Senin, 27 Desember 2010

Nothing

27 Desember 2010
Nothing to think anymore, except  that thing :)
 *Menu. Music Player. Tracks. Kahitna-Bintang. Play.

.


.


.


.


Biar aku melangkah..

Tanda mata

27 Desember 2010

Sedih ih.

Kalau menang, di elu-elukannya melangit.
Tapi kalau kalah, dihujatnya gila-gilaan.

Apalagi baca di twitter banyak yang tiba-tiba pengen ngasihin tiket final  di GBK yang udah dia beli karena males nonton gara-gara hasil di Bukit Jalil kemarin. Heu.

Apapun kata orang, gw sih, win or lost that's my national team :) Kalau ada yang mau ngasih tiket final ke gw, gw terima deh dengan tangan terbuka :D

*Ngomong-ngomong twitter, gw ada twitter loh :P @annisadwiastuti. Tapi pengguna pasif, karena selain gw gak bisa ngenet on the spot a.k.a ngenet di hape gw mahal :'(, gw kebiasan berceloteh panjang lebar di blog. Jadi sekalinya disuruh nulis di twitter, bingung mau nulis apa, hohoho :P Tapi tengkyu loh kalau ada yang mau follow :D

Ngomong-ngomong, di saat banyak yang berdecak kagum dengan kaki Christian Gonzales, mengagumi rupa nan rupawan Irfan Bachdim, geleng-geleng kepala dengan liarnya kecepatan lari Okto Maniani, dan keistimewaan masing-masing aggota timnas yang tak dapat disebutkan satu persatu, gw lagi ngefans nih sama satu orang di Tim Nasional.

Cool dan Misterius. Goal atau gak goal, tampangnyaa... beuh.. STABIL parah! Siapa lagi kalau bukan, Alfred Riedl :D

Ditengah menjamurnya kata-kata labil dan galau, gw seneng aja sama ekspresi pelatih Timnas ini. Menang gak menang, lempeng wee kitu tanpa senyum, hoho. Kalau bahasa kerennya mah, dia tidak selebrasi gol.

Gw kira, memang packagingnya di seperti itu, hehehe :P Ternyata, ada sesuatu loh di balik kebiasaan tidak menselebrasi goal dan  ke-lempengan wajah Alferd Riedl.

Suatu sumber menyebutkan bahwa saat dia masih melatih Vietnam tahun 2007-an, dia menderita penyakit ginjal, sehingga dokter menyarankan transplantasi ginjal. Saat berita itu tersiar,  hampir 80 fans sepakbola Vietnam menawarkan diri jadi donor ginjal, sampai pada akhirnya satu orang dipilih. Transplantasi itu sukses, sehingga dia pun kembali sehat seperti keadaan semula.


Mengapa para fans sepakbola Vietnam begitu antusias ingin membantunya? Karena para fans itu hanya ingin memberikan ucapan terima kasih, kepada sang pelatih Vietnam yang telah membangkitkan timnas mereka.

Naaah, sejak saat itu dia merasa selalu berhutang kepada setiap supporter sepakbola, makanya tiap ada gol ke tim lawan, dia cenderung pasif, dan terkadang hanya melakukan selebrasi sekadarnya saja untuk menjaga perasaan mereka para supporter sepakbola.

Subhanallah :') Hahaha, bener-bener deh. Don't judge the book from the cover :)

Terlepas dari tindakan tak sportif yang ditunjukkan pendukung negeri tetangga sebelah yang mengarahkan sinar laser kepada pemain timnas, ataupun hura-hara yang terjadi di GBK akibat supporter Indonesia kesal dengan PSSI atas pelayanan penjualan tiket yang tidak mumpuni, fakta dibalik ke-lempengan wajah Alfred Riedl pun menyelipkan satu poin yang lebih penting dari sekedar kata menang dan kalah dalam euphoria piala AFF. Sebuah tanda mata ucapan terima kasih :)

Well, kalau tiba-tiba Alfred Riedl yang tak bisa dipungkiri punya andil besar dalam kemenangan-kemenangan Timnas sebelum final leg 1 di Bukit Jalil kemarin sakit ginjal lagi, jutaan supporter Indonesia ada yang mau mendonorkan ginjalnya gak ya? ;)

Episode 11 : 'Kau, Aku & Kota Kita'

Pertemuan Pertama

Sudah dua kali aku menanyakan hal yang sama pada Pak Tua, dan dua-duanya dijawab sama. Kalau aku sudah khatam belajar mengemudikan motor tempel, lantas sepit siapa yang akan kubawa narik? Jaman keemasan sepit sudah berlalu, tidak banyak pemilik sepit yang punya lebih dari satu perahu tempel—seperti halnya juragan oplet. Kalaupun ada yang punya dua atau tiga, peminat pengemudi sepit lebih banyak dibandingkan perahu yang tersedia dan pemilik lazimnya membawa sendiri sepit mereka.

Pak Tua bilang, “Tak usah cemas, paling sial kau bawa sepit milikku, Borno.” Aku keberatan, lantas Pak Tua bekerja apa? “Ah, justeru sudah lama aku ingin berhenti narik. Kakiku ini sudah sering sakit karena asam urat, beginilah kalau masa muda kurang latihan fisik dan mengunyah apa saja memuaskan nafsu perut, sekarang sedikit-sedikit terasa nyilu, salah makan sedikit langsung tidak enak badan. Kau bisa pakai sepit-ku setiap hari.” Aku tetap keberatan, lantas dari mana Pak Tua mendapatkan nafkah, “Ya tentu dari setoran kau-lah.” Pak Tua tertawa lebar, “Enam puluh-empat puluh, kau ambil enam persepuluh dari penghasilan bersih sehari, aku sisanya. Cukup adil, bukan?”

Cukup adil memang, lain lagi dengan logika Bang Togar, “Kau tahu, pengkhianat, dengan jumlah sepit yang ada sekarang saja, kami harus berbagi penumpang. Sudah untung pulang bawa setoran, ada juga habis untuk beli solar. Pelampung haram itu menghabisi semuanya. Nah, kalau Pak Tua pensiun, itu lumayan mengurangi jumlah sepit di dermaga ini, ternyata kau yang menggantikannya. Kau tidak layak bergabung dengan kami, sejak awal saja sudah bikin masalah.”

Aku memilih diam, meneruskan menyikat perahu tempel Bang Togar, tidak menanggapi. Sekali aku khatam belajar, sudah boleh membawa penumpang, masa plonco-ku usai. Esok-lusa, agar profesiku sebagai pengemudi sepit berjalan lancar, dan karena Bang Togar akan selalu berada di sekitar dermaga gang tepian Kapuas, kupikir lebih baik menganggap dia mahkluk gaib. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Bodo amat dia mau berkicau apalagi. Dan pagi istimewa akhirnya tiba, hari kelulusanku. Pak Tua tertawa melihatku datang di dermaga kayu pagi buta.

“Aku tahu terlalu dini, Pak. Di rumah, Ibu sejak shubuh menyuruhku berangkat. Daripada kena omel terus, lebih baik bergegas.” Menguap.

Dermaga dengan cepat dipenuhi penumpang, bunyi suara sepit mengetem, merapat dan meluncur dari dermaga memenuhi langit-langit ditingkahi teriakan petugas timer mengatur perahu dan penumpang, “Maju lagi, dua. Maju, dua. Dan kau, Borno, sabar, kau masih lima sepit lagi.” Radio di warung pisang goreng me-relay siaran berita RRI. Tadi beberapa pengemudi menyapaku, tersenyum simpul, “Kau tidak gugup kan, Borno?” Aku berusaha tertawa, menggeleng. Aku sudah terlatih.
Akhirnya giliran perahu Pak Tua tiba, “Ya, Borno bawa ke sini sepit kau.”
Sial, saat namaku diteriakkan, pengemudi lain sibuk bertepuk-tangan.

Aku sedikit tegang menggerakkan tuas kemudi, sepit yang kukemudikan patah-patah merapat ke dermaga. Pak Tua sebaliknya, seperti pertapa takjim duduk santai di sebelahku, bersidekap, menikmati matahari pagi menerpa permukaan Kapuas, hangat nan menyenangkan.

Dua belas penumpang segera menaiki perahu, empat baris tiga-tiga. Tiga ibu-ibu (yang asyik ngobrol sedari melangkah hingga duduk rapi di kursi kayu melintang, entah sibuk membicarakan apa, seru sekali, berbisik-bisik, tertawa), dua gadis seumuranku (sepertinya hendak berangkat kuliah, terlihat rapi dan mungkin wangi), dua laki-laki setengah baya berseragam perusahaan swasta, empat anak sekolah berseragam merah putih, dan satu lagi, aku memperhatikan penumpang terakhir yang anggun menaiki sepit, duduk persis di haluan depan, memunggungi buritan. Kemudian ia mengembangkan payung tradisional berwarna merah. Rambutnya tergerai panjang, mengenakan baju kurung berwarna kuning seperti keturunan Melayu Pontianak, tapi tak pelak lagi, selintas aku lirik tadi, wajahnya China.
Sepitku penuh. Pak Tua berbisik, menyuruh segera menjalankan sepit.
“Tahan dulu, woi!” Terdengar suara khas itu.
“Dia bisa menjalankan sepit sendirian, kenapa harus ditemani, Pak Tua?” Bang Togar berkata tegas.
“Maksud kau?” Pak Tua lebih dari paham kalimat sederhana Bang Togar, itu hanya pertanyaan retoris-klarifikasi.
“Yeah, biarkan Borno menjalankan sepit sendirian, dia sudah lebih dari cakap, bukan? Sudah seminggu dia belajar. Bukankah kemarin siang dia sendirian membawa sepit berkeliling Kapuas.”
Pak Tua melipat dahi, berpikir sejenak, “Sepertinya tidak, Togar. Aku harus menemani.”
“Ah, semua pengemudi sepit juga dulu memulai hari pertamanya tanpa ditemani. Kenapa dia harus diistimewakan? Karena dia cucu kakeknya? Putra bapaknya? Hingga Pak Tua sayang sekali?” Bang Togar mengirimkan skak-mat.

Pak Tua menoleh padaku, ragu-ragu. Penumpang yang terlanjur duduk di sepit juga mulai ragu-ragu, penumpang di atas dermaga yang menunggu sepit berikut asyik menyimak keributan kecil.
“Tidak apa, Pak. Tidak apa-apa.” Aku berusaha memantapkan kalimat—meski sebenarnya dengan ditemani Pak Tua saja aku sudah gugup, apalagi sendirian membawa sepit penuh penumpang. Ini berbeda dengan latihan kemarin-kemarin, ada dua belas orang yang harus kubawa menyeberangi Kapuas dengan selamat.
“Kau yakin, Borno?”
Aku mengangguk, menyeka keringat di pelipis.
“Nah, apalagi masalahnya sekarang.” Bang Togar berseru senang, seperti habis menang lotere, “Mari kita tunggu sepit ini kembali dengan selamat dari dermaga seberang.”
Sayangnya ada yang tidak senang.
“Bukan Pak Tua yang bawa, ya?” Salah-satu ibu-ibu memberanikan diri bertanya.
“Aduh, bagaimana ini. Mending kami turun saja.” Dengan cepat bertiga membuat keputusan.
“Tetap duduk, Bu. Ingat antrian, Bu. Tidak boleh pindah ke sepit berikutnya, nanti kacau balau.” Petugas timer segera menghalangi.
“Kalau yang bawa baru belajar kami tidak mau. Kami pindah saja.” Ibu-ibu itu mengotot, menyibak paksa petugas.
“Tenang, Bu. Borno jauh lebih pandai mengemudikan sepit.” Pak Tua berusaha menjelaskan, “Dia sudah terlatih. Semua aman.”
“Tidak mau. Aku tidak mau terbalik di tengah Kapuas, aku tidak pandai berenang.” Ibu-ibu itu sudah memaksa masuk antrian penumpang lagi.
Dan hanya soal waktu, dua gadis kuliahan ikut loncat ke dermaga kayu, juga dua bapak-bapak, disusul empat anak SD. Tampang mereka sama, cemas, lebih baik pindah ke sepit.
“Astaga. Sepit berikutnya tidak bisa jalan kalau yang ini belum penuh, Bu.” Petugas timer kalang-kabut membujuk, “Ayolah, Bu. Itu sudah aturan main. Antri satu-persatu, kita bukan ojek motor kampung yang berebut penumpang!” Bujukannya tidak mempan.

Aku menelan ludah, sekali lagi menyeka keringat di dahi, telapak tanganku sejak tadi basah memegang kemudi. Menatap dermaga yang mulai ruwet, sepertinya tidak ada yang mau naik ke sepitku. Petugas timer berseru-seru memaksa. Pak Tua menatap Bang Togar sebal, dan lihatlah, si pembuat masalah, sekarang duduk santai di kursi panjang warung pisang Pontianak.

“Ayolah, semua sepit sama, Bu. Lihat, masih ada yang mau naik, bukan.” Petugas menunjuk gadis yang sendirian duduk di haluan depan.

Aku seperti tersadarkan, benar, tidak semua calon penumpangku kabur. Masih ada yang bertahan. Gadis itu tetap duduk anggun, seperti tidak tertarik dengan keributan. Ujung rambutnya melambai pelan diterpa angin pagi.

Lima menit berlalu, pengemudi sepit lain yang tadi bertepuk tangan menyemangatiku, mulai berteriak-teriak sebal menyuruh berangkat. Petugas timer masih bersikeras membujuk penumpang. Akhirnya dua laki-laki setengah baya itu kembali duduk, disusul lima remaja tanggung berseragam SMA (saling dorong loncat ke perahu, tidak peduli siapapun pengemudinya), masih kosong dua, petugas berteriak menyuruh siapa yang buru-buru di antrian belakang agar segera maju. Akhirnya sepasang bule, turis dari manalah dengan ransel besar naik. Cas-cis-cus, potret sana, potret sini. Sepitku akhirnya penuh.
Petugas timer menghela nafas lega, “Kau jalan-lah, Borno.”
Aku mengangguk, menggigit bibir bersiap.
“Hati-hati, Borno. Tidak usah ngebut-ngebut, yang penting sampai.” Petugas dengan wajah macam melepas pesawat kamikaze berpesan hal sama untuk kesekian kali.

Aku menarik tuas gas. Gelembung air di permukaan sungai buncah, bergemeletuk, sepit bergetar sedikit, aku menggeser kemudi ke kiri, dan segera sepit itu lincah membelah Kapuas. Lima belas detik, aku sudah meninggalkan dermaga sepuluh meter, menuju seberang. Terpaan angin pagi di wajah membuat tegangku berkurang drastis, suara motor tempel dan air pecah menerpa lambung perahu membuatku tersenyum tipis, tidak ada yang perlu dicemaskan, ini justeru seru, aku menambah kecepatan, sepitku gagah melesat. Turis itu bahkan sudah asyik memotretku, tertawa, mengacungkan jempol. Salah-satu dari mereka jahil melangkah ke buritan, membuat sepit bergoyang, aku segera menggeser tuas kemudi menyeimbangkan, aku sudah terlatih mengatasi riak pelampung, tidak sulit.

Salah-satu rekan turis duduk di sebelahku, pose, rekannya mengambil gambar. Aku ikut tertawa, pose. Rekannya menepuk bahu gadis berpayung merah, menunjuk-nunjuk kameranya, sepertinya dia minta tolong diambilkan gambar. Lantas menyibak penumpang, ikut melangkah ke buritan. Kali ini aku menggenggam kemudi sepit lebih kencang, ini dua bule seperti jalan di karpet merah, santai sekali.

Gerutu dalam hatiku tidak lama, saat dua bule itu duduk di depanku, pose, saat aku ikut menatap ke depan, saat itulah aku untuk pertama kali melihat wajahnya. Payung merah itu sekarang dipegangkan penumpang lain. Gadis berbaju kurung kuning. Alamak.

***

Sebelum loncat turun, dua turis itu merogoh tas pinggang, mencari uang ribuan—sepertinya mereka sudah tahu cara membayar sepit, beda dengan rombongan turis dari Jakarta dulu, meletakkannya di dasar perahu. Menepuk-nepuk bahuku, bilang ‘Therimakhasih.” Lantas loncat ke dermaga. Remaja tanggung berseragam SMA sudah berebut naik, saling dorong, “Hati-hati, woi. Jatuh baru tahu rasa kalian.” Petugas timer memarahi mereka. “Ternyata kau memang sudah mahir.” Dua laki-laki setengah baya dengan wajah lega menyapaku, aku mengangguk tanggung, ikut tertawa lega.

Dan gadis itu, anggun berdiri dari tempat duduknya, payungnya mengembang sempurna, gerakan tubuhnya mulus tidak terpengaruh goyangan sepit, dan kakinya yang terbungkus sepatu kain berwarna hitam melangkah pelan ke dermaga, tanpa satu kata, segera hilang di ujung antrian, menuju jalan besar yang dipadati kendaraan.

“Cantiknya, Borno.” Petugas timer tertawa, sejenak menatap punggung, “Kau sempat berkenalan dengannya tak, Kawan?”
Aku menggeleng, menggaruk rambut.
“Woi, kau ini bodoh sekali. Kalau aku, sudah kucatat baik-baik alamat rumahnya.” Petugas timer itu menepuk ujung perahu kayu, “Masuk antrian sana, Borno.” Berseru pada sepit lain, “Satu lagi sepit merapat. Satu lagi!”

Aku mengantri hampir satu jam, matahari semakin tinggi, payung-payung terkembang memenuhi Kapuas semakin banyak, hingga giliran sepitku. Kali ini agak lama, sepuluh menit baru penuh, penumpang berangsur sepi. Kali ini tidak ada masalah, tidak ada penumpang yang takut naik sepitku, sepit segera meluncur ke Kapuas.

***
Apa yang Pak Tua bilang kemarin lalu? Belajarlah membolak-balik hati.
Sebalku pada Bang Togar soal kejadian tadi pagi sebenarnya sudah ditelan kecipak air Kapuas pengalaman pertama kali mengemudi sepit penuh penumpang, sayangnya, si sok kuasa itu sekarang berdiri persis di tepi dermaga, terlihat benar menungguku. Apa lagi mau dia? Masa ploncoku sudah selesai. Kali ini kalau dia banyak tingkah, akan kutiru ide Andi, dorong saja jatuh dari dermaga kayu.

Dermaga sudah sepi penumpang, yang ada hanya pengemudi sepit berdiri bersama Bang Togar. Selepas penumpangku turun, memungut gumpalan uang, me-rekennya, aku menambatkan sepit ke tonggak kayu, lantas melangkah ke dermaga, kenapa Cik Tulani Koh Acung juga ada di sini? Hendak kemana? Mereka sepertinya tidak terlihat mau berpergian, justeru terlihat menungguku.

“Nah, Borno, resmi sudah kau jadi pengemudi sepit.” Bang Togar, lain dari biasanya malah tertawa riang, menepuk bahu saat aku mendekat, menjadi orang pertama yang menyambutku.
Pengemudi lain, Cik Tulani, Koh Acung dan Pak Tua ikut tertawa, bertepuk-tangan. Aku menyeka dahi, habis salah makan obat kah, Bang Togar? Sejak kapan dia beramah-tamah denganku. Pengemudi lain menjulurkan tangan memberikan selamat, mengacak-acak rambutku, bahkan ada yang berteriak lemparkan Borno ke air.

“Jangan dulu.” Bang Togar tertawa, melambaikan tangan menyuruh diam. Kerumunan menurut, semua memperhatikan Bang Togar—yang nampak bersiap memberikan ceramah, kebiasaan buruknya.
“Kau dua kali bertanya pada Pak Tua bukan?” Bang togar menyeringai, “Bertanya sepit mana yang akan kau bawa narik. Tentu saja bukan sepit tua miliknya, Borno. Kau berhak dapat yang lebih baik. Jupri! Mana Jupri?” Bang Togar menoleh ke pojokan dermaga. Semua kepala juga menoleh. Dan tanpa kusadari sejak naik dermaga tadi, di sana telah tertambat satu sepit baru nan mulus, bercat biru, gagah nian diterpa cahaya matahari pagi.

Jupri, salah-satu pengemudi bergegas menghidupkan sepit itu, suara mesin barunya terdengar lembut bertenaga, lantas seperti arak-arakan armada kebanggaan kerajaan Kutai dulu, sepit itu merapat ke dermaga disambut seruan ramai.

“Ini perahu kau, Borno.” Bang Togar membentangkan tangannya, berkata penuh perasaan, “Kau tahu, kakek kau dulu rela berhutang kemana-mana untuk membantu pengemudi sepit gang ini bertahan hidup. Pagi ini, kami tidak akan membiarkan cucu kakek kau tidak punya sepit. Ini perahu dari kayu terbaik, Borno, dengan mesin paling canggih, tukang paling ahli. Lihat, sudah kami berikan nama di lambungnya.”
Aku yang sejenak masih kehilangan kata-kata mengembangkan senyum.
Setengah tidak percaya, mengucek mata. Benarkah itu sepit milikku? Ini macam mimpi?
“Ini semua rencana Togar, Borno.” Pak Tua berbisik di tengah keramaian. “Togar yang meminta semua pengemudi, penghuni gang, para penumpang mengumpulkan sumbangan. Bedanya ya dia tidak sampai membuat surat permohonan berlaminating.”

Aku tertawa, sudah loncat memeluk Bang Togar erat-erat. Lihatlah sepitku, Ibu, tertulis hebat di lambungnya muasal nama anakmu, BORNEO. Dua rekan pengemudi sudah menyambar tubuhku, dan tanpa menunggu komando, segera melemparkanku ke permukaan Kapuas. Tergelak.

***

Perayaan kecil khatam belajar mengemudi dan penyambutan sepit baruku sepertinya baru akan selesai satu-dua jam lagi. Sudah dua kali aku dilempar ke permukaan Kapuas. Sudah tiga pengemudi lain yang ikut kuseret jatuh. Tertawa-tawa. Hingga tiba-tiba, petugas timer meneriakiku yang basah kuyup sedang duduk di kursi panjang warung pisang Pontianak, makan-makan ditraktir Bang Togar.
“Hoi, ada barang penumpang tertinggal di sepit kau, Borno!”
Aku menoleh, merapikan rambut basah di dahi.
“Barang apa?” Bertanya pada petugas timer yang mendekat.
“Ini! Kau tadi memangnya tidak memeriksa dasar perahu?”
“Ah, Borno paling juga hanya tajam melihat gumpalan uang, mana perhatian dia dengan barang lain.” Pengemudi lain menggoda, tertawa.
Aku hendak tertawa, tetapi mulutku menutup. Ini apa?
“Kutemukan di bangku paling depan sepit Pak Tua, tergeletak di bawah papan melintang. Kau masih ingat siapa saja yang duduk di bangku itu, Borno?”
Aku terdiam, telingaku tidak lagi mendengarkan pertanyaan petugas, mataku sibuk menatap lamat-lamat benda yang kupegang. Alamak? Ini surat bersampul merah, dilem rapi, tanpa tertera nama.
Surat? Untuk siapa?

***bersambung

Packaging

27 Desember 2010

Tentang percakapan dengan seorang kawan beberapa waktu yang lalu  :
Kawan : Tuth, kenapa ya? Orang kok sering nyangka gw lagi sakit, banyak pikiran, atau lagi kenapa-kenapa? Padahal gw nya mah biasa aja.
Gw : Mmmh.. Karena packaging lw kayak gitu kali, hehehe. Pembawaan lw tuh kayak lagi sakit, lagi mikirin sesuatu, atau lagi kenapa-kenapa. Sama aja kayak gw, cuma kebalikannya. Banyak orang yang bilang gw selalu ceria, bersemangat, gak perrnah gak senyum, seakan-akan semua baik-baik saja. Solanya, yaa packaging gw kayak gitu. Hehehe. Orang gak tau aja khan dalemnya gw lagi kenapa? :P

Dan gw cinta banget sama packaging gw yang satu ini :D

#Tapi, tapi, tapi, adakalanya jujur bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja, jauh lebih melegakan daripada membuat keadaan seolah selalu baik-baik saja :)

Semu

27 Desember 2010
"Tuth, lw gak sakit?"
Menurut lw?
"Apa ya rasanya jadi Tuti?"
Entahlah.

Teteh, tuti kira rasa sakitnya semu. Ternyata enggak. Jauh lebih nyata dari yang tuti perkirakan. Iya teh. Harus tetep dijalanin. Karena tuti pernah diajarin untuk tetep fight sampai benar-benar win. Walaupun tuti gak tau bentuk win untuk urusan yang satu ini seperti apa.

Tuti juga gak tau teh kenapa di sisi lain tuti, jujur, masih merasa senang dekat dengan sumber rasa sakit itu. Walaupun tuti juga gak tau, apakah rasa senang itu semu atau enggak.

Episode 10 : 'Kau, Aku & Kota Kita'

Gang Di Tepian Kapuas

“Kau tahu, Borno, kapal-kapal besar macam feri, pengangkut kontainer, kapal pesiar, tanker, kebanyakan menggunakan mesin torak, turbin uap, turbin elektrik, turbin gas, atau bahkan turbin nuklir. Nah, sepit ini hanya pakai mesin motor pembakaran dalam, bahasa sananya disebut internal combustion engine.” Pak Tua duduk di buritan, menjelaskan dengan suara kencang mengalahkan gemeretuk suara mesin dan kecipak permukaan air.

Astaga? Aku memperbaiki anak rambut melambai yang mengenai mata, sepit meluncur kencang membelah Kapuas dipenuhi penumpang berseragam rapi hendak berangkat kerja. Tadi lima menit menunggu antrian, sepit Pak Tua merapat, setengah menit mengisi penumpang, setengah menit kemudian sepit sudah meluncur. Aku duduk di buritan, di sebelah Pak Tua mendengarkan pelajaran mengemudi sepit hari ini.

“Apa tadi?” Aku berseru.
“Apanya?” Pak Tua menyeringai, tetapi karena dia pandai membaca ekspresi wajah orang, tanpa ditanya dua kali Pak Tua menjelaskan, “Nah, kau ambil buku ini. Semua kalimat hebat yang kukatakan tadi ada di sini, termasuk internal combustion engine itu. Ini buku sakti bagi pemula seperti kau, kalau kau tidak malas membacanya, kau bisa tahu banyak soal mesin.” Tangan kanannya meraih buku kecil di saku, sudah kecoklatan dimakan usia, sementara tangan kiri Pak Tua sibuk menggerakkan kemudi sepit –berbentuk tuas menyambung ke mesin perahu.

Aku menyeringai, membaca sekilas judul buku: ‘Panduan Mesin Tempel’ dengan merk Jepangnya tercetak besar-besar di bawah.

“Tenang, ada bahasa Indonesia-nya. Aku tahu kau tak pandai cas-cis-cus, apalagi bahasa kampetai.” Pak Tua tertawa menggoda, tangannya sedetik melambai, sepit kami berpapasan dengan sepit lainnya yang penuh penumpang, satu-dua penumpangnya terlihat memakai payung warna-warni, terik matahari pagi menyengat permukaan Kapuas, karena sepit tidak berpenutup kepala, banyak penumpang yang sengaja membawa payung. Elok sekali melihat sepit berlalu-lalang dengan penumpang mengembangkan payung.

“Logika mesin tempel itu sederhana, Borno. Hanya terdiri dari mesin penggerak, transmisi dan propeler, itu saja. Kau lihat, kita mengemudikan sepit hanya geser kiri-geser kanan, tambah gas, kurangi gas. Nanti setelah beberapa rit, tanpa penumpang, kau boleh coba.” Pak Tua menunjuk tuas kemudi, terlihat santai menggerak-gerakkannya, sepit melaju stabil meski permukaan Kapuas sedikit bergelombang setelah berpapasan dengan sepit lain.

“Logika mengemudi sepit itu sama persis dengan mengemudi oplet, ah ya, kudengar kau pernah belajar mengemudi mobil dengan si Jaya? Bagaimana, mudah, kan?”
Aku mendengus, itu bukan belajar, itu penipuan.
Pak Tua tidak memperhatikan, melanjutkan, “Bahkan logika mengemudi sepit sama dengan mengemudikan kereta api atau pesawat terbang.”
Aku kali ini tertawa.
“Kenapa kau tertawa, hah?” Pak Tua menyeringai bingung.
“Dari mana Bapak tahu soal kereta api? Tidak ada rel kereta di seluruh Kalimantan, apalagi Pontianak?” Aku masih tertawa, kali ini terlepas dari fakta Pak Tua tahu banyak hal, sepertinya dia berlebihan.
“Kau keliru, Borno. Aku memang tidak pernah melihat kereta api, apalagi naik pesawat terbang, tetapi aku bisa membayangkannya, berimajinasi, pastilah sama logika mengemudikan benda-benda itu. Ah, kau seperti tidak tahu kata bijak itu: imajinasi jauh lebih penting dibanding pengetahuan.”
“Apanya yang sama? Satu di air, satu di darat, satu lagi di udara.” Mana aku tahu soal kata bijak itu, segera kalimat memotong Pak Tua.
“Lah? Tambah gas, kurangi gas, belok kiri, belok kanan, itu saja, bukan? Semua kendaraan hanya punya logika itu, kecuali pesawat, bisa naik-turun, selebihnya sama.” Pak Tua ikut tertawa, dia mulai mengurangai kecepatan sepit, dermaga kayu seberang Kapuas tinggal tiga puluh meter. “Percaya atau tidak, jika kau sesederhana itu membayangkan logika mengemudi, kau bahkan bisa menerbangkan pesawat tanpa perlu belajar, dan bukankah ada banyak kasus orang yang bisa seperti itu. Kebanyakan orang justeru sebaliknya, Borno, dibuat rumit, lebih banyak takut, ragu-ragu, jadilah dia hanya untuk belajar belok kiri, belok kanan butuh berminggu-minggu. Belajarlah mengemudi sepit atau hal lain seperti kau dulu belajar naik sepeda, tidak takut jatuh, tertawa riang.”

Aku menggaruk rambut, tidak berkomentar lagi, Pak Tua lembut menggerakkan tuas kemudi, membuat sepit seperti seekor angsa, merapat anggun ke dermaga. Petugas timer membantu penumpang yang berloncatan.

“Terima-kasih, Pak Tua. Dan kau, semoga lancar belajarnya, Borno.” Salah-satu ibu-ibu berseragam PNS pemkot Pontianak mengedipkan mata sebelum melangkah.
“Eh?” Aku mengangguk salah-tingkah. Bagaimana dia tahu namaku?
“Semua penumpang sepit kenal kau, Borno.” Pak Tua tertawa menggoda, mengarahkan sepit ke antrian, sepit lain bergegas merapat mengambil penumpang, “Ingat surat keputusan si Togar? Wajah kau terpampang besar-besar di kertas berlaminating.”

Aku merutuk dalam hati, sial. Pak Tua sekarang asyik meraih gumpalan uang di dasar perahu, melurusukannya, me-reken. Dan ternyata, panjang umur, orang yang kubenci itu tiba-tiba sudah berdiri di tepian dermaga kayu.

“Hah, apa yang kau kerjakan di sini, anak tak tahu diuntung?” Bang Togar tanpa tedeng aling-aling berseru galak.
Aku meneguk ludah, “Belajar nyetir sepit, Bang.”
“Nenek-nenek pikun juga tahu kau sedang belajar nyetir. Semua orang sibuk membicarakannya, di warung kopi, di gang, di jalanan, di dermaga ini, di mana-mana. Borno mau jadi pengemudi sepit, mereka bilang. Borno mau belajar mengemudi sepit, bisik mereka.” Bang Togar tidak berkedip, dengan gaya sok-berkuasanya menatapku, “Maksud aku, kenapa kau masih di perahu, segera naik.”

Aku menoleh pada Pak Tua, yang ditoleh mengangkat bahu, menunjuk dermaga dengan ujung bibir, kau naiklah, Borno, demikian maksud Pak Tua.

“Enak saja kau langsung belajar, duduk di buritan macam turis plesir. Tidak ada belajar-belajar hari ini sebelum kau membersihkan kakus. Lihat itu, kau siram bau pesingnya.” Bang Togar menunjuk jamban di dermaga kayu.

Lima belas menit bersitegang dengan Bang Togar, aku baru sadar kalau aku tidak punya amunisi untuk membantah penghinaannya. Ini ospek, masa orientasi, dan karena dia adalah ketua PPSKT, tidak ada tawar-menawar. Aku menatap ke pengemudi sepit lain, mereka nyengir, sibuk menonton dari atas buritan perahu masing-masing. Pak Tua hanya mengusap dahi, tidak berkomentar. Maka dengan hati mengkal, aku meraih ember dan sikat di ujung kaki Bang Togar. Baiklah, tidak mengapa, hanya disuruh membersihkan jamban.

Jadi begini, jamban di dermaga sepit dan juga di tepian Kapuas rata-rata super praktis. Bentuknya sih sama dengan jamban kebanyakan, kotak 1x2x2 meter, terbuat dari papan, bedanya kalau di rumah kalian ada mekanisme leher angsa, kakus model duduk, pipa-pipa ke septic tank, jamban di tepian Kapuas ya hanya lubang menganga ke bawah. Brol. Demikian nasib kotoran, langsung jatuh ke permukaan air—segera dikerubuti ikan-ikan kecil. Samanya dengan jamban umum lain, meski air melimpah, tinggal ciduk, tetap saja bau karena yang menggunakannya pemalas, tidak tahu tata-krama. Malas menyiram cipratan buang air kecil, lama-lama bau pesing juga.

Inilah yang sedang kubersihkan. Bang Togar sengaja benar menunggui aku, tangan bersidekap, menunjuk ini-itu, bilang kurang bersih, kurang lama, kurang kinclong, pengemudi lain menahan tawa. Aku terbungkuk-bungkuk terus menyikat. Adalah lima belas menit penghinaan Bang Togar, hingga dia puas, lantas balik kanan meninggalkanku yang menyeka keringat. Sial.

***
Hari ketiga belajar sepit.
“Sebaiknya kau tidak narik sepit kalau hati sedang gundah, Borno.” Pak Tua menggodaku sambil memperhatikan gerakan tanganku di tuas kemudi mengendalikan sepit.
“Apa?”
“Tampang kau memperlihatkannya, Borno. Kusut. Kau terlihat tidak bersemangat dengan pelajaran hari ini, mengemudikan sepit langsung untuk pertama kalinya.” Pak Tua mengangkat bahu.
Pagi ini kemajuan belajarku memang menyenangkan, Pak Tua memberikan kesempatan membawa sepitnya tanpa penumpang. Jadilah sejak setengah jam lalu aku membawa perahu tempel itu berhuluan, berhiliran, mondar-mandir, merasakan sensasi gerakan tuas kemudi, getaran mesin, aliran permukaan Kapuas, berputar, berbelok, bahkan tadi Pak Tua menyuruhku mendekati pelampung, riak air yang timbul dari kapal feri membuat sepit yang ku-kemudikan sedikit oleng. Hanya saja sejak setengah jam lalu aku berdiam diri, masygul berkonsentrasi atas tiga hal, kemudi sepit, permukaan Kapuas, dan orang yang kubenci itu.

“Kau jangan ambil hati soal Togar, dia memang biasa menyebalkan.” Pak Tua menghibur.
Apanya yang biasa, sudah tiga hari ini aku disuruh membersihkan jamban, tidak hanya satu, tapi dua jamban, di dua dermaga seberang-seberangan, tidak hanya pagi, tetapi juga siang dan sore hari. “Minum obat saja tiga kali, hah. Membersihkan jamban juga harus tiga kali sehari.” Bang Togar seperti biasa sok pintar, mencoba berlogika di atas logika. Mulutku bungkam, tidak bisa melawan.
“Kau tahu apa yang bisa dengan segera membuat tampang kusutmu mencair macam mentega lumer di penggorengan, sebal di hati pergi seperti kotoran disapu air?” Pak Tua bersidekap takjim, menikmati laju sepit membelah Kapuas—aku belum berani melajukan sepit dengan kecepatan, sepit sejak tadi melaju sedang dan konstan.
“Apa?” Aku menoleh.
“Sederhana, Borno. Kau bolak-balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan. Seketika, wajah kau tak kusut lagi. Dijamin berhasil. Bahkan Togar malah mencak-mencak lihat kau tersenyum tulus saat dia meneriaki kau bergegas menyikat kakus.”
Sayangnya itu lebih mudah dikatakan, teori. Prakteknya susah. Persis saat sepit Pak Tua merapat—aku sekaligus belajar merapat ke dermaga, belum genap motor tempel kumatikan, Bang Togar sudah berseru kencang.

“Nah, akhirnya muncul juga kau, Pengkhianat.”
Aku meneguk ludah. Musnah sudah skenarioku untuk tersenyum.
“Dari mana saja kau, hah?”
“Belajar mengemudi sepit, Bang.” Aku menelan ludah.
“Astaga, lagi-lagi jawaban bodoh. Semua orang juga tahu. Yang aku tidak tahu kenapa kau tidak di sana.” Bang Togar menunjuk jamban.
“Sudah kubersihkan tadi, Bang.” Aku menyeringai.
“Tetapi belum kau cat. Lihat, kuas dan kaleng catnya.” Sudut mata Bang Togar menunjuk ujung kakinya, “Sana kau cat jamban itu jadi meriah, macam payung yang dipakai amoy saat menyeberang.”

Untuk kesekian kali aku seperti kerbau dicucuk hidung, terbungkuk membawa kaleng cat besar. Nasib, ternyata bukan hanya membersihkan jamban tiga kali sehari. Juga tidak hanya mengecat jamban. Selepas pekerjaan itu, dengan sisa cat di kaleng masih separuh, Bang Togar meneriakiku agar mengecat perahu tempelnya. Selepas itu, hari-hari berikutnya, dia malah menyuruhku menyikat perahunya. Membantu memperbaiki motor tempelnya, berlumuran oli. Dia benar-benar telak mem-plonco-ku, dan Pak Tua, Cik Tulani, Koh Acung, serta pengemudi lain tidak ada yang berdiri di belakangku membela.

“Kenapa kau tidak berhenti saja belajar mengemudi sepit?” Hanya Andi, teman sejawatku yang selalu membela. “Tidak penting juga kau pandai mengemudikan motor tempel.”

Aku menggeleng, aku sudah mengangguk pada permintaan Ibu, tidak mungkin aku mundur hanya gara-gara ulah Bang Togar. Malam temaram membungkus langit kota, bintang menghiasi. Dari jauh terdengar anak-anak yang bermain pistol-pistolan ruas bambu berpeluru buah jambu.

“Sebenarnya siapa sih dia? Mengurus istrinya saja tak becus. Kenapa kau tidak berani melawan? Bilang tidak, kau lemparkan kuasnya, kau banting kunci inggris, kau banting ember, apa saja.”

Aku tetap diam, menguap, entahlah, sepertinya aku memang membiarkan diri sendiri dizalimi Bang Togar. “Aku mengantuk, Kawan. Kita sambung besok malam saja. Sudahlah, kau tak usah ikut leteh memikirkan urusan ini. Toh besok sore aku selesai belajar mengemudi, Pak Tua besok mengijinkanku membawa sepit dengan penumpang. Jadi si Togar bukan masalah lagi.”

Andi hanya mendengus, “Kadang kau terlalu naif, Borno, terlalu menerima. Kalau aku, sudah sejak seminggu lalu kudorong dia jatuh ke Kapuas.”

Aku melambaikan tangan, beranjak pulang.

Apa kata Pak Tua dulu? Banyak urusan bisa diselesaikan hanya dengan membolak-balik sedikit saja hati kita. Sedikit saja, maka pengaruhnya bisa besar sekali. Itu benar, esoknya, tidak terbayangkan, aku justeru memeluk Bang Togar, bilang beribu terima-kasih.

***bersambung

Orang baik

25 Desember 2010

Tiba-tiba inget bahwa gw pernah memiliki janji di sebuah postingan untuk menceritakan tentang sahabat gw yang bisa bikin tangan gw keriting kalau gw ceritaiin di blog ini. Tadinya gw mau melunasi janji itu dengan sok-sokan sebagai kado ulang tahunnya tahun ini :P

Tapi karena ada beberapa hal :
  1. Lima belas menit gw diam mematung di depan laptop. Bingung mau mulai dari mana.
  2. Produktivitas menulis lagi menurun. Lagi kekurangan kosakata dan perbendaharaan kata baru (bukannya sama aja ya?).
  3. Setelah dipikir-pikir, apa lagi yang mau gw tulis? Hitung aja ada berapa namanya yang pernah gw tulis di blog ini. Cukup membuat gw untuk tidak bisa menceritakan apa-apa lagi tentang orang yang satu ini.
Akhirnya gw urungkan niat tersebut. Lagipula, apalah arti sebuah kado kalau kata Nisop gak ada yang lebih indah dari doa yang dirahasiakan, iya khan Sop? :D Jadi, maaf ya para pembaca. Gw gak bisa melunasi janji gw yang satu ini.

Intinya, abang gw yang satu ini orang baik. Dan akan selalu menjadi orang yang baik sampai kapanpun. Iya khan bang? ;)

Selamat ulang tahun Kiagus Aufa Ibrahim. Semoga segala doa yang dikirimkan hari ini, baik secara terang-terangan maupun yang dirahasiakan, tidak ada yang pending di tingkatan langit manapun :)

Bos gw ternyata udah 19 tahun :)

24 Desember 2010
Agam : Kalau gini terus, kayaknya ngasih surprise ke orang sebulan sebelumnya aja ya.
Setuju sama agam! Gak jauh  beda sama tahun lalu, surprise tahun ini juga gak benar-benar berhasil. Apalagi  untuk nih orang satu. Yang tingkat hormon ge-ernya tinggi banget. Yang pagi-pagi udah buka pintu rumah gede-gede udah berasa aja ada yang mau dateng, walaupun bener sih :P

Selamat ulang tahun bos!

Kuenya si bos

Yah, apapun itu. Selamat tahun bos :)

Gw kira lw 92 loh bos. Baru tau lw ternyata lebih tua daripada gw. Berarti selama ini gw durhaka terus dong ya sama lw? hohoho :P

Udah 19 tahun ya? Gak mau doain lw biar jadi dewasa, ah. Soalnya kalau lw jadi dewasa bakal gak seru. Tapi, semoga lw selalu bisa tetep dipercaya ya, bos. Seperti saat ini :)

Episode 9 : 'Kau, Aku & Kota Tua'

Gang Di Tepian Kapuas

Warung kecil di pojokan dermaga kayu mengepulkan aroma pisang goreng, lezat menggoda. Aku menelan ludah, walau sudah sarapan, rasa-rasanya perutku usul minta diisi kembali. Tidaklah, aku menggeleng, teringat Ibu tadi shubuh memaksa menyiapkan sarapan meski kurang sehat, bagaimana mungkin aku duduk di kursi panjang menikmati segelas kopi hangat dan pisang pontianak hanya untuk menurutkan nafsu perut. Terus melangkah ke pinggir dermaga.

Anak berseragam merah-putih bergerombol menunggu sepit berikutnya. Satu-dua tidak sabaran, bilang tentang terlambat ikut ulangan, mendesak ke pinggir papan, petugas timer sibuk menghalau, “Nanti dulu, Nak. Sabarlah sikit. Aduh, jangan dekat-dekat tepian, nanti kau jatuh.” Sekaligus sibuk meneriaki dua sepit agar bergegas merapat, antrian macet, sudah macam jembatan beton di hulu Kapuas yang sering tersendat di jam-jam sibuk, antrian sepit tersendat, ada satu sepit tanpa pengemudi tidak sengaja terbawa arus, melintang dekat tambatan, beberapa pengemudi berteriak sebal.

“Pagi, Borno. Kau nampaknya datang terlambat.” Pak Tua mengabaikan keributan kecil di dermaga kayu, menyeringai menyapaku.
Aku balas menyeringai, menguap, “Pagi, Pak.”

Pak Tua tertawa. Dia tidak seperti biasa dengan santai kemudian bertanya, “Nah, kau hendak kemana pagi ini, Borno? Dermaga pelampung? Kantor syahbandar? SPBU? Pabrik karet? Mau kuantar sekalian?” Aku tidak akan kemana-mana, dan Pak Tua tahu sekali itu, pekerjaanku kali ini tidak di mana-mana.

Seminggu lalu, Ibu berkata pelan, “Kau tidak selamanya bekerja di sana, Borno. Besok-lusa kalau ada kesempatan lebih baik, kalau tabungan kau sudah cukup, kau bisa pindah sekaligus kuliah seperti yang kau idam-idamkan.”

Aku diam, menatap lamat-lamat bulan sabit menggantung di atas menara BTS seberang Kapuas.
“Borno juga sudah bekerja selama ini, Bu. Tidak masalah juga serabutan.”
“Justeru itu. Apa yang kau lakukan? Ikut mencari kucing hilang? Membantu membetulkan genteng? Itu bukan pekerjaan, itu tolong-menolong. Kalau kau mau, kenapa tidak belajar jadi tukang sekalian? Atau kau buat jasa penitipan kucing. Jangan serba tanggung.”
“Borno tidak mau pekerjaan ini, Bu.”
“Kau bebal sekali, almarhum Bapak kau dulu hanya bergurau, pesan itu tidak serius.” Ibu mengatakan hal yang sama untuk ketiga kali, masygul.
Aku menggeleng, juga masygul—bukan pada Ibu, tapi lebih pada bagaimana Ibu tidak mengerti keberatanku? Ibu tentu tahu, Bapak dulu berpesan demikian, itu wasiat orang telah meninggal.

“Haiya, apalah artinya kalimat itu, Borno? Aku selalu bilang pada dua anakku yang sekarang sekolah di Surabaya, ‘Kalian orang kalau sudah besar, jangan jadi pedagang toko kelontong macam Kokoh’. Tapi kalau mereka orang kelak ternyata jadi pedagang besar di Jawa sana, mau bilang apa? Malah bagus itu.” Koh Acung santai melambaikan tangan—matanya menyipit memperhatikan tiga orang yang sedang berbelanja. Tiga malam lalu, aku sengaja datang ke tokonya, protes tentang hasil pembicaraan mereka dengan Ibu.

“Woi, kau ini jangan memperumit masalah, Borno. Lihat, Cik kau ini selalu bilang pada si buyung, ‘Nak, Ayah hanya tamat SD, kau setidaknya tamat SMP, anakmu kelak lulus SMA, dan cucumu nanti berijasah sarjana.’ Lantas kalau si buyung ternyata bisa bergelar doktor, dia jadi tidak mendengarkan wasiatku? Menjadi anak durhaka, dibakar api neraka, karena tidak mendengarkan pesanku saat kecil?” Cik Tulani mengangkat bahu, memasang ekspresi ‘apanya yang rumit? Masa’ hal sekecil itu kau tidak paham? Si buyung saja paham.

Aku mendengus jengkel ke arah piring—baik sekali Cik Tulani menyiapkan satu porsi pindang ikan, mungkin agar aku tidak marah-marah soal pembicaraan mereka—urusan ini tentu tidak bisa dianalogikan dengan wasiat sekolah lebih tinggi. Almarhum Bapak dulu jelas-jelas melarangku.

“Pada akhirnya terserah kau, Borno.” Pak Tua menatapku, di malam berikutnya, safari protes ke peserta rapat itu, “Kau mau, maka aku akan membantu. Kau keberatan, maka kita lupakan. Sebenarnya ini ide-ku, awalnya hanya pembicaraanku dengan Saijah, Ibu kau, beberapa minggu sebelumnya. Tulani dan Acong ikut karena mereka teman dekat almarhum Bapak kau. Awalnya si Togar juga hendak turut berembug, tapi kupikir itu tidak perlu, kau pasti tidak suka bahkan mendengar namanya. Aku mengusulkannya, Ibu kau menyetujui, Tulani dan Acong mendukung. Apa salahnya?”
“Aku tidak akan melanggar pesan Bapak, Pak Tua.”
“Siapa yang minta kau melanggarnya?” Pak Tua tertawa.
“Bagaimana mungkin aku tidak melanggarnya?” Aku melipat dahi, “Bagaimana mungkin Pak Tua tidak paham-paham? Bapak berpesan padaku kalau nanti besar, jangan pernah jadi nelayan, jangan pernah jadi penge—“
“Jamak itu, Borno.” Pak Tua memotong kalimatku, menggelengkan kepala, “Lazim sekali seorang petani akan bilang ke anaknya, nak, kau nanti kalau sudah besar jangan jadi petani, tidak bisa kaya. Seorang guru SD bilang ke anaknya, nak, kau nanti jangan jadi guru, hidupnya susah, makan hati pula. Seorang kuli kasar bilang ke anaknya, nak, kau jangan pernah jadi kuli, keringat diperas, gaji tak memadai. Tetapi maksud mereka tidaklah demikian, hakikat sejati pesan itu adalah agar kau jadi lebih baik dalam kehidupan. Sayangnya, aku membujang hingga renta begini, Borno, kalau aku punya anak, maka aku akan berpesan, nak, jangan jadi bapak yang hidupnya hanya bagai pertapa menatap takjim perahu melintas di Kapuas, jadilah petualang, mengelilingi dunia, kau akan melihat banyak tempat, kau akan bertemu banyak orang.”

“Nak, jadilah penemu, bukan hanya menemukan mesin-mesin, benda-benda yang bermanfaat bagi manusia tapi juga memecahkan kemalasan dan penyakit sosial. Jadilah penengah, yang mendamaikan bukan hanya dua negara bertikai, tapi juga mendamaikan hati-hati manusia. Atau jadilah penulis, yang tidak sekadar menumpuk buku-buku, tetapi juga membuat gunung inspirasi kebaikan. Dan di atas segalanya, mau jadi apa kau kelak, nak, aku tentu berharap kau jadi lebih baik dibandingkan bapak kau ini. Lebih jujur, lebih bersahaja, lebih ringan hati dan lebih pandai menjaga harga diri.”

“Nah, ketika almarhum Bapak kau bilang wasiat itu, Borno, jangan pernah jadi pengemudi sepit, maka bukan berarti dia melarang kau menjadi pengemudi sepit. Percayalah pada orang tua ini, Borno, pertapa yang terlalu takjim menatap aliran sungai Kapuas. Bapak kau pastilah mengijinkan kau menjadi pengemudi sepit seperti yang kami bicarakan. Ibu kau tidak keberatan, dan aku bisa membantumu.”

Aku terdiam. Ya, itulah pesan Bapak dulu. Saat pulang menemaninya melaut seharian, badan gosong, bibir mengelupas, rambut kering bercampur butir garam, ketika melintas memasuki mulut sungai Kapuas, menuju rumah kayu kami, Bapak menatapku lamat-lamat, “Kau lihat sendiri, Borno. Beginilah hidup nelayan. Kau sudah merasakannya seharian. Kerja keras, hasil seadanya. Jangan pernah menjadi nelayan, Nak. Jangan pernah jadi nelayan seperti bapakmu.” Dan saat di depan kami melintas sepit penuh penumpang, Bapak menepuk bahuku, “Juga jangan pernah jadi pengemudi sepit, Borno. Kakek kau dulu, punya sepuluh perahu tempel, kaya-raya, tetapi lihatlah akhirnya, dia meninggal dengan mewariskan hutang. Jangan pernah jadi pengemudi sepit.”

Pagi ini, aku berdiri persis di depan Pak Tua yang menyeringai lebar.

Butuh dua minggu berpikir matang, menimbang-nimbang. Pagi ini, aku memutuskan untuk mengambil pekerjaan yang tidak pernah kupikirkan sejak kecil. Pagi ini, aku akan memulai kehidupan sebagai: pengemudi sepit. Tetapi di atas segalanya, aku punya pemahaman baru atas wasiat almarhum Bapak. Sungguh, Pak, Borno akan jadi lebih baik, setidaknya aku tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras—meski akhirnya hanya jadi seorang pengemudi sepit.

***bersambung

Jumat, 24 Desember 2010

Resisten

24 Desember 2010
Kakak : Kamu kalau pake lotion anti nyamuk jangan setiap hari. Nanti nyamuknya jadi resisten sama lotionnya.
Pada pernyataan yang lalu, sering-sering memberanikan diri melihat kenyataan, memudahkan mendepak fantasi dan imaji dari pikiran.

Tapi kalau kasusnya kali ini, sering-sering memberanikan diri melihat kenyataan malah membuat diri resisten akan kenyataan itu sendiri yang berimbas pada penumbuhkembangan fantasi dan imaji yang jauh lebih besar, ceritanya bakal kayak gimana ya?

Episode 8 : 'Kau, Aku & Kota Kita'

Gang Di Tepian Kapuas

Urusan ludah-meludah ini apalagi kalau bukan sarang burung walet. Cobalah panjat menara relay stasiun TVRI Pontianak, tengoklah ke seantero delapan penjuru mata angin, bangunan apa yang paling banyak terdapat di kota ini? Apalagi kalau bukan hotel mewah burung walet, jumlahnya beda-beda tipis dengan masjid ditambah kelenteng. Bentuk bangunan sarang walet menyerupai kotak, tinggi, tanpa cat, hanya warna semen mengelupas, dibuat permanen dari beton, dan konstruksi serta material terbaik—peduli amat kalau pemilik sarang burung walet itu sendiri hanya punya rumah yang bersahaja, kamar terbatas dan penghuninya terpaksa berhimpitan.

Siapapun dengan cepat akan mengenali bangunan sarang burung walet, karena selain mencolok, buat yang tidak pernah tahu, pastilah tidak habis pikir bertanya-tanya bangunan aneh apa yang tinggi dan kokoh tanpa jendela itu, seperti penghuninya benci matahari. Setiap senja datang, ribuan burung walet terbang di atas kota, melengking berisik. Kalau sedang suntuk, cobalah duduk di ujung dermaga kayu tepian Kapuas, lantas lamat-lamat menatap formasi burung walet hingga matahari terbenam, itu efektif menghilangkan beban pikiran. Beda kasus jika rumah kalian berdekatan dengan bangunan sarang walet yang padat burung, polusi suara yang ditimbulkan bisa sebaliknya, menambah stress.

“Selera makan manusia itu aneh, Borno.” Pemilik 37 gedung sarang walet di Pontianak, kenalan pejabat Syahbandar, dengan senang hati menjelaskan duduk perkara, “Ada yang suka makan ular, kodok, kepala kambing, monyet, atau bulu babi, ternyata ada juga yang suka makan ludah. Haha, ludah, kau bayangkan saja. Menjilat ludah baik secara harfiah maupun kiasan saja menjijikkan bagi sebagian orang, ini justeru sungguhan makan ludah.” Pria keturunan separuh baya itu tergelak.
Aku bergidik, bulu kudukku mulai berdiri.
“Kau pernah menikmati semangkok sup sarang burung walet?”
Aku menggeleng, semakin jerih—aku punya pengalaman buruk dengan segala jenis burung, nantilah kapan-kapan kuceritakan kenapa—sekarang lawan bicaraku malah asyik membahasnya.
“Tentu tidak pernah.” Pemilik 37 rumah sarang burung walet itu kembali tergelak, “Kalau kau saja pernah makan sup sarang burung walet, makanan itu berarti tidak istimewa, sama kastanya dengan pisang pontianak kalau begitu. Kau tahu, satu ons sarang burung walet terbaik, harganya tak kurang satu juta, nah, setelah diberi bawang putih dari dataran Tibet, potongan kentang dari Mongolia, dikucuri cuka pedalaman China, jadilah sup nikmat tiada tara, harganya bisa dua kali lipat lagi. Kau bisa membeli beratus piring pisang pontianak dengan semangkok sup Yan Wo.”

Aku hanya diam, menyeka dahi. Kupikir apalah pekerjaan terkait dengan ludah-meludah seperti yang dikatakan pejabat syahbandar dua hari lalu, bersemangat datang ke alamat yang diberikan, ternyata tentang b-u-r-u-n-g, mahkluk yang paling kuhindari selama ini—sama dengan kalian jerih pada tikus, kecoa atau laba-laba. Sialnya, pemilik 37 sarang walet itu malah menganggap ekspresi wajahku cerminan rasa ingin tahu atau terpesona, “Ini bisnis tujuh generasi, Borno. Aku cicit-cicitnya pemilik rumah sarang burung walet pertama kali di Pontianak. Jaman dulu, mereka harus mencarinya di goa-goa pedalaman sana, menantang mati dengan julur-julur bambu seadanya saat memanen sarang burung di kegelapan dan ketinggian belasan meter. Saat pertama kali kakek-kakekku membangun rumah burung walet, semua orang mentertawakan, bagaimanalah burung itu akan tertarik tinggal di rumah? Memangnya dia kucing? Atau kambing atau ayam? Berkembang-biak lantas mau membuat sarang dari ludah kentalnya. Jauh panggang dari api.”

“Tetapi kakek-kakekku tidak menyerah, dia menemukan trik dan rahasia cairan perangsang, keturunan berikutnya membuat rekaman suara walet untuk mengundang burung itu bersarang, hingga sekarang, 37 sarang yang kumiliki dikelola secara modern, scientific, pendekatan ilmiah, dan tentu saja produktif. Kami menjaga suhu dan kelembaban, ada alat monitor elektronik. Tak kurang tiga ton setiap bulan panennya, kau hitung sendiri berapa omzetnya.”
Aku meneguk ludah, “Re-ka-man su-a-ra?” Demi sopan-santun setelah terdiam satu menit, dengan wajah sedikit pias, memaksakan bertanya.
“Iya, sekarang malah ada keping CD pemanggil walet. Kau pasang audio system di dalam gedungnya, kau putar keping CD itu, macam memutar orkes dangdut di kampung, berbondong-bondong burung walet datang. Sarang mereka bergelantungan di langit-langit gedung, besar-kecil, betina-pejantan, beranak-pinak, banyak sekali, coba kau bayangkan.”
Aku meneguk ludah, tidak kubayangkan saja aku sudah mau mual.
“Mau kuperlihatkan fotonya?” Dan tanpa menunggu persetujuanku, pemilik 37 sarang burung walet itu beranjak meraih album foto.
Jemariku gemetar—sama saat kalian gemetar dikepung dua tikus, bedanya kalian bisa loncat ke atas kursi, meja apa saja, aku tentulah tidak bisa seketika lari dari ruangan itu. Demi sopan-santun meremas paha, membujuk diri meneguhkan hati.
“Ini foto sarangnya, banyak sekali bukan? Ini foto induk burung walet berkembang-biak. Ini telurnya. Ini proses panen sarangnya, inilah pekerjaan kau nanti, tenang, Borno, kau akan mengenakan masker, sarung tangan, semua aman, tidak ada itu flu burung, tetapi ya itu, tentu saja di sekitar kau berisik sekali, ribuan burung walet melenguh, mengerumuni—“
Kalimat riang pemilik 37 sarang burung walet itu terputus, aku sudah muntah persis mengenai album foto yang terbentang lebar.

***

Tidak. Aku tidak akan bekerja di bangunan sarang burung walet. Sebaik apapun pemiliknya, sebanyak apapun gajinya, sesederhana apapun pekerjaanku, ayolah, apanya yang sederhana kalau aku harus berhadapan dengan ribuan burung dalam ruangan tertutup dan gelap? Pejabat syahbandar tertawa lebar, manggut-manggut saat aku datang lagi, daripada aku lagi-lagi mengecewakan dia, kuputuskan untuk berusaha sendiri mencari pekerjaan berikutnya.

Terbetik kabar, Ijong, petugas SPBU hendak cuti panjang, pulang ke Jawa menjenguk embok-nya, dengan senang hati aku menjadi pemain pengganti, bekerja di sana selama dua bulan. Itu bukan sembarang pom bensin seperti yang kalian lihat di jalan protokoler Pontianak atau lintas trans Kalimantan, itu SPBU terapung di tepian Kapuas. Perahu tempel, kapal nelayan, boat, drum penjual minyak ke pedalaman Kapuas, semua yang mengapung merapat ke bantalan karet SPBU, lumayan efek goyangnya, kalau kalian bukan anak sungai, dijamin muntah—sudah kaki limbung, bau pengap solar pula. Dari percakapan dengan pengemudi perahu, sambil menunggu meteran menunjuk angka pol, aku jadi tahu banyak soal mesin kapal, mana yang boros, mana yang suka ngadat, mana yang bandel, mana yang bagus (tapi mahal). Percakapan itu tidak selalu mulus, dua kali aku justeru bertengkar dengan pengemudi perahu yang santai merokok. “Kau tahu taipan paling kaya di negeri ini adalah pengusaha rokok. Dia dapat kayanya, kau dapat penyakitnya, dan pom bensin ini bisa kena bala-nya, meledak.” Aku berteriak marah, entah mengerti atau tidak awak perahu nelayan di hadapanku.

Saat aku mulai merasa nyaman duduk di atas kursi plastik (karena ternyata Ijong sudah tiga bulan tidak pulang-pulang), menunggu perahu yang membeli solar, menatap lalu-lalang kehidupan di sungai Kapuas, menatap burung walet terbang, ujung-ujung bangunan aneh berbentuk kotak itu, indahnya remang cahaya senja menerpa permukaan Kapuas, Ijong tiba-tiba pulang. Sumringah dia bilang mbok-nya sehat wal’afiat. Aku tahu diri, meski pemilik SPBU ingin aku saja yang bekerja di sana—Ijong ditolak kembali bekerja karena tidak pernah kasih kabar—aku menyarankan agar Ijong tetap diterima. Aku tidak akan mengkhianati teman.

Pengangguran lagi satu bulan, hingga Mang Jaya, sopir oplet berwarna oranye, jurusan kota-tugu khatulistiwa, menawariku menjadi kondektur. “Apa perlunya oplet punya kondektur?” Aku menyeringai, ragu-ragu. “Setidaknya kau bantu berteriak, kosong, kosong.” Mang Jaya, tetangga di ujung gang tertawa. “Ayolah, kau bisa sekalian kuajari nyetir mobil. Itu upahnya.” Benar juga, aku mengangguk. Maka jadilah aku korban kelicikan Mang Jaya. Tiga bulan ikut dia narik, tiga bulan juga kemajuan belajar nyetirku jalan di tempat, padahal selain itu, Mang Jaya tidak sepeser memberiku tips dari hasil nariknya. “Sabar, Borno, hari ini kita belajar men-starter mobil dulu.” Atau “Tenang, Borno, sore ini kau latihan saja dulu menginjak kopling. Ya, diinjak, dilepaskan, diinjak, dilepaskan. Rasakan sensasinya.” Tidak pernah aku sungguh-sungguh diberikan kesempatan menjalankan opletnya. “Sebentar, sebentar, hari ini cukup satu meter saja dulu.” Demikian dia melarang. Aku mendengus jengkel. “Lah? Aku saja dulu butuh setahun baru bisa nyetir, kau ini kemajuannya sudah luar-biasa. Sabarlah.” Demikian dia membujuk. Aku memutuskan berhenti.

Enam bulan terakhir dihabiskan kerja serabutan. Membantu Cik Tulani di warungnya, menunggui toko kelontong Koh Acung, ikut melaut mencari ikan dan sotong, disuruh-suruh tetangga memperbaiki genteng, toilet mampet, jendela lepas, bahkan mencari kucing hilang.

“Itu setidaknya membuktikan satu hal, Borno.” Pak Tua menghiburku, “Sepanjang kau mau bekerja apa saja, maka kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, malu, dipikirnya tidak pantas dengan ijasah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.”

Aku tidak keberatan dengan jenis pekerjaan remah-remah itu—daripada Ibu terus mengomel melihatku bengong di rumah. Hanya saja, dua tahun lulus SMA tanpa juntrungan, apalagi rencana hendak kuliah lagi sambil bekerja, rasa-rasanya sudah saatnya aku melakukan sesuatu sedikit serius. Enam bulan terakhir, setelah berganti-ganti banyak jenis pekerjaan, tanpa sepengetahuanku, Pak Tua, Cik Tulani dan Koh Acong mengunjungi Ibu di suatu malam, membicarakan sesuatu.

Hasil pembicaraan itulah yang membuatku berangkat pagi-pagi dari rumah hari ini. Tanpa seragam, tidak perlu mandi, diolok-olok tetangga sepanjang gang tepian sungai Kapuas. Inilah pekerjaan baruku, yang ternyata berkelindan dengan banyak hal, termasuk salah-satunya: bertemu dengan kisah cinta sejati. Salah-satu pertanyaan terumit selain berapa lama waktu yang diperlukan kotoran berhiliran dari hulu kapuas hingga muaranya di Laut China Selatan. Inilah pekerjaan baruku, dan Ibu, aku akan bekerja sungguh-sungguh.

***bersambung 

Kamis, 23 Desember 2010

BAB 2-Tentang Memilih*

"Kalau kamu gak bisa memilih, kenapa gak kamu sendiri yang membuat pilihan, ibu detektif?" ujar Rayyan tersenyum sambil memukul pelan kepala Nasha dengan gulungan kertas yang dipegangnya. Berlalu.
Ditatapnya punggung laki-laki yang diselamatkannya saat hari terakhir MOS itu  sampai tak tampak di sudut lorong. Wajahnya bersinar dan terlihat sangat antusias. Mengapa tidak terpikirkan olehnya selama ini. Membuat pilihan? Ide brilian!

***

Siaaaaal! Heuheuheu. Alur cerita, setting, latar, dan suasana cerita ini udah lama berputar-putar di otak gw. Tapi sampai saat ini gak bisa gw alirkan ke ujung jari untuk ditumpahkan dalam tulisan :'( Ngerti deh sekarang kenapa imajinasi (yang  ditumpahkan pada tempatnya) mahal harganya. 

Rayyan, Nasha, gw berpaling dulu dari kalian ya, sampai batas waktu yang belum ditentukan. Lebih tepatnya, sampai semua ide tentang kalian yang sedang jogging di otak gw berhasil sampai ke ujung jari. Heu.

Rayyan, Nasha, mau kuberi tahu sesuatu? Kalian  saat ini kalah set oleh mereka. Baru beberapa hari yang lalu berkenalan sama gw, mereka mampu mencapai ujung jari gw lebih cepat dari yang gw bayangkan.

Si ayah kedua.
Si nilai oriented.
Si fluktuator mood.
Si super sibuk.
Si bungsu menggemaskan.

Jujur, gw rindu suasana dikejar waktu. Dan mereka, berhasil menjadi penawar sementara untuk kerinduan itu.

Episode 7 : 'Kau, Aku dan Kota Kita'

Gang Di Tepian Kapuas

Bang Togar memberikan ultimatum, satu bulan. Jika aku tetap bekerja di dermaga feri, maka aku akan dikucilkan dalam segenap aktivitas penduduk gang sempit tepian Kapuas, mulai dari main kartu di balai-balai bambu hingga kepanitiaan kalau ada tetangga yang menikah. Separuh lebih penghuni gang menganggap itu berlebihan, tetapi dengan gayanya yang menyebalkan dan sok-kuasa, boleh jadi dia bisa meyakinkan kalau apa yang kulakukan memang kejahatan besar. Kenapa harus satu bulan? “Hah, itu berarti si Borno sudah terima gajian dari bos pelampung. Aku tidak mau lagi lihat tampang orang yang sudah makan uang musuh besar kita. Bukan cuma otaknya, tubuhnya sudah tercemar.” Bang Togar menjawab tegas, berusaha ber-logika di atas logika.

Aku juga sudah bertekad bulat tidak akan berhenti, setelah begitu banyak provokasi dan perlakuan tidak adil, maka hanya ada satu kata dalam benakku: lawan. Dan Andi, sohib dekat yang dulu jago pelajaran kewarganegaraan, berapi-api membelaku, “Lihat saja nanti pas satu bulan, seberani apa dia melarang-larang orang merdeka berlalu-lalang. Itu pelanggaran UUD ‘45. Harusnya dia urus saja dulu keluarga sendiri. Lihat, bukankah dia sudah bertahun-tahun pisah rumah dengan istrinya.” Andi balas mengungkit-ungkit ranah personal Bang Togar. Situasi semakin dekat tenggat waktu kian runcing, sudah macam mau Perang Teluk, ketika Irak menginvansi Kuwait.

Untunglah, ternyata pertikaian besar itu tidak perlu terjadi.

Minggu ketiga aku bekerja di dermaga feri, pagi Senin yang cerah, dermaga telah lepas dibersihkan, sejauh mata memandang terlihat kinclong, aku dan dua rekan penjaga palang pintu sudah bersiap, dan kapal feri sudah sejak tadi stand-by menunggu penumpang pertama, bergemuruh lembut mesinnya. Kehidupan kota Pontianak mulai menggeliat.

“Hei, orang baru, tadinya kupikir kau staf khusus dari Jakarta.” Salah-satu rekan kerja berbisik, mulai menyobek tiket penumpang.
Aku menggeleng.
“Tadinya juga kusangka kau staf khusus pimpinan dermaga ini, langsung ditempatkan di palang masuk.” Rekan itu menyeringai ganjil.

Aku menggeleng, tanganku cekatan memeriksa karcis, penumpang seperti air bah berkerumun tak rapi di depan palang pintu. Berebut menjulurkan tiket masing-masing. Sebenarnya, dua minggu bekerja di sana, aku tidak terlalu akrab dengan dua rekan lain yang berjaga. Satu, karena sibuk memelototi penumpang; dua, rasa-rasanya mereka berdua sejak awal selalu menjaga jarak, menatapku menyelidik, berbisik-bisik entahlah.

“Tadinya kukira kau ditempatkan di sini untuk tugas khusus.” Tertawa kecil.
“Tugas khusus?” Aku menyeringai tidak mengerti, mempersilahkan dua penumpang melintas palang pintu, berlari-lari kecil takut tertinggal jadwal feri satu menit lagi.
“Yeah, begitulah. Mata-mata, Kawan.” Tertawa lagi.

Dan diantara kesibukan melayani para komuter penyeberang Kapuas, setelah dua minggu bekerja di sana, aku baru paham ada sesuatu di palang pintu, ada udang dibalik batu. Aku pikir, pekerjaan ini akan lurus-lurus saja. Berdiri, periksa karcis, selesai.

“Tiketnya?” Aku bertanya pada penumpang yang hendak masuk.
“Biarkan saja lewat.” Salah-satu rekan mengedipkan mata.
Biarkan lewat? Dahiku terlipat, menunjuk, satu-dua-enam penumpang yang melenggang melewati pintu masuk tanpa tiket. Rekan itu mengangguk penuh maksud. Aku menelan ludah.
“Kau tahu, Kawan. Mereka dua minggu terakhir terpaksa membeli tiket. Takut kau seorang mata-mata. Ternyata bukan. Semua bisa kembali normal.” Rekan itu menepuk bahuku, saat istirahat makan siang di salah-satu restoran dekat dermaga feri, menunya istimewa, gulai kambing plus jus buah.
Dua rekan kerjaku itu santai menjelaskan situasi. Setiap hari, sambil mencoret-coret di atas tisue meja makan, ada belasan ribu penumpang komuter penyeberang Kapuas, belum terhitung sepeda motor. “Kita hanya mengambil sedikit, Kawan. Paling satu-dua, mereka kebetulan tetangga, kenalan, kerabat, teman. Jadi ya begitulah, tidak mengapa tak bayar tiket.”
Aku merutuk dalam hati, satu-dua? Tadi pagi jumlahnya puluhan, kecuali dua orang ini punya kerabat multi ras, kolega begitu luas, baru dapat menjelaskan kebaikan hati ini.
“Lagipula kasihan, mereka harus membayar tiket pelampung setiap hari, mahal, gaji mereka kecil, kita bantu sedikit, dan mereka bantu kita dengan hanya menyetor separuh harga tiket setiap akhir bulan.”
Rahangku mengeras, penjelasan mereka sudah cukup.

Feri Kapuas hanya butuh lima belas menit (termasuk proses merapat), karena terlalu singkat, tidak ada pemeriksaan karcis di atas pelampung. Setelah membeli tiket di loket, satu-satunya yang memastikan tidak ada penumpang ilegal adalah petugas palang pintu. Tidak ada cross-check berikutnya.
“Kau akan dapat bagian, tenang saja.” Bodohnya, rekan kerja di depanku mengartikan ekspresi wajah merahku demikian, “Tapi ya itu, karena kau orang baru, tidak langsung kita bagi tiga ya. Cincai, kan?” Tertawa lepas, seperti kata mufakat sudah diambil.

***

“Kau tahu, Borno. Tempat bekerja kau sebelumnya, meski bau karet, kotor berlicak, membuat orang lain menutup mulut saat kau lewat, hasilnya wangi. Halal dan baik. Dimakan berkah, tumbuh jadi darah dan daging kebaikan. Banyak orang yang kantornya wangi, sepatu mengkilat, baju licin disetrika, tapi boleh jadi busuk dalamnya. Dimakan hanya menyumpal perut, tumbuh jadi darah-daging keburukan dan keburukan.” Ibu menatap prihatin, setelah terdiam beberapa saat lepas aku bercerita. Dari bingkai jendela rumah kayu sempit kami, kota Pontianak terlihat syahdu dibungkus malam.
Aku diam, memainkan jari. Ibu (selalu) benar.
“Kau dijanjikan dapat berapa?” Pak Tua, beberapa hari kemudian, saat aku sengaja bertandang ke rumahnya, bertanya.
Aku menyebut angka. Itu dua kali gaji bulananku, amat menggoda bagi yang tidak berpikir panjang.
“Ah, kecil itu.” Pak Tua tertawa, ringan melambaikan tangan, “Aku kenal pemilik kebun kelapa sawit di Sabah. Dia bisa dapat sejumlah uang yang kau sebut setiap detik.”
Aku menatap Pak Tua tidak mengerti.
“Beginilah, Borno. Mari kita berandai-andai, beribarat dengan angka.” Pak Tua tersenyum bijak, “Gaji kau katakanlah enam ratus ribu, ditambah dengan uang haram itu, bisa jadi satu koma delapan juta. Kau butuh berapa tahun untuk mengumpulkan uang sepuluh milyar? 463 tahun, nyaris lima abad kau bekerja non-stop baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Kau tahu, butuh berapa lama pemilik kebun kelapa sawit kenalanku itu? Hanya enam bulan. Juga para pesohor, pengusaha, bahkan pemain bola ternama. Mereka hanya butuh hitungan tahun bahkan kurang untuk mendapatkan uang sejumlah itu. Kau sebaliknya, butuh lima abad. Dan kau tahu ironinya? Bedanya, Borno? Mereka melakukannya dengan jujur, kau melakukannya dengan curang, jahat.”
“Bagi kebanyakan pelaku korup, pencuri uang orang lain, bukan karena semata-mata mereka serakah atau jahat dari sananya, tetapi terkadang mereka tidak pernah paham kalau hidup ini hanya soal relatif perbandingan satu sama lain. Mereka membakar seluruh martabat, merendahkan harga diri, dengan mengunyah uang haram, menurut mereka uang itu sudah banyak benar, sudah mewah, bersenang-senang, mereka lupa dibandingkan kekayaan orang lain, itu sekadar angka-angka.”
“Apakah jadi bahagia dengan uang itu? Sepuluh milyar, kau bisa beli apa? Rumah, tanah, perhiasan, harta benda. Astaga, pesohor dunia satu sepatu-nya saja bisa satu milyar. Hidup ini sungguh sekadar soal perbandingan-perbandingan. Kau butuh lima abad, mereka hanya butuh satu tahun, jadi kenapa kita tidak bersyukur saja atas keran rejeki yang ada.”

Sejak kecil, aku terbiasa mendengar Pak Tua bicara filosofi hidup, menceramahiku, tapi kali ini aku tidak terima. Bukan tentang mencuri itu jahat, aku sepakat soal itu, aku keberatan dengan kalimat terakhirnya, “Pak Tua, aku belum melakukannya, dan demi Tuhan aku tidak akan melakukannya.” Protes dengan seringai tersinggung.

“Nah, justeru karena kau belum melakukannya.” Pak Tua tertawa, “Kau tahu, dalam urusan seperti ini, cara terbaik mengingatkan orang lain adalah dengan menganggap dia telah melakukannya. Agar rasa jijik kau muncul membesar, tanpa ampun langsung membunuh niat buruk untuk tumbuh.”
Aku mendengus sebal, aku sengaja datang bertanya cara menyelesaikan masalah di dermaga feri baik-baik, Pak Tua justeru sibuk mencemaskan hal yang tidak perlu dia cemaskan.

Dua hari kemudian, diantar sepit Pak Tua, aku berangkat ke syahbandar Pontianak. Bang Togar yang mendengar aku menumpang sepit, bergegas menghidupkan perahu tempelnya, macam adegan film-film laga, membelah Kapuas menyusul. Berani-beraninya ada yang melanggar surat keputusan berlaminating itu, tidak peduli meski Pak Tua sekalipun.

“Hoi Togar, bukankah kau sendiri yang menulisnya, Borno dilarang naik sepit hingga dia berhenti kerja di pelampung?” Pak Tua santai menjawab seruan marah Bang Togar, dua perahu saling melintang di dekat dermaga kayu, jadi tontonan pengemudi lain dan para penumpang yang hendak menyeberang.
“Borno sudah berhenti dari pelampung itu, Togar. Boikot atas dirinya selesai demi hukum.” Pak Tua mengangkat bahu.
“Apanya yang sudah? Dia belum berhenti, kemarin siang aku masih melihatnya di dermaga haram itu.” Bang Togar mencak-mencak.
“Ah, kau ini seperti lupa saja, Togar. Dalam banyak urusan, kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti. Seperti kau-lah misalnya, bukankah kau sudah merasa selesai urusan dengan istri kau walau belum benar-benar bercerai.”

Bang Togar kena skak-mat. Terdiam bagai patung, mendengar ranah personalnya disebut-sebut.
“Nah, sama saja dengan Borno, sejak dua hari lalu dia sudah merasa selesai dengan pelampung itu. Dia boleh naik sepit siapa saja. Ada yang merasa keberatan?” Pak Tua menoleh ke dermaga kayu.
Satu-dua masih mentertawakan wajah Bang Togar yang memerah, beberapa penumpang yang tahu urusan itu, karena melihat kertas berlaminating, mengangguk, bersepakat dengan Pak Tua, lantas bertepuk-tangan memberikan dukungan, disusul yang lain dan pengemudi sepit. Pak Tua tertawa, menepuk bahuku, “Kalau begitu, urusan boikot ini sudah selesai, Borno. Mari kita selesaikan urusan dengan pelampung dan pejabat syahbandar kenalan kau itu.”

***

Pak Tua benar, bukan urusanku nasib penjaga palang pintu dermaga feri setelah aku secara resmi melapor. Aku tidak mau dilibatkan lebih lanjut, juga tidak mau tahu, termasuk boleh jadi ada petinggi dermaga yang ikut terlibat, beking urusan jahat itu. Urusanku selesai dengan sekaligus menyerahkan surat berhenti. Aku menemui pejabat syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan. Pejabat syahbandar mengelus dahi, “Tidak mengapa, Borno. Bukan masalah besar. Kalau kau mau, aku bisa mencarikan pekerjaan baru. Ahiya, ada kenalanku, pengusaha besar di Pontianak, bisnisnya dari urusan ludah-meludah, tapi dia kaya raya. Hebat sekali orang ini, gedung miliknya memenuhi setiap jengkal kota Pontianak, bahkan lebih banyak dibanding Masjid atau Kelenteng dijadikan satu. Kau mau bekerja padanya?”

Ludah-meludah? Aku melipat dahi.

***bersambung
 

Sangsi

23 Desember 2010

Gw belum pernah belajar dan gak ngerti ilmu psikologi beserta percabangannya.

Tapi, pernah tumbuh di tengah-tengah banyaknya kepercayaan, cukup membuat gw tahu siapa saja orang yang sangsi untuk memberikan kepercayaanya lagi kepada gw.

Karena saat ini, senyumannya  tampak berbeda.

Episode 6 : 'Kau, Aku & Kota Kita'

Gang Di Tepian Kapuas

Sejak jaman si hantu pontianak bertekuk lutut, adalah perahu kayu yang menjadi primadona. Kemana-mana penduduk kota ini naik perahu kayu, mau berangkat sekolah, berangkat kerja, pergi kondangan, beranjangsana, berplesir-ria, berkunjung ke tetangga, termasuk hendak berbuat jahat, sepit adalah istimewa. Tentu jaman itu, perahu belum pakai mesin motor merk Jepang dengan PK-PK besar, masih pakai tenaga manusia, boleh jadi namanya masih selow.

Kota ini, kota sungai, selain Kapuas, juga ada cabang sungai lain yang bertemu di muara Laut China Selatan, maka tidak perlulah planolog lulusan terbaik untuk menyimpulkan, di kota ini transportasi air penting adanya. Jaman dulu, pemilik perahu kinclong, dari kayu paling kuat, dibuat oleh tukang paling baik rasa-rasannya sama levelnya dengan punya mobil mewah sekelas jaguar hari ini, status sosial nomor satu. Apalagi kalau punya belasan perahu, sudah macam punya garasi penuh mobil saja, bedanya tempat berderet-deretnya di dermaga atau tertambat di bawah rumah panggung.

Jaman berubah. Jembatan besar yang hanya ada dalam angan, selesai dibangun Repelita Tiga, orang-orang tua yang lahir di tahun masih berkepala 18 sekian sekian, dan masih sehat walafiat ketika presiden republik ini meresmikan jembatan itu ternganga kagum, “Amboi, alangkah besarnya. Sungguhkah ini nyata?” Dulu berkecipak-kecipak menyeberangi Kapuas butuh dua puluh menit dengan peluh mengucur karena harus kuat mendayung, tak becus tangan kalian mengayuh, bisa jadi terseret arus Kapuas dan terlalu hilir ratusan meter, dan saat menyeberang balik, lagi-lagi terlalu hilir ratusan meter. Total jenderal harus berhuluan lagi beratus-ratus meter. Repot. Ketika jembatan jadi, menyeberangi sungai tinggal hitungan menit. Menakjubkan.

Hadirnya jembatan beton di kota Pontianak sedikit banyak memangkas peradaban sepit. Kabar baiknya, jembatan itu dibangun di hulu, bukan persis di pusat kota—dibangun agak ke hulu dengan alasan agar tidak mengganggu lalu-lintas kapal besar, estetika, teknis, pembebasan lahan, perkembangan kota dan termasuk penghematan biaya. Dengan demikian, penduduk di jantung Pontianak terpaksa harus memutar jauh menumpang bus, mobil, atau angkot jika hendak menyeberang. Jembatan beton bukan masalah besar, dalam sisi tertentu perahu tempel tetap kompetitif.

Yang menjadi lawan tangguh sepit adalah: datangnya pelampung. Benar, pelampung, tentu aku tidak salah tulis. Pelampung inilah yang membuat Bang Togar mencak-mencak mendengar kabar aku diterima bekerja di dermaga feri. Malam-malam, beringas dia menghampiriku yang asyik memetik gitar bersama Andi, melantunkan lagu-lagu Melayu, dan tanpa ba-bi-bu, Bang Togar merampas gitarku, melotot, sekejap seruan marah buncah sudah dari mulutnya.
“Kau anak tidak tahu diuntung, Borno! Tiga turunan! Tiga turunan pelampung itu menghabisi kehidupan kita!” Bang Togar membentak, Andi yang tadi sambil menyanyi bilang motor besar kepala kampung masih belum beres, ikut mencicit.
“Kakek kau punya sepuluh sepit puluhan tahun silam, hidup makmur, lantas datanglah pelampung itu, yang kelasinya saja tidak becus berenang, sisa berapa sepit Kakek kau setahun setelah mereka datang? Sisa satu, sembilan lainnya teronggok jadi kayu lapuk? Lantas almarhum bapak kau mewarisi berapa sepit? Hanya perahu mencari ikan jeleknya. Dan kau sekarang, punya apa? Hanya bermain gitar butut menyanyikan lagu basi. Seluruh kampung ini dulu hidup berada, Borno. Kita dihormati, dikenal banyak orang, berkecukupan. Kau lihat sekarang? Hanya sisa gang sempit dan bau.”

Aku meneguk ludah.

“Puluhan tahun silam, mereka bilang hanya satu-dua pelampung saja yang datang, ternyata banyak. Mereka bilang hanya jam-jam tertentu saja beroperasi, ternyata setiap saat, dengan frekuensi tinggi. Mereka bilang akan merekrut pengemudi sepit penduduk gang ini, ternyata tidak. Satu pelampung itu, sekali berjalan, menghabisi dua puluh sepit, Borno. Kau hitung sendiri berapa sepit yang musnah seharian? Ratusan. Dan kau pura-pura lupa, hah? Kakek kau mati ditabrak pelampung haram itu. Jasmerah, Borno, Jasmerah!”

Mulutku bungkam, kemarahan Bang Togar rasa-rasanya seperti menelan bulan yang nyaris purnama, bagaimanalah aku bisa menangkis barang satu-dua kalimatnya, Bang Togar bahkan membawa semboyan Bung Karno yang terkenal itu dalam marahnya, Jasmerah, Jangan Suka Melupakan Sejarah. Andi di sebelahku menahan nafas, dan kepala-kepala mulai bermunculan dari balik pintu serta jendela sepanjang gang, bertanya-tanya, siapa yang sedang sial diomelin suara khas Bang Togar.

Lima belas menit Bang Togar menghardikku di balai bambu, aku tertunduk, puas dia, akhirnya beranjak pergi sambil kasar melemparkan gitar. Aku dan Andi bersitatap tanpa kata, lantas beringsut pulang ke rumah masing-masing—tentu dengan tampang malu dibasuh tatapan mata tetangga.

“Itulah kenapa penduduk kota ini terbiasa menyebut kapal feri dengan pelampung, Borno.” Pak Tua menepuk bahuku, esok hari, saat menumpang sepitnya menyeberangi Kapuas. Tadi tidak ada satupun sepit yang mau kutumpangi, semua pengemudinya bermuka masam, boleh jadi kabar aku bekerja di feri itu sudah terdengar kemana-mana. “Sebutan itu sebenarnya simbol perlawanan, penghinaan, Borno. Kau lihat, perahu kecil terbuat dari kayu bermesin tempel ini disebut sepit, sementara perahu besar dari besi dengan mesin menggelegar hanya disebut pelampung. Bagaimana mungkin kau menyeberangi Kapuas dengan pelampung? Ada-ada saja.” Pak Tua tertawa prihatin.

“Jangan dengarkan si Togar itu.” Ibu menghiburku tiga hari kemudian, “Omong-kosong soal Kakek kau dulu yang ditabrak pelampung. Itu kecelakaan, dan salah mereka juga yang tetap melintas di jalur feri, sengaja menantang. Kau hidup di jaman berbeda, feri itu sudah menjadi kebutuhan seluruh kota. Sama halnya dengan sepit yang tetap akan dibutuhkan.”

Aku tetap menggeleng sedih, tadi sore, Pak Tua akhirnya ikutan menolak membawaku. Tinggallah aku macam kambing congek di dermaga kayu, tidak bisa pulang menyeberang. “Aku mau saja, Borno. Tetapi semua pengemudi sepit sudah bersepakat, kau dilarang menumpang perahu manapun hingga kau berhenti bekerja dari dermaga feri. Dalam kasus ini, kesepakatan adalah kesepakatan, aku harus menghargai mufakat di antara kami, meski bodoh dan naif sekali mufakat kali ini. Karena dari situlah seorang dihargai dalam alam demokrasi.”

Aku menatap Pak Tua setengah tidak percaya, hendak berteriak ikut marah, pengemudi sepit lainnya menatap prihatin dari atas perahu masing-masing. Petugas timer melotot galak, bersiap mengusirku kalau berani loncat ke perahu tempel yang merapat di dermaga dan sedang dinaiki penumpang. Hampir seluruh pengemudi sepit aku kenal, sama baiknya mereka mengenal aku, bagaimana mungkin mereka tega membuat kesepakatan itu?

“Haiya, kalau begitu apa susahnya? Kau berhenti saja bekerja di pelampung, mudah sekali. Terus terang saja, aku lebih suka bau karet kau dulu dibanding tampang masam kau sekarang.” Koh Acung yang menyerahkan minyak sayur setengah liter titipan Ibu menyeringai menyebalkan.
Tidak mudah, aku baru seminggu bekerja di sana, mendapatkan rekomendasi langsung dari pejabat syahbandar, bagaimana mungkin aku tiba-tiba berhenti dengan alasan konyol?
“Sebenarnya kau jadi apa di pelampung itu? Sayang sekali kau dengan pekerjaan di sana.” Cik Tulani yang malam kesekian mampir mengirimkan makanan buat Ibu bertanya—sebenarnya masakan warung dia yang sisa, daripada basi, lebih baik diberikan ke tetangga, mana ada model Cik Tulani yang soal beli ikan saja pelit akan sebaik hati itu.
“Jadi penjaga palang masuk, Cik.”
“Apa pula itu?” Cik Tulani bertanya.
“Pemeriksa karcis.” Aku menjelaskan.
“Karcis? Buat apa ada karcis?”

Aku menahan sebal, ternyata Cik Tulani itu, meski berpuluh tahun hidup di Pontianak, tidak sekalipun naik kapal feri, “Hah, buat apa aku naik pelampung itu? Bikin mabuk. Lebih mantap naik sepit, tanganku bisa menyentuh air Kapuas, bila perlu sambil cuci muka dan keramas. Lagipula aku cukup jalan kaki ke dermaga kayu, duduk tenang, lempar uang, selesai.” Cik Tulani menjawab sengit, tidak terima.
Jadi begini, pengemudi sepit memang tidak pernah menarik ongkos dari penumpang, kalian naik, duduk rapi, lantas ketika mau sampai di seberang, tinggal letakkan uang sesuai tarif berlaku di dasar perahu, loncat ke dermaga, bilang terima-kasih. Pengemudi sepit juga tidak pernah repot buru-buru memastikan apakah ada penumpang yang berani naik tanpa meletakkan uang, setelah merapat ke antrian sepit di dermaga, baru memungut gumpalan uang-uang itu.

“Cih, dari cara itu saja sudah terlihat sekali mana yang lebih baik, sepit atau pelampung haram itu.” Bang Togar sengaja berseru kencang-kencang melihatku melintas di hari berikutnya, “Sepit itu simbol rasa saling percaya, egaliter, dan kepraktisan. Mana ada penumpangnya diperiksa satu persatu apakah sudah punya karcis atau tidak.”

Aku hanya diam, meski hatiku mengkal, hendak berseru, “Bukankah bulan lalu ada pengemudi sepit yang marah-marah karena penumpangnya turis dari Jakarta. Rombongan turis itu tidak satupun mengerti aturan mainnya, jadi tidak satupun yang meletakkan uang di dasar perahu. Langsung loncat ke dermaga kayu, pergi sambil berbisik-bisik setengah tidak percaya, ternyata ada fasilitas menyeberangi Kapuas gratis disediakan pemerintah.” Rutukku sengit dalam hati.

Dua minggu bekerja di dermaga feri, situasinya semakin runyam. Setiap berangkat dan pulang kerja aku terpaksa menumpang angkutan umum, tiga kali ganti kendaraan, waktu terbuang percuma, dan ongkos lebih mahal. Bang Togar dan persatuan sepit-nya sekarang malah memasang surat keputusan melarangku naik sepit di dermaga kayu, dia laminating, dia kasih fotoku, tertempel besar-besar, sudah macam larangan bepergian ke LN, membuat banyak penumpang sepit tahu.

Bagaimana aku harus menaruh muka?

“Ah, esok lusa juga mereka bosan memboikot kau, Borno.” Andi membesarkan hati.
“Terserah kau sajalah, mana yang baik.” Ibu akhirnya mengalah, meski tetap kesal, “Kalau saja Ibu kuat berjalan ke dermaga itu, sudah kumarahi si Togar. Semakin hari semakin aneh kelakuannya.”
“Boleh jadi Togar berlebihan,” Pak Tua menghela nafas, saat aku berkunjung ke rumahnya, hari libur kerja, “Tetapi kau tidak bisa menafikan kalimatnya, Borno. Tiga turunan, dia benar. Dan kau adalah penduduk gang ini, keturunan langsung pemilik sepit, maka benci Togar semakin menjadi.”

Aku menatap gemerlap lampu kota Pontianak di seberang Kapuas sana dari bingkai jendela rumah kayu Pak Tua. Malam yang indah, bintang menghias angkasa, malam semakin matang, pantulan cahaya di permukaan air terlihat berkilat-kilat. Kerlip lampu dari perahu yang melintas takjim, suara mesin kapal mendayu-dayu. Kota ini elok nian di malam hari.

Aku harus segera memutuskan, berhenti bekerja dari pelampung itu atau cepat atau lambat seluruh gang memusuhiku.

***bersambung

Rabu, 22 Desember 2010

Bungkam

22 Desember 2010

Gw gak tau harus berterima kasih atau malah sedih kalau ada orang yang bilang gw jago merangkai dan menyusun kata. Tapi selama rangkaian kata itu bisa membawa manfaat, gw cuma bisa bilang ahamdulilah :)

Tapi ada satu pertanyaan yang yang jawabannya gak bisa gw rangkai. Bukan karena pertanyaanya. Tapi karena siapa yang menanyakannya.
Ibu : Memang buat kamu arti ibu tuh apa?
Gw cuma bisa bungkam.

*Rabb, hamba jawabnya di depan-Mu saja ya :D

Tentang kesempatan pertama

22 Desember 2010

Penghujung 2010. Gak kerasa udah 4 bulan semenjak gw memutuskan dan diputuskan melajang dari status mahasiswi. Dan Dia benar-benar Maha Keren yang ngebuat waktu kerasa cepet banget untuk gw tahun ini :)

Ada satu hal yang bikin gw gak pernah berhenti bilang kalau Dia Maha Keren. Di saat ada beberapa orang -yang ternyata sama-sama memutuskan dan diputuskan melajang terlebih dahulu tahun ini- yang menyesali banyak hal mengapa tahun lalu ia tak begini, tak begitu, tak mencoba ini, tak mencoba itu, Dia gak pernah membiarkan gw dirasuki perasaan itu, satu kali pun (kecuali emang gw nya yang gak tau diri dan gak tau malu :P)

Yeah. Tahun ini gw gagal jadi mahasiswi di kesempatan pertama, tapi gw diizinkan mencoba banyak kesempatan pertama di hal yang lain :)

Mulai dari hal yang paling-OK sampai hal yang paling gak penting :D

Menghasilkan duit dengan keringat sendiri, hangout sama bule (hahaha, sebenernya yang satu ini mah diajak makan sama guru EF gw keluar gara-gara murid yang dateng cuma 2 orang :P), naik pesawat terbang, pergi ke kebun binatang Gembira Loka Yogyakarta, pegi ke alun-alun keraton Yogyakarta (18 tahun gw mudik ke Yogya, tahun ini gw baru pertama kali jalan-jalan mengelilingi keraton -_-), mengerjakan perkerjaan ibu rumah tangga full time, tukar pendapat sama kakak gw masalah hubungan laki-laki dan perempuan, belajar bahasa jepang, belajar nyetir, ke rumah saudara gw yang di Bandung (dan gw baru tahu kalu gw punya saudara di Bandung :D) menaiki sesuatu yang mengapung di air (rakit wisata di Ragunan maksudnya), ke At-Ta'awun (plis jangan diketawain -_-), baca novel Harry Potter (disaat filmnya sudah menembus angka ke 7, gw baru baca novel yang pertama :P), dapet materi tentang 'seni mendengarkan' (soalnya yang gw tahu gw banyak omong :P), dan gw dikasih kesempatan untuk ngerti pentingnya quality time bareng keluarga :)

Dan hari ini, gw membuat dapet kesempatan pertama lagi. Kesempatan pertama  membuat kue :D

Bermodal resep ayah Aii dan saran-saran Aidina (adeknya Aii yang ternyata  cukup berpengalaman dalam membuat kue :D), hari ini gw dan Aii membuat kue buat Nisop dan Lala (adik Nisop) yang berulang tahun kemaren dan hari ini :D

Sederhana. Cuma kue bolu. Tapi istimewa karena pake cinta, hahaha :P Terlepas dari kendala teknis karena gw dan Aii lupa memberikan tepung di loyang setelah diolesi margarin yang menyebabkan bagian atas kue lengket, tapi hasilnya enak banget kok! Sudah diakui oleh mahasiswi jurusan gizi  IPB dan dosen IPB  looh (nisop dan ibunya maksudnya! Hahaha)  Ibunya Nisop ampe minta nambah lagi malah, mantap :D

Kue bolu debut pertama gw dan Aii :D

Chef of the day :P

 Selamat ulang tahun Nisop dan Lala :)

Oia, dan hari ini pada akhirnya gw juga bisa membuat sesuatu hasil jahitan tangan sendiri (bersama Aii tentunya :D). Berhubung Nisop adalah wanita yang  diam diam namun menghanyutkan karena gak banyak omong tapi aktivitasnya  menggila yang ketika lelah ia mudah tidur di mana saja, ia gak Sop? :P Jadi gw dan Aii membuatkan bantal! Semoga tidurnya jadi berkualitas ya Sop! :D

Nisop dan bantal!

Terlepas ada banyak hal yang memang harus diperbaiki tahun ini, Dia selalu sayang sama gw dan masih bersedia ngasih banyak kesempatan pertama itu :)

Yap. Dia memang Maha Keren :D

2011? What's next? :D

Senang

22 Desember 2010

Sering-sering memberanikan diri melihat kenyataan, lebih mudah mendepak fantasi dan imaji dari pikiran.

Senang bisa melihat kenyataan hari ini :)

Selanjutnya?
Hanya ingin melunasi janji.

*I remember.. 
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I..

Nasib

22 Desember 2010

Dasar nasib. Gw selalu gagal atau sengaja menggagalkan dan gak berbakat untuk sayang dan memberikan perhatian hanya untuk satu orang.

Sekarang?

Sedang menikmati nasib gw yang satu ini :D

Episode 5 : 'Kau, Aku & Kota Kita'

Gang Di Tepian Kapuas

Berbekal kabar singkat, aku memberanikan diri membawa map merah lengkap dengan surat lamaran, fotokopi ijasah, biodata singkat, surat keterangan berkelakuan baik, surat kuning—surat keterangan mencari kerja, surat keterangan belum menikah dan siap tidak menikah dalam masa tertentu jika diterima, dan macam-macam surat itulah, berangkat ke kantor syahbandar Pontianak. Satpam gerbang menyelidik dari ujung rambut ke ujung kaki, sejak kecil aku selalu grogi diperhatikan begitu, balas menyelidik dia dari ujung topi ke ujung kaki, agak lama memelototi name tag-nya, mengangguk, lantas sesopan mungkin berkata, “Kudengar ada lowongan di sini, Pak Mardud. Saya hendak melamar.”

Ini resep rahasia milik Pak Tua, dan kalian bisa lakukan kapan saja, manjur nan mujarab. Jika kalian berurusan dengan polisi lalu-lintas, satpam galak tanpa senyum, petugas keamanan, imigrasi atau sejenis lainnya yang tak ramah, sapalah dia dengan menyebut namanya, santai, bersahabat, maka urusan jadi gampang seketika. “Karena mereka terkadang sudah kesal dari sananya, Borno. Seharian atau semalaman bosan berjaga, menghadapi orang-orang. Kau lurus-lurus saja bisa mengundang masalah, apalagi kalau kau memang membawa masalah. Nah, dengan menyapa nama, itu membuat mereka merasa dihargai setelah kesal sepanjang hari. Percayalah. Itu selalu berhasil.”

Bukan main, Pak Mardud bukan hanya memasang wajah lebih bersahabat dua detik lepas aku menggunakan jurus sakti Pak Tua, dia bahkan tertawa lebar.
“Kau tahu ruangannya, Nak?”
“Tidak tahu, Pak Mardud.”
“Kau lihat pintu masuk lobi sana? Ya yang itu, di dalamnya ada lorong ke kanan, kau ikuti, terus belok kiri naik tangga, ada lorong lagi, ikuti, nanti ada pintu dengan papan nama ‘Tata Usaha’. Serahkan lamaran kau di sana.”
Aku mengangguk-angguk, “Terima kasih banyak, Pak Mardud.” Hendak melangkah masuk.
“Sebentar, KTP kau tolong ditinggalkan, Nak.”
Aku mengangguk-angguk, “KTP? Oh, baiklah Pak Mardud.” Untuk keempat kalinya aku sengaja benar menyebut nama Satpam ini dengan baik dan benar, lugas nan jelas. Meraih dompet, Pak Mardud menukar KTP-ku dengan name-tag bertuliskan VISITOR. Sambil memasang name-tag, aku melangkah melintasi halaman syahbandar yang dipenuhi kontainer.
“Sebentar. Kau tanda-tangan di sini.”
“Oh, tandatangan. Baiklah, Pak Mardud.”
Hendak melangkah lagi melintasi halaman syahbandar.
“Sebentar, Nak.”
“Ya, Pak Mardud?” Aku menoleh, apalagi.
“Hanya mau ngasih tahu, namaku bukan Mardud, ya. Ini seragam milik temanku, kebetulan tadi pagi seragamku kotor, jadi meminjam seragamnya. Namaku Amir. Panggil saja Pak Amir.”
Aku bengong sekejap. Satpam itu kemudian santai sambil bersiul, bersenandung, menulis namaku di buku besar tamunya.

Kasus di pintu gerbang syahbandar dengan cepat kulupakan, saat tiba di lantai dua, masuk ke ruangan Tata Usaha, terlihat seseorang dengan seragam pelabuhan rapi mulus, nampaknya dia salah-satu pejabat syahbandar, sedang mengomel panjang-lebar, dikelilingi staf lainnya yang kadang mengangguk-angguk, kadang ikutan memasang wajah marah. Seru sekali.
“Sial, kontainer haram itu ternyata berisi karet gulungan. Berani sekali di tengah rendahnya lalu-lintas perdagangan mereka menyelundupkan sepuluh kontainer tanpa dokumen bea cukai. Aku minta mulai besok pemeriksaan diperketat. Semua kapal yang merapat di pelabuhan Pontianak harus diperiksa. Tidak ada pengecualian.”
“Baik, Pak. Segera dilaksanakan.” Salah-satu staf sibuk mencatat.
“Untung Bapak melakukan inspeksi, jadi bisa ketahuan. Ini tangkapan besar lima tahun terakhir, Pak.” Staf yang lain bergegas memasang wajah kagum.
Sambil menguping, aku menyeringai melihat ekspresi kagum hambar mereka, teringat wajahku dulu saat diwawancarai pemilik pabrik karet, kenal sekali, itu raut wajahku dulu, sok paham sok setuju.
“Tapi terlepas dari itu, sialnya, saat kontainer itu dibuka, tangan dan bajuku terkena cipratan air karet, bau sekali.” Pejabat itu menunjukkan lengannya, “Aku memang sudah berganti baju, tapi tangan ini sudah kucuci dua-tiga kali, tetap tidak hilang-hilang.”
Kalau boleh, dilihat dari ekspresi wajahnya, beberapa staf ingin rasanya berebut menciumi tangan pak pejabat, merasakan bau yang disebut-sebut. Aku menahan geli.
“Sudah pakai sabun, Pak?” Ada yang ketelapasan bertanya bodoh.
“Tentu saja. Kau pikir aku tidak tahu soal itu, hah? Aku sudah pakai shampo, deterjen, apa-saja kata orang, tetap tidak hilang-hilang.” Pak pejabat itu mendengus kesal, kembali mengacungkan lengannya yang terkena air karet.
Kerumunan mengangguk-angguk, bersimpati sambil pura-pura memikirkan jalan keluar.
Aku ber-dehem, “Kalau boleh usul, aku tahu cara menghilangkannya.”
Mereka menoleh padaku. Sama seperti satpam di pintu gerbang, menyelidik dari ujung rambut ke ujung kaki. Sayang, meski aku dengan cepat hendak bergegas melihat name-tag mereka, ada dua hal yang membuatku kesulitan, satu: mereka ada bersepuluh, bagaimanalah aku hendak menyapa mereka satu-persatu, dua: ternyata tidak ada yang menggunakan name tag—jangan-jangan itu hanya dipakai pegawai kasta rendah, sedangkan di atasnya tidak perlu. Rumus baku Pak Tua tidak bisa kulaksanakan.

Aku mengeluh dalam hati, grogi dipelototi orang banyak, mana kerumunan ini-pula nampaknya tempat aku menyerahkan berkas lamaran, beruntung sebelum mereka serempak bertanya, “Siapa kau ikut-ikut campur percakapan orang?” Pak pejabat itu lebih dulu bertanya, “Nah, bagaimana caranya, anak muda?”
Aku menelan ludah, “Pakai daun singkong, Pak. Daunnya diremukkan, diberi air, lantas dipakai untuk mencuci tangan yang terkena cipratan air karet. Atau daun pepaya juga bisa.”
Pak pejabat itu berpikir sejenak, menatapku tajam, maksudnya apalagi kalau bukan: kau tidak sedang bergurau?
“Sungguh, pak. Saya berkali-kali, berkali-kali pernah terkena air karet bau, dan berkali-kali, berkali-kali juga menghilangkannya dengan cara itu.”
“Nah, di mana aku bisa mendapatkan daun singkong sekarang?” Pejabat itu melotot, awas saja kalau kau bohong.
“Pasar sayur pagi kalau tidak salah, dekat dari sini, pak. Lima ratus meter. Di sana pasti banyak.” Aku mengangkat bahu.
Pak Pejabat menoleh ke belakang, berteriak, “Malih, mana Malih.” Kerumunan juga ikut bergumam memanggil. Yang dipanggil segera merapat, menunduk-nunduk, bilang selamat pagi, ada yang bisa saya kerjakan, pak.
“Kau beli daun singkong di pasar sayur.”
“Daun singkong, pak?” Si Malih ragu-ragu. Bukankah selama ini hanya segelas kopi hangat, plus roti maryam buatan kampung Arab sudah cukup untuk sarapan pak pejabat.
“Daun singkong, Malih. Segera sana, tidak pakai lama, apalagi pakai tanya-tanya.”
Dan Malih-pun mengangguk mantap.
Aku teringat percakapan saat main kartu dua malam lalu, Malih ini pastilah kacung yang dimaksud. Menelan ludah dua kali, semoga aku tidak diterima menjadi kacung di sini. Celaka dua belas, meski itu tetap pekerjaan yang mulia (Ibu pernah bilang, “Bahkan penjaga kakus juga pekerjaan yang mulia, Borno. Sepanjang kau lakukan dengan tulus.”), aku belum siap memasang gerak-gerik dan ekspresi kacung sehalus dan semulus Malih.

Kabar baiknya tidak. Berkas lamaranku diterima, esok harinya aku dipanggil wawancara, di ruangan besar pejabat syahbandar. Dia tertawa senang melihatku, bilang betapa manjurnya saranku soal daun singkong kemarin. Membuka map merah milikku.
“Sayangnya kami hanya menerima calon pekerja yang cakap, Borno. Benar, saat kami butuh belasan tenaga kerja baru, kami membutuhkan petugas karantina dan juru pandu kapal. Berkasmu bahkan tidak cukup syarat untuk mengikuti tes tertulis. Kau masih muda sekali, baru lulus SMA. Kenapa kau tidak melanjutkan sekolah? Ambil akademi bea cukai departemen keuangan misalnya, gajinya alamak sekarang, atau sarjana muda pelayaran, atau bila perlu calon insinyur teknik perkapalan yang top di Surabaya, kau bisa bekerja di galangan kapal Eropa sana? Jangan tanya penghasilannya, gadis tercantik di Pontianak yang mata duitan, kau kerling sedikit langsung jatuh-hati.”
Aku menggeleng perlahan, bilang justeru dengan bekerja aku berharap punya cukup uang untuk sekalian kuliah.
“Klasik.” Pak Pejabat syahbandar tersenyum lebar, “Kau tipikal anak muda yang mandiri. Kau tahu, aku dulu juga begitu, harus bekerja keras agar punya uang sekolah. Seumuran kau, aku menjadi kuli di pabrik gula. Serabutan, disuruh ini-itu, kerja rendahan. Kau mau bekerja seperti itu?”
“Mau, Pak. Saya mau mengerjakan apa-saja di sini, asal jangan seperti Pak Malih.”
“Pak Malih? Oh, si Malih.” Pak pejabat terbahak, “Astaga, Borno, di sisi tertentu, ini antara kita berdua saja ya, kau bahkan lebih berharga dibanding staf yang mengerumuniku kemarin dijadikan satu.”
Demi sopan-santun aku ikut tertawa—walau tidak terlalu paham.
Pak Pejabat menelepon sebentar, menyebut-nyebut namaku, lantas bilang, “Jumlah pekerja kasar di syahbandar sudah terlalu banyak, Borno. Orang Jakarta selalu bertanya hal itu padaku setiap rapat bulanan. Tadi aku menghubungi kepala operator feri Kapuas, mereka bisa menampung. Kau datang saja besok ke sana. Nah, Borno, semoga saat kita bertemu lagi, kau tidak sekadar memberiku solusi daun singkong, tapi lebih hebat dari itu.” Pak Pejabat mengembalikan map merah, menyalamiku.

Besoknya aku berangkat ke dermaga feri Pontianak.

Jadi begini, selain motor tempel, atau disebut juga sepit (kalian pasti bisa menebaknya, dari kata speed; sama seperti sekolah dari kata school, bahasa Belanda), lalu-lintas penduduk Pontianak menyeberangi Kapuas juga dilayani oleh kapal feri. Tidak besar macam feri yang menyeberangi selat Bali atau selat Sunda apalagi selat Lombok, tetapi mereka bisa menaikkan sepeda motor, kapasitas penumpang mereka juga bisa dua puluh kali sepit, sekali feri datang, kerumunan di dermaga langsung tersapu habis. Pagi-pagi atau sore-sore saat lalu-lintas menyeberangi Kapuas sedang tinggi-tingginya, kapal feri menjadi pamungkas. Jika sepit punya beberapa dermaga kayu di sepanjang kota Pontianak, kapal feri hanya punya satu, di lokasi paling strategis, tengah kota, dermaga beton permanen.
Ke sanalah aku besok berangkat. Mandi pagi-pagi, memakai kemeja terbaik, yang apa daya adalah kemeja kemarin pagi yang buru-buru kucuci siangnya dan kusetrika malamnya.
“Doakan Borno sukses, Bu.” Aku mencium tangan Ibu.
“Kau macam mau pergi perang dengan Malaysia saja.” Ibu yang masih menyimpan memori ganyang negara tetangga puluhan tahun silam menyeringai.
Aku tertawa, mengucap salam.
Menumpang perahu tempel Bang Togar menyeberangi Kapuas.
“Kau sebenarnya mau kemana dengan pakaian rapi macam Walikota, hah? Kantor syahbandar Pontianak seperti kemarin? Biar kuantar, sekalian mau pulang, mesin sepit ku ini terkentut-kentut sejak tadi, khawatir malah mogok di tengah Kapuas. Kasihan penumpangnya.” Selepas tiba di seberang, Bang Togar bertanya.
Aku menggeleng, “Tak ke sana, Bang. Aku mau ke dermaga feri.”
“Dermaga feri? Apa pula urusan kau ke tempat itu?” Seringai Bang Togar yang biasanya ramah selalu (karena dia teman dekat almarhum Bapak dulu) langsung terlipat, masam seketika.
Aku ragu-ragu menjawab—merasa ada yang ganjil dengan tampang Bang Togar, “Eh, hendak melamar pekerjaan, Bang.”
“Astaga? Apa kau bilang?” Bang Togar terlonjak dari posisi duduknya mengendalikan sepit, hampir terjengkang ke dalam air.
Aku takut-takut mengangguk. Bang Togar ini besar tinggi, berkumis melintang. Terkenal sekali berwibawa dan berjiwa pemimpin, konon katanya seluruh penduduk Pontianak kenal. Dia adalah ketua PPSKT, Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta.
“Tiga turunan, Borno…. Tiga turunan! Kau ingat itu baik-baik!” Bang Togar kasar menunjuk hidungku.
Aku tercengang belum mengerti. Ternyata inilah yang membuat rumit urusan pekerjaan keduaku, kusut macam benang terpintal.

***bersambung