Minggu, 19 Desember 2010

Episode 2 : 'Kau, Aku & Kota Kita'

Prolog

Usia dua belas, aku mengalami hari terburuk dalam hidupku.

Bapak tercinta, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga kami entah apa pasal terjatuh dari perahu saat melaut. Jatuh bukan masalah, bukan nelayan kalau tidak pernah jatuh, lagipula Bapak bisa berenang semalaman kalau dia mau. Badai juga tidak masalah, berpuluh tahun jadi pelaut, Bapak mewarisi kepandaian melewati hujan badai secara turun-temurun. Dikepung hiu buas, ikan pari, atau binatang besar lainnya juga hal biasa. Bapak lebih dari cakap mengatasinya. Namanya ubur-ubur, mahkluk transparan nan kecil, lebih lembut dari agar-agar itulah pelakunya. Ubur-uburlah yang mengakhiri semuanya. Bapak jatuh, tersengat belalai hewan yang bagi kebanyakan orang tidak penting, bahkan tidak tahu betapa mematikan. Sengatan yang membuatnya kejang seketika, dan nelayan lain yang menyertai Bapak tahu, hanya soal waktu detak jantung Bapak terhenti.

Ibu membangunkanku, pagi buta, yang kenapa disebut buta, karena kalian bisa jatuh tersuruk-suruk di jalanan gelap, menumpang perahu tempel Pak Tua, ditemani Cik Tulani dan Koh Acung, kami bergegas menyeberangi sungai Kapuas, memaksa mobil omprengan pengangkut sayur ditumpangi, lantas berlari-lari kecil menuju rumah sakit daerah pontianak.

Lorong rumah sakit lengang, menyisakan perawat yang menguap dan beberapa keluarga pasien menunggui kerabatnya. Ibu dan Pak Tua masuk ke dalam ruangan gawat darurat, mendengarkan penjelasan dokter. Cik dan Koh bersama nelayan yang pergi melaut bersama Bapak berdiri di ujung lorong, mendesah resah, berbisik.

Aku duduk menjeplak.

Menatap kosong petak keramik putih, dinding putih dan lampu neon. Bau obat-obatan terbang melintasi kisi-kisi. Beberapa perawat dan sepertinya dokter menyusul masuk ke dalam ruang gawat darurat. Tampang mereka bukan kabar baik.

Di depanku tiba-tiba sudah berdiri seorang gadis kecil, seumuranku. Aku tidak peduli, mungkin anggota keluarga pasien lain. Gadis itu menatapku, lamat-lamat. Aku melirik selintas, rambutnya di kepang dua, wajahnya China, matanya redup oleh kesedihan, ia sama cemasnya denganku. Bagian otakku yang biasanya dipenuhi rasa ingin tahu sedang malas bekerja. Aku tetap abai.

Sial, gadis itu malah ikut duduk menjeplak, sambil terus menatapku.

Pernah kalian diperhatikan seperti tontonan yang menarik? Aku belum, baru kali itu. Setengah menit, aku mulai jengkel. Ikut menatapnya, melipat dahi. Tetapi dia tetap memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung rambut, seperti sedang menatap makhluk dari galaksi lain.
Satu menit, aku melotot, “Apa?”
Gadis itu mengangkat bahunya, menggeleng. Lantas kenapa kau sibuk melihatiku? Kurang lebih begitu ekspresi wajah sebalku, terganggu. Gadis kecil itu tidak bersuara. Sebelum aku sempat mengusirnya, Cik Tulani berteriak memanggil, menyuruhku masuk ke ruang gawat darurat.

Aku segera lupa kejadian di lorong rumah sakit. Rasa cemasku berubah menjadi beribu perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Dokter menghela nafas, bilang tidak ada solusinya. Ibu tertunduk mendekap bahuku. Dokter menjelaskan beberapa hal lagi, juga disertai penjelasan Ibu.
Astaga! Bukan kabar tidak ada lagi jalan keluar yang membuatku tiba-tiba sesak. Tetapi kabar, entah apa yang ada di kepala Bapak, sebelum tubuhnya benar-benar berhenti bekerja, dia ternyata menyetujui hal paling gila yang pernah kupikirkan. Tidak jauh dari bangsal gawat darurat itu, terkulai lemah seorang pasien gagal jantung. Berbulan-bulan mencari donor tidak bertemu. Beberapa menit lalu Dokter menjelaskan situasi dengan cepat, Bapak mengangguk lemah, menyetujui.
“Bapak belum mati!” Aku berteriak marah.
“Bapak kau tahu persis apa yang dilakukan, Borno.” Ibu bersimbah air-mata memelukku erat-erat.
“Bapak belum mati! Kenapa dadanya dibelah!” Aku berusaha menyibak tangan Ibu.
“Secara klinis sudah meninggal.” Itu penjelasan singkat dokter beberapa detik setelah melihat garis lurus di mesin, mendesah resah, memerintahkan tim operasi mulai bekerja.
“Bapak belum matiiii! Dia bisa sadar kapan saja.” Aku loncat, berusaha menggedor pintu ruangan operasi, memaksa masuk. Cik Tulani, Koh Acung dan Pak Tua bergegas membantu Ibu menahanku.
“Lepaskan! Bapak belum matiiii!” Aku beringas, berusaha memukul.
Tenaga mereka jauh lebih besar, satu menit, aku terkulai menyerah.
Umurku dua belas, duduk di lorong rumah sakit beberapa jam kemudian, terisak. Di ruangan berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir. Kalian tahu, meski bersahaja, Bapak adalah orang terbaik di seluruh Pontianak yang pernah kukenal. Aku tidak tahu, apakah ubur-ubur yang membuatnya meninggal, atau pisau bedah dokter? Dia boleh jadi masih bisa siuman, diselamatkan, bukan? Mukjijat bisa datang kapan saja, bukan?

Umurku dua belas, aku tidak pernah tahu jawabannya.

***bersambung

0 komentar: