Senin, 27 Desember 2010

Episode 9 : 'Kau, Aku & Kota Tua'

Gang Di Tepian Kapuas

Warung kecil di pojokan dermaga kayu mengepulkan aroma pisang goreng, lezat menggoda. Aku menelan ludah, walau sudah sarapan, rasa-rasanya perutku usul minta diisi kembali. Tidaklah, aku menggeleng, teringat Ibu tadi shubuh memaksa menyiapkan sarapan meski kurang sehat, bagaimana mungkin aku duduk di kursi panjang menikmati segelas kopi hangat dan pisang pontianak hanya untuk menurutkan nafsu perut. Terus melangkah ke pinggir dermaga.

Anak berseragam merah-putih bergerombol menunggu sepit berikutnya. Satu-dua tidak sabaran, bilang tentang terlambat ikut ulangan, mendesak ke pinggir papan, petugas timer sibuk menghalau, “Nanti dulu, Nak. Sabarlah sikit. Aduh, jangan dekat-dekat tepian, nanti kau jatuh.” Sekaligus sibuk meneriaki dua sepit agar bergegas merapat, antrian macet, sudah macam jembatan beton di hulu Kapuas yang sering tersendat di jam-jam sibuk, antrian sepit tersendat, ada satu sepit tanpa pengemudi tidak sengaja terbawa arus, melintang dekat tambatan, beberapa pengemudi berteriak sebal.

“Pagi, Borno. Kau nampaknya datang terlambat.” Pak Tua mengabaikan keributan kecil di dermaga kayu, menyeringai menyapaku.
Aku balas menyeringai, menguap, “Pagi, Pak.”

Pak Tua tertawa. Dia tidak seperti biasa dengan santai kemudian bertanya, “Nah, kau hendak kemana pagi ini, Borno? Dermaga pelampung? Kantor syahbandar? SPBU? Pabrik karet? Mau kuantar sekalian?” Aku tidak akan kemana-mana, dan Pak Tua tahu sekali itu, pekerjaanku kali ini tidak di mana-mana.

Seminggu lalu, Ibu berkata pelan, “Kau tidak selamanya bekerja di sana, Borno. Besok-lusa kalau ada kesempatan lebih baik, kalau tabungan kau sudah cukup, kau bisa pindah sekaligus kuliah seperti yang kau idam-idamkan.”

Aku diam, menatap lamat-lamat bulan sabit menggantung di atas menara BTS seberang Kapuas.
“Borno juga sudah bekerja selama ini, Bu. Tidak masalah juga serabutan.”
“Justeru itu. Apa yang kau lakukan? Ikut mencari kucing hilang? Membantu membetulkan genteng? Itu bukan pekerjaan, itu tolong-menolong. Kalau kau mau, kenapa tidak belajar jadi tukang sekalian? Atau kau buat jasa penitipan kucing. Jangan serba tanggung.”
“Borno tidak mau pekerjaan ini, Bu.”
“Kau bebal sekali, almarhum Bapak kau dulu hanya bergurau, pesan itu tidak serius.” Ibu mengatakan hal yang sama untuk ketiga kali, masygul.
Aku menggeleng, juga masygul—bukan pada Ibu, tapi lebih pada bagaimana Ibu tidak mengerti keberatanku? Ibu tentu tahu, Bapak dulu berpesan demikian, itu wasiat orang telah meninggal.

“Haiya, apalah artinya kalimat itu, Borno? Aku selalu bilang pada dua anakku yang sekarang sekolah di Surabaya, ‘Kalian orang kalau sudah besar, jangan jadi pedagang toko kelontong macam Kokoh’. Tapi kalau mereka orang kelak ternyata jadi pedagang besar di Jawa sana, mau bilang apa? Malah bagus itu.” Koh Acung santai melambaikan tangan—matanya menyipit memperhatikan tiga orang yang sedang berbelanja. Tiga malam lalu, aku sengaja datang ke tokonya, protes tentang hasil pembicaraan mereka dengan Ibu.

“Woi, kau ini jangan memperumit masalah, Borno. Lihat, Cik kau ini selalu bilang pada si buyung, ‘Nak, Ayah hanya tamat SD, kau setidaknya tamat SMP, anakmu kelak lulus SMA, dan cucumu nanti berijasah sarjana.’ Lantas kalau si buyung ternyata bisa bergelar doktor, dia jadi tidak mendengarkan wasiatku? Menjadi anak durhaka, dibakar api neraka, karena tidak mendengarkan pesanku saat kecil?” Cik Tulani mengangkat bahu, memasang ekspresi ‘apanya yang rumit? Masa’ hal sekecil itu kau tidak paham? Si buyung saja paham.

Aku mendengus jengkel ke arah piring—baik sekali Cik Tulani menyiapkan satu porsi pindang ikan, mungkin agar aku tidak marah-marah soal pembicaraan mereka—urusan ini tentu tidak bisa dianalogikan dengan wasiat sekolah lebih tinggi. Almarhum Bapak dulu jelas-jelas melarangku.

“Pada akhirnya terserah kau, Borno.” Pak Tua menatapku, di malam berikutnya, safari protes ke peserta rapat itu, “Kau mau, maka aku akan membantu. Kau keberatan, maka kita lupakan. Sebenarnya ini ide-ku, awalnya hanya pembicaraanku dengan Saijah, Ibu kau, beberapa minggu sebelumnya. Tulani dan Acong ikut karena mereka teman dekat almarhum Bapak kau. Awalnya si Togar juga hendak turut berembug, tapi kupikir itu tidak perlu, kau pasti tidak suka bahkan mendengar namanya. Aku mengusulkannya, Ibu kau menyetujui, Tulani dan Acong mendukung. Apa salahnya?”
“Aku tidak akan melanggar pesan Bapak, Pak Tua.”
“Siapa yang minta kau melanggarnya?” Pak Tua tertawa.
“Bagaimana mungkin aku tidak melanggarnya?” Aku melipat dahi, “Bagaimana mungkin Pak Tua tidak paham-paham? Bapak berpesan padaku kalau nanti besar, jangan pernah jadi nelayan, jangan pernah jadi penge—“
“Jamak itu, Borno.” Pak Tua memotong kalimatku, menggelengkan kepala, “Lazim sekali seorang petani akan bilang ke anaknya, nak, kau nanti kalau sudah besar jangan jadi petani, tidak bisa kaya. Seorang guru SD bilang ke anaknya, nak, kau nanti jangan jadi guru, hidupnya susah, makan hati pula. Seorang kuli kasar bilang ke anaknya, nak, kau jangan pernah jadi kuli, keringat diperas, gaji tak memadai. Tetapi maksud mereka tidaklah demikian, hakikat sejati pesan itu adalah agar kau jadi lebih baik dalam kehidupan. Sayangnya, aku membujang hingga renta begini, Borno, kalau aku punya anak, maka aku akan berpesan, nak, jangan jadi bapak yang hidupnya hanya bagai pertapa menatap takjim perahu melintas di Kapuas, jadilah petualang, mengelilingi dunia, kau akan melihat banyak tempat, kau akan bertemu banyak orang.”

“Nak, jadilah penemu, bukan hanya menemukan mesin-mesin, benda-benda yang bermanfaat bagi manusia tapi juga memecahkan kemalasan dan penyakit sosial. Jadilah penengah, yang mendamaikan bukan hanya dua negara bertikai, tapi juga mendamaikan hati-hati manusia. Atau jadilah penulis, yang tidak sekadar menumpuk buku-buku, tetapi juga membuat gunung inspirasi kebaikan. Dan di atas segalanya, mau jadi apa kau kelak, nak, aku tentu berharap kau jadi lebih baik dibandingkan bapak kau ini. Lebih jujur, lebih bersahaja, lebih ringan hati dan lebih pandai menjaga harga diri.”

“Nah, ketika almarhum Bapak kau bilang wasiat itu, Borno, jangan pernah jadi pengemudi sepit, maka bukan berarti dia melarang kau menjadi pengemudi sepit. Percayalah pada orang tua ini, Borno, pertapa yang terlalu takjim menatap aliran sungai Kapuas. Bapak kau pastilah mengijinkan kau menjadi pengemudi sepit seperti yang kami bicarakan. Ibu kau tidak keberatan, dan aku bisa membantumu.”

Aku terdiam. Ya, itulah pesan Bapak dulu. Saat pulang menemaninya melaut seharian, badan gosong, bibir mengelupas, rambut kering bercampur butir garam, ketika melintas memasuki mulut sungai Kapuas, menuju rumah kayu kami, Bapak menatapku lamat-lamat, “Kau lihat sendiri, Borno. Beginilah hidup nelayan. Kau sudah merasakannya seharian. Kerja keras, hasil seadanya. Jangan pernah menjadi nelayan, Nak. Jangan pernah jadi nelayan seperti bapakmu.” Dan saat di depan kami melintas sepit penuh penumpang, Bapak menepuk bahuku, “Juga jangan pernah jadi pengemudi sepit, Borno. Kakek kau dulu, punya sepuluh perahu tempel, kaya-raya, tetapi lihatlah akhirnya, dia meninggal dengan mewariskan hutang. Jangan pernah jadi pengemudi sepit.”

Pagi ini, aku berdiri persis di depan Pak Tua yang menyeringai lebar.

Butuh dua minggu berpikir matang, menimbang-nimbang. Pagi ini, aku memutuskan untuk mengambil pekerjaan yang tidak pernah kupikirkan sejak kecil. Pagi ini, aku akan memulai kehidupan sebagai: pengemudi sepit. Tetapi di atas segalanya, aku punya pemahaman baru atas wasiat almarhum Bapak. Sungguh, Pak, Borno akan jadi lebih baik, setidaknya aku tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras—meski akhirnya hanya jadi seorang pengemudi sepit.

***bersambung

0 komentar: