Hari sudah mulai gelap. Kurang lebih 2 setengah jam kami berjalan. Sawah, hutan, tanjakan, turunan adalah medan yang kami lewati. Di tengah hujan yang pelan pelan menderas, dibalut setelan jas hujan
berwarna ungu, gw membungkukan badan. Gw menggendong carrier di pundak, sambil menggendong sebuah ransel di bagian depan, juga menyelempangkan sebuah
tas kecil. Gw sempurna dalam posisi rukuk. Mengambil nafas. Dibandingkan duduk, posisi ini dapat
membantu kita untuk beristirahat sejenak saat kelelahan berjalan. Melancarkan
peredaran darah tanpa harus kehilangan panas tubuh yang akan membuat lebih
lelah. Gandewa mengajarkan ini kepada gw.
Setelah dianggap cukup, gw menarik tali carrier. Mengencangkannya agar carrier dan pundak gw tak berjarak. Gw kembali berjalan sambil sesekali melihat ke belakang. Uty, Kak Seto, Mushab, dan Kak Nuel bergantian menjijing koper milik Uty yang ukurannya cukup besar. Tentu saja, di medan seperti ini koper tidak bisa ditarik. Bisa bisa tenggelam di dalam lumpur. Koper itu harus dijinjing. Besok besok akan gw bilang kepada Uty, " Ty, udah dibilang jangan bawa butik ke sini. Repot kan"
Gw berniat untuk menawarkan bantuan. Tapi niat itu gw tepis saat gw ingat kondisi gw sekarang. Ini carrier terberat yang pernah gw bawa. Redo (nama carrier gw) berukuran 65 liter. Itu belum termasuk ruang ekstensinya. Biasanya, ruang ekstensi itu tidak pernah dipakai. Bahkan saat gw mendaki ke Semeru sekalipun yang merupakan perjalanan terpanjang gw. Kali ini, muatan barang yang gw bawa begitu banyak. Ruang ekstensi itu terpakai seluruhnya. Belum ditambah dengan ransel dan dalam kondisi kehujanan. Untuk pertama kalinya muka gw sampai merah saat membawa carrier. Gw kepayahan. Baiklah, jangan sok tahu mau bantu orang lain, Tut. Bantu diri lw sendiri.
Tepat di samping tempat gw membungkukan badan tadi, gw tidak menyadari adanya sebuah tiang listrik yang ambruk.
***
Hari kedua di Desa Cipeuti. Hari pertama mengajar. Hari
pertama tanpa kemewahan. Tanpa penerangan.
Jumat, 11 Januari 2013
Saat gw berniat menuliskan tulisan ini, di depan gw, dua
adik angkat gw sedang menggambar cita-citanya. Murti yang tertua.
Gambarnya sebuah toko baju dan sepatu yang berada di pinggir jalan raya. Yap.
Murti bilang ia ingin menjadi pengusaha toko. Sedangkan Sada, si adik laki-laki
menggambar lapangan sepakbola lengkap dengan gawangnya. Ia ingin menjadi
pemain sepakbola (Yang kemudian berubah menjadi dokter). Cita-cita yang biasa kita dengar bukan?
Yang tidak biasa, mereka bersemangat menggambar hanya dengan satu lilin untuk
penerangan. Tiang listrik desa yang ambruk karena hujan besar, menyebabkan
sudah empat hari empat malam tidak ada listrik di desa ini.
Mereka bersekolah di SDN Kertaraharja 1. Tempat gw mengajar
dalam Gerakan UI Mengajar. Hari ini hari pertama gw mengajar. Sebelumnya, gw
mendengar bahwa ada warga yang hampir menangis saat melihat kedatangan kami
dalam kondisi hujan lebat, berjalan kaki dari desa sebelumnya, dengan membawa
bawaan yang luar biasa berat, dan harus melewati kondisi jalan yang… di
kemudian hari membuat gw serasa terbang saat berada di atas aspal.
Sayangnya, warga tidak tahu bahwa bukan hanya mereka yang
hampir menangis. Gw, pengajar kelas 5 SDN Kertaraharja 1 juga hampir menangis
melihat sambutan dan antusiasme anak-anak di sini. Mereka saling berebut
mencium tangan kami sambil mengucapkan salam kepada kami yang mereka ketahui
akan menjadi guru barunya.
Belum banyak yang bisa gw tumpahkan di tulisan ini. Tapi
yang perlu kawan ketahui, kata siapa anak Indonesia pemalas? Di sini,
kami menemukan banyak anak yang tetap menerjang hujan dan lumpur, tiba di
sekolah satu jam sebelum mereka masuk, walaupun mereka tahu terkadang harus
pulang kembali karena guru mereka tidak akan datang karena hambatan geografis.
SDN Kertaraharja 1
0 komentar:
Posting Komentar