pernah gw kunjungi. Senyum-senyum sendiri mengingat-ingat lokasi rumah sakit di Kukel yang pernah Gw, Murai, Hari, dan Nipeh perdebatkan namanya.

Sambil terus melihat-lihat, gw tiba-tiba teringat sesuatu. Orang yang pertama kali ngajarin gw  untuk berani jadi bocah petualang, orang pertama yang ngajarin gw untuk berani naik kereta ekonomi dan memperkenalkan gw dengan ganasnya dunia perkeretapiaan, orang pertama yang memperkenalkan gw dengan Monas, orang pertama yang memperkenalkan gw dengan Kota Tua, Orang pertama yang mengajak gw untuk menjejakkan kaki di Gelora Bung Karno dan Senayan, orang pertama yang mengenalkan gw dengan Trans Jakarta, orang pertama yang memperkenalkan gw dengan Kukusan Teknik, adalah orang yang sama dengan orang yang malam ini mengajak gw membedah Kukusan Kelurahan untuk mencari makan.

Sejurus kemudian sebuah doa pun melesat di langit malam Kukusan Keluruhan. Persis di penghujung umur 19 tahun gw. Di penghujung umur 19 kami.

Rabb, Kuatkan langkah kami berdua untuk mimpi kami masing-masing. Kuatkan pundak kami masing-masing untuk tidak menyerah memantaskan diri. Dan kalau boleh, izinkan kami sama-sama menjejakkan kaki di Rinjani.

0 komentar: