Satu
lagi yang seru dari menjadi anak Psikologi -dan gw gak tau
keseruan-keseruan
apa lagi yang akan terjadi selanjutnya di kemudian hari- adalah seperti
H-1 UAS
mata kuliah Psikologi Umum 1 lalu. Hari itu, beberapa caang 5 Gandewa plus
Nila memutuskan menginap di rumah gw
untuk belajar bareng. Berbeda dengan materi Psikologi Umum 1 untuk UTS
lalu
yang terasa lebih abstrak, materi Psikologi Umum 1 untuk UAS kali ini
terasa
mulai mendekati kehidupan sehari-hari. Wajar karena untuk materi UAS
kali ini,
gw sudah mempelajari tiga aliran besar psikologi yang masih terus
berkembang
sampai saat ini, yaitu Behaviorisme, Psikoanalisis, dan Humanistik.
Setelah
selesai masak, makan, dan sholat, kami pun berkumpul di ruang tengah
rumah gw.
Seperti biasa, dimulai dengan gw yang mendongeng teori-teori yang
dipelajari,
dilengkapi dan disempurnakan oleh Hanifah, serta dicari contoh kasus
konkret
dari teori itu bersama-sama.
Lucu
ketika kita tahu bahwa ternyata, sesuatu yang sebenarnya sering kita
lihat dan
alami sendiri, yang mungkin pernah dianggap bukan sesuatu yang penting,
ternyata ada namanya, bahkan ada dasar pemikiran terjadinya.
Contohnya,
dalam teori psikoanalisis ada istilah yang disebut reaction formation
atau reaksi formasi. Reaksi formasi adalah salah
satu jenis dari defense mechanism
yang terjadi ketika ego sesorang mersakan ketegangan akibat ditekan oleh
struktur kesadarannya sendiri, id dan superego. Adapun defense
mechanism terjadi untuk melepaskan ketegangan tersebut.
Singkat
cerita, misalnya, ada seseorang perempuan (sebut saja A) have a
feeling terhadap laki-laki (sebut saja B) yang sejatinya already
have a partner (sebut saja C).
Id nya yang bersifat mengutamakan kesenangan dirinya akan berteriak itu
tidak
masalah, toh itu merupakan haknya untuk memiliki perasaan tersebut. Di
sisi
lain, superegonya yang bersifat mengakkan norma pun tidak tinggal diam.
Ia akan
terus meghadirkan rasa bersalah karena perasaan yang dimilikinya
tersebut tidak
pada tempatnya. Ketika ego seseorang yang bersifat memutuskan perilaku
tersebut
ditekan oleh id dan superego, ego akan mengalami ketegangan. Untuk
melepaskan
ketegangan tersebut, keluarlah istilah yang disebut defense mechanism.
Jika menuruti akal sehat, si A seharusnya tidak
menyenangi dan menjaga jarak dengan si C daripada harus melihat
kenyataan yang
menyakitkannya. Tapi pada kenyatanya, ada momen dimana si A malah begitu
dekat
dengan si C, berteman akrab, bertindak sebagai pendengar yang baik bagi
si C
saat tengah bermasalah dengan B, memberikan hadiah saat anniversary
B dan C, dan hal-hal lainnya yang si A sendiri tak bisa
menjelaskan mengapa bisa melakukan hal tersebut. Itulah defense
mechanism. Mekanisme pertahanan untuk melepaskan ketegangan
yang ia rasakan.
Pada
akhirnya, defense mechanism pun
menjelaskan mengapa ada seseorang yang selalu melakukan penyangkalan
terhadap
apa yang ia rasakan (denial), mengapa
ada orang yang selalu menunjukan kepada orang lain tentang ketidakakuran
(baca
: orang yang sering berantem terus) padahal mah.. (proyeksi), mengapa
seseorang
bisa kena marah dari seseorang yang mungkin sebenarnya tidak ada
kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang dimarahi (displacement),
dan beberapa kasus lainnya yang sebenarnya kadang dianggap tidak
penting, tapi
ternyata ada namanya, dan bisa dijelaskan.
Selain
defense mechanism ini, tentu saja
banyak teori-teori lain yang sedikit banyak membuat kami mesam-mesem,
keketawaan, sampai tertawa miris. Karena? Merasa tersindir lebih
tepatnya.
Secara, kami masing-masing pasti pernah merasakan dan mengalaminya,
walaupun
bentuknya berbeda. Pelan-pelan pengalaman tersindir itu terbuka satu
persatu
dari masing-masing orang, membentuk sebuah rangkaian cerita, tapi masih
menjadi
potongan-potongan karena masih banyak slide yang kami kejar semalaman
ini.
Lalu,
apa serunya?
Keseruan
terjadi saat lewat dini hari. Saat itu, kami sudah mulai lelah dan
mengantuk.
Lebih tepatnya, merasa tertekan. Waktu sudah menunjukan lewat 12 malam,
tapi
berlembar-lembar slide masih berserakan minta diperhatikan, padahal
besok kami
sudah harus U-A-S. Akhirnya? Kami pun
merubah metode belajar menjadi studi kasus. Studi kasus yang sukses
membuat
beberapa diantara kami merasa dikuliti habis-habisan.
Berawal
dari potongan-potongan teori dan kasus yang membuat kami merasa
t-e-r-s-i-n-d-i-r, akhirnya dalam studi kasus tersebut,
potongan-potongan itu
dirangkailah menjadi sebuah cerita utuh. Dimulai dari, sebut saja teman
gw
bernama N, R, sampai ke Gw. Sisanya pun berperan sebagai pendengar yang
baik.
Sederhananya, kami menceritakan pengalaman pribadi kami masing-masing
-pengalaman paling pribadi untuk ukuran bercerita kepada teman yang baru
dikenal dalam kurun waktu 1 semester- dan mengkaitkan apa-apa yang
pernah kami
lakukan dalam pengalaman itu dengan teori-teori yang baru saja kami
pelajari. Studi
kasus itu sukses menguliti kami habis-habisan. Tapi juga sukses menjadi
metode
paling ampuh untuk mengingat materi untuk UAS besok.
Singkat
cerita, apa yang kami paparkan memiliki sebuah tema besar yang sama : menjadi-sahabat-yang-baik.
Mari kita
spesifikasikan. Sahabat yang dimaksud dimaksud di sini adalah sahabat
berlawanan jenis, antara laki-laki dan perempuan.
Gw
pribadi sih ngerasa gak ada yang spesial dari cerita yang gw utarakan.
Gw
memang lebih banyak bertukar pikiran dengan cowok dibandingkan dengan
cewek,
menjadi wajar ketika gw memiliki beberapa sahabat cowok. Walaupun tidak
dapat
dipungkiri bahwa gw pun pernah terpeleset
dengan salah sahabat gw itu. Dan ternyata, dampak terpelesetnya itu
dianggap
bukan sesuatu yang lumrah oleh teman-teman gw. Mereka menilai, dampak
tersebut
sudah masuk ke struktur ketidaksadaran personal gw, menurut Teori Carl
Jung,
yang diberi nama dengan istilah kompleks. Entah apapun namanya, walaupun
ini
cukup mengganggu, tapi jujur saja, momen-momen tertentu ini bisa menjadi
pemicu
paling ampuh untuk bertahan di saat-saat sulit.
Berbeda
dengan cerita yang gw dengarkan dari dua teman gw itu. Cerita mereka
suskes
membuat gw tercangak-cangak dan geleng-geleng kepala, ternyata, hey ada
ya
cerita seperti itu? Gw kira hanya dalam novel dan film saja. Pertama,
karena
dari cerita mereka gw tahu kalau dunia gak benar-benar luas. Mengapa?
Karena
tokoh yang mereka ceritakan memiki hubungan satu sama lain. Kedua, gw
iri. Gw
iri sama mereka yang benar-benar bisa menjadi-sahabat-yang-baik, dengan
segala
senang dan sakitnya. Ketiga, masih juga iri. Iri karena mereka bisa
menjadi
yang bertahan untuk ada di sebelah sahabat mereka masing-masing pada
kondisi
yang paling... – i dont find a suitable
word to describe this situation-
seklipun. Iri tanda tak mampu? Setuju. Karena gw memang gak mampu
seperti mereka.
Di
tengah-tengah studi kasus, N dan R banyak menyebutkan nama-nama tokoh
dan
kutipan kata-kata yang berasal dari novel Pesan
dari Bintang yang menurut mereka berkolerasi dengan tema besar kita
kali
ini. Gw belum pernah baca novel itu sebelumnya. Lagipula, sepertinya
butuh
perjuangan besar bagi gw untuk mau membacanya karena sejujurnya, genre
novel tersebut gak gw banget. Atas
rekomendasi mereka pun, Pesan dari Bintang gw masukan ke dalam daftar
bacaan
untuk liburan nanti.
***
Masih
tentang sahabat.
Salah
satu kebiasaan gw yang gak oke banget yang masih sering gw lakukan
adalah gw
suka terngiang-ngiang kalimat oke yang diucapkan orang tapi gw lupa
siapa yang
mengucapkannya. Salah satunya kalimat ini.
Kalimat yang beberapa waktu lalu gw dengar, tapi, masih saja, gw lupa
siapa
yang mengucapkannya.
Punya banyak sahabat mungkin memang mudah. Tapi, punya sahabat yang tulus itu susah. Sahabat yang tulus dalam memberi dan menerima, termasuk tulus dengan tidak pernah memendam apa-apa.
Tentang
tulus dalam memberi dan menerima sebagai seorang sahabat, sudah bukan
hal yang
asing lagi untuk diperbincangkan. Dengan bentuk yang berbeda, kita semua
pasti
pernah merasakannya. Tapi, tentang tulus dengan tidak memendam apa-apa?
Jujur
saja, ini barang baru buat gw. Membuat gw berpikir, berpikir, dan
berpikir.
Kalau
begitu pemaknaannya? Hei. Berarti gw pernah amat sangat tidak tulus
kepada
sahabat gw sendiri.
***
UAS
sudah berakhir. Dan kini, gw sudah masuk masa liburan. Entah menapa,
otak gw
masih berputar-putar tentang menjadi-sahabat-yang-baik.
Liburan
minggu pertama, gw manfaatkan untuk menonton film Soe-Hok-Gie (Kemane
aja,
Tuth?). Dengan latar sejarah orde lama, UI, pecinta alam, menulis,
sampai nama
Fakultas Psikologi di sebut-sebut (walaupun cuma satu kali), nikmat
bangetlah
gw nonton filmnya. Diantara sekian banyak hal di dalam film itu yang
menurut gw
oke banget, yang paling menarik perhatian gw adalah kata-kata Gie
tentang
sahabatnya, Ira.
Gie : Ira itu sahabat gw dan gw hormat sama dia!
Selama
ini, untuk orang yang kayak gw yang mudah mengekspresikan perasaan, bukan
hal
yang sulit untuk mengatakan bahwa gw menyayangi seseorang, termasuk
sahabat
sendiri. Tapi saat gw pikir-pikir, gw sering banget bilang “gw sayang
lw” ke
sahabat gw sendiri dibandingkan “gw menghormati lw”. Entah di dalam rasa
sayang
itu ada bentuk penghormatan juga, tapi gw gak pernah melisankannya, yang
membuat gw menjadi ragu apakah gw pernah mempraktikannya.
Padahal,
hei, kalau gw ingat-ingat gw memiliki sahabat-sahabat yang begitu
menghormati
gw. Sampai saat ini, gw memiliki mimpi nomor satu menjadi muslimah yang
kaffah.
Mimpi ini memang tidak berubah sejak jama gw SMA. Saat mengetahui hal
itu, ada
beberapa sahabat laki-laki terdekat gw yang berperilaku aneh. Ia tidak
ingin
menjabat tangan gw saat bersalaman, di sisi lain dia bahkan tos-tosan
dengan
sahabat perempuan gw yang lain. Awalnya gw bingung, toh saat itu-bahkan
sampai
saat ini- gw belum benar-benar istiqomah untuk menjaga hijab. Sampai
akhirnya
gw mengerti, bahwa sahabat gw itu menghormati gw. Menghormati mimpi gw.
Ada
lagi yang terbaru. Beberapa minggu yang lalu. Saat sedang rapat, untuk
pertama
kalinya gw merasa keram itu luar biasa menyakitkan. Melihat gw yang
merintih
kesakitan, seorang sahabat pun menyuruh gw meluruskan kaki dan bertindak
cepat
untuk melakukan pertolongan pertama. Seperti gw dan sahabat gw itu
ketahui
bersama, ketika kaki keram, telapak kaki harus di tekan ke arah dalam.
Masih
sambil menahan sakit, gw melihat gerak-gerik sahabat gw tersebut untuk
melakukan pertolongan pertama tersebut. Tapi, sepersekian detik
kemudian,
gerakan tangannya terhenti hanya beberapa senti dari telapak kaki gw. Ia
mengurungkan niatnya. Berbalik. Dan mencari-cari sesuatu entah apa.
Saat
ia kembali, dengan sebuah plastik di tangan, ia pun melanjutkan gerakan
yang tadi
sempat ia urungkan. Hey! Awalnya gw sempet sewot. Emang ada yang salah
dengan
kaki gw sehingga dia harus pakai plastik segala?! Tapi kesadaran gw
muncul dan
sepertinya gw mengerti sesuatu. Sahabat di depan gw ini menghormati gw.
Dia
menghormati gw untuk tidak menyentuh kaki gw secara langsung.
Cuma
sepenggal cerita tentang betapa beruntungnya gw memiliki sahabat-sahabat
yang
begitu menghormati gw. Sedangkan gw? Ah kadang gw merasa belum pernah
menunjukkan itu secara langsung. Bahkan seingat gw, kadang gw gak cukup
menghormati pilihan yang sahabat-sahabat gw ambil dengan selalu
menggunakan
sudut pandang gw tentang apa yang terbaik untuk mereka.
***
Masih
dalam suasan liburan. Merasa lagi addict banget sama yang namanya
nulis,
sebelum memulai menggila lagi, gw pun ngisi bensin terlebih dahulu.
Tentu saja
dengan membaca. Awalnya baca bukunya Nila, tentang teori-teori
psikodinamik.
Puyeng euy. Buku psikologi terjamahan bikin otak muter dua kali, soalnya
bahasanya gak to the point. Akhirnya
menyerah dan mencoba membaca Pesan dari Bintang
yang sebelumnya memang gw pinjem dari N.
Ternyata
benar. Butuh perjuangan keras buat gw untuk tetap bertahan membaca
karena genre novelnya yang gak gw banget.
Awalnya gw ogah-ogahan membaca, tapi demi pemahaman bahwa menjadi
penulis harus
open minded, gw pun bertahan.
Dan
seperti biasa, kalau udah bertahan, malah kecanduan.
Sampai
di halaman terakhir.
Njiiiiiir.
Gw
ngerasa dikulitin lagi, lebih parah malah.
Dikulitin
lewat alurnya. Lebih tepatnya, lewat term yang digunakan Sitta Karina.
Lebih
jauh lagi, Pesan dari Bintang secara gamblang menceritakan tulus dan
hormatnya
seorang sahabat kepada sahabat lainnya dalam sekali tepukan.
Tapi
siapa sangka?
Keberanian
untuk mengambil keputusan yang melegakan datang dari genre novel
yang selalu gw hindari. Im too tired to feel this feeling again and
again. Gw lelah
memendam. Gw lelah menjadi korban intensitas. Dan entah mengapa begitu
melegakan
ketika gw memutuskan untuk mengmabil keputusan ini. Lega. Tanpa beban.
Pengen,
banget, mencoba menjadi-sahabat-yang-baik.
Belajar
menghormati sahabatnya sendiri.
Dan
belajar menjadi sahabat yang tulus.
Tulus
dengan tidak memendam apa-apa.
Semoga
setelah ini, ketulusan dan penghormatan mengiringi rasa sayang yang
selalu gw
utarakan, sahabat :)
2 komentar:
ini amazing banget teh.. T-O-P.. nyeekk banget gitu
@i'm just saying : thanks for visit and reading yaa :)nyekk banget? ada pengalaman yang sama juga kah? hehehe. ngomong2, ini teh siapa ya? pangling gitu ngeliat fotonya euy, heuheu, hapunten ya :P
Posting Komentar