Setelah mati-matian mencoba menulis serius di Jurnal 1, akhirnya memang harus gw akui gaya gw menulis jurnal 3 memang tidak bisa dilepaskan dengan gaya gw menulis blog :P
Jurnal 2 nya?
Masa-masa disorientasi gw beberapa hari lalu, sempat memaksa gw memiliki toleransi tinggi dengan prokrastinasi (baca : menunda-menunda mengerjakan tugas). Jurnal 2 yang harus gw kumpulkan hari senin jam 1 siang, baru gw kerjakan senin pagi pukul 7. Alhasil?
Tidak seperti dosen lain yang sudah memberikan metode-metode penulisan ilmiah dalam penulisan jurnal, seperti deduktif dan induktif, dosen gw dalam mata kuliah ini memang masih berorientasi untuk membuat mahasiswanya untuk berani menulis dengan tidak memberikan batasan dan ketentuan apapun dalam pengerjaan jurnal. Berpegang teguh pada kebiasaan dosen gw itu, disebabkan oleh proses pemaksaan keluarnya ide yang tidak kunjung berhasil, mencoba menerima bahwa tangan gw yang mau dipaksa kaya apaan juga sedang tidak ingin menari di atas laptop, dengan pikiran licik gw pun membuka arsip blog gw, mencari tulisan gw yang mungkin layak diserahkan kepada dosen, dan hanya dengan perubahan kata "gw" menjadi kata "saya", gw pun mengirimkan tulisan gw dalam hitungan 10 menit sejak pertama kali gw membuka laptop pagi itu.
Pasca ketidakberesan gw mengerjakan Jurnal 2, hari itu gak henti-hentinya gw senyam-senyum sendiri, nyengar-nyengir sendiri. Sebuah kesyukuran mengalir deras, sama derasnya dengan ide yang mengalir waktu gw mengerjakan tugas Mayor Thought Relationship lalu :)
Dan hal itulah yang menjadi alasan mengapa waktu acara Psylovesophy kemarin, saat hari pembagian lolipop, bada Magrib gw mengejar T'Cune di Akademos, memeluknya dengan kegirangan, bilang makasih berkali-kali, dan ngasih lolipop yang kata-kata di kertasnya udah gw modif sendiri.
"Terima kasih karena telah mengajarkan Tuti untuk berani menulis, Tetehku!"
Yap. Terlepas dari tulisan gw yang berkulaitas atau tidak, jauh sebelum gw masuk fakultas ini, fakultas yang menjadikan menulis menjadi bagian dari atmosfirnya, empat tahun yang lalu, 5 Oktober 2008, gw pernah jauh lebih dahulu diajarkan untuk berani menulis.
*Big hug for you, Teh! :*
Dan kali ini, jurnal 3 gw dibuat untuk :
Perempuan yang saat gw pulang ke Bogor kemarin, di saat gw terkapar tanpa pergerakan di kasur, diam-diam menyikat sepatu gw yang penuh dengan tanah menjadi bersih seperti sedia kala, yang baru gw sadari di kereta saat perjalanan kembali ke Depok.
***
Memilih Menjadi Anak Kost
Sebagai
lembaga dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, perguruan tinggi tentu
saja memiliki perbedaan yang cukup mencolok jika dibandingkan dengan sekolah
menengah atas (SMA). Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses
belajar, kurikulum, keheterogenan peserta ajar di dalamnya, sampai orientasi
kegiatan nonakademisnya. Seluruh perbedaan tersebut jika mau ditilik lebih jauh
hanya menuntut dua hal dari seorang mahasiswa yang tidak begitu dirasakan oleh
seorang siswa SMA, yaitu kemandirian dan kedewasaan. Selain perbedaan-perbedaan
yang telah disebutkan di atas, ada pula sebuah fenomena yang cukup mencerminkan
tuntutan kedewasaan dan kemandirian seorang mahasiswa yang tidak dituntut lebih
dari seorang siswa SMA. Hal tersebut adalah fenomena mahasiswa yang harus
tinggal jauh dari orang tuanya selama menempuh pendidikan di perguruan
tinggi atau yang akrab disebut sebagai
anak kost.
Banyak
faktor yang menjadi alasan mengapa seseorang memutuskan menjadi anak kost
ketika sudah menjadi mahasiswa. Beberapa diantaranya adalah karena jarak rumah
dan kampus yang tidak dapat ditempuh dalam waktu satu hari, kebutuhan
keberadaan diri yang tinggi di kampus akibat kegiatan dan tugas kampus yang
padat sehingga mengharuskan seorang mahasiswa untuk bertempat tinggal di
sekitar kampus, sampai hanya karena mengamini beberapa anggapan bahwa kalau
tidak kost bukan mahasiswa namanya. Walaupun ada beberapa mahasiswa yang
memungkinkan untuk melakukan perjalanan pulang pergi dalam waktu satu hari dari
rumah menuju kampus dan sebaliknya, banyak diantara mereka yang tetap memtuskan
untuk menjadi anak kost karena berbagai alasan. Salah satu dari berbagai alasan
tersebut adalah ingin melatih kemandirian dan kedewasaan ketika harus tinggal
jauh dari orang tua.
Contoh sederhana dari kasus ini adalah saya
sendiri. Saya yang berdomisili di Bogor
dan tengah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia Depok sesungguhnya
masih memungkinkan melakukan perjalanan pulang pergi Bogor-Depok dengan
menggunakan kereta. Akan tetapi, karena berbagai alasan yang salah satunya
telah dikemukakan di atas, saya lebih memilih untuk menjadi anak kost.
Mengapa
fenomena menjadi anak kost mampu melatih kemandirian dan kedewasaan? Pertanyaan
ini tentu saja akan sangat mudah dijawab oleh mahasiswa yang sudah merasakan asam
garamnya menjadi anak kost.. Untuk lebih mudah menjawab pertanyaan ini, mari
kita bandingkan aktivitas yang pernah saya lakukan sebagai siswa SMA dengan
aktivitas tiga bulan pertama saya sebagai seorang mahasiswi.
Ketika
saya masih menjadi siswa SMA, saat pertama kali saya membuka mata dari tidur
saya, hal yang saya pikirkan adalah kewajiban dan hak pribadi saya sebagai
seorang siswa. Entah memikirkan tugas akademis maupun nonakademis entah
memikirkan waktu berkumpul bersama teman-teman. Sambil memikirkan hal tersebut,
saya segera mandi, mengenakan baju yang sudah tersedia di lemari, bersiap diri,
dan langsung sarapan dengan makan makanan yang sudah terhidang di atas meja
yang bahkan terkadang tidak saya sentuh karena terburu-buru berangkat ke
sekolah. Sampai di sekolah, seluruh kegiatan pun saya lakukan seperti biasa
(walaupun biasa yang saya masuk tidak
sesederhana itu). Belajar di kelas, berorganisasi, berkumpul bersama
teman-teman merupakan bagian dari kehidupan saya di masa SMA. Di sela-sela
kegiatan tersebut, makan sebagai kebutuhan primer seorang manusia pun tak saya
lewatkan. Bahkan, ketika hasrat makan diluar jadwal tiga kali sehari pun muncul
atau yang biasa diebut ngemil, tanpa
pikir panjang saya pun memanjakan keinginan saya tersebut selama masih tersedia
alat tukar di kantong seragam saya. Setelah selesai melakukan aktivitas di
sekolah, saya pun pulang ke rumah. Masih dengan sambil memikirkan hak dan
kewajiban saya sebagai siswa, saya mandi, makan, berganti baju, mengerjakan
tugas, dan bergegas tidur untuk bersiap melanjutkan esok hari.
Kegiatan-kegiatan tersebut terus dilakukan berulang-ulang, walaupun pada
kenyataanya masa SMA saya tidak benar-benar selurus dan seteratur itu.
Namun demikian, ada sebuah benang merah selam
kehidupan SMA saya yang dapat saya ambil, yaitu saya mengawali dan mengakhiri
hari tanpa benar-benar memikirkan apakah besok ada baju yang bisa saya pakai
untuk ke sekolah, besok saya sarapan apa, dan berapa uang yang harus saya sisihkan
hari ini untuk memenuhi kebutuhan saya yang lain. Hal itu disebabkan saya
menyadari penuh bahwa selarut apapun saya pulang karena aktivitas sekolah, saya
masih memiliki rumah sebagi tempat saya pulang. Tempat dimana terpenuhinya
segala kebutuhan saya dan tempat saya bisa memenuhi asupan gizi saya tanpa
mengeluarkan biaya.
Kultur
kehidupan SMA tersebut tentu saja kontras dengan pilihan menjadi anak kost yang
telah saya ambil saat ini. Setelah menjadi anak kost, pertama kali saya membuka
mata saat bangun di pagi hari, selain memikirkan tugas kuliah, kuis, dan
kegiatan kemahasiswaan yang akan saya jalani hari ini, pikiran saya pun kini
memiliki ruangan baru untuk memikirkan beberapa hal vital yang jika tidak
dipikirkan akan mengancam keberlangsungan hidup saya. Pikiran saya dipenuhi
oleh pertanyaan-pertanyaan, “Baju yang mau dipakai hari ini sudah disetrika
belum ya?”, “Kalau keran kamar mandi tidak mengalir kapan bajunya bisa di
cuci?”, “Baju yang kemarin di jemur udah kering belum ya?”, “Hari ini mau sarapan
yang murah di mana ya?” , dan “Kamar kapan sempat dirapihkan ya?”. Itu
pertanyaan-pertanyaan yang biasanya melintas di kepala saya saat pagi hari. Di
kampus, ruang khusus itu pun tidak jarang mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan
lagi saat saya merasa hasrat makan di luar jadwal yang seharusnya kembali
mucul, “Kalau mau jajan sekarang, uang makan malam masih cukup gak ya?, atau
saat melihat alat tulis yang dianggap dapat memancing hasrat belajar menggoda
untuk dibeli padahal tidak benar-benar dibutuhkan, “Kalau mau beli binder yang
tadi, buat fotokopi buku nanti cukup gak ya?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya
yang sejujurnya jarang saya lontarkan semasa SMA.
Apa
yang menyebabkan perbedaan tidak adanya pertanyaan ini di masa SMA saya dan
munculnya pertanyaan ini saat saya menjadi mahasiswa? Tentu saja ketika
memutuskan menjadi anak kost, saya benar-benar sudah memutuskan untuk
bertanggung jawab atas diri saya sendiri
secara keseluruhan. Tanggung jawab yang dimaksud tentu saja mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki saya dan sejak
membuka mata di pagi hari sampai menutup mata di malam hari. Jika semasa SMA
saya tak pernah benar-benar memikirkan proses tersedianya baju di dalam lemari
saya dan proses tersedianya makanan di meja makan, saat ini saya mempraktikkan
secara langsung untuk menyediakan kedua hal tersebut. Jika dulu saya tak
benar-benar memikirkan uang yang saya keluarkan karena setiap hari saya bertemu
dengan ayah yang tak pernah lelah menafkahi anaknya, saat ini dengan jumlah
uang tertentu saya dipaksa untuk meregulasi keuangan saya sendiri jika masih
mau bertahan hidup sampai akhir bulan. Kalau jika jika lainnya dilanjutkan, terjawab sudah secara gamblang
pertanyaan mengapa pilihan menjadi anak kost dapat melatih kemandirian dan
kedewasaan.
Mungkin
memang terdengar sedikit berlebihan, tapi dengan menjadi anak kost saya belajar
untuk memahami hakikat kehidupan dari ruang lingkup yang lebih kecil dan
mendasar. Kalau di luar sana banyak
orang yang mendengung-dengungkan tentang
kehidupan dengan skala yang lebih besar seperti kehidupan yang makmur,
kehidupan yang berkeadilan, kehidupan yang sentosa, kehidupan yang diharapkan
bangsa Indonesia, dan kehidupan-kehidupan lainnya, dengan menjadi anak kost
saya memahami bahwa kehidupan tidak akan benar-benar dimulai kalau tidak ada
sebuah langkah pertama. Sebuah langkah pertama seorang perempuan yang bangun
lebih pagi dari siapapun demi memastikan tersedianya pakaian di lemari
orang-orang yang disayanginya. Langkah pertama seorang perempuan yang bahkan di
pagi hari sudah berpeluh demi memastikan tersedianya makanan di meja makan.
Langkah pertama seorang perempuan yang menyingsikan lengan baju di pagi hari
demi tidak membiarkan lantai tempat berpijak orang-orang yang dikasihinya
tertutup debu.
Bagi
seorang mahasiswa seperti saya yang memilih untuk menjadi anak kost, pilihan
ini selain menjadi laboratorium parktikum saya untuk menjadi dewasa dan mandiri,
juga menjadi pilihan saya untuk memulai langkah pertama saya menjadi perempuan
hebat itu. Perempuan yang paling disayang di seluruh dunia dan perempuan yang
konon kabarnya ditelapak kakinyalah surga berada. Menjadi seorang perempuan dengan sebutan ibu.
0 komentar:
Posting Komentar