Kamis, 29 Desember 2011

#1- Sepertiga Kehidupan di Geger Bentang (Part 2)

Sabtu, 10 Desember 2011

Kami tiba di pertigaan Cibodas pukul 01.00 WIB. Masih dalam keadaan mengumpulkan nyawa, saat turun dari bis sedikit terjadi kepanikan. Kamalia panik mencari-cari carriernya yang belum berada di tangannya. Setelah dilihat lebih teliti, ternyata carriernya berada tumpukan carrier  di sisi yang lain.

Selanjutnya, proses tawar menawar pun diakukan kembali. Kali ini dengan supir angkot berwarna kuning yang berada di pertigaan Cibodas. Angkot berwarna kuning ini akan membawa kami ke pintu masuk Taman Nasional Gede Panrango yang selanjutnya dilanjutkan dengan berjalan kaki untuk mencapai Sekretariat Montana. Setelah terjadi kesepakatan, kami pun mendapatkan satu angkot untuk dinaiki. Ada yang unik dengan angkot kali ini jika dibandingkan dengan angkot-angkot sebelumnya yang pernah kami naiki. Dengan kami yang berjumlah tiga belas orang, kali ini kami hanya membutuhkan satu angkot. Hal ini bisa terjadi karena carrier-carrier yang tidak kecil dan tidak sedikit milik kami kali ini diletakan di atas angkot. Bak ibu-ibu di pedesaan yang sanggup membawa beras di atas kepalanya tanpa dipegangi, angkot kali ini pun begitu adanya. Seolah-olah sudah menjadi sarapan sehari-hari bagi angkot dan supirnya, carrier-carrier kami diletakan di atas angkot tanpa menggunakan tali pengikat apapun.

Pukul 01.25 WIB kami tiba di pintu gerbang Taman Nasional Gede Pangrango. Keadaan sekeliling begitu gelap yang membuat kami tak bisa melihat pemandangan apapun di sekitar. Beberapa caang mulai mengeluarkan headlamp-nya masing-masing sebagai alat penerangan. Dipimpin oleh Kak Adi, kami menuju Sekretariat Montana dengan berjalan kaki.

Sampai di Sekretariat Montana, kami disuruh menunggu sejenak. Awalnya saya kira akan dilakukan pemeriksaan identitas dan barang bawaan mengingat sebelumnya saya diberitahu bahwa ada beberapa barang yang dilarang dibawa masuk ke dalam taman nasional, termasuk Tramontina (baca : golok tebas). Akan tetapi, beberapa saat kemudian kami langsung disuruh masuk tanpa pemeriksaan menuju ke sebuah gedung menyerupai aula kecil. Di sana pengurus Gandewa yang lain sudah tiba terlebih dahulu. Di tempat tersebutlah kami akan beristirahat sebelum melanjutkan aktifitas di pagi hari. Setelah sholat isya, menyelesaikan urusan di kamar mandi, briefing bersama Kak Resty, kami pun bergegas tidur. Walaupun pada kenyataanya, ada yang tidak bisa benar-benar langsung tidur saat itu.

Malam itu, diketahuilah bahwa Bimo ternyata tidak membawa sleeping bag. Bimo memang melakukan packing mendadak yang menyebabkan sleeping bag menjadi salah satu barang yang luput untuk dibawa. Walaupun Bimo tipikal orang yang tidak terlalau rewel dengan hal tersebut-terlebih kemampuan dasar yang ia miliki dalam berkegiatan alam-, hal tersebut tidak serta merta membuat caang lainnya untuk tidak peduli dengan ketidaktersediaan sleeping bag untuk Bimo selama beberapa hari ke depan. Mungkin memang tidak membantu banyak, tetapi meminjamkan jaket atau apapun yang bisa menjadi penahan dingin tetap dilakukan oleh caang lainnya demi tidak membiarkan Bimo tidur tanpa menggunakan penahan dingin apapun.

Pukul 05.00 WIB caang bangun. Setelah sholat, caang bergegas memasak sarapan. Kegiatan masak pagi ini masih dilakukan berdasarkan manajemen perjalanan kelompok masing-masing. Seluruh kelompok sama-sama memasak nasi, yang berbeda hanya lauknya saja. Kelompok 1 memasak sup. Kelompok 2 memasak semacam salad. Kelompok 3 memasak bihun dan  tahu goreng.

Setelah selesai sarapan, kami mencuci peralatan makan dan bergegas packing. Packing kali ini bisa dikatakan tidak terlalu memakan waktu dibandingkan packing-packing sebelumnya. Salah satu faktornya adalah kami tidak membuka tenda. Kami hanya mengeluarkan perlengkapan tidur, matras, dan perlengkapan makan yang tidak membutuhkan wakltu lama untuk di-packing kembali.

Setelah selesai packing, kami melakukan pemanasan. Pemanasan dilakukan karena setelah ini kami akan berjalan kaki menuju Geger Bentang. Pemanasan dilakukan di depan aula. Saat pemanasan, mulai terdengar hiruk pikuk orang-orang yang mendekati TNGP. Entah pendaki lain entah rombongan yang tengah berwisata. Setelah pemanasan, kami melakukan briefing. Briefing dipimpin oleh Kak Resty. Kak Resty menjelaskan bahwa medan yang akan kami lalui menuju Geger Bentang bukanlah jalur resmi. Walaupun begitu, jalur tidak resmi ini sejatinya merupakan jalur yang memang sudah menjadi rahasia umum untuk digunakan di sebagian kalangan pendaki.  Akan ada kemungkinan kami bertemu dengan petugas selama perjalanan. Untuk mengantisipasinya, kami pun diarahkan untuk tidak berjalan beriringan seluruhnya, tetapi berjalan satu kelompok satu kelompok terlebih dahulu. Kami pun dibekali pengetahuan bagaimana jika kami benar-benar menghadapi kemungkinan terburuk bertemu petugas di tengah perjalanan. Selain itu, kami pun dijelaskan untuk mengikuti tanda-tanda yang telah dipasang tim advance yang berupa tali rafia berwarna biru.

Setelah dirasa sudah siap, briefing ditutup dengan doa. Perjalanan di mulai dengan keberangkatan kelompok 1 yang didampingi oleh Kak Dina dan beberapa pengurus Gandewa. Setelah jeda 10 menit, kelompok 2 pun berangkat didampingi oleh Kak Adi. Sebagai kelompok dengan jeda 20 menit sebelum keberangkatan, saya dan kelompok 3 melakukan beberapa kegiatan untuk mengisi waktu. Izzat dengan Al-Matsuratnya, Kautsar dan Amel menyelesaikan urusan dengan kamar mandi, dan saya dengan minya kayuk putih saya.

Setelah jeda 10 menit setelah keberangkatan kelompok 2, kelompok 3 segera berangkat. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan banyak orang. Mulai dari pendaki lain sampai beberapa rombongan sekelompok, entah siswa entah mahasiswa, yang menggunakan jaket alamamater berwarna hijau. Kami pun sempat melihat Kak Ismi yang bercengkerama dengan salah satu pendaki yang sebelumnya bertanya, “Ini Gandewa, ya?”.

Entah siapa yang melakukan percakapan dengan Kak Ismi, ternyata apa yang dijelaskan oleh seorang kawan di Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) ITB benar adanya. Bahwasanya menurut kode etik pecinta alam, sesama pecinta alam bersaudara. Di gunung, kita tidak akan merasa sendirian karena sesama pecinta alam akan berbaik hati saling bertegur sapa dan menanyakan kabar. Itu alasan mengapa Kak Ismi begitu akrab dengan pendaki yang kami temui di tengah perjalanan tersebut dan itu pula yang menjadi alasan mengapa kami selalu disambut hangat oleh KAPA FTUI dan Humus FEUI setiap berkunjung untuk meminjam alat-alat.

Perjalanan pun terus dilanjutkan. Kami melalui jalan yang berlawanan arah dengan rombongan dan beberapa pendaki kebanyakan. Kami berjalan keluar dari Sekretariat Montana menuju pintu gerbang Taman Nasional Gede Pangrango. Di sepanjang perjalanan menuju gerbang, di kanan kiri jalan terlihat para penjual tanaman hias. Udara Cibodas yang cukup dingin memang menjadi lahan basah bagi para penjual tanaman hias untuk membudidayakan tanamannya. Pemandangan tanaman-tanamah hias di sepanjang kiri kanan jalan pun segera berganti dengan toko-toko kecil yang menjajakan berbagai macam souvenir dan panganan khas Cibodas. Mulai dari kaos, kerajinan tangan, buah arbei, sampai sale pisang.

Setelah sampai di gerbang utama, kami tidak keluar gerbang. Kami belok kiri dan menuju tempat yang telah ditentukan. Setelah sampai, kami bertemu denagn kelompok 2. Kelompok 2 bertugas kepada kami untuk menjelaskan rute jalan yang selanjutnya harus kami lalui. Hal yang sama pun dilakukan oleh kelompok 1 kepada kelompok 2 sebelumnya.

Setelah jeda 10 menit keberangkatan kelompok 2, kami pun bergegas berangkat. Ada sedikit perubahan yang dilakukan selama perjalanan. Kami yang awalnya berniat mengikuti tanda-tanda dari tim advance yang berupa tali rafia warna biru, berubah menjadi mengikuti petunjuk cat berbentuk panah yang ada di batu. Selain karena kami tidak menemukan cukup banyak tanda-tanda tali rafia berwarna biru, tanda cat berbentuk panah itu cukup banyak tersebar di beberapa titik. Cat yang terlihat sudah lama tersebut mengindikasikan bahwa petunjuk itu memang dibuat oleh orang-orang sebelum kami yang memang sudah terbiasa melalui jalur ini.

Awal perjalanan kami lalui dengan baik. Kami menyusuri pinggir sungai kecil. Melintasi perkebunan milik penduduk yang ditanamai oleh pohon cabai dan arbei. Bertegur sapa dengan para petani yang tengah menggarap tanahnya. Tidak jarang petani yang ditegur pun membalas dan berpesan untuk hati-hati di tengah perjalanan. Kebiasaan ini menjadi satu hal yang menyenangkan bagi saya pribadi selama berkegiatan alam. Menyapa dan menebar senyum kepada orang-orang yang
ditemui di jalan walaupun belum pernah dikenal sebelumnya terasa begitu meyenangkan. Lebih jauh lagi, saya pun menemukan bukti bahwa klaim penduduk Indonesia adalah penduduk yang ramah memang benar adanya.

Sampai akhirnya kami tiba di sebuah persimpangan. Persimpangan tersebut terdiri dari dua jalan kecil. Jalan pertama sebuah jalan mendaki dan jalan kedua berupa jalan menurun. Di depan dua jalan tersebut terdapat dua buah batu yang sama-sama bertanda cat berwarna biru di atasnya. Di batu yang terletak di depan jalan yang mendaki terdapat sebuah tanda silang dan di batu di depan jalan menurun terdapat sebuah tanda panah. Logikanya, Geger Bentang yang dituju adalah sebuah titik yang berada di atas Gunung Pangrango yang seharusnya membuat kami memilih untuk terus mendaki ke atas. Akan tetapi, kami ragu untuk terus mendaki ke atas mengingat batu dihadapan jalan tersebut bertanda silang. Pada umumnya, tanda silang digunakan untuk menandai daerah yang seharusnya tidak dilewati. Dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan setelah mencoba mengecek bahwa ada tanda-tanda selanjutnya setelah batu tersebut, kami pun memilih untuk mengambil jalan menurun yang di depannya terdapat sebuah batu yang bertanda panah.

Jalan yang kami ambil pun terus menurun. Langkah kami hanya dikuatkan dengan adanya tali rafia biru di sekeliling tanaman cabai milik penduduk, walaupun bukan hanya tali rafia berwarna biru yang ada di sekeliling tanaman tersebut. Kami tetap terus melangkah sampai akhirnya kami pun semakin ragu dengan jalan yang kami ambil. Perlahan cat berwarna biru dan tali rafia berwarna biru hilang dari pandangan. Kami mencoba bertanya kepada orang yang kami temui apakah sebelum kami ada sekelompok orang yang menggunakan tas besar (baca : carrier) melewati daerah yang kami lalui. Semua orang yang kami temui menjawab bahwa kami orang pertama yang berpenampilan seperti ini yang melalui daerah ini. Kesimpulan bahwa kami pun tersasar sempurna sudah ketika kami menyadari bahwa kami berada di pinggir gunung, bukan di  atas gunung. Dengan menguatkan diri bahwa inilah praktek jungle survival yang sebenarnya, kami pun memutuskan untuk kembali ke persimpangan tadi.

Setelah memilih jalan yang satunya, jalan yang didepannya terdapat batu dengan tanda silang di depannya, akhirnya kami tiba di bibir hutan. Kak Ismi menghubungi Kak Resty untuk memastikan apakah jalan yang kami lalui ini sudah benar. Setelah yakin bahwa jalan yang kami lalui benar, sebelum melanjutkan perjalanan masuk ke dalam hutan, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tempat kami beristirahat tepat berada di bibir hutan. Tempat ini merupakan titik tertinggi di mana kami masih bisa melihat tempat kami bertemu kelompok 2 tadi. Tempat ini merupakan sebuah lahan terbuka yang ditanami oleh tanaman semacam kubis. Kami yang sedari tadi bergumul dengan tanaman-tanaman tinggi di kanan kiri jalan dimanjakan sejenak dengan hembusan angin di lahan terbuka tersebut. Sampai beberapa saat kemudian, kami segera melanjutkan perjalanan memasuki hutan.

Sebelumnya Izzat sempat mendapatkan informasi dari Kak Odi, wakil Ketua BEM UI 2012 terpilih, yang memiliki hobi traveling bahwa medan untuk menuju Geger Bentang merupakan tanjakan yang tidak ada habisnya. Pernyataan dari Izzat tersebut pun kami buktikan sendiri dan memang benar adanya. Tanjakan tersebut seolah tidak kunjung berakhir. Mulai dari tanjakan dengan jalan setapak yang masih jelas terlihat sampai tanjakan yang pijakannya harus dipilah sendiri oleh pendaki.

Wajah-wajah kelelahan sudah tidak bisa dibendung lagi di tiga perempat perjalanan. Kautsar yang lebih banyak di depan hanya bisa sesekali menoleh ke arah belakang untuk memastikan bahwa kami dalam keadaan baik-baik saja. Izzat dengan keistiqomahannya menggunakan rok masih luar biasa menjejak langkah demi langkah untuk terus mendaki. Amel yang berada paling belakang dan ditemani oleh Kak Ismi mulai menggunakan kayu sebagai alat bantu dengan wajah luar biasa lelah. Sedangkan saya sendiri hanya bisa memberikan semangat sekenanya kepada teman-teman yang lain karena jujur saja, saat itu pikiran saya tidak benar-benar sedang ikut mendaki.

Kami benar-benar mendaki di pinggir gunung dan di bibir jurang. Salah melangkah, kami bisa tergelicir jatuh ke jurang. Masing-masing dari kami begitu lelah, tapi pantang bagi kami merengek manja, seperti yang telah Gandewa ajarkan kepada kami. Entah apa yang ada di kepala kami masing-masing untuk menguatkan langkah. Tapi raut wajah kami masing-masing menyiratkan kelelahan yang amat sangat sekaligus usaha mati-matian untuk tidak menyerah. Bagi saya pribadi, kelelahan yang amat sangat itu pun menuntun pada kesadaran bahwa gunung ini begitu besar dan sudah selayaknya seorang manusia tidak mempertanyakan kembali kebesaran pemilik gunung yang begitu besar ini.

Sampai di ujung kelelahan itu, kami pun tiba di daerah Geger Bentang, di titik yang ditentukan oleh panitia. Kelompok 1 dan Kelompok 2 sudah tiba terlebih dahulu. Setelah beristirahat sejenak, kami langsung melanjutkan kegiatan. Kegiatan selanjutnya adalah materi bivak buatan. Awalnya, saya mengira pemberian materi bivak buatan ini benar-benar akan ditunjukkan cara membuatnya baru kami langsung mempraktikannya. Diklat pamungkas ini pun menumbuhkan kesadaran saya bahwa pembelajaran yang dilakukan selama diklat Gandewa pun sejatinya sudah mengikuti proses pembelajaran di perkuliahan, yaitu belajar mandiri. Atas dasar kepercayaan bahwa kami sudah mengerti cara pembuatan bivak yang disampaikan di diklat kelas, percaya bahwa kami telah membaca materi di booklet, dan percaya bahwa kami mampu mengambil gambaran dari contoh bivak yang telah didirikan oleh pengurus, kami langsung disuruh membuat bivak buatan dengan peralatan kami punya.

Kami yang sejujurnya belum pernah membuat bivak secara mandiri, kecuali bivak yang dipasang berdampingan dengan tenda, cukup mengalami kesulitan. Diantara tiga kelompok, hanya bivak kelompok 1 yang benar-benar berdiri. Bivak kelompok 2 dan 3 tidak bisa berdiri dengan kendala yang sama, yaitu bentuk flysheet yang tidak segi empat sehingga sulit untuk dibentuk. Lebih khusus lagi, untuk kelompok 3 sendiri kesulitan dihadapi karena kebingungan untuk menggunakan simpul dan jenis tali yang tepat. Selain itu, diskusi untuk menentukan bentuk bivak yang terlalu panjang membuat bivak tidak segera selesai sampai waktu yang diberikan habis.

Setelah praktik dilakukan, satu orang pengurus memberikan evaluasi untuk bivak buatan yang didirikan oleh masing-masing kelompok. Untuk kelompok 3, evaluasi diberikan oleh Kak Bimo. Menurut Kak Bimo, apapun bentuk flysheet-nya, seharusnya tidak perlu menjadi kendala dalam prosespembuatan bivak, walaupun flysheet yang kami gunakan kemarin memang tidak direkomendasikan untuk digunakan. Hal yang terpenting dalam pembuatan bivak adalah tegangnya tali yang menyangga dan tegangnya flysheet atau ponco sehingga bisa sempurna berfungsi sebagai aliran air. Adapun tentang simpul yang digunakan seharusnya tidak perlu menjadi masalah. Simpul apapun bisa digunakan selama bisa dipastikan kekuatannya. Jika perdebatan bentuk bivak seperti apa yang akan dibuat dan simpul apa yang akan digunakan terlalu lama, bisa-bisa kita dan carrier kita sudah terlanjur basah oleh hujan sebelum bivak dibuat.

Setelah setiap kelompok mendapatkan evaluasi masing-masing, kami mendapat tugas angkatan untuk membuat sebuah bivak buatan besar sebagai tempat meletakkan carrier-carrier kami.  Mulai dari sini, kegiatan-kegiatan selanjutnya pun sudah tidak berorientasi pada tiap-tiap kelompok. Kami mulai berkegiatan sebagai satu angkatan. Sebagai caang 5 Gandewa.

Walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya kami berhasil membuat sebuah bivak buatan besar untuk satu angkatan. Kami melakukan pembagian tugas tanpa komando. Ada yang membuat atap bivak dan menalikannya di beberapa sudut pohon. Ada yang menggelar ponco sambil merapikan carrier-carrier yang berada di atasnya. Ada pula yang membuat aliran air di sekeliling bivak mengingat lahan yang kami gunakan sebagai tempat pembuatan bivak merupakan sebuah turuan. Setelah siap, kami meletakkan carrier-carrier kami di bawah bivak tersebut dan melanjutkan kegiatan selanjutnya.

Kegiatan selanjutnya adalah pemberian materi tentang makanan survival. Setelah sebelumnya kami diperkenalkan makanan-makanan survival yang terdapat di Geger Bentang melalui slide pada diklat kelas lalu, di sini, kami ditunjukkan secara langsung makanan-makan tersebut. Ada daun Begonia yang dimakan di bagian batangnya. Rasanya asam menyegarkan seperti belimbing wuluh. Daun yang berwarna merah dan berbentuk menjari ini pun menjadi salah satu favorit makanan survival bagi para caang. Ada pula Palma. Palma yang memang merupakan jenis palem-paleman ini merupakan tanaman yang dimakan di bagian batangnya pula. Berbeda dengan Begonia yang batangnya langsung bisa dimakan, bagian batang palma yang bisa dimakan adalah bagian yang berwarna putih. Jadi, untuk memakannya, batang palma yang berwarna hijau harus dikupas terlebih dahulu. Ada pula paku-pakuan. Tanaman ini tidak bisa mentah-mentah dimakan seperti Begonia dan Palma. Tanaman ini harus dimasak dan direbus terlebih dahulu layaknya sayur, baru bisa dikonsumsi setelahnya. Sambil ditunjukkan secara langsung, kami pun mencicipi makanan-makanan survival yang disedikan sebagai contoh tersebut.

Diantara tanaman-tanaman tersebut, terselip satu jenis hewan diantaranya. Cacing tanah. Sayangnya, ketika kami berhamburan sementara untuk mengambil rain coat dan payung saat tiba-tiba hujan turun, cacing tersebut menghilang dari tempatnya yang menyebabkan tidak ada yang sempat mencicipinya sebagai makanan survival.

Setelah diperkenalkan, kami langsung diberi tugas untuk ‘berbelanja’ makanan survival. Makanan yang akan kami cari adalah makanan yang akan digunakan sebagai santap siang kami. Seluruh bahan makanan dan cemilan yang kami miliki disita oleh pengurus. Hanya beberapa bumbu masakan yang diberikan kepada kami untuk membantu mengolah bahan makanan yang kami dapatkan. Di tengah rintik hujan yang semakin lama semakin deras, kami pun segera menuruni gunung. Pencarian makanan survival pun dimulai.

Berbekal Tramontina dan pisau lipat, kami pun mencari beberapa bahan makanan untuk santap siang kami. Amel mendapatkan begitu banyak Begonia. Saya dan beberapa caang lainnya lebih banyak mendapatkan palma dan paku-pakuan. Beberapa saat kemudian, Kak Adi, Hari, Kautsar, dan Bimo pun berhasil menemukan pohon pisang yang masih lengkap dengan jantung pisangnya. Menurut pengurus Gandewa, dalam keadaan survival, mendapatkan jantung pisang bak mendapatkan makanan mewah. Hal itu disebabkan karena jika bisa mengolahnya, jantung pisang merupakan makanan olahan yang enak.

Saya sendiri yang penasaran dengan rasa cacing tanah berusaha mencarinya di akar tanaman epifit yang menempel di beberapa pohon besar. Menurut Kak Dina, dibandingkan dengan cacing tanah, cacing yang menempel di akar tanaman epifit lebih sehat dan bergizi. Sayangnya, berkali-kali saya menemukan akar tanaman epifit yang masih menggantung ataupun sudah tergeletak di tanah, tidak ada satu pun cacing di dalamnya.

Merasa sudah cukup dengan bahan makanan yang dibawa, kami pun segera bergegas kembali ke atas. Tangan-tangan para caang penuh dengan bahan makanan masing-masing. Saya dan Kamal membawa jantung pisang yang berhasil didapatkan oleh Kak Adi, Hari, Kautsar, dan Bimo. Tangan Amel penuh dengan Begonia. Tangan-tangan caang lainnya pun menggenggam palma dan paku-pakuan.

Setelah sampai di atas, kami mengumpulkan semua bahan makanan di satu tempat. Bimo begitu antusias dengan apa yang didapatkannya, yaitu jantung pisang dengan pisangnya yang masih begitu bayi. Sayangnya, beberapa saat kemudian antusiasmenya memudar saat menghadapi kenyataan bahwa bayi pisang yang dibawanya tidak layak untuk dimakan. Bayi pisang tersebut masih berupa getah dan biji-biji hitam di dalamnya. Bimo pun mendadak kecewa mengingat begitu susah payah dirinya mendapatkan jantung pisang dan bayi pisang tersebut.

Begitu mengetahui bahwa kami mendapatkan jantung pisang sebagai bahan makanan, penanggung jawab konsumsi masing-masing kelompok pun dipanggil untuk menemui Kak Alim. Danti dari kelompok 1, Nadila dari kelompok 2, dan Amel dari kelompok 3. Kak Alim, pengurus Gandewa angkatan 2008, yang memang dikenal dengan keahliannya dalam meracik bahan makanan (baca : memasak) mengajarkan para penanggung jawab konsumsi bagaimana cara untuk mengolah jantung pisang.

Waktu pun sudah lewat beberapa jam dari waktu Zuhur. Izzat yang memang memiliki pemahaman agama yang cukup baik diantara caang mengajak caang untuk segera sholat. Kami yang kebingungan karena kondisi kami saat itu dalam keadaan berlumpur, tidak memungkinkan untuk mengganti pakaian, dan tengah minim air mendapatkan pengetahuan baru tentang kemudahan sholat lainnya dari Izzat. Izzat memberi tahu bahwa ternyata kami bisa sholat dalam keadaan seperti itu. Kami cukup berwudhu dengan mengusap setiap bagian yang menjadi rukun wudhu dengan sekali usapan menggunakan air yang berada di atas bivak. Sementara untuk kaki, kami cukup mengusap ujung-ujung sepatu saja. Setelahnya, kami sholat dengan menggelar ponco sebagai tempat bersujud, tanpa melepas sepatu, kami memulai sholat. Kemudahan tersebut tidak berlaku ketika kita melepas sepatu karena itu berarti ada bagian tubuh kita yang bersih yang mengharuskannya dibersihkan pula seluruh bagian tubunh lainnya.

Setelah selesai sholat, kami pun diinstruksikan untuk segera memasak makan siang. Kami pun memutuskan untuk memasak bersama sebagai satu angkatan, tidak berkelompok-kelompok lagi. Di saat penanggung jawab konsumsi mempersiapkan proses memasak, basecamp manager dari setiap kelompok dipanggil Kak Resty. Kelompok 1 Bimo, Kelompok 2 Hari, dan Kelompok 3 saya sendiri. Kami diinstruksikan untuk mendirikan sebuah tenda di lahan yang sudah ditentukan Kak Resty. Tenda tersebut dibangun bukan untuk tempat beristirahat kami nanti malam, melainkan untuk meletakan carrier-carrier kami karena malam ini kami akan tidur di bivak alam yang akan kami buat setelah ini. Sedangkan tenda-tenda yang kami bawa sebelumnya diserahkan kepada pengurus.

Saya, Bimo, dan Hari, serta dibantu Kautsar bergegas mendirikan tenda. Tenda yang dipasang kali ini agak berbeda dengan tenda-tenda biasanya. Tendanya bagus. Terdapat beberapa rangka dalam yang membuatnya terlihat megah dan  mewah. Cukup untuk memuat 5-6 orang di dalamnya. Sayangnya, tenda bagus kali ini tidak diperuntukkan untuk kami, tapi untuk carrier-carrier kami.

Setelah tenda berhasil berdiri dengan aliran air di sekelilingnya, kami segera naik ke bivak buatan dan bergabung dengan teman-teman caang lainnya untuk makan siang. Santap siang kami hari itu adalah nasi, telur orak arik, dan jantung pisang olahan bersama. Enak. Bukan karena di atas gunung makanan apapun selalu tampak enak, melainkan karena sepertinya para penanggung jawab konsumsi sukses mengolah jantung pisang dengan baik.

Setelah selesai makan siang, kami pun berkumpul kembali untuk melanjutkan kegiatan. Secara pribadi, saya merasa diklat kali ini adalah diklat paling tak berjeda. Sebanding dengan banjirnya ilmu yang kami dapatkan. Kami dikumpulkan karena kami akan diinstruksikan untuk membuat bivak alam. Pembuatan bivak alam ini tidak boleh main-main karena di bivak tersebutlah kami akan memanfaatkan waktu istirahat kami. Kami diminta untuk membuat bivak sebaik mungkin. Kami pun segera mengadakan pembagian tugas. Sebagian membersihkan lahan yang akan digunakan untuk membuat bivak, sebagian lagi berbelanja untuk mencari bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat bivak.

Danti, Rima, Amel, dan Kamalia bertugas untuk merapikan lahan yang akan digunakan untuk membuat bivak alam. Kami mendapatkan lahan tepat di bibir jurang. Lahan dengan kemiringan yang sanggup membuat kami bisa sekaligus bermain perosotan saking miringnya. Sebenarnya kami memiliki kesempatan untuk mencari lahan yang lebih layak. Akan tetapi, berhubung waktu sudah mendesak menjelang malam, dan tidak ada lahan yang lebih layak di sekitar tenda yang berisi carrier-carrier kami untuk bisa digunakan, akhirnya kami mencoba mensiasati lahan yang miring tersebut agar bisa digunakan sebagi tempat beristirahat.

Di sisi lain, Bimo, Hari, Nadila, Nadya, Kautsar, Izzat, dan saya bertugas berbelanja mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bivak alam. Bahan-bahan yang kami butuhkan adalah kayu-kayu penopang yang cukup kuat, kayu-kayu ringan sebagai atap diatasnya, dan daun-daunan yang cukup lebar untuk menutupi atap tersebut. Kami pun menuruni gunung. Melihat kanan kiri kalau-kalau ada bahan yang cocok untuk digunakan sebagai bahan untuk membuat bivak alam lagi. Kami turun cukup jauh dari tempat dimana kami akan membuat bivak alam. Setelah dirasa cukup, kami memutuskan untuk segera naik karena takut terlalu banyak bahan yang dicari tetapi tidak sanggup dibawa lagi ke atas.

Di tengah perjalanan naik, caang laki-laki dipanggil untuk turun kembali. Ternyata di bagian bawah banyak batang pohon dengan daun yang cukup lebar untuk digunakan sebagai bahan pembuat bivak. Caang laki-laki pun kembali turun dan caang perempuan tetap melanjutkan perjalanan naik sambil mengambil bahan-bahan yang ditinggalkan di sisi kanan jalan tersebut. Di tengah perjalanan kembali, kami baru mengetahui bahwa dalam pembuatan bivak buatan tidak boleh menggunakan tali rafia, tambang, dan semacmanya. Alat yang digunakan untuk mengikat pun harus berasal dari alam. Akhirnya kami pun baru mencari tanaman menjalar sebagai alat pengikat di sekitar lahan tempat kami akan membuat bivak alam.

Beberapa lama kemudian, Hari, Bimo, dan Kautsar datang dengan wajah yang teramat lelah dari bawah. Hal itu wajar ketika melihat mereka membawa batang pohon yang, sungguh, besar lengkap dengan daunnya. Belum selesai sampai di situ, masing-masing orang membawa tiga batang pohon yang, sungguh, besar itu. Wajah mereka terlihat pucat yang membuat beberapa caang perempuan segera bergerak untuk mencarikan mereka minum. Kalau mau diukur tingkat kelelahannya, kalau tadi kami berangkat menuju titik ini, mendaki, hanya dengan membawa satu carrier di punggung, kali ini mereka  membawa tiga batang pohon sekaligus yang, sungguh, besar di punggung. Bahkan ternyata di tengah kelelahan itu, Kautsar bercerita bahwa ia tiba-tiba merindukan Kutek sebagai tempat kostnya dan Warteg Shinta sebagai tempat makannya.

Setelah beristirahat sejenak, kami pun berkumpul lagi untuk melakukan briefing seperti apa bivak alam yang akan kami buat. Jujur saja, ketika ditanya oleh Kak Resty dan Kak Vira tentang bentuk bivak alam seperti apa yang akan kami buat, kami bingung. Pengetahuan kami tentang bentuk-bentuk bivak belum cukup baik. Sampai akhirnya ide spontan Bimo untuk membuat dua buah bivak, di atas dan di bawah, tanpa dinding penghalang apapun di empat sisinya yang menjadi pilihan kami.

Lagi-lagi, dengan pembagian yang terjadi tanpa isntruksi, kami terbagi menjadi dua tim. Ada yang menyelesaikan bivak bagian atas dan bivak bagian bawah. Kami memotong batang, mengikatnya satu sama lain, dan menutupinya dengan daun. Terdengar mudah, tapi tidak sebenarnya. Kami kekurangan tali temali untuk mengikat ranting. Kami kekurangan daun untuk menutupi bagian atas. Kami kekurangan pencahayaan karena jumlah headlamp yang minim. Kami pun mulai kehilangan stamina. Kami mulai lelah dengan padatnya kegiatan hari ini. Tapi entah apa yang menguatkan kami, kami pun sanggup menyelesaikan bivak alam ini dengan baik. Di luar ekspetasi kami yang sebelumnya tidak tahu akan membuat bivak seperti apa.

Setelah bivak alam selesai, kami pun melakukan pembagian tugas lagi. Ada yang merapikan dan menyiapkan bagian bawah bivak untuk tempat beristirahat kami, ada pula yang memulai untuk memasak makan malam. Setelah tim yang merapikan bagian bawah bivak selesai, kami bergabung dengan tim yang memasak di dekat tenda tempat kami menyimpan carrier. Seolah hadiah dari kerja keras kami seharian ini, makan malam hari itu sungguh mewah. Kami menikmati ikan, ayam bakar, tumis udang, sayur kangkung, dan beberapa lauk lainnya didampingi dengan energen yang begitu hangat. Dua jempol untuk para penanggung jawab konsumsi, khusunya Izzat yang dikenal memang handal dalam memasak.  Makan bersama memang selalu terasa enak, apalagi bersama orang-orang yang telah berlelah-lelah bersama.

Setelah selesai makan, kami menuju bivak buatan kami sebelumnya untuk melakukan evaluasi harian bersama pengurus Gandewa. Malam itu, seperti biasa, caang mengeluarkan segala unek-uneknya dan menjelaskan kondisi kesehatannya. Sedangkan pengurus mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh kami dan mengapresiasi apa-apa yang dianggap baik yang  telah kami lakukan.

Mengetahui bahwa kami belum berganti baju sejak siang, sebelum tidur kami pun diinstruksikan untuk segera berganti baju sebelum tidur. Setelah berganti baju, sebagian caang ada yang sholat. Kami solat di bivak alam yang kami buat di bagian tas. Butuh perjuangan juga untuk sholat kali ini karena lahan yang kami gunakan miring sempurna.

Setelah semua selesai membersihkan diri dan sholat, kami bergegas tidur. Bivak atas ditempati oleh Saya, Amel, Kamal, Nadila, Danti, dan Izzat. Sementara bivak bawah ditempati oleh Hari, Bimo, Kautsar, Nadya, dan Rima. Walaupun bivak berhasil dibuat, bukan tanpa perjuangan untuk bisa tidur dengan baik di masing-masing bivak. Bivak bagian atas merupakan turunan yang cukup curam. Beberapa orang yang tidur di bivak atas harus tidur dengan kondisi menahan kakinya di tanah agar badannya tidak merosot menghantam kepala orang-orang yang tidur di bivak bawah. Di sisi lain, orang-orang yang tidur di bivak bawah harus menjaga gerakan tidurnya karena mereka benar-benar tidur menghadap jurang dan hanya dibatasi oleh beberapa batang pohon yang diikat tali rafia sebagai penjaga.

Sebelum tidur, kami pun berdoa bersama semoga malam ini cerah dan tidak hujan. Berhasil membuat bivak bukan berarti berhasil selamat dari ancaman ketika hujan tiba-tiba mengguyur karena iami sadar bivak yang kami buat tidak memenuhi standar untuk sebagai tempat berlindung. Walaupun begitu, di dalam sleeping bag masing-masing, pada akhirnya lelahlah yang membawa kami untuk segera tidur dan tidak memedulikan dimana kami dan dengan posisi apa kami tidur sekarang.

(bersambung, lagi...)

0 komentar: