Sabtu, 29 Oktober 2011

Hanya Prasangka

Setelah selesai kumpul kelompok di tengah-tengah seminar 2 PDKM hari ini, Murai sempet ngebisikkin sesuatu ke gw. Tentang kolerasi antara OSIS SMANSA dan Psikologi UI. Awalnya gw cuma tersenyum mengiyakan, tapi beberapa saat kemudiaan..

Hey, pernyataan lw bikin gw cangak-secangak-cangaknya, Rai!

Dalam hati gw kegirangan sendiri kayak anak kecil yang akhirnya dikasih permen setalah lama merajuk. Yap. Jawaban yang gw cari bahkan berhasil ditemukan sebelum proses pencariannya benar-benar selesai.

Kata-kata Murai itu cukup terngiang-ngiang lama di kepala gw. Seketika membuat  pikiran gw melayang ke mereka. Mereka yang belum sempat gw peluk satu-satu pasca BLDK OSIS 2011 :)

 Mading Calon OSIS
Susunan Dewan Harian dan Ketua Bidang OSIS Cakrawala 2011/2012
Ketua Umum : Muhammad Haekal
Ketua 1 : Rakhmat Qorib
Ketua 2 : Najmi Balfas
Sekretaris Umum : Almitra Indira
Sekretaris 1 : Dea Karina
Sekretaris 2 : Sofwah Aussie
Bendahara Umum : Putri Erfiasany
Wakil Bendahara : Galura Wirautama
Kabid 1 : Firman Aziz Nugroho
Kabid 2 : Syifana Afiati
Kabid 3 : Nabiel Luthfi
Kabid 4 : Sakinah Arifin
Kabid 5 : Dennis Corleon
Kabid 6 : Tamara Aulia
Kabid 7 : Farhan Muflih
Kabid 8 : Qatrunada S.
Kabid 9 : Hanif Fadillah
Kabid 10 : Kartika Khoirunnisa
Selamat  datang OSIS Cakrawala! :D
Di sebuah tempat yang kata mereka...
  1. ... adalah sarana pendewasaan diri (Fiki Fitriyah/OSIS Cakram- OSIS Phinisi/ Mahasiswa IPB)
  2. ... adalah rumah gua, tempat gua pulang dan kembali (Rizki Fadilah/OSIS Avion-OSIS Pionir/ Siswa kelas 3 SMAN 1 Bogor)
  3. ... adalah organisasi kehidupan yang mengajarkan saya arti kekeluargaan, kekompakan, kerja keras, serta bekerja sama dengan orang-orang hebat di SMANSA (Atika Yasmin/OSIS Windmill/ Mahasiswa IPB)
  4.  ... adalah jiwa saya. Jiwa yang akan selalu menjadi bahan bakar saya dalam mengarungi lautan kehidupan (Muhammad Ramadhani Ilham/OSIS Windmill-OSIS Avion/ Mahasiswa Psikologi UI)
  5.  ... adalah salah satu media pembelajaran mengenai nilai-nilai kehidupan, membuat sesuatu yang absurd menjadi lebih konkret, dan membuat saya menyadari betapa saya harus bersyukur bisa menjadi bagian darinya (Bayu Rizki Putra Adithama/ OSIS Windmill-OSIS Avion/ Mahasiswa STT Telkom)
  6.  ... adalah OSIS yang ajaib, beda dari yang lain, punya rasa kekeluargaan yang erat (Aldi Suandana/OSIS Windmill-OSISAvion)
  7.  ... adalah tempat saya mengawali semuanya, sekaligus rumah untuk pulang (Miyahana Dwirahayu (OSIS Windmill-OSIS Avion/Mahasiswi FTI ITB)
  8.  ... adalah anugerah dimana canda tawa bersama bahkan duka dan tangisan terjalin sebagai suatu proses pendewasaan diri (Arman Rafik/OSIS Busur Panah- OSIS Cakram/ Mahasiswa Komunikasi Unpad)
  9.  ... adalah sekolah kehidupan. OSIS itu kekeluargaan (Ryan Fajar Febriyanto/OSIS Zeppelin-OSIS Windmill/ Mahasiswa Sosiologi UI)
  10.  ... adalah tempatku belajar, berkembang, dan bersenang-senang (Dimash Narendra/ OSIS Zeppelin- OSIS Windmill/Mahasiswa Sistem Informasi UI)
  11.  ... adalah organisasi yang tumbuh dan berkembang secara dinamis berdasarkan prinsip bahwa seluruh anggota adalah keluarga (Maulana Rizki/OSIS Zeppelin-OSIS Windmill/ Mahasiswa Teknik Sipil UNJ)
  12.  ... adalah ladang amal kebaikan seorang pelajar SMAN 1 Bogor (Annisa Sophia/OSIS Zeppelin-OSISWindmill/Mahasiswi Ilmu Gizi IPB)
  13.  ... adalah  kenangan manis yang paling dirindukan ketika kita menginjakkan kaki di SMANSA (Fauzia Ratna Furi/OSIS Zeppelin-OSIS Windmill/ Mahasiswi Admin Niaga UI)
  14.  ... adalah organisasi yang berasal dari SMANSA, oleh SMANSA, dan untuk SMANSA yang satu (Widasari Ayu/OSIS Zeppelin-OSIS Windmill/Mahasiswa Ilmu Kelautan IPB)
  15.  ... adalah organisasi yang membangun dan menempa karakter diri saya (Dewisa Apriliani/OSIS Busur Panah-OSIS Cakram/ Mahasiswa Psikologi Unpad)
  16.  ... adalah cinta tiada akhir (Shanti Nurfianti Andin/OSIS Zandloper-OSIS Kemudi/ Mahasiswa S2 Profesi Psikologi UI)
  17.  ... adalah tempat dimana saya menemukan passion, teman, sahabat, pengalaman, pelajaran, skill, masalah, solusi, dan rumah (Rizki Yuniarini/OSIS Phinisi-OSIS Zeppelin/ Mahasiswi Hubungan Internasional UI)
  18.  ... adalah tempat belajar berbuat dan berbagi (Luthfia Maharani/OSIS Phinisi- OSIS Zeppelin/ Mahasisiwi Hukum Unpad)
  19.  ... adalah organisasi yang tidak hanya organisasi, tetapi satu keluarga besar, dan yang paling utama, tidak pernah putus tali silaturahminya (Ainun Khiriyah Fadla/OSIS Windmill/ Mahasiswi Sistem Informasi STTTelkom)
  20.  ... adalah tempat gue belajar banyak hal dari orang-orang hebat yang ada di dalamnya (Haonisa Shaumi/OSIS Phinisi/Mahasiswi Psikologi UI)
  21.  ... adalah kesempatan bagi warga SMANSA untuk mengaktualisasikan potensi diri kita di bidang yang sangat beragam (Hanif Galih Pratama/OSIS Phinisi-OSIS Zeppelin/Mahasiswa ITS)
  22. ...adalah wadah pembinaan siswa/i SMA 1 dengan menetapkan tata konvensional namun mengembangkan pribadi siswa-siswa di dalamnya sehingga memiliki kematangan berpikir dan berprilaku yang lebih dari siswa/i lainnya (Tania Miranti/OSIS Phinisi-OSIS Zeppelin/Mahasiswi Arsitektur UI) 
  23. ...adalah tempat 'menyebarnya' nilai-nilai kepemimpinan, tempat memberi, membentuk pribadi yang peduli, dan di mana rasa 'chauvinisme' terhadap SMANSA itu tumbuh (Line Alfa Arina/OSIS Avion-OSIS Pionir-Siswa Kelas 3 SMAN 1 Bogor)
  24. ...adalah udah kayak rumah (Budiasti Wulansari/OSIS Windmill-OSIS Pionir/ Mahasisw Teknik Lingkungan UI)
  25. ...adalah keluarga yang penuh nilai kehidupan (Abdul Basith Hermanianto/OSIS Windmill/ Mahasiswa Ilmu Komputer IPB)
  26. ...adalah jalan hidup saya, karena di sini saya menemukan pengalaman, keluarga, dan jati diri saya (Hilmi Akhmad/OSIS Windmill-OSIS Avion/ Mahasiswa Manajemen UGM)
  27. ...adalah pelipur lara (Yasmine Nur Edwina/OSIS Windmill/ Mahasiswa Psikologi UI)
  28. ...adalah OSIS yang kompak dan kreatif (Amir Fauzi/ OSIS Avion/ Mahasiswa STEI ITB)
  29. ...adalah wadah untuk memperkaya pengalaman dan teman (Zahra Zahruniya/ OSIS Windmill/ Mahasiswi IPB)
  30.  ... adalah tempat di mana banyak hal tidak terdapat di tempat lain, di mana kita masih bisa bekerja dengan tulus, jauh dari lingkungan oportunis seperti di kampus, dan tempat yang bisa membentuk karakter dengan kuat sehingga kita siap untuk menghadapi fase hidup selanjutnya (Marista Gilang Maulida/OSIS Busur Panah-OSIS Cakram/ Mahasiswa S2 Profesi Farmasi UI)


Itu hanya sedikit adalah dari sekian banyak adalah-adalah yang ingin gw ceritakan untuk kalian beberapa tahun ke depan. Cerita tentang tempat kalian saat ini. Tempat yang selalu berhasil membuat orang-orang yang pernah ada di dalamnya percaya bahwa mereka selalu punya tempat untuk pulang. Pulang setelah jauh menjejak bumi. Dan pulang setelah tinggi menjunjung langit :)

Mau tau lanjutan ceritanya? Syaratnya, bersedia khan kalian gw masukkan dalam daftar panjang orang-orang yang gw sayang? ;)

*Kalau selama ini biasanya gw hanya suka membaca tulisan lw lewat blog, senang bisa ngobrol langsung kemarin. Tetap menulis ya, KPH 7 :)

Lalu, jawaban dari pencarian itu?

Itu hanya prasangka. Sejatinya, gak ada kondisi yang benar-benar mengharuskan gw untuk mundur (selangkah) :) 

Rabu, 26 Oktober 2011

Berlanjut

Pencarian pun berlanjut.
Dan tentu saja, dengan tidak putus asa :D

 Atribut PDKM Opera 2011

Pasca latihan fisik perdana Gandewa

Jodoh gak ya?
Kalau memang jodoh di tangan Tuhan, sepertinya memang gak akan pernah sampai di tangan gw kalau gak pernah gw usahakan.

ef-i-ge-ha-te lah pokoknya mah! :D

Maaf ya, Kawan

Jahat itu...

Ketika lw punya seorang teman yang sungguh baik kepada setiap orang, tapi kepala lw mendadak dipenuhi prasangka yang seolah membuatnya tak pernah sebaik itu karena sebuah alasan koplak. Karena berharap kebaikannya hanya ditujukan untuk lw seorang.

Maaf ya, kawan. Untuk pernah melibatkan perasaan.

Nikmat Mana Lagi?

Enam hari yang lalu, bada ashar, pas banget setelah gw menoleh salam ke kiri, ada sms masuk.  Namanya Kak Leha. Mahasiswi FIB UI. Beliau mengaku sebagai panitia TOENAS, salah satu TO yang pernah gw ikutin dulu banget waktu jaman-jamannya ngejar  SNMPTN Tulis 2011.
Ini TO dulu banget.  Asli deh dulu banget. Kalau Kak Leha gak sms, mungkin gw gak pernah inget kalau gw pernah ikut TO ini. TOENAS singkatan dari TO Etos Nasional. Panitia TO ini adalah kakak-kakak yang pernah mendapatkan Beastudi Etos dari yayasan Dompet Dhuafa. TO ini serentak dilaksanakan di 9 kota di seluruh Indonesia, salah satunya di Bogor yang berlokasi di IPB. SMS dari Kak Leha membuat gw  menarik kembali ingatan gw seputar TO ini. Beberapa yang  gw inget dari TO ini : saat itu kali pertamanya  gw masuk GWW IPB,  sebelum mulai TO gw rusuh banget sama Vinni ngeliatin orang yang disinyalir mirip adeknya Udin (kenapa kita rusuh? Karena kalau itu benar berarti adeknya Udin rajin banget udah ikut TO buat SNMPTN  -__-),  sebelum TO gw ketemu Gita , temen Garuda gw di SMP, yang lagi nawarin susu produksi anak-anak Teknik Pangan, masuk ruangan dan mulai TO berhadapan dengan soal yang  bener-bene- amit-amit-amit gak ketulungan susahnya, dan sepulangnya dari sana gw dan anak-anak NF hujan-hujanan kembali ke Paledang untuk menjemput TO selanjutnya yang membuat hari itu menjadi pesta TO -__-
Diantara kejadian-kejadian seputar TO itu, hal yang paling gw inget saat itu peserta  yang ikut  TOENAS banyak banget. Gak Cuma anak NF doang, tapi anak SMANSA non-NF juga ikutan. Bahkan teman-teman koalisi  belajar IPS didikan Kang Aom, kayak Acy, Eja, dkk juga ikut TO ini. Tujuan formalnya mah memang ingin mengasah kemampuan pra SNMPTN Tulis, tapi tujuan nonformal yang merangkap sebagai tujuan utamanya  bahwa tersiar kabar 100 nilai tertinggi pada TO ini akan mendapatkan formulir gratis SNMPTN, hahahaha :D Alhasil, berbondong-bondonglah seantero siswa kelas 3 SMA buat ikut TO ini.
Namun, sayang sungguh disayang  pada seminar pasca-TO, panitia mengklarifikasi berita tersebut. Formulir gratis SNMPTN yang ramai dibicarakan ternyata bersifat BANTUAN untuk calon mahasiswa yang tidak mampu membeli formulir. Itu pun masih dengan beberapa syarat dan kelengkapan berkas yang harus dipenuhi  -_-
Kekecewaan belum berhenti sampai disitu. Setelah beberapa minggu menunggu tanggal yang dijanjikan untuk melihat hasil TO tersebut via email, hasil TO pun tak kunjung keluar.  Sejak saat itu, ya sudahlah.  Gak ada hal yang membuat gw merasa penting untuk mengingat bahwa gw pernah ikut TO itu.
Sampai datangnya enam hari yang lalu :D
Kesan pertama gw mendapat SMS dari Kak Leha, datar. Tanpa ekspresi. Latihan berpikir kritis, dampak positif dari belajar filsafat, dan pengalaman-pengalaman penipuan melalui sms yang baru-baru ini gencar dilakukan membuat gw tidak terlalu merespon baik SMS tersebut.
Tapi setelah terjadi proses balas-membalas dan tanya-jawab yang cukup alot, sms Kak Leha pun seketika membuat gw meluk tembok dan meluk kasur pengen nangis :’)
Walaupun begitu, gw mulai belajar untuk  gak pernah benar-benar percaya kepada seseorang sesuatu kalau memang belum ada buktinya. Terlalu sering sesuatu yang dianggap nyata tapi ternyata tidak membuahkan kekecewaan. Akhirnya, sampai tiba hari yang dijanjikan, gw memilih untuk tidak banyak berharap  #eaaaaa, curcol euy :P
Sampai akhirnya, ternyata hari ini benar-benar tiba. Hari yang dijanjikan :D
... Selamat ya, Dek. Kamu jadi pemenang TOENAS untuk yang IPS. Hadiah netbooknya Insya Allah akan kami kasih dalam waktu dekat....
Pagi ini, gw ketemuan sama Kak Leha dan Kak Rohib di depan Gedung Rektorat. Atas nama Panitia, selaku PO Kak Rohib meminta maaf karena keterlambatan pengumuman ini. Beliau yang merupakan mahasiswa Metalurgi UI 2009 yang ternyata kenal sama RJ menceritakan bahwa banyak masalah yang terjadi di pihak internal yang menyebabkan keterlambatan ini, termasuk birokrasi antarkota.  Kak Rohib pun sempat bercerita bahwa juara 1 IPA nya saat ini pun telah menjadi mahasiswa FTTM ITB 2011. Setelah Kak Rohib bercerita, gantian gw yang curhat. Gw masih gak percaya kalau gw juara 1 IPS nya.  Masih gak percaya secara waktu gw ngebahas sama Eja jawaban gw udah kayak apaan tau banyak salahnya. Masih gak percaya karena bahkan memori tentang gw pernah ikut TO ini aja gak gw simpan baik. Setelahnya, secara simbolis Kak Rohib memberikan hadiahnya kepada gw di depan gedung Rektorat yang kemudian didokumentasikan untuk arsip panitia.
 Gw dan Kak Rohib

Setelah Kak Rohib pamit untuk UTS dan Kak Leha pamit menuju MUI untuk mengerjakan tugas, gw melenggang ke Barel menunju kostan Raras buat belajar bareng sebelum UTS. Sepanjang perjalanan gak henti-hentinya gw senyum-senyum sendiri.  Senyum-senyum karena masih gak  percaya bahwa pengumuman ini datang, persis di saat LCD laptop gw memang sedang rusak :’)
Dan lagi-lagi, kesyukuran mengalir deras tanpa ampun ketika menyadari bahwa pertolongan Allah sungguh dekat dan datang dari tempat yang tidak diduga-duga.
Jadi?
Nikmat Allah yang mana lagi yang bisa gw dustakan? :’)

Selasa, 18 Oktober 2011

Payah ah, Tut!


Manja itu..

Ketika lw tau ada yang  harus lw lakukan, tapi lw tidak melakukannya demi menunggu ada yang mengingatkan.
Ketika lw tau apa yang lw lakukan salah, tapi lw tetap melakukannya demi menunggu ada yang menegur.
Dan ketika lw tau seharusnya lw bisa gak jatuh, tapi lw sengaja menjatuhkan diri demi berharap ada yang bersedia mengulurkan tangan untuk membuat lw berdiri kembali.

Cuma bisa nyengir-nyengir sendiri dan geleng-geleng kepala kalau ngebayangin bahwa ditengah-tengah segala pemahaman yang seharusnya bisa membuat gw lebih dewasa, gw masih melakukan hal itu -__-

Payah ah, Tut! 

Kalau Gw di FE...


Nila : Baru kemarin Mba Tuti nginep di kostan Nila.

Murai : Baru kemarin malam ‘beradu analogi’, Teh.
Obed : Baru kemarin Mba Tuti ngasih jadwal UTS.
Kemarin gw kayaknya produktif banget. Hari ini?  Hari ini gw gak ngampus. Memanfaatkan jatah kedua dari enam jatah bolos kuliah yang diberikan selama satu semester. Juntai. Gw terkapar di tempat tidur setelah pagi-pagi bolak-balik muntah-muntah karena masuk angin, salah makan kemarin siang, dan capek sendiri setelah memperbaharui motivasi belajar internal yang sempat terkikis dan motivasi eksternal yang sempat mengecewakan. Gak ada hal yang benar-benar bisa membuat gw melakukan  pergerakan yang berarti  untuk bangun dari kasur sejak  jam 7 sampai 12 siang. Mengantar keberangkatan Bapak Ibu naik haji, UTS, BLDK OSIS,  PDKM, dan Gandewa yang membuat gw lebih baik mengalah untuk istirahat hari ini daripada gak maksimal untuk mengahdapi hal-hal tersebut beberapa minggu ke depan. Cuma bisa nge-sms-in orang-orang untuk minta maaf atas tanggung jawab yang harus ditinggalkan sementara hari ini. Dan seperti di tempat sebelumnya yang tiang dan dindingnya mendengar dan berbicara, di sini pun begitu yang menyebabkan sms-sms mendoakan gw cepat pulih berdatangan.

Bada zuhur, sambil sempoyongan gw memaksakan diri untuk mengerjakan tugas MPKT dan Logpenil. Gw masih mengerjakan tugas sampai ada yang mengetok pintu  kamar gw. Nila. Ternyata datang untuk menjenguk gw bersama Murai dan Obed di ruang tamu. Subhanllah banget buat gw yang ngerasa sakit gw tuh sebenernya ‘apa banget’ sampai mereka nyempetin ngejenguk gw.

Dibawan kue cubit sama mereka. Ceceritaan yang bikin gw keketawaan sampe mau nangis. Mulai dari apa kabar  kampus hari ini, tiga acara penting di fakultas yang jadwal acaranya berbenturan semua, obrolan tentang takdir, jodoh, dan masih saja tentang galau (penyebab dan pemicunya) :P

Beberapa saat kemudian Hana, Aldo, dan Kenny datang, menyusul. Obrolan kami tambah  kemana-mana. Puncaknya, saat Murai udah megang gitar. Selesailah dunia obrolan berganti dengan ritual seperti biasanya. Diperdengarkan lagu-lagu yang menyentuh hati, hahaha. Ritual ini yang beberapa waktu lalu membuat gw berasumsi bahwa saat ini gw dikelilingi oleh orang-orang yang mampu menyentuh orang lain dan mudah tersentuh :)

Masih sedikit sempoyongan, gw cuma bisa senyum-senyum dan keketawaan melihat tingkah polah mereka meramaikan ruang tamu kostan gw. Dengan Murai di gitar, Aldo di  jimbe, Obed di Vokal, dengan Hana, Kenny dan Gw sebagai backing vocal (Nila berperan sebagai pendengar yang super anteng :P)  pun mulai memperdengarkan satu lagu ke lagu yang lain, dan dari satu filosofi ke filosofi yang lain, dan tentu saja, diiringi dengan celetukan-celetukan konyol mereka.

Melihat gw yang tadinya cuma bisa senyum-senyum doang, geleng-geleng, sampai akhirnya ketawa-ketawa sampai mau nangis, Murai pun angkat suara. 
Kayaknya udah sembuh nih, Teh. Kalau kata Azka Roket Rokers juga, teman adalah obat yang paling ampuh.
 :)

Murai, Nila, Hana, Obed, Aldo, dan Kenny, makasih untuk kunjungannya sore ini. Alhmdulilah gw sudah lebih sehat. Tapi mudah-mudahan sepulang dari kostan gw jangan jadi kalian yang ‘sakit’ ya , hahaha :P

*** 
….
Murai : Dulu khan psikologi pilihan pertama gw dan buat lw pilihan kedua, Teh. Tapi feeling gw  lw mah gak akan di FE teh, paling ketemu sama gw di Psikologi.
Gw : Yeeeh, itu mah lw nya aja yang nurunin standar.
Murai : Eits, tapi beneran kejadian khan? Hahaha. Lagian buat gw lw tuh gak cocok, Teh di FE.
 
Terlepas dari cocok atau enggak, satu hal yang gw sepakati. Kalau gw di FE, mungkin memang gak akan pernah ada lagu Khaylila- Sheila On 7 di kostan gw sore ini :)

Dengan senyummu senjata membeku
Tentara bernyanyi ikuti tingkahmu
Tak ada lagi naluri menguasai
Perlahan berganti naluri berbagi

*Di saat gw sempet ngerasa jauh sama Allah, bahkan Allah gak pernah sedikitpun menjauhkan gw dari orang-orang yang sayang sama gw. Dengan menyebut nama Allah, yang indah ketetapan-Nya tak pernah berhenti memeluk gw :)

Minggu, 16 Oktober 2011

Selalu Ada Tempat Untuk Pulang


Bersama Murai dan Ameii, terima kasih untuk satu hari yang menyadarkan gw bahwa gw punya kalian yang ceritanya jauh lebih berharga untuk gw dengarkan dibandingkan berkutat dengan manajemen mengagumi gw yang sempat memburuk.

 Kiri ke kanan : Hana-Gw-Raras-Tari-Nila

Untuk membuat gw tahu kalau di Depok pun sekarang gw punya tempat untuk pulang, terima kasih :)

Sabtu, 15 Oktober 2011

That's My Brother

Hari ini gw ketemu Ditho di SMANSA setelah sekian lama tak bertemu. *Lebay sih, orang terakhir ketemu pas libur lebaran kemaren, hehehe :P Berhubung tujuan gw dan Ditho hari ini ke SMANSA memang untuk pulang, ngobrol-ngobrolah gw dengan Ditho tentang OSIS. Tiba-tiba gw senyum-senyum senyum sendiri. Ternyata Ditho gak berubah. Tetep seorang ketum gw yang menyebalkan sekaligus satu-satunya orang yang suka memperlakukan gw seperti anak-anak. Tapi yang bikin gw senyum-senyum bukan isi obrolan gw. Tiba-tiba gw inget sebuah kejadian yang menginspirasi gw untuk menjadi pembuka di postingan kali ini! Hahahaha *Soalnya isi postingan ini sebenernya udah lama mengendap di otak gw, tapi gw bingung mengawalinya dari mana :P

Jadi, dulu gw pernah ditegur sama Ditho, tepatnya saat regenerasi OSIS dua tahun yang lalu. Saat itu, posisi gw sebagai panitia regenerasi. Gw pernah ditegur karena dianggap terlalu memanjakan salah seorang peserta regenerasi. Kasusnya terjadi ketika kenaikan fase dari CCCK menjadi CCK. Saat itu, peserta laki-laki ditantang untuk melakukan push-up berantai untuk membuktikan kekompakan dan ketahanan fondasi OSIS angkatan mereka. Mereka yang akhirnya menyanggupi pun segera mengambil posisi push-up dan memulai hitungan push-up sesuai komando panitia. Menurut gw, sesuatu yang wajar ketika gw tau bahwa salah seorang dari mereka ada yang baru pulih dari sakit dan memang memiliki asma, dan gw menanyakan apakah ia sanggup melanjutkan push up atau tidak. Tapi pendapat gw dibantah oleh Ditho dengan alasan gak wajar ketika gw menanyakannya berkali-kali -__-

Puncaknya.

Masih dalam suasana regenerasi. Saat itu sudah memasuki fase CK. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan dalam proses tersebut adalah proses wawancara. Salah seorang peserta yang memang sudah gw anggap  seperti adik gw sendiri, yang menurut Ditho terlalu gw manjakan itu, pun harus menjalani proses wawancara. Wawancara tersebut memiliki format satu lawan banyak. Hari dimana adik gw diwawancarai, di hari itu juga gw ditegur habis-habisan oleh Ditho. Mengapa? Pertama. Gw yang biasa koar-koar dan jadi kompor dalam proses wawancara, cuma di hari itu gw memutuskan untuk diam dan mendengarkan. Gak tega meeen :P Kedua, setelah proses wawancara yang seharusnya peserta bisa mengambil insight wawancara sendiri sambil menenangkan diri, ketika adik gw menghampiri gw, tanpa merasa bersalah gw pun mendengarkan ceritanya sekeluarnya dari ruang wawancara dan memberitahu apa maksud kami untuknya di ruangan itu. 

Gw pikir-pikir, bener juga ya kata Ditho? Hehehe :P Selain kepada Hilmi, selama regenerasi gw memang memberikan perhatian lebih kepada adik gw yang satu ini. Terlihat dari gw yang sering memilihnya untuk di-pressure waktu sesi man-to-man, berlembar-lembar tulisan gw memenuhi buku regennya udah kayak pindah blog, dan tak jarang gw gak tega pake tensi kalau berurusan dengan adik gw yang satu ini.  Alasannya? Selain secara personal gw memang dekat dengan dia, dia juga yang membuat gw menjadi saksi langsung bahwa pernyataan OSIS itu jodoh benar adanya :)

Sore ini, sayangnya Ditho pulang duluan. Padahal pengen banget gw ngomong di depan Ditho dengan senyuman penuh kemenangan, hahahaha :D
Tho, mau gw kasih tau gak? Orang yang dulu lw bilang terlalu gw manjakan, saat ini malah menjadi cermin gw untuk gak manja. Cermin yang bisa ngingetin gw kalau anak OSIS bukanlah orang yang gak pernah tumbang dan terjatuh, tapi anak OSIS bisa bangkit lebih cepat dari yang lain ketika ia jatuh terjerembab.

***
Nabila : Teh, itu beli makanan buat siapa?
Gw : Buat Project Officer  kita. Pasti belum makan tuh anak, riweuh ngurus proposal.
Nabila : Dani maksudnya?
Gw : Hehehe, siapa lagi, Bil.
Nabila : Teteh deket ya sama Dani?
Gw : Dani mah adik gw  banget, Bil.
Nabila : Adik kakak? Deuuuuh.. Jangan-jangaaan..
Gw : Jangan-jangan apa? Ada modus maksudnya? Hahahahaha. Bil, mau aku kasih tau gak? Pengalaman membuktikan bahwa kasus ke-modus-an hubungan kakak adik ketemu gede terjadi jika kakaknya laki-laki dan adiknya perempuan. Lah kalau yang ini? Kakaknya khan gw, modus dari mana, Bil? Hohoho.
Percakapan jenis itu beberapa waktu lalu sempat terjadi beberapa kali. Kocak menurut gw yang memang dekat dengan Murai-yang di Psikologi akrab disapa Dani in- sebagai seorang kakak (sebenar-benarnya kakak walaupun dulu sempet dituduh sama anak-anak cewek Rabam  penuh ke-modus-an, hahaha :P). Tapi wajarlah,  mengingat beberapa waktu lalu intensitas gw share sama memang cukup tinggi. Khususnya satu minggu ke belakang.


Tahun lalu ketika gw belum berstatus menjadi mahasiswa, setiap malam melalui YM, gw selalu berkesempatan untuk mendengar cerita orang-orang terdekat gw selama menjadi mahasiswa baru. Ujhee dan Ifan dengan UI-nya, Nisop dengan IPB-nya, Aufa dengan ITB-nya, Aii dengan Telkom-nya, Maul dengan UNJ-nya, Icha dengan Unbraw-nya, Dania dengan UGM-nya, dan T’Fia dengan Unpad-nya. Selama mendengar cerita mereka, gw kayak diajak jalan-jalan keliling Pulau Jawa. Pergi dari satu kota ke kota yang lain, dari satu kultur ke kultur lain, dan dari satu penyikapan ke penyikapan yang lain. Berbeda? Tentu saja cerita dari masing-masing tempat terbaik mereka berbeda.

Akan tetapi, ada satu benang merah yang bisa gw ambil dari cerita-cerita mereka. Di tengah euphoria menjadi seorang mahasiswa baru, ternyata momen sulit saat menghadapi masa transisi dari seorang siswa SMA menjadi mahasiswa memang ada dan sungguh nyata. Masa sulit itu tentu saja dialami dalam bentuk yang berbeda-beda. Saat mereka menceritakan momen tersebut pun, sebagian besar hanya bisa gw sikapi sebagai pendengar yang baik karena gw belum pernah ada di posisi mereka sebelumnya. Walaupun untuk beberapa kasus, ada yang ternyata bisa disikapi dengan pola pikir sederhana seorang anak SMA ;)

Sejak menyadari hal itu, dengan sombongnya gw bertekad satu hal. Kelak, kalau gw udah jadi mahasiswa, seharusnya gw bisa menyikapi masa-masa itu dengan sangat baik. Gw pernah mendengar orang-orang terdekat gw mengalami masa-masa itu dengan bentuk yang berbeda. Gw pernah tau bagaimana orang-orang terdekat gw menyikapinya. Pengetahuan gw yang lebih dulu itulah yang seharusnya bisa membuat gw menyikapi masa-masa itu dengan sangat baik, atau mungkin seharusnya tidak perlu gw hadapi.

Tapi ternyata? 
Toh, memang selalu ada masa yang tidak dapat diakselerasi.

Satu minggu ke belakang gw menghadapi masa sulit itu. Gw sempat mengalami disorientasi sebagai mahasiswa. Konyolnya, masa-masa itu tidak bisa gw hadapi dengan baik seperti yang gw perkirakan sebelumnya. Murai-yang tentunya dalam bentuk yang berbeda dan penyikapan yang berbeda-gw lihat mengalami masa-masa itu juga. Dan intensitas gw share sama Murai satu minggu kebelakang sedikit banyak membantu gw me-normal-kembali :)

Gw kira dulu gw sudah mengenal Murai cukup baik. Ternyata? Banyak hal yang baru gw ketahui tentang sharing partner gw yang satu ini. Lucu sekaligus serunya, selama sharing satu minggu kebelakang kemarin, gw dan Murai menemukan beberapa cara berkomunikasi yang unik dan aneh tapi saling dimengerti satu sama lain :D

1. Bermain Analogi.
Biasanya cara komunikasi ini keluar kalau gw dan Murai sama-sama lagi random thought (baca : galau dan abstrak :P) Beberapa contohnya, saat itu manajemen mengagumi gw yang buruk sedang kambuh. Dengan santainya seolah tanpa dosa Murai mengirimkan sebuah sms ke gw. 
Murai : Teh, kalau tidak siap terperosok lebih dalam, jangan iseng berdiri di pinggir hati seseorang.
Gw yang gak terima gitu aja dengan sms Murai, sekian menit kemudian membalas smsnya.
Gw : Kalau gitu, ya gak usah berdiri, Rai. Kalau gw duduk aja gimana, Rai? Kalau ternyata masih terperosok pun, jangan salahkan pijakan kaki gw yang gak stabil, tapi salahkan siapa suruh si pemilik hati memaksa menarik tangan terlalu kencang.
Beberapa hari kemudian, gantian Murai yang lagi abstrak. Dan gw pun mulai merangkai anologi.
Gw : Hati-hati sama yang namanya intensitas, Rai. Intensitas bisa memenangkan dan mengalahkan banyak hal. Termasuk bisa meruntuhkan tembok pertahanan.
Gw  : Rai, langit itu ada 7 tingkat. Setiap tingkatannya memliki atmosfir udara masing-masing. Dan atmosfir udara itu luas, jauh lebih luas dari yang hanya lw liat dan rasakan saat ini.
Gantian lagi Murai yang beranalogi untuk menyadarkan gw.
Murai : Teh, menurut gw Teteh hanya tinggal menunggu momennya saja.
Sebenernya masih banyak. Saking banyaknya gw lupa, hahaha :P Gw menemukan ke-seru-an tersendiri dengan komunikasi cara ini. Daripada abstrak gak jelas, dengan ini gw dan Murai bisa tetap produktif jikalau galau menghampiri :P Gw dan Murai seolah-olah saling mengadu kemampuan merangkai kata dan kemampuan beranalogi yang tentu saja berguna untuk kehidupan tulis menulis selanjutnya di Psikologi. Let's continue this way, Brother! :D

2. Komunikasi Nonverbal.
Kalau yang ini sih sebenernya udah dari dulu, hanya saja sepertinya semakin sering intensitas penggunaanya. Sampai-sampai kalau ada orang yang gak sengaja dengerin gw dan Murai lagi ngobrol, bingung kami ngobrolin apaan karena obrolannya sepotong-sepotong, hahaha :P
Retna : Teh Tuti sama Dani ngomong apaan sih?
3. Sindiran
Kalau cara yang satu ini, Murai yang hobi banget melakukannya secara tersurat. Sering banget nih anak nyindir gw di dalam forum.

Dulu pernah tuh gw diteriakin sama cewek lari-lari ke aula lantai 4 (dengan mata licik ke arah gw)Dulu juga pernah tuh, di OSIS gw dibohongin katanya minus 27 juta. Eeeh taunya jadi surplus 12 juta (masih dengan mata licik ke arah gw)

Ada juga kelakuan nih anak yang terang-terangan nyebut nama gw.
Iya tuh, liat muka si Teh Tuti tadi khan? Itu muka dia waktu ngebentak gw dulu. 
Tapi sindiran-sindiran Murai itu jujur jadi be a right sentence in the right time buat gw. Kadang sindiran-sindiran Murai beneran gw masukin dalam hati. Mikirlah gw. Kalau dulu gw bisa melakukan hal-hal gila, kenapa sekarang hal remeh aja bisa membuat gw gila? Lagi-lagi, thanks brother. Atas sindirannya yang menjadi batu pertama gw untuk kembali melek siapa saya.

Kalau gw? Sebenernya gw jarang banget  bermaksud nyindir Murai (iya khan, Rai? :P). Tapi karena adik gw yang satu ini pekanya luar biasa, jadi kadang kata-kata gw yang diniatkan sebiasa mungkin malah menjadi sebuah sindiran, bahkan tamparan (is it?)

Sampai pada puncaknya, malam itu abstraknya Murai dan gw sama-sama lagi di titik kulminasi. Di sebuah warteg di Barel, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan ilmu-ilmu dasar psikologi yang kami dapatkan selama PSAF dan Prosesi, brainstorming dan probing. Kesimpulannya? Sepertinya gw sama Murai sama-sama keras kepala. Satu sama lain solusi yang dianggap solutif bukan datang dari advice yang diberikan, tapi datang dari probing-probing dan sindiran-sindiran yang dilontarkan yang menuntut masing-masing untuk menemukan sendiri solusi yang yang dianggap paling solutif. Ternyata benar. Abstraknya kami berakhir keesokan harinya dengan kesimpulan yang berhasil didapatkan dari proses penyimpulan masing-masing :)

Terima kasih, Brother. Untuk membantu gw me-normal kembali minggu ini. Terima kasih juga untuk  menjadi sharing partner selama satu minggu kebelakang. Dan tentu saja, untuk menjadi sharing partner hari-hari selanjutnya.

Selanjutnya? UTS dan PDKM menanti. Kalau kata T'Cune mah, saatnya kita membadai kembali!

Me and My Brother :)

***
Marcell : Teh, dulu Dani ketua OSIS ya?
Gw : Iya Marcell. Kenapa gitu?
Marcell : Dulu Dani bagus gak jadi ketua OSIS?
Gw : Hohoho. Bagus atau enggak mah khan relatif ya, Marcell. Tapi satu yang bisa Tuti pastikan, waktu Dani jadi ketua OSIS, Dani disayang banyak orang.
Marcell : Berarti Dani bisa jadi ketua angkatan dong ya?
Gw : Hahahaha, gw mah Cuma bisa meng-amin-kan saja lah.
Sampai akhirnya pada saat penutupan Prosesi kemarin pun, nyaris dengan kemenangan suara mutlak, maba Psioklogi UI 2011 pun meng-amin-kan kata-kata Marcell :)

We will always fight, we will always win, anywhere, anytime, right? Apapun yang terjadi beberapa tahun ke depan, kakakmu ini bakal tetep jadi orang nomor satu kok buat lw. Tapi bukan orang nomor satu yang ada di belakang dan di samping lw. Bukan orang nomor satu yang ada di hati lw (ya iyalaaaaah, orang nomor satu di hati lw khan nyokap lw ya, Rai? :D). Dan bukan orang nomor satu yang akan selalu membenarkan kata-kata lw. Tapi gw bakal jadi orang nomor satu yang jadi alarm pengingat kalau ada something weird with you. Mengingatkan dengan cara baik-baik sampai dengan cara yang paling tidak menyenangkan sekalipun.

Jumat, 14 Oktober 2011

Logpenil/Jurnal 4/Antara Kukusan dan Margonda

Kesetanan. Itu kondisi gw waktu menyelesaikan jurnal yang satu ini. Gimana gak kesetanan? Jurnal 3 lalu dan Jurnal 4 ini gw selesaikan dalam waktu satu malam. Batas minimal 500 kata yang diberikan oleh Mas Dewa gw manfaatkan dengan berlebihan menjadi lebih dari 1000 kata. Selain gw memang sedang mati-matian menjadi musuh bebuyutan prokrastinasi, kata-kata Rully hari ini menyadarkan gw motif utama yang membuat gw kesetanan kemarin. 

Mba Tuti, kapan nulis blog lagi? Tapi bukan jurnal.

Ternyata memang benar. Kemarin gw kesetanan gara-gara gw pengen tugas gw minggu ini segera selesai. Gw rindu nulis di blog gw seperti biasanyaNulis sebagai ajang katarsis gw (gaya deuh sekarang mah pake bahasa psikologi terus, hahaha :P). Bukan ngepost jurnal yang memang merupakan tugas kuliah gw. Dan setelah jurnal 4 selesai, gw bertekad judul-judul yang ada di kepala gw ini : 'Selalu Ada Tempat untuk Pulang', 'Bukan Tentang Lebih Dewasa', Tadinya dan Ternyata', 'That's My Brother', benar-benar berwujud postingan sebelum UTS gw minggu depan! *Bogor, bantuin gw kesetanan lagi ya malam ini :)

Seperti biasa, dengan sombongnya jurnal gw pasti didedikasikan untuk orang lain. Sok banget ya gw? Kayak udah indah dibaca orang aja -___- Kali ini untuk mereka. Terima kasih untuk inspirasinya :)

#Pakde Ribut. Manajer Mahalum Fakultas Psikologi UI, atas lagu karyanya yang salah satu liriknya menjadi judul dari postingan ini.
#Mereka yang tak gw sebutkan namanya di postingan ini, atas waktu yang pernah disishkan untuk gw guna mengenal kampus ini.
#Dan untuk adik kecil gw, atas kesadaran untuk tidak membuat cerita tentang wilayah kostan di daerah Salemba, dengan harapan kau yang akan menulisnya di blogmu tahun ini :)

***
Antara Kukusan dan Margonda

Layakanya perguruan tinggi pada umumnya dengan jumlah mahasiswanya yang mayoritas memutuskan tinggal jauh dari orangtuanya selama menempuh pendidikan tinggi, Universitas Indonesia pun memiliki beberapa kawasan khusus yang lazim dihuni mahasiswa yang memilih menjadi anak kost. Mengingat jumlah mahasiswa yang tidak sedikit, Universitas Indonesia pun memiliki beberapa kawasan kostan di beberapa tempat terpisah baik di dalam maupun di luar kawasan kampus.

Kawasan kostan tersebut memiliki ciri khas masing-masing, baik dari fakultas asal mahasiswa yang menghuninya, perbedaan harga kostan, jarak dan waktu tempuh dari beberapa fakultas yang ada, sampai atmosfir di lingkungan kostan itu sendiri. Beberapa kawasan kostan yang lazim dihuni oleh mahasiswa Universitas Indonesia yang berada di Depok antara lain,  Kukusan Teknik (Kutek), Kukusan Kelurahan (Kukel), Pondok Cina (Pocin), Balik Rel (Barel), dan Kober. Di tiga bulan pertama saya menjadi mahasiswa, saya beruntung berkesempatan untuk mengunjungi satu per satu kawasan kostan tersebut.

Perjalanan menjelajahi kawasan-kawasan kostan tersebut dilakukan di waktu yang tidak bersamaan. Anggaplah Universitas Indonesia yang berada di Depok ini memiliki denah yang menyerupai huruf ‘P’. Saya akan memulai perjalanan di titik paling ujung kiri atas huruf ‘P’, yaitu pertemuan antara garis lurus dan setengah lingkaran yang membentuknya. Titik tersebut merupakan sebuah kawasan yang bernama Kukusan Teknik atau yang  akrab disebut Kutek. Kutek terletak di seberang Fakultas Teknik  Universitas Indonesia. Dengan letak yang begitu dekat dengan Fakultas Teknik, yang kemudian disebut sebagai FT, hal yang sangat wajar jika penghuni kostan ini didominasi oleh mahasiswa FT. Selain itu, tidak sedikit mahasiswa yang fakultasnya bertetangga dengan FT, seperti Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) memilih Kutek sebagai tempat kostnya. Bahkan, mahasiswa yang letak fakultasnya sesungguhnya berada cukup jauh dari dari FT pun, seperti Fakultas Psikologi (FPsi), tidak sedikit yang memilih Kutek sebagai tempat kostan.

Berdsarkan informasi dari beberapa teman yang memilih kostan di Kutek, Kutek memang memiliki daya tarik tersendiri bagi beberapa mahasiswa bahkan yang fakultasnya cukup jauh sekalipun. Salah satu diantara daya tarik tersebut adalah range harga kostan yang bervariasi. Prinsip pada umumnya, semakin jauh dari gerbang Kutek semakin murah harganya. Mulai dari harga yang paling miring dengan fasiltas kostan yang seadanya kisaran 250 ribu sampai harga yang relatif tinggi dengan fasiltas super lengkap kisaran satu koma sekian juta rupiah ada di Kutek. Selain itu, suasana Kutek yang selalu ramai bahkan ketika sudah larut malam pun menjadi pertimbangan tersendiri bagi mahasiswa untuk memilih kostan di kawasan Kutek. Salah satu faktor yang menyebabkan masih ramainya Kutek di larut malam disebabkan masih banyaknya mahasiswa FT yang beraktivitas di malam hari, khususnya untuk menggunakan internet gratis dengan memanfaatkan hotspot di fakultasnya yang memang aktif selama 24 jam. Hal tersebutlah yang menjadi nilai plus tersendiri bagi mahasiswa, khususnya mahasiswi, untuk memilih kostan di sini dengan harapan jikalau kegiatan kampus memaksanya pulang larut malam, kostan tempat ia pulang akan selalu ramai.

Dari Kutek, kita mencoba menyusuri garis lurus yang ada  dalam huruf P. Setelah melewati jalan yang kanan kirinya masih difungsikan sebagai hutan kota, beberapa lama kemudian kita akan sampai di Gymnasium Universitas Indonesia. Tak jauh dari Gymansium, terdapat sebuah jalan masuk yang kanan kirinya dikawal oleh pepohonan tinggi dan besar menuju ke kawasan  Kukusan Kelurahan atau yang biasa disebut Kukel. Secara langsung, saya belum pernah benar-benar masuk ke kawasan ini. Menurut informasi yang diberikan oleh teman yang memilih Kukel sebagi tempat kostnya, mahasiswa yang biasa menghuni kawasan ini berasal dari FMIPA, FT, dan Politeknik.

Sama seperti Kutek, tidak jarang penghuni Kukel pun berasal dari mashasiswa yang asal fakultasnya cukup jauh dengan lokasi Kukel itu sendiri, salah satunya Fakultas Psikologi. Namun, mahasiswa yang memilih Kukel sebagai tempat kostannya padahal lokasi fakultasnya cukup jauh, rata-rata memang memiliki kendaraan pribadi. Kalau tidak, mahasiswa tersebut memang membutuhkan waktu yang cukup lama menggunakan Bikun untuk sampai di fakultasnya.  Walaupun masuk ke kawasan ini memang agak gelap karena berada di daerah yang masih dirimbuni pepohonan, kawasan Kukel masih dikatakan aman bagi mahasiswa. Range harganya pun masih tergolong murah dan tidak jauh berbeda dengan Kutek.

Setelah menyusuri garis lurus ke arah selatan pada huruf P, kali ini saya berbalik  arah menysusuri garis lurus tersebut ke arah utara. Setelah beberapa lama menyusuri jalan, saya akan bertemu dengan satu dari dua stasiun yang melalui Universitas Indonesia, yaitu Stasiun Pondok Cina. Di belakang kawasan stasiun ini, terdapat sebuah kawasan kostan yang namanya diambil sesuai dengan nama stasiun itu sendiri, yaitu Pondok Cina atau yang lazim disebut Pocin. Banyak mahasiswa yang berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) dan FMIPA yang memilih tempat kostan di kawasan ini karena jarak antara Pocin dan fakultas-fakultas tersebut dapat ditempuh dengan jalan kaki. Harga kostan di kawasan ini dapat dikategorikan relative tinggi. Walaupun begitu, kostan di kawasan Pocin masih tetap murah jika dibandingkan dengan kawasan Barel dan Kober.

Di dekat  kawasan Pocin pun terkenal sebuah gang yang bernama Gang Senggol atau yang biasa disingkat Gangseng. Seperti umumnya sebuah gang, gang ini merupakan sebuah jalan setapak yang cukup sempit yang letaknya di sekitar FKM. Di dalam gang ini terdapat beberapa kostan yang cukup diminati karena akses ke Sstasiun Pocin dan Jalan Raya Margonda yang relatif mudah. Selain itu, di dalam gang ini pun terdapat beberapa warteg dan jajanan yang lumayan murah bagi mahasiswa.

Hanya beberapa meter tak jauh dari Stasiun Pocin dan beberapa meter ke depan tidak jauh dari Gerbang Utama UI,  saya sampai di sebuah stasiun yang juga melewati Universitas Indonesia. Satsiun tersebut diberi nama Stasiun Universitas Indonesia atau yang akrab disebut Stasiun UI. Layaknya sebuah stasiun yang identik dekat dengan pasar sebagi pusat keramaian, begitu juga yang terjadi dengan Satsiun UI. Walaupun bukan berbentuk pasar, toko-toko yang berada di kanan, kiri, depan, dan belakang stasiun ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para mahasiswa. Bak sebuah toko serba ada, mulai dari fotokopian, rental, warnet, toko buku bekas, alat tulis, pernak pernik kebutuhan perkuliahan, warteg, sampai jajanan ada di Stasiun UI.

Seolah menambah kelengkapan yang telah tersedia di Stasiun UI, dibelakang Stasiun UI ada sebuah kawasan kostan yang juga menjadi favorit mahasiswa UI. Sesuai dengan namanya, Barel yang merupakan kependekan dari Balik Rel benar-benar terletak di belakang rel kereta api antara Stasiun Pocin dan Stasiun UI.  Kisaran harga kostan di daerah ini bervariasi, walaupun ada juga yang mengatakan relatif cukup tinggi. Kawasan ini dihuni oleh mahasiswa yang letak fakultasnya berada tidak jauh dari Gerbang Utama UI, seperti Fakultas Hukum (FH), FISIP, dan Fpsi. Walaupun begitu, ada juga mahasiswa yang berasal dari FT dan FMIPA yang memilih kostan di kawasan ini.

Masih di kawasan Barel dan sudah keluar kawasan kampus UI, jika saya menarik garis lurus dari Stasiun UI menyusuri sebuah gang yang bernama Gang Sawo, saya akan sampai di sebuah jalan raya besar di Kota Depok yang bernama Jalan Raya Margonda.  Di sebrang Gang Sawo, yang berarti menyebrangi Jalan Raya Margonda, masih ada sebuah kawasan kostan yang menjadi alternatif pilihan mahasiswa UI sebagai tempat kostnya. Kawasan tersebut berada di sebuah gang yang namanya dipakai untuk menyebut kawasan tersebut, yaitu Kober. Kober dalam bahasa betawi berarti Kuburan. Kawasan kostan yang memang sampai saat ini masih ada kuburannya memiliki kisaran harga yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan kost lainnya. Hal tersebut disebabkan letak kawasan ini dekat dengan peradaban. Selain dekat dengan Stasiun UI, Kober berada di Jalan Raya Margonda yang di sepanjang jalannya terkenal dengan wisata kuliner dan dua pusat perbelanjaan terkemuka di Kota Depok, yaitu Depok Town Square (Detos) dan Margo City yang saling bersebrangan. Walaupun harganya dikatakan relatif tinggi, jika mau mencari ternyata masih ada kostan yang range harganya tidak berbeda jauh dengan yang berada di kawasan Kutek dan Kukel.

Adapun daya tarik Kober sebagai kawasan kostan yang dekat dengan peradaban, tidak serta merta membuat kawasan ini menjadi kawasan kostan favorit. Letaknya yang harus dijangkau dengan menyebrangi Jalan Raya Margonda yang dikenal dengan lebar jalan yang cukup besar ditambah kecepatan kendaraan yang melintasi jalan tersebut cukup mengerikan dan mampu membuat siapa saja yang yang hendak menyebranginya tak jarang harus menahan nafas, membuat beberapa mahasiswa berpikir dua kali untuk memilih kostan di daerah ini. Tidak jauh berbeda dengan Barel, kawasan Kober dihuni oleh mahasiswa yang fakultasnya berada tidak jauh dengan Gerbatama UI, seperti FH, FISIP, dan FPsi.

Tiap-tiap kawasan tersebut memiliki cerita tersendiri bagi saya. Di kawasan-kawasan yang terletak antara Kukusan dan Margonda itu pun, saya pernah menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang terdekat saya. Saya pertama kali mengenal Kutek dari seorang sahabat sejak dulu yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Departemen Metalurgi angkatan 2010. Saat itu, ia berbaik hati mengantarkan saya untuk mencari kostan di daerah Kutek mengingat sahabat-sahabat saya lainnya yang satu tahun lebih dahulu tercatat menjadi mahasiswa UI memang memilih Kutek sebagai tempat kostnya. Sampai pada akhirnya saya tidak memilih Kutek sebagai tempat kost saya dengan berbagai pertimbangan, saya tetap sering mengunjungi Kutek beberapa minggu ke belakang. Akan tetapi, kali ini saya mengunjungi Kutek dengan seorang sahabat baru. Seorang mojang asal Bandung yang saat ini, bersama saya, tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Psikologi angkatan 2011.  Sahabat baru yang handal bermain biola ini, tak jarang mempersilahkan saya berkunjung dan menginap ke kostannya yang berada di Kutek untuk mengerjakan tugas bersama, belajar bersama untuk menghadapi kuis, atau hanya untuk sekedar melepas penat.

Adapun untuk Kukel, sesungguhnya saya pernah nyaris mengunjungi beberapa waktu yang lalu. Sayangnya saat itu hari sudah malam. Saya yang berjalan sendirian menuju Kukel memilih berbalik arah dan memutuskan untuk pulang setelah disadarkan bahwa rimbunnya pepohonan di sepanjang perjalanan menuju Kukel dan penerangan yang tidak memadai menjadi kondisi yang cukup membahayakan untuk melanjutkan perjalanan.

Berbeda di Kukel, berbeda pula di Pocin. Kawasan Pocin saya telusuri dengan seorang kakak yang berstatus calon apoteker lulusan Farmasi UI. Saat itu, ia menawarkan diri untuk memperkenalkan UI kepada saya pasca diterimanya saya menjadi mahasiswa di sini. Di sela-sela mengelilingi UI, saya menemani kakak yang tengah menunggu wisudanya tersebut untuk mencari kostan di kawasan Pocin. Kostan tersebut kelak akan dihuninya saat mengambil S2 Profesi untuk memperoleh gelar apotekernya.

Tak jauh dari Pocin, Barel pun menanti. Di salah satu wartegnya, saya pernah menghabiskan waktu dengan seorang adik. Kami melakukan brainstorming bersama tentang beberapa masalah yang tengah kami hadapi beberapa hari belakangan ini. Bersama calon psikolog yang kelak akan menjadikan Istana Merdeka menjadi kliniknya ini, saya menyelesaikan masalah dengan cara yang sedikit berbeda. Bukan dengan pemberian saran-saran yang solutif, melainkan dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan dan beberapa sindirian yang membuat kami terus berpikir untuk bisa menemukan solusi terbaik sendiri.

Setelah menelusuri Barel, saya pun menyebrangi Jalan Margonda. Kober pun menjadi tujuan terakhir saya. Kober merupakan tempat kostan saya saat ini. Banyak waktu yang telah saya habiskan di kawasan ini dan tentu masih akan saya habiskan beberapa tahun ke depan.

Kurang lebih selama empat tahun ke depan, hidup saya tidak akan jauh dari lingkaran antara Kukusan dan Margonda bersama para penghuni di dalamnya. Saya pribadi berharap kelak mampu mengguratkan pena untuk mengukir cerita-cerita mereka. Cerita perjuangan orang-orang yang siap mendunia, yang bermula dari sepetak kecil ruangan kamarnya antara Kukusan dan Margonda.

Logpenil/Jurnal3/Memilih Menjadi Anak Kost



Setelah  mati-matian mencoba menulis serius di Jurnal 1, akhirnya memang harus gw akui gaya gw menulis  jurnal 3 memang tidak bisa dilepaskan dengan gaya gw menulis blog :P

Jurnal 2 nya?

Masa-masa disorientasi gw beberapa hari lalu, sempat memaksa gw memiliki toleransi tinggi dengan prokrastinasi (baca : menunda-menunda mengerjakan tugas). Jurnal 2 yang harus gw kumpulkan hari senin jam 1 siang, baru gw kerjakan senin pagi pukul 7. Alhasil?

Tidak seperti dosen lain yang sudah memberikan metode-metode penulisan ilmiah dalam penulisan jurnal, seperti deduktif dan induktif, dosen gw dalam mata kuliah ini memang masih berorientasi untuk membuat  mahasiswanya untuk berani menulis dengan tidak memberikan batasan dan ketentuan apapun dalam pengerjaan jurnal. Berpegang teguh pada kebiasaan dosen gw itu, disebabkan oleh proses pemaksaan keluarnya ide yang tidak kunjung berhasil, mencoba menerima bahwa tangan gw yang mau dipaksa kaya apaan juga sedang tidak ingin menari di atas laptop, dengan pikiran licik gw pun membuka arsip blog gw, mencari tulisan gw yang mungkin layak diserahkan kepada dosen, dan  hanya dengan perubahan kata "gw" menjadi kata "saya", gw pun mengirimkan tulisan gw dalam hitungan 10 menit sejak pertama kali gw membuka laptop pagi itu.

Pasca ketidakberesan gw mengerjakan Jurnal 2, hari itu gak henti-hentinya gw senyam-senyum sendiri, nyengar-nyengir sendiri. Sebuah kesyukuran mengalir deras, sama derasnya dengan ide yang mengalir waktu gw mengerjakan tugas Mayor Thought Relationship lalu :)

Dan hal itulah yang  menjadi alasan  mengapa waktu acara Psylovesophy kemarin, saat hari pembagian lolipop, bada Magrib gw mengejar T'Cune di Akademos, memeluknya dengan kegirangan, bilang makasih berkali-kali, dan ngasih lolipop yang kata-kata di kertasnya udah gw modif sendiri.

"Terima kasih karena telah mengajarkan Tuti untuk berani menulis, Tetehku!"

Yap. Terlepas dari tulisan gw yang berkulaitas atau tidak, jauh sebelum gw masuk fakultas ini, fakultas yang menjadikan menulis menjadi bagian dari atmosfirnya, empat tahun yang lalu,  5 Oktober 2008, gw pernah jauh lebih dahulu diajarkan untuk berani menulis.

*Big hug for you, Teh! :*

Dan kali ini, jurnal 3 gw dibuat untuk :

Perempuan yang saat gw pulang ke Bogor kemarin, di saat gw terkapar tanpa pergerakan di kasur, diam-diam menyikat sepatu gw yang penuh dengan tanah menjadi bersih seperti sedia kala, yang baru gw sadari di kereta saat perjalanan kembali ke Depok.

***
Memilih Menjadi Anak Kost

Sebagai lembaga dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, perguruan tinggi tentu saja memiliki perbedaan yang cukup mencolok jika dibandingkan dengan sekolah menengah atas (SMA). Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses belajar, kurikulum, keheterogenan peserta ajar di dalamnya, sampai orientasi kegiatan nonakademisnya. Seluruh perbedaan tersebut jika mau ditilik lebih jauh hanya menuntut dua hal dari seorang mahasiswa yang tidak begitu dirasakan oleh seorang siswa SMA, yaitu kemandirian dan kedewasaan. Selain perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan di atas, ada pula sebuah fenomena yang cukup mencerminkan tuntutan kedewasaan dan kemandirian seorang mahasiswa yang tidak dituntut lebih dari seorang siswa SMA. Hal tersebut adalah fenomena mahasiswa yang harus tinggal jauh dari orang tuanya selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi  atau yang akrab disebut sebagai anak kost.

Banyak faktor yang menjadi alasan mengapa seseorang memutuskan menjadi anak kost ketika sudah menjadi mahasiswa. Beberapa diantaranya adalah karena jarak rumah dan kampus yang tidak dapat ditempuh dalam waktu satu hari, kebutuhan keberadaan diri yang tinggi di kampus akibat kegiatan dan tugas kampus yang padat sehingga mengharuskan seorang mahasiswa untuk bertempat tinggal di sekitar kampus, sampai hanya karena mengamini beberapa anggapan bahwa kalau tidak kost bukan mahasiswa namanya. Walaupun ada beberapa mahasiswa yang memungkinkan untuk melakukan perjalanan pulang pergi dalam waktu satu hari dari rumah menuju kampus dan sebaliknya, banyak diantara mereka yang tetap memtuskan untuk menjadi anak kost karena berbagai alasan. Salah satu dari berbagai alasan tersebut adalah ingin melatih kemandirian dan kedewasaan ketika harus tinggal jauh dari orang tua.

Contoh sederhana dari kasus ini adalah saya sendiri. Saya yang berdomisili di Bogor dan tengah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia Depok sesungguhnya masih memungkinkan melakukan perjalanan pulang pergi Bogor-Depok dengan menggunakan kereta. Akan tetapi, karena berbagai alasan yang salah satunya telah dikemukakan di atas, saya lebih memilih untuk menjadi anak kost.

Mengapa fenomena menjadi anak kost mampu melatih kemandirian dan kedewasaan? Pertanyaan ini tentu saja akan sangat mudah dijawab oleh mahasiswa yang sudah merasakan asam garamnya menjadi anak kost.. Untuk lebih mudah menjawab pertanyaan ini, mari kita bandingkan aktivitas yang pernah saya lakukan sebagai siswa SMA dengan aktivitas tiga bulan pertama saya sebagai seorang mahasiswi.

Ketika saya masih menjadi siswa SMA, saat pertama kali saya membuka mata dari tidur saya, hal yang saya pikirkan adalah kewajiban dan hak pribadi saya sebagai seorang siswa. Entah memikirkan tugas akademis maupun nonakademis entah memikirkan waktu berkumpul bersama teman-teman. Sambil memikirkan hal tersebut, saya segera mandi, mengenakan baju yang sudah tersedia di lemari, bersiap diri, dan langsung sarapan dengan makan makanan yang sudah terhidang di atas meja yang bahkan terkadang tidak saya sentuh karena terburu-buru berangkat ke sekolah. Sampai di sekolah, seluruh kegiatan pun saya lakukan seperti biasa (walaupun biasa yang saya masuk tidak sesederhana itu). Belajar di kelas, berorganisasi, berkumpul bersama teman-teman merupakan bagian dari kehidupan saya di masa SMA. Di sela-sela kegiatan tersebut, makan sebagai kebutuhan primer seorang manusia pun tak saya lewatkan. Bahkan, ketika hasrat makan diluar jadwal tiga kali sehari pun muncul atau yang biasa diebut ngemil, tanpa pikir panjang saya pun memanjakan keinginan saya tersebut selama masih tersedia alat tukar di kantong seragam saya. Setelah selesai melakukan aktivitas di sekolah, saya pun pulang ke rumah. Masih dengan sambil memikirkan hak dan kewajiban saya sebagai siswa, saya mandi, makan, berganti baju, mengerjakan tugas, dan bergegas tidur untuk bersiap melanjutkan esok hari. Kegiatan-kegiatan tersebut terus dilakukan berulang-ulang, walaupun pada kenyataanya masa SMA saya tidak benar-benar selurus dan seteratur itu.

Namun demikian, ada sebuah benang merah selam kehidupan SMA saya yang dapat saya ambil, yaitu saya mengawali dan mengakhiri hari tanpa benar-benar memikirkan apakah besok ada baju yang bisa saya pakai untuk ke sekolah, besok saya sarapan apa, dan berapa uang yang harus saya sisihkan hari ini untuk memenuhi kebutuhan saya yang lain. Hal itu disebabkan saya menyadari penuh bahwa selarut apapun saya pulang karena aktivitas sekolah, saya masih memiliki rumah sebagi tempat saya pulang. Tempat dimana terpenuhinya segala kebutuhan saya dan tempat saya bisa memenuhi asupan gizi saya tanpa mengeluarkan biaya.

Kultur kehidupan SMA tersebut tentu saja kontras dengan pilihan menjadi anak kost yang telah saya ambil saat ini. Setelah menjadi anak kost, pertama kali saya membuka mata saat bangun di pagi hari, selain memikirkan tugas kuliah, kuis, dan kegiatan kemahasiswaan yang akan saya jalani hari ini, pikiran saya pun kini memiliki ruangan baru untuk memikirkan beberapa hal vital yang jika tidak dipikirkan akan mengancam keberlangsungan hidup saya. Pikiran saya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan, “Baju yang mau dipakai hari ini sudah disetrika belum ya?”, “Kalau keran kamar mandi tidak mengalir kapan bajunya bisa di cuci?”, “Baju yang kemarin di jemur udah kering belum ya?”, “Hari ini mau sarapan yang murah di mana ya?” , dan “Kamar kapan sempat dirapihkan ya?”. Itu pertanyaan-pertanyaan yang biasanya melintas di kepala saya saat pagi hari. Di kampus, ruang khusus itu pun tidak jarang mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan lagi saat saya merasa hasrat makan di luar jadwal yang seharusnya kembali mucul, “Kalau mau jajan sekarang, uang makan malam masih cukup gak ya?, atau saat melihat alat tulis yang dianggap dapat memancing hasrat belajar menggoda untuk dibeli padahal tidak benar-benar dibutuhkan, “Kalau mau beli binder yang tadi, buat fotokopi buku nanti cukup gak ya?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sejujurnya jarang saya lontarkan semasa SMA.

Apa yang menyebabkan perbedaan tidak adanya pertanyaan ini di masa SMA saya dan munculnya pertanyaan ini saat saya menjadi mahasiswa? Tentu saja ketika memutuskan menjadi anak kost, saya benar-benar sudah memutuskan untuk bertanggung jawab atas  diri saya sendiri secara keseluruhan. Tanggung jawab yang dimaksud tentu saja mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki saya  dan sejak membuka mata di pagi hari sampai menutup mata di malam hari. Jika semasa SMA saya tak pernah benar-benar memikirkan proses tersedianya baju di dalam lemari saya dan proses tersedianya makanan di meja makan, saat ini saya mempraktikkan secara langsung untuk menyediakan kedua hal tersebut. Jika dulu saya tak benar-benar memikirkan uang yang saya keluarkan karena setiap hari saya bertemu dengan ayah yang tak pernah lelah menafkahi anaknya, saat ini dengan jumlah uang tertentu saya dipaksa untuk meregulasi keuangan saya sendiri jika masih mau bertahan hidup sampai akhir bulan. Kalau jika jika lainnya dilanjutkan, terjawab sudah secara gamblang pertanyaan mengapa pilihan menjadi anak kost dapat melatih kemandirian dan kedewasaan.

Mungkin memang terdengar sedikit berlebihan, tapi dengan menjadi anak kost saya belajar untuk memahami hakikat kehidupan dari ruang lingkup yang lebih kecil dan mendasar.  Kalau di luar sana banyak orang yang mendengung-dengungkan tentang kehidupan dengan skala yang lebih besar seperti kehidupan yang makmur, kehidupan yang berkeadilan, kehidupan yang sentosa, kehidupan yang diharapkan bangsa Indonesia, dan kehidupan-kehidupan lainnya, dengan menjadi anak kost saya memahami bahwa kehidupan tidak akan benar-benar dimulai kalau tidak ada sebuah langkah pertama. Sebuah langkah pertama seorang perempuan yang bangun lebih pagi dari siapapun demi memastikan tersedianya pakaian di lemari orang-orang yang disayanginya. Langkah pertama seorang perempuan yang bahkan di pagi hari sudah berpeluh demi memastikan tersedianya makanan di meja makan. Langkah pertama seorang perempuan yang menyingsikan lengan baju di pagi hari demi tidak membiarkan lantai tempat berpijak orang-orang yang dikasihinya tertutup debu.

Bagi seorang mahasiswa seperti saya yang memilih untuk menjadi anak kost, pilihan ini selain menjadi laboratorium parktikum saya untuk menjadi dewasa dan mandiri, juga menjadi pilihan saya untuk memulai langkah pertama saya menjadi perempuan hebat itu. Perempuan yang paling disayang di seluruh dunia dan perempuan yang konon kabarnya ditelapak kakinyalah surga berada. Menjadi seorang perempuan dengan sebutan ibu.

Selasa, 04 Oktober 2011

Dari Mereka Minggu Ini

Hana : Hana tuh sebenarnya udah tau, tapi masih ragu.
Nila : Jalani aja.
Tari : Karena ada orang yang sebenarnya hanya ingin tahu, bukan peduli.
Dari gw?

Jangan memperlakukan seseorang seolah-olah dia berbeda. Kasihan seseorang tersebut karena gak enak rasanya kalau kenyataannya bukan benar adanya (baca : jangan suka nge-ge-er-in orang lain, gak enak loh rasanya di ge-er-in.)

Sabtu, 01 Oktober 2011

Biru Muda di Awal Cerita


#Postingan ini dibuat untuk :
  1. Pemenuhan tugas mata kuliah Logika dan Penulisan Ilmiah materi Mayor Thought Relationship.
  2. Teh Cune. Orang  pertama yang mengajari gw untuk berani menulis :D
  3. Nila. Sahabat baru yang kamarnya bersedia gw acak-acak demi menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih juga untuk kamarnya yang bersedia menampung gw untuk melarikan diri dari panasnya Kota Depok yang belakangan ini lebih panas beberapa derajat bagi gw.
  4. Maba Psikologi UI 2011. Untuk  kita yang tengah mengukir cerita dan menyatukan hati :)
 ***

Beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia dikenal dengan ciri khas keilmuan dan kehidupan sosial yang dimilikinya masing-masing. Ada Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan teknologinya, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan pertaniannya, dan Univeristas Indonesia (UI) dengan kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Ciri khas tersebut pun melahirkan identitas-identitas yang berupa simbol-simbol yang amat lekat dengan perguruan tinggi negeri tersebut. Contohnya, ITB identik dengan lambang gajah dengan nama Ganesha, IPB identik dengan lambang bulir-bulir padi yang sejalan dengan julukan Indonesia sebagai negara agraris, dan UI yang identik dengan lambang pohon ilmu pengetahuan yang lebih akrab disebut Makara.
Bagi Universitas Indonesia sendiri, penggunaan lambang makara tidak hanya sebatas sebagai identitas perguruan tinggi secara umum. Perbedaan warna makara yang emblemnya dijahit di bagian kiri jaket almamater-yang biasa disebut Jaket Kuning (Jakun)- mahasiswanya pun melambangkan identitas masing-masing fakultas yang ada di univeritas yang sering mendapatkan julukan Kampus Kuning ini.
Perbedaan warna makara yang menunjukkan identitas masing-masing fakultas di kampus yang terletak di Depok dan Salemba ini dapat dilihat sebagai berikut  :
  1. Makara Hijau Tua untuk Fakultas Kedokteran (FK)
  2. Makara Hijau Tua-Putih untuk Fakultas Kedokteran Gigi (FKG)
  3. Makara Hitam-Biru Tua untuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
  4. Makara Biru Tua untuk Fakultas Teknik (FT)
  5. Makara Merah untuk Fakultas Hukum (FH)
  6. Makara Oranye untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
  7. Makara Abu-abu untuk Fakultas Ekonomi (FE)
  8. Makara Putih untuk Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
  9. Makara Biru Muda untuk Fakultas Psikologi (FPsi)
  10. Makara Ungu untuk Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
  11. Makara Biru-Merah untuk Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom)
  12. Makara Biru Tua-Biru Muda-Biru Tua untuk Fakultas Keperawatam (FIK)
  13. Makara Hijau-Oranye-Biru untuk Program Vokasi
  14. Makara Cokelat untuk Program Pasca Sarjana
Jika mau diteliti lebih jauh, ada dua fakultas yang memiliki dua buah makara yang berwarna sama. Makara tersebut adalah makara berwarna biru yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu makara biru tua dan makara biru muda. Diantara sekian banyak warna makara yang terdapat di Universitas Indonesia, dua warna makara tersebut cukup menarik perhatian saya. Selain karena dulu saya sempat memiliki cita-cita untuk menjadi bagian dari makara biru tua-dan pada akhirnya warna makara yang saya kenakan di Jakun saya benar-benar makara biru tua, walapun sudah sedikit telah luntur (baca : makara biru muda)- cerita tentang kedua makara ini punya tempat tersendiri untuk saya.
Walaupun sama-sama berwarna biru, ada sebuah perbedaan mencolok yang dimilki oleh kedua makara biru ini. Hal tersebut dapat dilihat dari kuantitas mahasiswa yang berada di dalamnya. Makara biru tua memiliki jumlah mahasiswa yang jauh lebih banyak dibandingkan mahasiswinya. Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan makara biru muda yang memiliki jumlah mahasiswi yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah mahasiswanya. Perbedaan kuantitas tersebut pun sedikit banyak memberikan pengaruh adanya perbedaan mencolok antar kehidupan sosial di kedua fakultas tersebut.
Konon, perbedaan tersebutlah yang dirasa menyebabkan kedua fakultas tersebut bisa saling melengkapi satu sama lain. Banyak cerita yang menyebutkan bahwa kedua fakultas ini dari tahun ke tahun mampu menjalin hubungan yang baik. Bahkan, beberapa diantara hubungan tersebut dapat berlanjut menjadi hubungan yang lebih dari sebuah pertemanan. Awalnya saya meragukan hal tersebut karena mungkin hal tersebut bisa terjadi di fakultas lainnya, tidak hanya di kedua fakultas tersebut. Akan tetapi, hasil wawancara singkat yang saya lakukan kepada beberapa mahasiswa/i di kedua fakultas tersebut menunjukkan adanya indikasi kebenaran dari anggapan itu. Terlebih lagi ketika saya mencoba mengobservasi langsung-secara sederhana-di tempat kejadian perkara. Beberapa mahasiswa Fakultas Teknik mememiliki perhatian lebih kepada mahasiswi yang menggunakan Jakun dengan emblem biru muda di sebelah kiri ketika mahasiswi tersebut sedang berkunjung ke Fakultas Teknik. Begitu pula yang terjadi sebaliknya ketika ada beberapa mahasiswa Fakultas Teknik yang tengah berkunjung ke Fakultas Psikologi. Fenomena ini memang tidak terjadi secara mayoritas di kedua fakultas ini. Akan tetapi, kenyataan bahwa kedua fakultas ini mampu memiliki hubungan yang baik dan saling melengkapi, sedikit demi sedikit mampu mengikis anggapan akan kentalnya arogansi yang dimiliki tiap fakultas karena perbedaan kehidupan sosial akademis di masing-masing fakultas.
Mengapa saya begitu tertarik dengan fenomena yang terjadi antara kedua makara biru? Karena saya merupakan bagian dari salah satu makara biru tersebut. Saat ini, genap dua bulan saya tercatat menjadi mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kebutuhan akan pengetahuan tentang fakultas tempat saya menuntut ilmu, kurang lebih empat tahun ke depan, memaksa saya untuk memberikan perhatian lebih tentang kehidupan sosial akademis yang terjadi di fakultas biru muda ini.
Fakultas Psikologi merupakan fakultas terdepan di Universitas Indonesia. Terdepan dalam kalimat ini memiliki arti kata denotatif, yaitu fakultas dengan jarak paling depan terhitung dari gerbang utama Universitas Indonesia. Jika dibandingkan dengan fakultas lain, fakultas ini memiliki luas lahan yang tidak terlalu besar mengingat hanya ada satu jurusan di fakultas ini. Namun, luas lahan tersebut tidak serta merta membuat produktivitas fakultas ini berkurang. Letaknya yang berada di dekat peradaban (baca : stasiun UI dan gerbang utama UI), serta keberadaan alfamart dan berbagai jenis atm di salah satu sudut fakultas,  membuat fakultas ini sering dikunjungi oleh mahasiswa fakultas lain atau bahkan sivitas Univeristas Indonesia lainnya.
Fakultas ini terletak persis di sebrang stasiun UI dan hanya dipisahakan oleh beberapa meter lahan yang masih rimbun ditanami oleh pepohonan. Dibandingkan disebut dengan lahan, batas pemisah tersebut lebih tampak seperti hutan. Di tengah-tengah hutan kecil tersebut terdapat jalan setapak yang menghubungkan stasiun UI dan Fakultas Psikologi. Tidak direkomendasikan untuk melewati jalan setapak ini ketika hari sudah mulai gelap.
Sampai di halaman depan fakultas, terdapat dua tempat parkir utama. Tempat parkir motor dan tempat parkir mobil khusus dosen dan karyawan. Beranjak memasuki fakultas, kita akan menemukan beberapa gedung di dalamnya. Fakultas ini terdiri dari beberapa gedung. Gedung-gedung tersebut adalah Gedung A, Gedung B, Gedung C, Gedung D, dan Gedung H. Selain gedung-gedung tersebut, terdapat dua  buah kantin yang bernama Kanlam (Kantin Lama) dan Kancil (Kantin Cikologi).
Banyak mahasiswa baru (maba) yang mempertanyakan mengapa gedung-gedung di Fakultas Psikologi tampak seperti gedung-gedung lama, tidak seperti di beberapa fakultas lain yang tampak modern. Saya pun sempat mempertanyakan mengapa Fakultas Psikologi lebih tampak seperti kumpulan gedung-gedung tua. Terlepas dari pertanyaan itu, saya adalah salah seorang yang mengagumi tata letak dan tata ruang yang ada di Fakultas Psikologi. Gedung-gedung yang ada di fakultas psikologi ini memiliki lorong-lorong yang menjadi akses terhubungnya satu gedung dengan gedung lainnya. Gedung dan lorong-lorong tersebut saling terhubung dan membentuk lingkaran yang mengelilingi sebuah taman yang menjadi pusat kegiatan di Fakultas Psikologi ini.
Taman tersebut bernama Taman Akademos. Nama taman ini diadopsi dari sebuah taman yang didirikan oleh Plato, salah satu filsuf Yunani yang merupakan murid dari Soccrates, sebagai tempat belajar dan berkumpul bagi murid-muridnya.  Di dalam taman ini terdapat beberapa pohon besar dan kecil yang dikelilingi oleh bangku-bangku yang ditata apik. Bagian tinggi dan rendah taman ini dihubungkan oleh tangga berundak-undak di bagian pusat taman yang seolah menyerupai tempat duduk stadion. Tampak berusaha mengadopsi taman aslinya, taman ini dirancang sedemikian rupa sehingga siapapun yang berada di dalamnya akan merasa nyaman dan betah berlama-lama, entah untuk belajar, mengerjakan tugas kelompok, rapat, atau hanya sekadar duduk-duduk sambil bercengkrama bersama teman.
Beberapa minggu belakangan, banyak yang menyebut taman ini sebagai Taman Maba. Taman ini selalu tampak ramai dan terlihat menguning dari kejauhan karena disinggahi oleh maba Fakultas Psikologi yang tengah diwajibkan mengenakan Jakun selama masa Prosesi (Proses Penyesuaian Diri). Konon, dari tahun ke tahun Taman Akademos sengaja dibiarkan kosong oleh kakak-kakak senior demi memberikan ruang untuk maba berkumpul mengingat kami belum diizinkan untuk makan di kantin fakultas selama masa Prosesi.
Prosesi merupakan salah satu dari rangkaian KAMABA (Kegiatan Awal Mahasiswa Baru) Fakultas Psikologi 2011 yang merupakan gerbang pertama dimulainya kehidupan maba Fakultas Psikologi sebenarnya di fakultas biru muda ini. KAMABA terbagi menjadi dua kegiatan besar, PSAF dan Prosesi yang masing-masing break down menjadi beberapa kegiatan lainnya.
Bermula dari briefing PSAF, dilanjut dengan kegiatan PSAF selama dua hari, jeda libur  lebaran selama dua minggu, masuk ke Briefing Prosesi, menjalani masa Prosesi yang terdiri dari beberapa kegiatan : wawancara sivitas Fakultas Psikologi, mentoring, pelatihan Yellguys, mengambil  kelas pilihan, evaluasi mingguan, diselingi penampilan maba dalam acara Dapur (Tenda Purnama) –acara tahunan psikologi pasca wisuda- sampai pada akhirnya saat ini kami telah tiba di penghujung masa Prosesi.
Banyak cerita, banyak tawa, banyak emosi, banyak kelelahan, banyak kekaguman, banyak kekecewaan, dan banyak kesyukuran yang terbingkai apik selama rangkaian KAMABA berlangsung. Berawal saat briefing PSAF dimana kami diperlakukan berbeda dengan fakultas lain. Di depan gedung rektorat, kami diliputi bebrbagai bentuk ketegasan dan ketegangan. Begitu kontras ketika kami menyadari bahwa kami berada di tengah-tengah fakultas lain yang disambut dengan penuh kehangatan. Ketegasan itu pun terus berlanjut di masa Prosesi. Perbedaanya, ketegasan kali ini diselimuti kehangatan sebuah penerimaan anggota keluarga baru.
Di kesempatan yang lain, kejadian-kejadian yang menyenangkan maupun menjengkelkan, segala bentuk kelelahan yang dirasakan, dan berbagai materi yang pernah didapatkan, tak pernah berhenti diulang-ulang dan dibicarakan oleh maba baik dalam bentuk emosi menyenangkan dan menjengkelkan, baik dalam pembicaraan formal ataupun obrolan informal. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa kami memang benar-benar diperlakukan berbeda dengan fakultas yang lain. Berbeda karena di sini kami diajarkan untuk memanusiakan manusia.
Masa Prosesi belum berakhir. Saya dan teman-teman angkatan 2011 pun memiliki tugas besar di penghujung masa Prosesi ini. Sebuah Class Project yang kami beri nama “Psylovesophy” (Psychology Love Social and Charity). Dua hari yang sederhana. Membagikan pesan cinta dari maba 2011 kepada sivitas Fakultas Psikologi dengan media sebuah lolipop dan dilaksanakannya ‘sekolah kehidupan’ untuk anak jalanan di sekitar Fakultas Psikologi dan Universitas Indonesia di Taman Akdemos. Akan tetapi, tidak benar-benar sederhana dalam proses pelaksanaanya ketika seluruh karakter, keinginan,  ilmu berorganisasi, ego, dan idealisme yang dibawa dari masing-masing SMA yang tersebar di seluruh Indonesia, dari 277 kepala, menjadi satu dibalik layarnya.
Salah satu perjuangan besar yang berhasil dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah proses penyusunan proposal. Proposal kegiatan ini berhasil melalui proses panjang yang akhirnya saat ini telah diterima oleh panitia KAMABA. Proses penyusunan proposal Class Project tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Proses pengumpulan ide kegiatan oleh masing-masing kelompok Prosesi.
  2. Terdapat miss komunikasi dengan panitia KAMABA. Dilakukan proses pengumpulan ide satu angkatan dengan detail acara dan pembuatan proposal dikembalikan kepada masing-masing kelompok.
  3. Terdapat miss komunikasi dengan panitia KAMABA, lagi.  Dilakukan proses pengumpulan ide satu angkatan dengan format satu proposal.
  4. Dibentuk kepanitiaan inti Class Project dan tim penyusun proposal angkatan
  5. Pengumpulan ide untuk detail acara dari seluruh angkatan 2011 melalui media lisan dan  jejaring social.
  6. Sosialisasi proposal yang akan masuk ke Sesi Comprehension.
  7. Di sesi Comprehension, pemahaman angkatan akan proposal kegiatan diuji dan dievaluasi.
  8. Berbagai evaluasi yang diterima tiap kelompok membawa proposal pada keputusan harus direvisi.
  9. Pengumpulan berbagai masukan dan evaluasi yang diterima angkatan pada Sesi Comprehension melalui lisan dan jejaring sosial.
  10. Proposal direvisi secara comprehensif oleh tim penyusun proposal.
  11. Proposal hasil revisi selesai dan diterima oleh panitia KAMABA.
Proses panjang penyusunan proposal tersebut belum ditambah dengan berbagai bentuk emosi yang bermain di dalamnya. Mulai dari perbedaan pandangan dan pendapat, berbagai ego yang saling berbenturan, pelajaran mau mengalah yang harus langsung dipraktikan tanpa ada review sebelumnya, sampai fisik tim penyusun proposal yang dipaksa untuk tidur tidak beraturan.
Sampai pada akhirnya proposal kegiatan ini berhasil diterima oleh panitia KAMABA dan kegiatan hari pertama-dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya- berhasil mengukir senyum di beberapa sivitas Fakultas Psikologi- berhasil menjadi angin segar tersendiri untuk kami untuk menjalani penghujung masa Prosesi ini dengan penyikapan yang lebih baik lagi.
Fakultas ini tidak besar, karenanya kami saling mengenal dan memperhatikan. Di sini kami belajar memahami, karenanya galau merupakan hal yang ditoleransi di fakultas ini. Di sini semua orang memiliki sensitifitas dan kepekaan yang tinggi, karenanya terkadang komunikasi verbal semakin tak berarti.
Apapun karena karena selanjutnya, setidaknya dua bulan pertama ada beberapa hal yang mulai saya mengerti. Salah satunya mengapa fakultas ini memiliki warna makara biru muda. Coba tengok birunya langit di pagi hari dan birunya laut lepas di sore hari. Anda akan menemukan jawaban dari pertanyaan itu, seperti jawaban yang telah saya berhasil dapatkan saat ini.