Kamis, 14 Februari 2013

Hasan Menangis

Rabu, 16 Januari 2013
Di kelas. Mata pelajaran SBK (Seni, Budaya, dan Keterampilan).
Gw : Hasan kunaon? Hasan geuring? – Hasan kenapa? Hasan sakit? 
Hasan : (diam) 
Gw : Hasan tos dahar? Bebeja ka ibu Hasan teh kunaon? – Hasan sudah makan? Coba bilang ke Ibu Hasan kenapa?
Hasan : (diam)
Di saat teman-temannya yang lain ramai menggambar dan mewarnai tokoh-tokoh yang mereka perankan untuk drama penjajahan Belanda di Indonesia, Hasan hanya diam dengan spidol coklat di tangan dan kertas HVS kosongnya. Memerhatikan gw yang sedang sibuk meyakinkan bahwa gambar mereka tidak ada yang jelek. Mata gw dan Hasan beradu pandang. Menyadari gw memerhatikannya, Hasan menunduk. Gw menghampirinya. Hasan menampilkan gelagat tidak nyaman. Tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum ketika gw hampiri, kali ini Hasan enggan melihat gw. Setiap gw mengajukan pertanyaan ia semakin menunduk. Sampai akhirnya pipi kanannya tepat menempel di atas meja. Satu. Dua. Tiba-tiba air matanya menetes. Hasan menangis.

Seingat gw, Hasan mulai menunjukkan gelagat tidak nyaman saat mulai menggambar. Sebelum menggambar, gw menghapus countdown kepulangan saya ke Depok dari H-17 menjadi H-16.
Kadiman : Bu, sebulan lagi we, Bu. 
Gw : (tersenyum) Kalau bisa juga Ibu mau nya gitu. Tapi Ibu harus pulang. Gak papa ya?
Susan : Naonna nu gak papa, Bu?! – Apanya yang gak papa, Bu?!  (nada tinggi)
Nada tinggi Susan diikuti oleh kondisi kelas yang mendadak hening. Ritual penghapusan countdown ini selalu menjadi hal yang tidak mudah untuk siswa kelas 5 SD yang sudah mengerti definisi pergi dan pulang.

Alhamdulilahnya, keceriaan mereka menggambar tokoh-tokoh yang akan mereka perankan setelahnya mengaburkan kondisi hening yang selalu menghinggapi ritual penghapusan countdown.

Tapi tidak dengan Hasan. Kondisi Hasan yang menangis langsung mengembalikan ingatan gw pada penghapusan countdown itu.

Apa Hasan menangis karena countdown H-16?

Melihat Hasan yang selalu mengantar gw ke rumah anak-anak. Hasan yang selalu berangkat bersama gw. Hasan yang selalu membantu gw membawa map. Hasan yang diam tetapi selalu tersenyum.  Melihatnya tiba-tiba menangis… dan mungkin karena penghapusan countdown?

Hasan

Tiba-tiba gw sesak. Ikut menangis. Buru-buru mendongakkan kepala ke atas kalau-kalau tangisan gwlebih deras dari Hasan. Gw yang awalnya berada di hadapan Hasan, segera duduk di sebelah Hasan sambil merangkul dan mengusap kepalanya.

Hasan masih menangis dalam diam. Hasan masih tidak mau bicara.

Ya Allah… ini masih H-16. Apa kabar 2 Februari?

Sampai akhirnya, terpikirkan sebuah pertanyaan yang mendadak membuat rasa sesak gw berhenti dalam sekejap.
Gw : Hasan dilanjutkeun yuk gambar Sultan Hasanudin na? – Hasan dilanjutkan yuk gambar Sultan Hasanudinnya? 
Hasan : (menggelengkan kepala) 
Gw : Kunaon Hasan teu hayang ngagambar? – Kenapa hasan gak mau menggambar? 
Hasan : (bisik-bisik) Teu bisa ngegambar Sultan Hasanudin. – Gak bisa menggambar Sultan Hasanudin.
 
Air mata gw dalam sekejap kering.
Gw : Hasan teu tiasa gambar Sultan Hasanudin? Hasan rek ngagambar naon atuh? – Hasan gak bisa gambar Sultan Hasanudin? Hasan mau menggambar apa? 
Hasan : (bisik-bisik) Soekarno, Bu 
Gw : Sok mangga atuh Hasan ayeuna ngagambar Soekarno waenya. – Hasan sekarang menggambar Soekarno aja yaa.
Lalu kemudian, Hasan mulai menggambar dan kembali ceria.

0 komentar: