Minggu, 11
Desember 2011
Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB. Belum ada yang bangun.
Semua caang masih bergumul di dalam sleeping bagnya masing-masing. Padahal pagi
itu indah. Memang bukan sunrise, tapi linearina yang menembus celah-celah
pepohonan hutan dan menembus celah-celah bivak cukup indah untuk dilihat.
Menghangatkan. Saya yang sudah bangun terlebih dahulu tidak segera beranjak
dari bivak. Saya pun memandangi teman-teman caang saya yang lain yang masih
terlelap tidur. Matahari pelan-pelan meninggi, semakin hangat. Sama hangatnya
ketika saya tahu bahwa saya berada di tengah orang-orang yang berhasil
menghangatkan hati saya beberapa bulan ke belakang.
Pukul 05.30 WIB caang pun mulai terbangun. Beberapa caang
bergegas sholat dan menyiapkan makan untuk sarapan. Setelah sarapan, packing,
dan membongkar tenda, kami bergegas untuk mengikuti kegiatan selanjutnya.
Kegiatan selanjutnya adalah materi dan praktek PPGD dan dilanjutkan dengan
materi serta praktek pembuatan api dan perapian.
Pada praktek PPGD, kami diajarkan cara membebat luka dengan
menggunakan mitela, penanganan bagi orang-orang yang menderita patah tulang,
dan cara membuat tandu. Setelahnya,
masing-masing kelompok diberikan studi kasus tentang sebuah kondisi kecelakaan
yang harus ditangani. Setiap kelompok diminta satu orang bertindak sebagai
korban, sedangkan anggota lainnya yang menanganinya. Pada kelompok 3, Izzat
bertindak sebagai korban, saya yang menangani luka Izzat, sedangkan Amel dan
Kautsar membuat tandu. Kendala pun dihadapi saat proses pembuatan tandu. Dan
ketika di coba untuk dilakukan pengangkatan korban dengan menggunakan tandu
yang dibuat, tandu tersebut pun patah. Hal ini pun terjadi pada kelompok lain.
Ternyata, masalah utamanya terletak pada proses pemilihan kayu. Kayu yang kami
pilih ternyata kayu yang tampak luarnya terlihat kuat, padahal tidak memiliki
kambium. Hal tersebut pun menjadi bahan pembelajaran untuk kami tentang
bagaimana memilih kayu yang baik untuk digunakan sebagai tandu.
Sementara pada praktek pembuatan api dan perapian, kami
diajarkan untuk membuat sumber api dengan menggunakan sedikit bahan bakar
tetapi bisa bertahan lama. Kami diajarkan kayu-kayu seperti apa yang bisa
dimanfaatkan sebagai bara api dan bagaimana bentuk-bentuk perapian yang lazim
digunakan. Setelahnya, kami diintruksikan untuk langsung mempraktekannya. Jika
pada materi mencari makanan survival semua bahan makanan yang kami bawa disita
oleh pengurus, pada materi kali ini bahan bakar yang kami bawalah (baca :
parafin) yang disita oleh pengurus. Kami hanya dibekali empat kotak kecil
parafin (baca : dalam arti kata sebenar-benarnya kecil) sebagai modal untuk
membuat perapian guna memasak makan siang kami.
Pada praktek kali ini, Nadya lah yang berjasa besar dalam
proses pembuatan perapian. Dengan semangat dan kekuatan meniupnya yang luar
biasa, api buatan kami pun berhasil terjaga sampai proses memasak selesai.
Setelah selesai memasak, kami segera melakukan packing
dan bersiap untuk turun gunung. Sama seperti waktu mendaki, kami pun turun
sesuai dengan kelompok masing-masing. Bersama kelompok 3, saya pun menuruni
Gunung Pangrango dengan jalur yang agak sedikit berbeda dengan jalur saat
mendaki. Pada perjalanan pulang ini Amel dan Izzat memilih berjalan di depan,
Kautsar ketahuan menggunakan baju lapis tiga yang dapat mengancam dirinya
terkena dehidrasi, sedangkan saya berkali-kali terjatuh dan terpeleset karena
kehilangan fokus selama perjalanan pulang.
Sampai di bawah, kami singgah di sebuah tempat peristirahatan
tidak jauh dari gerbang Taman Nasional Gede Pangrango. Di sana kami memesan
makanan, minuman, bebersih diri, dan sholat zuhur. Tak lama, kami pamit kepada
pengurus Gandewa untuk melanjutkan perjalanan pulang kami menuju Depok.
Sama seperti perjalanan berangkat, kami menaiki angkot
berwarna kuning untuk menuju pertigaan Cibodas. Masih dengan sistem yang sama,
kami hanya menaiki satu angkot dengan carrier-carrier
kami diletakan di atas angkot tanpa pengamanan. Bedanya, terdapat insiden kecil
disini. Di tengah perjalanan, salah satu carrier
ada yang terjatuh. Beruntung semua caang menyadari hal tersebut. Akhirnya carrier tersebut pun diamankan masuk ke
dalam angkot.
Awalnya, sampai di pertigaan Cibodas, kami ingin mencoba
menggunakan bis sebagai alat transportasi pulang. Akan tetapi, karena berbagai
pertimbangan, kami pun memutuskan untuk men-charter
angkot sampai stasiun Bogor yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan Commuter Line sampai kembali ke Fakultas
Psikologi UI.
Kelelahan selama diklat tiga hari lalu, tidak serta merta
membuat kami tertidur selama perjalanan. Sepanjang jalan dari angkot kuning
sampai Commuter Line, kami terlibat
pembicaraan yang cukup seru. Semua bermula dengan menjadikan Bimo sebagai objek
penderita. Secara tidak sadar, di saat yang bersamaan kami membahas seluruh
kejadian yang terjadi selama diklat 1 dan diklat 2. Kami pun mendadak membicarakan dan merindukan
rekan-rekan caang 5 kami yang lain yang tidak bisa mengikuti diklat 3 kali ini.
Bahkan, saat perjalanan di Commuter Line,
tiba-tiba Nadya mengeluarkan sebuah pernyataan yang sempat membuat saya merasa
tertegun sejenak.
Nadya
: Bete nih gw. Gak ikut diklat 2 kayak kehilangan sepertiga kehidupan
bareng-bareng kalian.
Andai ada fitur likes atau retweet di kalimat Nadya.
Diklat Manajemen Perjalanan, Diklat Navigasi Darat, dan
Diklat Jungle Survival dan PPGD
masing-masing memang memiliki sepertiga kehidupan masing-masing bagi caang 5
Gandewa. Sepertiga kehidupan dengan ilmu yang dikandungnya masing-masing.
Sepertiga kehidupan dengan ceritanya masing-masing. Dan sepertiga kehidupan dengan
bekas dan pemaknaan masing-masing bagi tiap-tiap caang 5 Gandewa.
Entah kehidupan seperti apa yang akan terjadi di
pelantikan mendatang dan kehidupan setelah pelantikan bagi caang 5 Gandewa.
Apapun itu, semoga disini, selain menemukan apa yang kami cari melalui motivasi
sederhana kami, kami pun benar-benar berhasil menemukan hakikat penciptaan
kami.
0 komentar:
Posting Komentar