Jumat, 14 Oktober 2011

Logpenil/Jurnal3/Memilih Menjadi Anak Kost



Setelah  mati-matian mencoba menulis serius di Jurnal 1, akhirnya memang harus gw akui gaya gw menulis  jurnal 3 memang tidak bisa dilepaskan dengan gaya gw menulis blog :P

Jurnal 2 nya?

Masa-masa disorientasi gw beberapa hari lalu, sempat memaksa gw memiliki toleransi tinggi dengan prokrastinasi (baca : menunda-menunda mengerjakan tugas). Jurnal 2 yang harus gw kumpulkan hari senin jam 1 siang, baru gw kerjakan senin pagi pukul 7. Alhasil?

Tidak seperti dosen lain yang sudah memberikan metode-metode penulisan ilmiah dalam penulisan jurnal, seperti deduktif dan induktif, dosen gw dalam mata kuliah ini memang masih berorientasi untuk membuat  mahasiswanya untuk berani menulis dengan tidak memberikan batasan dan ketentuan apapun dalam pengerjaan jurnal. Berpegang teguh pada kebiasaan dosen gw itu, disebabkan oleh proses pemaksaan keluarnya ide yang tidak kunjung berhasil, mencoba menerima bahwa tangan gw yang mau dipaksa kaya apaan juga sedang tidak ingin menari di atas laptop, dengan pikiran licik gw pun membuka arsip blog gw, mencari tulisan gw yang mungkin layak diserahkan kepada dosen, dan  hanya dengan perubahan kata "gw" menjadi kata "saya", gw pun mengirimkan tulisan gw dalam hitungan 10 menit sejak pertama kali gw membuka laptop pagi itu.

Pasca ketidakberesan gw mengerjakan Jurnal 2, hari itu gak henti-hentinya gw senyam-senyum sendiri, nyengar-nyengir sendiri. Sebuah kesyukuran mengalir deras, sama derasnya dengan ide yang mengalir waktu gw mengerjakan tugas Mayor Thought Relationship lalu :)

Dan hal itulah yang  menjadi alasan  mengapa waktu acara Psylovesophy kemarin, saat hari pembagian lolipop, bada Magrib gw mengejar T'Cune di Akademos, memeluknya dengan kegirangan, bilang makasih berkali-kali, dan ngasih lolipop yang kata-kata di kertasnya udah gw modif sendiri.

"Terima kasih karena telah mengajarkan Tuti untuk berani menulis, Tetehku!"

Yap. Terlepas dari tulisan gw yang berkulaitas atau tidak, jauh sebelum gw masuk fakultas ini, fakultas yang menjadikan menulis menjadi bagian dari atmosfirnya, empat tahun yang lalu,  5 Oktober 2008, gw pernah jauh lebih dahulu diajarkan untuk berani menulis.

*Big hug for you, Teh! :*

Dan kali ini, jurnal 3 gw dibuat untuk :

Perempuan yang saat gw pulang ke Bogor kemarin, di saat gw terkapar tanpa pergerakan di kasur, diam-diam menyikat sepatu gw yang penuh dengan tanah menjadi bersih seperti sedia kala, yang baru gw sadari di kereta saat perjalanan kembali ke Depok.

***
Memilih Menjadi Anak Kost

Sebagai lembaga dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, perguruan tinggi tentu saja memiliki perbedaan yang cukup mencolok jika dibandingkan dengan sekolah menengah atas (SMA). Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses belajar, kurikulum, keheterogenan peserta ajar di dalamnya, sampai orientasi kegiatan nonakademisnya. Seluruh perbedaan tersebut jika mau ditilik lebih jauh hanya menuntut dua hal dari seorang mahasiswa yang tidak begitu dirasakan oleh seorang siswa SMA, yaitu kemandirian dan kedewasaan. Selain perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan di atas, ada pula sebuah fenomena yang cukup mencerminkan tuntutan kedewasaan dan kemandirian seorang mahasiswa yang tidak dituntut lebih dari seorang siswa SMA. Hal tersebut adalah fenomena mahasiswa yang harus tinggal jauh dari orang tuanya selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi  atau yang akrab disebut sebagai anak kost.

Banyak faktor yang menjadi alasan mengapa seseorang memutuskan menjadi anak kost ketika sudah menjadi mahasiswa. Beberapa diantaranya adalah karena jarak rumah dan kampus yang tidak dapat ditempuh dalam waktu satu hari, kebutuhan keberadaan diri yang tinggi di kampus akibat kegiatan dan tugas kampus yang padat sehingga mengharuskan seorang mahasiswa untuk bertempat tinggal di sekitar kampus, sampai hanya karena mengamini beberapa anggapan bahwa kalau tidak kost bukan mahasiswa namanya. Walaupun ada beberapa mahasiswa yang memungkinkan untuk melakukan perjalanan pulang pergi dalam waktu satu hari dari rumah menuju kampus dan sebaliknya, banyak diantara mereka yang tetap memtuskan untuk menjadi anak kost karena berbagai alasan. Salah satu dari berbagai alasan tersebut adalah ingin melatih kemandirian dan kedewasaan ketika harus tinggal jauh dari orang tua.

Contoh sederhana dari kasus ini adalah saya sendiri. Saya yang berdomisili di Bogor dan tengah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia Depok sesungguhnya masih memungkinkan melakukan perjalanan pulang pergi Bogor-Depok dengan menggunakan kereta. Akan tetapi, karena berbagai alasan yang salah satunya telah dikemukakan di atas, saya lebih memilih untuk menjadi anak kost.

Mengapa fenomena menjadi anak kost mampu melatih kemandirian dan kedewasaan? Pertanyaan ini tentu saja akan sangat mudah dijawab oleh mahasiswa yang sudah merasakan asam garamnya menjadi anak kost.. Untuk lebih mudah menjawab pertanyaan ini, mari kita bandingkan aktivitas yang pernah saya lakukan sebagai siswa SMA dengan aktivitas tiga bulan pertama saya sebagai seorang mahasiswi.

Ketika saya masih menjadi siswa SMA, saat pertama kali saya membuka mata dari tidur saya, hal yang saya pikirkan adalah kewajiban dan hak pribadi saya sebagai seorang siswa. Entah memikirkan tugas akademis maupun nonakademis entah memikirkan waktu berkumpul bersama teman-teman. Sambil memikirkan hal tersebut, saya segera mandi, mengenakan baju yang sudah tersedia di lemari, bersiap diri, dan langsung sarapan dengan makan makanan yang sudah terhidang di atas meja yang bahkan terkadang tidak saya sentuh karena terburu-buru berangkat ke sekolah. Sampai di sekolah, seluruh kegiatan pun saya lakukan seperti biasa (walaupun biasa yang saya masuk tidak sesederhana itu). Belajar di kelas, berorganisasi, berkumpul bersama teman-teman merupakan bagian dari kehidupan saya di masa SMA. Di sela-sela kegiatan tersebut, makan sebagai kebutuhan primer seorang manusia pun tak saya lewatkan. Bahkan, ketika hasrat makan diluar jadwal tiga kali sehari pun muncul atau yang biasa diebut ngemil, tanpa pikir panjang saya pun memanjakan keinginan saya tersebut selama masih tersedia alat tukar di kantong seragam saya. Setelah selesai melakukan aktivitas di sekolah, saya pun pulang ke rumah. Masih dengan sambil memikirkan hak dan kewajiban saya sebagai siswa, saya mandi, makan, berganti baju, mengerjakan tugas, dan bergegas tidur untuk bersiap melanjutkan esok hari. Kegiatan-kegiatan tersebut terus dilakukan berulang-ulang, walaupun pada kenyataanya masa SMA saya tidak benar-benar selurus dan seteratur itu.

Namun demikian, ada sebuah benang merah selam kehidupan SMA saya yang dapat saya ambil, yaitu saya mengawali dan mengakhiri hari tanpa benar-benar memikirkan apakah besok ada baju yang bisa saya pakai untuk ke sekolah, besok saya sarapan apa, dan berapa uang yang harus saya sisihkan hari ini untuk memenuhi kebutuhan saya yang lain. Hal itu disebabkan saya menyadari penuh bahwa selarut apapun saya pulang karena aktivitas sekolah, saya masih memiliki rumah sebagi tempat saya pulang. Tempat dimana terpenuhinya segala kebutuhan saya dan tempat saya bisa memenuhi asupan gizi saya tanpa mengeluarkan biaya.

Kultur kehidupan SMA tersebut tentu saja kontras dengan pilihan menjadi anak kost yang telah saya ambil saat ini. Setelah menjadi anak kost, pertama kali saya membuka mata saat bangun di pagi hari, selain memikirkan tugas kuliah, kuis, dan kegiatan kemahasiswaan yang akan saya jalani hari ini, pikiran saya pun kini memiliki ruangan baru untuk memikirkan beberapa hal vital yang jika tidak dipikirkan akan mengancam keberlangsungan hidup saya. Pikiran saya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan, “Baju yang mau dipakai hari ini sudah disetrika belum ya?”, “Kalau keran kamar mandi tidak mengalir kapan bajunya bisa di cuci?”, “Baju yang kemarin di jemur udah kering belum ya?”, “Hari ini mau sarapan yang murah di mana ya?” , dan “Kamar kapan sempat dirapihkan ya?”. Itu pertanyaan-pertanyaan yang biasanya melintas di kepala saya saat pagi hari. Di kampus, ruang khusus itu pun tidak jarang mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan lagi saat saya merasa hasrat makan di luar jadwal yang seharusnya kembali mucul, “Kalau mau jajan sekarang, uang makan malam masih cukup gak ya?, atau saat melihat alat tulis yang dianggap dapat memancing hasrat belajar menggoda untuk dibeli padahal tidak benar-benar dibutuhkan, “Kalau mau beli binder yang tadi, buat fotokopi buku nanti cukup gak ya?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sejujurnya jarang saya lontarkan semasa SMA.

Apa yang menyebabkan perbedaan tidak adanya pertanyaan ini di masa SMA saya dan munculnya pertanyaan ini saat saya menjadi mahasiswa? Tentu saja ketika memutuskan menjadi anak kost, saya benar-benar sudah memutuskan untuk bertanggung jawab atas  diri saya sendiri secara keseluruhan. Tanggung jawab yang dimaksud tentu saja mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki saya  dan sejak membuka mata di pagi hari sampai menutup mata di malam hari. Jika semasa SMA saya tak pernah benar-benar memikirkan proses tersedianya baju di dalam lemari saya dan proses tersedianya makanan di meja makan, saat ini saya mempraktikkan secara langsung untuk menyediakan kedua hal tersebut. Jika dulu saya tak benar-benar memikirkan uang yang saya keluarkan karena setiap hari saya bertemu dengan ayah yang tak pernah lelah menafkahi anaknya, saat ini dengan jumlah uang tertentu saya dipaksa untuk meregulasi keuangan saya sendiri jika masih mau bertahan hidup sampai akhir bulan. Kalau jika jika lainnya dilanjutkan, terjawab sudah secara gamblang pertanyaan mengapa pilihan menjadi anak kost dapat melatih kemandirian dan kedewasaan.

Mungkin memang terdengar sedikit berlebihan, tapi dengan menjadi anak kost saya belajar untuk memahami hakikat kehidupan dari ruang lingkup yang lebih kecil dan mendasar.  Kalau di luar sana banyak orang yang mendengung-dengungkan tentang kehidupan dengan skala yang lebih besar seperti kehidupan yang makmur, kehidupan yang berkeadilan, kehidupan yang sentosa, kehidupan yang diharapkan bangsa Indonesia, dan kehidupan-kehidupan lainnya, dengan menjadi anak kost saya memahami bahwa kehidupan tidak akan benar-benar dimulai kalau tidak ada sebuah langkah pertama. Sebuah langkah pertama seorang perempuan yang bangun lebih pagi dari siapapun demi memastikan tersedianya pakaian di lemari orang-orang yang disayanginya. Langkah pertama seorang perempuan yang bahkan di pagi hari sudah berpeluh demi memastikan tersedianya makanan di meja makan. Langkah pertama seorang perempuan yang menyingsikan lengan baju di pagi hari demi tidak membiarkan lantai tempat berpijak orang-orang yang dikasihinya tertutup debu.

Bagi seorang mahasiswa seperti saya yang memilih untuk menjadi anak kost, pilihan ini selain menjadi laboratorium parktikum saya untuk menjadi dewasa dan mandiri, juga menjadi pilihan saya untuk memulai langkah pertama saya menjadi perempuan hebat itu. Perempuan yang paling disayang di seluruh dunia dan perempuan yang konon kabarnya ditelapak kakinyalah surga berada. Menjadi seorang perempuan dengan sebutan ibu.

0 komentar: