Tulisan ini ditulis dalam rangka pemenuhan tugas pasca Diklat Jungle Survival dan PPGD beberapa minggu yang lalu. Prokras parah mengingat diklatnya sudah selesai berminggu-minggu yang lalu dan baru dikerjakan H-1 sebelum pengumpulan, yaitu hari ini, heuheu -_-
Selamat membaca, semoga bermanfaat! :D
***
Setelah menjalani dua diklat sebelumnya, yaitu Diklat
Manajemen Perjalanan dan Diklat Navigasi Darat, tanggal 9-11 Desember 2011 lalu
Caang 5 Gandewa menjalani Diklat Jungle Survival dan Pertolongan Pertama Gawat
Darurat (PPGD). Tidak jauh berbeda dengan diklat-diklat sebelumnya, diklat
pamungkas yang dilaksanakan di Geger Bentang, Taman Nasional Gede Pangrango
(TNGP), Cibodas, Jawa Barat ini pun didahului dengan beberapa rangkaian
kegiatan yang lazim disebut dengan prakegiatan. Prakegiatan terdiri dari
penyusunan manajemen perjalanan, konsolidasi kelompok dan angkatan, peminjaman
alat, latihan fisik, dan packing.
Dalam praktek lapangan diklat 3 ini, caang 5 Gandewa
dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 1 diketuai oleh Rima dengan
beranggotakan Bimo dan Danti. Kelompok 2 diketuai oleh Nadya dengan
beranggotakan Hari, Kamalia, dan Nadilah. Kelompok terakhir, yaitu kelompok 3,
diketuai Izzat dengan beranggotakan Kautsar, Amelya, dan Tuti (saya sendiri).
Selama perjalanan, setiap kelompok didampingi oleh satu orang mentor yang
merupakan pengurus Gandewa. Tiga mentor tersebut terdiri dari Kak Adi, Kak
Ismi, dan Kak Dhana –yang kemudian diganti oleh Kak Dina karena satu dan lain
hal berhalangan hadir-
Berikut ini merupakan jurnal perjalanan diklat Jungle
Survival dan Pertolongan Pertama Gawat Darurat (PPGD). Jurnal tentang diklat
terakhir sebelum menghadapi pelantikan bulan Janurai 2012 mendatang. Jurnal tentang
sepertiga kehidupan di Geger Bentang.
Jumat, 9
Desember 2011
Seluruh caang 5 berkumpul di selasar Gedung D pukul 18.35
untuk melakukan briefing. Dalam berkegiatan alam, bersama evaluasi, briefing
menjadi kegiatan yang memiliki urgensi tinggi untuk dilakukan. Briefing
dipimpin oleh Kak Dina dari pihak pengurus dan oleh Kautsar yang sata itu
dipercaya sebagai pemimpin perjalanan dari pihak caang. Briefing awal kali ini
dilakukan untuk menjelaskan kembali rute perjalanan yang akan ditempuh untuk
mencapai Geger Bentang. Rute perjalanan dijelaskan oleh Danti yang saat itu
dipercaya sebagai penanggung jawab transportasi. Adapun rute yang akan kami
gunakan :
1.
Jalan kaki menuju Jalan Raya Margonda, Depok
2.
Naik angkot nomor 19 menuju Terminal Kampung
Rambutan
3.
Turun di Terminal Kampung Rambutan
4.
Naik bus ke arah Bandung via Puncak
5.
Turun di pertigaan Cibodas
6.
Naik Angkot warna kuning menuju Sekretariat
Montana
7.
Jalan kaki menuju Geger Bentang
Briefing selesai pukul 18.45 WIB. Setelah briefing
selesai, kami berjalan beriringan menuju
Jalan Raya Margonda. Selama perjalanan, cuaca sedikit kurang bersahabat karena
perlahan rintik hujan turun. Sampai di Margonda, kami menunggu angkot dengan
nomor 19. Malam itu lalu lintas Jalan Raya Margonda cukup padat. Begitu pula
yang menggunakan jasa angkutan kota.
Cukup lama kami tidak menemukan angkot yang mampu memuat kami –bersama
carrier-carrier kami yang tidak kecil- semua secara bersamaan. Pada akhirnya,
pukul 19.05 kami memutuskan untuk membagi diri menjadi dua angkot. Kelompok 1
di angkot pertama, dan kelompok 2 serta 3 di angkot kedua yang lebih kosong.
Lalu lintas menuju Terminal Kampung Rambutan masih sangat
padat ketika kami menuju ke sana. Entah apa yang dibicarakan di angkot tetangga
(baca : angkot kelompok 1), tapi di angkot kedua yang terdiri dari kelompok 2
dan kelompok 3, kami membicarakan tentang mimpi-mimpi kami. Mimpi untuk
mengadakan perjalanan bersama saat liburan semester mendatang. Perjalanan yang
dimulai dari Depok, menuju Bogor, sampai akhirnya tiba di Bandung. Selain itu,
ada juga yang bercerita tentang hiruk pikuk pemilihan Ketua BEM UI yang tengah
diselenggarakan saat itu.
Akhirnya kami tiba
di Terminal Kampung Rambutan. Saat tiba di terminal, terdapat sedikit kendala.
Kelompok 1 tiba lebih dahulu menunggu di
tempat yang pernah menjadi lokasi pemberhentian angkot saat diklat sebelumnya
(baca : Diklat Navigasi Darat). Letak tempat tersebut berada di dalam terminal
dan tidak jauh dari tempat bis yang akan digunakan. Saat kelompok 1 sudah tiba
di tempat yang dimaksud, di sisi lain angkot kedua tidak bisa masuk ke dalam
terminal. Selain karena raut wajah abang angkot yang terlihat enggan
berlelah-lelah masuk ke dalam terminal, lalu lintas yang cukup padat malam itu
akhirnya membuat anggota kelompok 2 dan kelompok 3 diturunkan beberapa meter
lebih jauh dari pintu gerbang Terminal Kampung Rambutan.
Setelah terjadi sedikit insiden kecil, Amel yang
handphonenya tertinggal di angkot dan nyaris dibawa pergi oleh angkot kalau
Kautsar tidak menemukannya, kami segera beriringan masuk ke dalam Terminal
Kampung Rambutan menuju tempat yang dimaksud. Sayangnya, di antara kelompok 2
dan kelompok 3 yang sebelumnya mengikuti diklat navigasi darat, tidak ada yang
benar-benar ingat dimana lokasi pemberhentian angkot pada diklat dua yang lalu.
Sambil berusaha mengingat-ingat tanda-tanda tempat pemberhentian, kami
meneruskan langkah masuk ke dalam Terminal Kampung Rambutan. Sampai akhirnya
kami benar-benar merasa salah jalan (baca : kesasar), saya dan Kak Ismi
memutuskan menghubungi salah satu anggota yang ada di kelompok 1.
Walaupun sudah dihubungi secara langsung via telepon,
bukan hal yang mudah untuk langsung lepas dari status kesasar karena saya yang
diberi petunjuk dimana keberadaan kelompok 1 pun tidak begitu hafal dengan
medan Terminal Kampung Rambutan. Pada akhirnya, kelompok 1 pun tidak berdiam
diri. Kelompok satu pun ikut bergerak dan mencari kami. Setelah beberapa lama
saling mencari dan memberikan petunjuk, kelompok satu melihat keberadaan kami
yang tepat berada di seberang mereka.
Setelah berkumpul bersama lagi, kami berurusan dengan
kenek bis yang mengantarkan kami menuju bis yang akan kami gunakan. Saat itu,
seperti biasa, terjadi tawar menawar yang cukup alot dalam mencari kesepakatan
harga. Masih seperti biasa pula, kondisi ini pun dikendalikan dengan baik oleh
Nadilah yang menurut kami keahliannya dalam kegiatan tawar menawar harga paling
mumpuni diantara caang-caang lainnya.
Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB. Setelah memperoleh
kesepakatan, kami menuju bis yang akan kami gunakan. Ada yang berbeda dengan
bis kali ini jika dibandingkan dengan bis sebelumnya yang kami gunakan. Jika bis
pada diklat sebelumnya merupakan bis jurusan Bandung via puncak dan sudah dalam
keadaan terisi penumpang yang sudah mau berangkat, kali ini sebaliknya. Bis
yang kami naiki merupakan bis jurusan Tasikmalaya. Perbedaan jurusan tidak
begitu menjadi masalah mengingat dua-duanya sama-sama via puncak dan melalui
pertigaan Cibodas. Masalahnya terdapat pada penumpangnya. Dalam bis kali ini,
kami lah yang menjadi penumpang pertama. Bis masih begitu kosong. Seperti yang
kita ketahui bersama, bis baru akan berangkat ketika penumpang di dalamnya
sudah cukup banyak. Pada akhirnya, kondisi bis yang kosong inilah yang
meyebabkan kami harus mau menunggu sedikit lebih lama sebelum sebelum pada
akhirnya bis ini benar-benar berangkat.
Kami pun memanfaatkan waktu kosong itu dengan berbagai
kegiatan. Beberapa diantara caang ada yang memutuskan untuk memakan bekal yang
dibelinya dari kampus. Sebenarnya tidak terlalu tepat jika dikatakan dibeli
sendiri olehnya. Bekal tersebut sebenarnya dibelikan oleh sesorang. Namanya
Hanifah atau yang belakangan dikenal dengan panggilan Nipeh. Hanifah merupakan
caang 5 Gandewa yang berhalangan ikut diklat 3 kali ini karena harus menghadiri
pernikahan kakaknya. Walaupun begitu, sebelum briefing, di saat caang 5 cukup riweuh untuk mempersiapkan banyak hal,
Hanifah berbaik hati untuk membantu kami. Mulai dari meminjamkan
barang-barangnya, membantu packing,
termasuk membelikan nasi goreng sebagai bekal yang di makan beberapa caang saat
di bis.
Sambil makan, kami pun berkenalan dengan Kak Ismi. Itu
kali pertama caang 5 Gandewa berkenalan dengan Kak Ismi yang merupakan pengurus
Gandewa angkatan 2009. Kak Ismi menanyakan satu per satu nama kami
masing-masing dan alasan kami mengikuti Gandewa. Seluruh alasan pun
dikemukakan. Mulai dari yang sebenar-benarnya alasan sampai yang sifatnya
bercanda. Ada yang awalnya hanya ingin menemani teman yang berkeinginan untuk
ikut Gandewa yang pada akhirnya temannya sendiri yang memutuskan mundur, ada
yang beralasan sebagai bentuk pelampiasan cita-cita yang tidak kesampean ketika
di SMA, ada yang ingin melanjutkan hobinya di masa SMA, sampai ada pula yang
ingin mencari jodoh.
Waktu menunjukkan pukul
21.00 WIB. Bis masih dalam keadaan lengang walaupun pada akhirnya supir
bis memutuskan untuk segera berangkat. Kami duduk di bagian belakang bis. Kali
ini, obrolan sudah tidak terintegrasi. Obrolan sudah terbagi menjadi beberapa
topik dan terjadi diantara orang-orang yang duduknya saling berdekatan. Dari
bangku paling atas, posisi duduk dari kiri ke kanan adalah Bimo, Izzat, Kamal,
Nadila, dan Nadya. Sedangkan bangku dibawahnya dari kiri ke kanan terdiri dari
Danti, Rima, Amel, Hari, Kautsar, dan Tuti. Adapun Kak Ismi dan Kak Adi berada
di bangku di depan kami.
Bimo, Izzat, Rima dan beberapa orang di dekatnya
membicarakan tentang CDH (baca : cinta dalam hati). Terdengar begitu seru
ketika masing-masing orang mengungkapkan argumen dan pengalaman pribadinya
masing-masing. Nadya dan Nadila seperti tengah membicarakan masa-masa SMA nya.
Entah tentang apa, tapi terdengar begitu menarik sampai-sampai mereka
membicarakannya hingga larut malam. Sedangkan Saya, Kautsar, dan Hari, entah
dari mana asalnya, kami membicarakan masa depan. Tentang mau jadi apa kami
setelah ini. Tentang asa untuk membangun negeri atau keinginan untuk dihargai
di luar negeri. Sampai tentang pertanyaan apakah berkegiatan alam baik untuk
kesehatan, khususnya tulang belakang, mengingat carrier memiliki bobot yang tidak ringan.
Obrolan pun terus berlanjut, sampai kami merasa ada
sesuatu yang janggal. Waktu sudah menunjukkan kurang lebih satu jam sejak bis
yang kami naiki hengkang dari Terminal Kampung Rambutan. Akan tetapi, kami
merasa tidak ada kemajuan yang berarti dengan perjalanan kami. Sepertinya kami
masih berada di kawasan Terminal Kampung Rambutan. Ternyata benar. Sejak keluar
dari Terminal Kampung Rambutan, bis yang kami naiki tidak langsung masuk menuju
jalan tol. Bis ini tampaknya sengaja mengitari flyover yang ada di seberang terminal untuk menarik penumpang
karena penumpang di dalam bis memang masih sangat sedikit untuk ukuran bis yang
akan memasuki jalan tol. Mengingat semakin malam lalu lintas semakin padat,
untuk mengitari flyover tersebut saja
membutuhkan waktu kurang lebih satu jam sampai bis ini benar-benar masuk ke
jalan tol. Lebih jauh lagi, terpisahnya kami di terminal, menaiki bis yang
masih kosong, sampai mengitari flyover
selama satu jam, berdampak pada terlambatnya kedatangan kami di Sekretariat
Montana dibandingkan dengan pengurus Gandewa yang berangkat lebih akhir dibandingkan
dengan kami.
Malam semakin larut. Kami tak kunjung sampai di pertigaan
Cibodas. Beberapa diantara kami memutuskan untuk memanfaatkan waktu untuk istirahat
tidur, termasuk saya. Akan tetapi beberapa diantaranya tidak, salah satunya
Nadilah dan Nadya. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, percakapan antara
Nadya dan Nadilah begitu menarik. Sampai-sampai mereka masih membicarakannya
hingga larut malam. Dalam keadaan setengah tidur dan setengah sadar, saya masih
mendengarkan percakapan mereka. Sampai beberapa saat kemudian, entah saya mimpi
atau tidak, tiba-tiba saya mendengar suara yang bersumber dari bangku jajaran
saya. Orang tersebut membentak Nadya dan Nadilah untuk diam dan menyuruh mereka
tidur. Awalnya saya kira saya bermimpi karena saya mendengar suara itu masih
dalam keadaan menutup mata. Ditambah lagi suara dengan intonasi setinggi itu
tidak pernah saya dengar sebelumnya. Ketika saya konfirmasi keesokan harinya,
ternyata kejadian itu nyata. Hari yang membentak mereka. Ternyata saya memiliki
teman yang mengerikan juga kalau sedang marah.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar