Beberapa hari yang lalu, gw dipercaya untuk mendengarkan sebuah kronologis cerita seorang teman (baca : perempuan). Topiknya? Seputar lika-liku cinta remaja kalau boleh dibilang. Masih dalam keadaan menggendong carrier pasca nyuci alat-alat Gandewa, gw pun mendengarkan ceritanya dengan seksama.
Semakin gw dengarkan, sepertinya topik ceritanya pun mengerucut menjadi sebuat istilah yang belakangan mulai familiar buat gw. Platonic Relationship. Gw gak punya hak untuk menceritakan kembali apa yang diceritakan oleh teman gw itu. Intinya, cerita itu bertumpu pada satu objek. Seorang laki-laki.
Yang gw salut dari cerita teman gw itu, setiap dia bercerita, dia begitu detail menceritakan kronologis kejadiannya, bagaimana perasaannya saat itu, asumsi-asumsi yang ia buat, sampai kekhawatiran dan ketakutan-ketakutan yang ia rasakan.
Semakin gw mendengarkan ceritanya, semakin geleng-geleng kepala lah gw.
Seperti yang pernah gw bilang sebelumnya, gw susah sama yang namanya bersikap. Termasuk menilai orang dengan mengeluarkan judgement tertentu. Tapi kali ini lain. Gw tau objek yang diceritakan oleh teman gw itu. Dan jujur, keseluruhan ceritanya, ditambah prior knowladge gw tentang orang itu membuat gw untuk pertama kalinya berani nge-judge orang sembarangan. Dengan nyengir gak jelas, gw pun mengungkapkan apa yang tiba-tiba melintas di pikiran gw.
Kok dari cerita lw dia kayak berengsek banget ya?
Beberapa minggu kebelakang, hidup gw berkutat dengan Gandewa. Orang-orang di dalamnya, kebiasan-kebiasaannya, kehidupan di atas gunungnya, dan banyak hal lainnya yang cukup signifikan buat gw saat ini. Salah satu kebiasaan yang gw dapet di atas gunung adalah masalah keterbukaan.
Di atas gunung, walaupun secara tersirat, gw diajarkan untuk bisa lebih terbuka dengan orang lain. Mengomunikasikan apa-apa yang dianggap tidak nyaman dan tidak sesuai. Mengomunikasikan walaupun itu tidak menyenangkan sekalipun. Ngomomg langsung di depan orangnya. Bukan main belakang. Bukan juga sok kuat untuk memendamnya dalam-dalam. Walaupun kadang tidak menuruti kaidah estetika. Karena ketika gw dan teman gw tidak saling terbuka satu sama lain, nyawa bisa jadi taruhannya. Gw dan temen gw gak bisa tau kondisi satu sama lain. Kalau ada yang mendadak hypotermia atau hilang di tengah gunung tanpa sepengetahuan temannya, nyawa jadi taruhan kan?
Kebiasan terbuka dan mengomunikasikan ketidaknyamanan itu pun tidak jarang membuat gw menjadi impulsif. Dan hal itu pun terbawa ketika gw turun gunung.
Ketika gw nge-judge objek pembicaraan itu berengsek, gw pun ngerasa gak nyaman. untuk memendamnya sendiri. Dengan impulsifnya, beberapa hari kemudian, gw ngomong langsung di hadapan orangnya.
Boleh jujur gak? Kok gw ngerasa lw berengsek ya?
Ekspresi orang tersebut pun tercengang mendengar penilaian gw. Secara dia pun tahu, gw tipikal orang yang jarang nge-judge orang seenak jidat. Kalau sudah seperti itu? Berarti memang benar-benar ada yang salah. At least, di mata gw.
Orang tersebut pun gak langsung mengelak. Raut wajahnya berpikir keras. Mencerna penilaian gw. Ia pun menyikapi penilaian gw. Kalau gw tidak salah tangkap, bahkan ia pun benar-benar tidak mengelak dari penilaian gw.
Hebatnya, dia malah memberikan penjelasan tentang ke-berengsek-an nya itu yang sukses membuat gw memutar otak. Sukses membuat gw berpikir keras dan memaklumi itu menjadi suatu hal yang wajar. Yap. MEMAKLUMI.
Hebatnya lagi, segala bentuk pejelasannya membuat gw berpikir lebih jauh. Kalau bentuk ke-berengsek-an nya didasari premis-premis yang berakhir pada kesimpulan logis seperti itu, berarti yang selama ini gw lakukan?
SAMA BERENGSEKNYA!
Kalau sudah begini, harusnya gw gak perlu sakit hati dong. Karena wajar ketika gw bertingkah berengsek seperti ini, gw pun diperlakukan berengsek juga oleh orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar