Sabtu, 31 Desember 2011

#2 - Tulus dan Hormat

Satu lagi yang seru dari menjadi anak Psikologi -dan gw gak tau keseruan-keseruan apa lagi yang akan terjadi selanjutnya di kemudian hari- adalah seperti H-1 UAS mata kuliah Psikologi Umum 1 lalu. Hari itu, beberapa caang 5 Gandewa  plus Nila memutuskan menginap di rumah gw untuk belajar bareng. Berbeda dengan materi Psikologi Umum 1 untuk UTS lalu yang terasa lebih abstrak, materi Psikologi Umum 1 untuk UAS kali ini terasa mulai mendekati kehidupan sehari-hari. Wajar karena untuk materi UAS kali ini, gw sudah mempelajari tiga aliran besar psikologi yang masih terus berkembang sampai saat ini, yaitu Behaviorisme, Psikoanalisis, dan Humanistik.

Setelah selesai masak, makan, dan sholat, kami pun berkumpul di ruang tengah rumah gw. Seperti biasa, dimulai dengan gw yang mendongeng teori-teori yang dipelajari, dilengkapi dan disempurnakan oleh Hanifah, serta dicari contoh kasus konkret dari teori itu bersama-sama.

Lucu ketika kita tahu bahwa ternyata, sesuatu yang sebenarnya sering kita lihat dan alami sendiri, yang mungkin pernah dianggap bukan sesuatu yang penting, ternyata ada namanya, bahkan ada dasar pemikiran terjadinya.

Contohnya, dalam teori psikoanalisis ada istilah yang disebut reaction formation atau reaksi formasi. Reaksi formasi adalah salah satu jenis dari defense mechanism yang terjadi ketika ego sesorang mersakan ketegangan akibat ditekan oleh struktur kesadarannya sendiri, id dan superego. Adapun defense mechanism terjadi untuk melepaskan ketegangan tersebut.

Singkat cerita, misalnya, ada seseorang perempuan (sebut saja A) have a feeling terhadap laki-laki (sebut saja B) yang sejatinya already have a partner (sebut saja C). Id nya yang bersifat mengutamakan kesenangan dirinya akan berteriak itu tidak masalah, toh itu merupakan haknya untuk memiliki perasaan tersebut. Di sisi lain, superegonya yang bersifat mengakkan norma pun tidak tinggal diam. Ia akan terus meghadirkan rasa bersalah karena perasaan yang dimilikinya tersebut tidak pada tempatnya. Ketika ego seseorang yang bersifat memutuskan perilaku tersebut ditekan oleh id dan superego, ego akan mengalami ketegangan. Untuk melepaskan ketegangan tersebut, keluarlah istilah yang disebut defense mechanism. Jika menuruti akal sehat, si A seharusnya tidak menyenangi dan menjaga jarak dengan si C daripada harus melihat kenyataan yang menyakitkannya. Tapi pada kenyatanya, ada momen dimana si A malah begitu dekat dengan si C, berteman akrab, bertindak sebagai pendengar yang baik bagi si C saat tengah bermasalah dengan B, memberikan hadiah saat anniversary B dan C, dan hal-hal lainnya yang si A sendiri tak bisa menjelaskan mengapa bisa melakukan hal tersebut. Itulah defense mechanism. Mekanisme pertahanan untuk melepaskan ketegangan yang ia rasakan.

Pada akhirnya, defense mechanism pun menjelaskan mengapa ada seseorang yang selalu melakukan penyangkalan terhadap apa yang ia rasakan (denial), mengapa ada orang yang selalu menunjukan kepada orang lain tentang ketidakakuran (baca : orang yang sering berantem terus) padahal mah.. (proyeksi), mengapa seseorang bisa kena marah dari seseorang yang mungkin sebenarnya tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dimarahi (displacement), dan beberapa kasus lainnya yang sebenarnya kadang dianggap tidak penting, tapi ternyata ada namanya, dan bisa dijelaskan.

Selain defense mechanism ini, tentu saja banyak teori-teori lain yang sedikit banyak membuat kami mesam-mesem, keketawaan, sampai tertawa miris. Karena? Merasa tersindir lebih tepatnya. Secara, kami masing-masing pasti pernah merasakan dan mengalaminya, walaupun bentuknya berbeda. Pelan-pelan pengalaman tersindir itu terbuka satu persatu dari masing-masing orang, membentuk sebuah rangkaian cerita, tapi masih menjadi potongan-potongan karena masih banyak slide yang kami kejar semalaman ini.

Lalu, apa serunya?

Keseruan terjadi saat lewat dini hari. Saat itu, kami sudah mulai lelah dan mengantuk. Lebih tepatnya, merasa tertekan. Waktu sudah menunjukan lewat 12 malam, tapi berlembar-lembar slide masih berserakan minta diperhatikan, padahal besok kami sudah harus U-A-S.  Akhirnya? Kami pun merubah metode belajar menjadi studi kasus. Studi kasus yang sukses membuat beberapa diantara kami merasa dikuliti habis-habisan.

Berawal dari potongan-potongan teori dan kasus yang membuat kami merasa t-e-r-s-i-n-d-i-r, akhirnya dalam studi kasus tersebut, potongan-potongan itu dirangkailah menjadi sebuah cerita utuh. Dimulai dari, sebut saja teman gw bernama N, R, sampai ke Gw. Sisanya pun berperan sebagai pendengar yang baik. Sederhananya, kami menceritakan pengalaman pribadi kami masing-masing -pengalaman paling pribadi untuk ukuran bercerita kepada teman yang baru dikenal dalam kurun waktu 1 semester- dan mengkaitkan apa-apa yang pernah kami lakukan dalam pengalaman itu dengan teori-teori yang baru saja kami pelajari. Studi kasus itu sukses menguliti kami habis-habisan. Tapi juga sukses menjadi metode paling ampuh untuk mengingat materi  untuk UAS besok.

Singkat cerita, apa yang kami paparkan memiliki sebuah tema besar yang sama : menjadi-sahabat-yang-baik. Mari kita spesifikasikan. Sahabat yang dimaksud dimaksud di sini adalah sahabat berlawanan jenis, antara laki-laki dan perempuan.

Gw pribadi sih ngerasa gak ada yang spesial dari cerita yang gw utarakan. Gw memang lebih banyak bertukar pikiran dengan cowok dibandingkan dengan cewek, menjadi wajar ketika gw memiliki beberapa sahabat cowok. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa gw pun pernah terpeleset dengan salah sahabat gw itu. Dan ternyata, dampak terpelesetnya itu dianggap bukan sesuatu yang lumrah oleh teman-teman gw. Mereka menilai, dampak tersebut sudah masuk ke struktur ketidaksadaran personal gw, menurut Teori Carl Jung, yang diberi nama dengan istilah kompleks. Entah apapun namanya, walaupun ini cukup mengganggu, tapi jujur saja, momen-momen tertentu ini bisa menjadi pemicu paling ampuh untuk bertahan di saat-saat sulit.

Berbeda dengan cerita yang gw dengarkan dari dua teman gw itu. Cerita mereka suskes membuat gw tercangak-cangak dan geleng-geleng kepala, ternyata, hey ada ya cerita seperti itu? Gw kira hanya dalam novel dan film saja. Pertama, karena dari cerita mereka gw tahu kalau dunia gak benar-benar luas. Mengapa? Karena tokoh yang mereka ceritakan memiki hubungan satu sama lain. Kedua, gw iri. Gw iri sama mereka yang benar-benar bisa menjadi-sahabat-yang-baik, dengan segala senang dan sakitnya. Ketiga, masih juga iri. Iri karena mereka bisa menjadi yang bertahan untuk ada di sebelah sahabat mereka masing-masing pada kondisi yang paling... – i dont find a suitable word to describe this situation­-  seklipun. Iri tanda tak mampu? Setuju. Karena gw memang gak mampu seperti mereka.

Di tengah-tengah studi kasus, N dan R banyak menyebutkan nama-nama tokoh dan kutipan kata-kata yang berasal dari novel Pesan dari Bintang yang menurut mereka berkolerasi dengan tema besar kita kali ini. Gw belum pernah baca novel itu sebelumnya. Lagipula, sepertinya butuh perjuangan besar bagi gw untuk mau membacanya karena sejujurnya, genre novel tersebut gak gw banget. Atas rekomendasi mereka pun, Pesan dari Bintang gw masukan ke dalam daftar bacaan untuk liburan nanti.

***

Masih tentang sahabat.

Salah satu kebiasaan gw yang gak oke banget yang masih sering gw lakukan adalah gw suka terngiang-ngiang kalimat oke yang diucapkan orang tapi gw lupa siapa yang mengucapkannya. Salah satunya kalimat ini. Kalimat yang beberapa waktu lalu gw dengar, tapi, masih saja, gw lupa siapa yang mengucapkannya.
Punya banyak sahabat mungkin memang mudah. Tapi, punya sahabat yang tulus itu susah. Sahabat yang tulus dalam memberi dan menerima, termasuk tulus dengan tidak pernah memendam apa-apa.
Sejujurnya, tulus bukan sebuah term yang asing buat gw, khususnya dalam konteks persahabatan. Walaupun tidak bisa diukur dalam standar baku, kalau bukan tulus, apa lagi namanya jika seorang sahabat rela berlama-lama mendengarkan cerita sahabat lainnya dikala sedih atau susah, rela menghabiskan entah berapa banyak materi demi memberikan kejutan ulang tahun, rela berlama-lama menatap layar komputer hingga larut demi menemani temannya melalu chatting  yang sedang bergelut dengan tugasnya yang berada di belahan kota yang lain, rela menjadi orang pertama yang datang saat tahu ia mengalami musibah, rela berjam-jam mendengarkan ceritanya lewat telepon bahkan di titik mata sudah memasuki kekuatan 5 watt. Kalau bukan tulus? Apalagi namanya?

Tentang tulus dalam memberi dan menerima sebagai seorang sahabat, sudah bukan hal yang asing lagi untuk diperbincangkan. Dengan bentuk yang berbeda, kita semua pasti pernah merasakannya. Tapi, tentang tulus dengan tidak memendam apa-apa? Jujur saja, ini barang baru buat gw. Membuat gw berpikir, berpikir, dan berpikir.

Kalau begitu pemaknaannya? Hei. Berarti gw pernah amat sangat tidak tulus kepada sahabat gw sendiri.

***

UAS sudah berakhir. Dan kini, gw sudah masuk masa liburan. Entah menapa, otak gw masih berputar-putar tentang menjadi-sahabat-yang-baik.

Liburan minggu pertama, gw manfaatkan untuk menonton film Soe-Hok-Gie (Kemane aja, Tuth?). Dengan latar sejarah orde lama, UI, pecinta alam, menulis, sampai nama Fakultas Psikologi di sebut-sebut (walaupun cuma satu kali), nikmat bangetlah gw nonton filmnya. Diantara sekian banyak hal di dalam film itu yang menurut gw oke banget, yang paling menarik perhatian gw adalah kata-kata Gie tentang sahabatnya, Ira.
Gie : Ira itu sahabat gw dan gw hormat sama dia!       
Selama ini, untuk orang yang kayak gw yang mudah mengekspresikan perasaan, bukan hal yang sulit untuk mengatakan bahwa gw menyayangi seseorang, termasuk sahabat sendiri. Tapi saat gw pikir-pikir, gw sering banget bilang “gw sayang lw” ke sahabat gw sendiri dibandingkan “gw menghormati lw”. Entah di dalam rasa sayang itu ada bentuk penghormatan juga, tapi gw gak pernah melisankannya, yang membuat gw menjadi ragu apakah gw pernah mempraktikannya.

Padahal, hei, kalau gw ingat-ingat gw memiliki sahabat-sahabat yang begitu menghormati gw. Sampai saat ini, gw memiliki mimpi nomor satu menjadi muslimah yang kaffah. Mimpi ini memang tidak berubah sejak jama gw SMA. Saat mengetahui hal itu, ada beberapa sahabat laki-laki terdekat gw yang berperilaku aneh. Ia tidak ingin menjabat tangan gw saat bersalaman, di sisi lain dia bahkan tos-tosan dengan sahabat perempuan gw yang lain. Awalnya gw bingung, toh saat itu-bahkan sampai saat ini- gw belum benar-benar istiqomah untuk menjaga hijab. Sampai akhirnya gw mengerti, bahwa sahabat gw itu menghormati gw. Menghormati mimpi gw.

Ada lagi yang terbaru. Beberapa minggu yang lalu. Saat sedang rapat, untuk pertama kalinya gw merasa keram itu luar biasa menyakitkan. Melihat gw yang merintih kesakitan, seorang sahabat pun menyuruh gw meluruskan kaki dan bertindak cepat untuk melakukan pertolongan pertama. Seperti gw dan sahabat gw itu ketahui bersama, ketika kaki keram, telapak kaki harus di tekan ke arah dalam. Masih sambil menahan sakit, gw melihat gerak-gerik sahabat gw tersebut untuk melakukan pertolongan pertama tersebut. Tapi, sepersekian detik kemudian, gerakan tangannya terhenti hanya beberapa senti dari telapak kaki gw. Ia mengurungkan niatnya. Berbalik. Dan mencari-cari sesuatu entah apa.

Saat ia kembali, dengan sebuah plastik di tangan, ia pun melanjutkan gerakan yang tadi sempat ia urungkan. Hey! Awalnya gw sempet sewot. Emang ada yang salah dengan kaki gw sehingga dia harus pakai plastik segala?! Tapi kesadaran gw muncul dan sepertinya gw mengerti sesuatu. Sahabat di depan gw ini menghormati gw. Dia menghormati gw untuk tidak menyentuh kaki gw secara langsung.

Cuma sepenggal cerita tentang betapa beruntungnya gw memiliki sahabat-sahabat yang begitu menghormati gw. Sedangkan gw? Ah kadang gw merasa belum pernah menunjukkan itu secara langsung. Bahkan seingat gw, kadang gw gak cukup menghormati pilihan yang sahabat-sahabat gw ambil dengan selalu menggunakan sudut pandang gw tentang apa yang terbaik untuk mereka.


***

Masih dalam suasan liburan. Merasa lagi addict banget sama yang namanya nulis, sebelum memulai menggila lagi, gw pun ngisi bensin terlebih dahulu. Tentu saja dengan membaca. Awalnya baca bukunya Nila, tentang teori-teori psikodinamik. Puyeng euy. Buku psikologi terjamahan bikin otak muter dua kali, soalnya bahasanya gak to the point. Akhirnya menyerah dan mencoba membaca Pesan dari Bintang  yang sebelumnya memang gw pinjem dari N.

Ternyata benar. Butuh perjuangan keras buat gw untuk tetap bertahan membaca karena genre novelnya yang gak gw banget. Awalnya gw ogah-ogahan membaca, tapi demi pemahaman bahwa menjadi penulis harus open minded, gw pun bertahan.

Dan seperti biasa, kalau udah bertahan, malah kecanduan.
Sampai di halaman terakhir.

Njiiiiiir.

Gw ngerasa dikulitin lagi, lebih parah malah.
Dikulitin lewat alurnya. Lebih tepatnya, lewat term yang digunakan Sitta Karina.
Lebih jauh lagi, Pesan dari Bintang secara gamblang menceritakan tulus dan hormatnya seorang sahabat kepada sahabat lainnya dalam sekali tepukan.

Tapi siapa sangka?
Keberanian untuk mengambil keputusan yang melegakan datang dari genre novel yang selalu gw hindari. Im too tired to feel this feeling again and again. Gw lelah memendam. Gw lelah menjadi korban intensitas. Dan entah mengapa begitu melegakan ketika gw memutuskan untuk mengmabil keputusan ini. Lega. Tanpa beban.

Pengen, banget, mencoba menjadi-sahabat-yang-baik.

Belajar menghormati sahabatnya sendiri.
Dan belajar menjadi sahabat yang tulus.
Tulus dengan tidak memendam apa-apa.

Semoga setelah ini, ketulusan dan penghormatan mengiringi rasa sayang yang selalu gw utarakan, sahabat :)

2 komentar:

Tail and Eyes mengatakan...

ini amazing banget teh.. T-O-P.. nyeekk banget gitu

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@i'm just saying : thanks for visit and reading yaa :)nyekk banget? ada pengalaman yang sama juga kah? hehehe. ngomong2, ini teh siapa ya? pangling gitu ngeliat fotonya euy, heuheu, hapunten ya :P