Rabu, 22 Desember 2010

Episode 5 : 'Kau, Aku & Kota Kita'

Gang Di Tepian Kapuas

Berbekal kabar singkat, aku memberanikan diri membawa map merah lengkap dengan surat lamaran, fotokopi ijasah, biodata singkat, surat keterangan berkelakuan baik, surat kuning—surat keterangan mencari kerja, surat keterangan belum menikah dan siap tidak menikah dalam masa tertentu jika diterima, dan macam-macam surat itulah, berangkat ke kantor syahbandar Pontianak. Satpam gerbang menyelidik dari ujung rambut ke ujung kaki, sejak kecil aku selalu grogi diperhatikan begitu, balas menyelidik dia dari ujung topi ke ujung kaki, agak lama memelototi name tag-nya, mengangguk, lantas sesopan mungkin berkata, “Kudengar ada lowongan di sini, Pak Mardud. Saya hendak melamar.”

Ini resep rahasia milik Pak Tua, dan kalian bisa lakukan kapan saja, manjur nan mujarab. Jika kalian berurusan dengan polisi lalu-lintas, satpam galak tanpa senyum, petugas keamanan, imigrasi atau sejenis lainnya yang tak ramah, sapalah dia dengan menyebut namanya, santai, bersahabat, maka urusan jadi gampang seketika. “Karena mereka terkadang sudah kesal dari sananya, Borno. Seharian atau semalaman bosan berjaga, menghadapi orang-orang. Kau lurus-lurus saja bisa mengundang masalah, apalagi kalau kau memang membawa masalah. Nah, dengan menyapa nama, itu membuat mereka merasa dihargai setelah kesal sepanjang hari. Percayalah. Itu selalu berhasil.”

Bukan main, Pak Mardud bukan hanya memasang wajah lebih bersahabat dua detik lepas aku menggunakan jurus sakti Pak Tua, dia bahkan tertawa lebar.
“Kau tahu ruangannya, Nak?”
“Tidak tahu, Pak Mardud.”
“Kau lihat pintu masuk lobi sana? Ya yang itu, di dalamnya ada lorong ke kanan, kau ikuti, terus belok kiri naik tangga, ada lorong lagi, ikuti, nanti ada pintu dengan papan nama ‘Tata Usaha’. Serahkan lamaran kau di sana.”
Aku mengangguk-angguk, “Terima kasih banyak, Pak Mardud.” Hendak melangkah masuk.
“Sebentar, KTP kau tolong ditinggalkan, Nak.”
Aku mengangguk-angguk, “KTP? Oh, baiklah Pak Mardud.” Untuk keempat kalinya aku sengaja benar menyebut nama Satpam ini dengan baik dan benar, lugas nan jelas. Meraih dompet, Pak Mardud menukar KTP-ku dengan name-tag bertuliskan VISITOR. Sambil memasang name-tag, aku melangkah melintasi halaman syahbandar yang dipenuhi kontainer.
“Sebentar. Kau tanda-tangan di sini.”
“Oh, tandatangan. Baiklah, Pak Mardud.”
Hendak melangkah lagi melintasi halaman syahbandar.
“Sebentar, Nak.”
“Ya, Pak Mardud?” Aku menoleh, apalagi.
“Hanya mau ngasih tahu, namaku bukan Mardud, ya. Ini seragam milik temanku, kebetulan tadi pagi seragamku kotor, jadi meminjam seragamnya. Namaku Amir. Panggil saja Pak Amir.”
Aku bengong sekejap. Satpam itu kemudian santai sambil bersiul, bersenandung, menulis namaku di buku besar tamunya.

Kasus di pintu gerbang syahbandar dengan cepat kulupakan, saat tiba di lantai dua, masuk ke ruangan Tata Usaha, terlihat seseorang dengan seragam pelabuhan rapi mulus, nampaknya dia salah-satu pejabat syahbandar, sedang mengomel panjang-lebar, dikelilingi staf lainnya yang kadang mengangguk-angguk, kadang ikutan memasang wajah marah. Seru sekali.
“Sial, kontainer haram itu ternyata berisi karet gulungan. Berani sekali di tengah rendahnya lalu-lintas perdagangan mereka menyelundupkan sepuluh kontainer tanpa dokumen bea cukai. Aku minta mulai besok pemeriksaan diperketat. Semua kapal yang merapat di pelabuhan Pontianak harus diperiksa. Tidak ada pengecualian.”
“Baik, Pak. Segera dilaksanakan.” Salah-satu staf sibuk mencatat.
“Untung Bapak melakukan inspeksi, jadi bisa ketahuan. Ini tangkapan besar lima tahun terakhir, Pak.” Staf yang lain bergegas memasang wajah kagum.
Sambil menguping, aku menyeringai melihat ekspresi kagum hambar mereka, teringat wajahku dulu saat diwawancarai pemilik pabrik karet, kenal sekali, itu raut wajahku dulu, sok paham sok setuju.
“Tapi terlepas dari itu, sialnya, saat kontainer itu dibuka, tangan dan bajuku terkena cipratan air karet, bau sekali.” Pejabat itu menunjukkan lengannya, “Aku memang sudah berganti baju, tapi tangan ini sudah kucuci dua-tiga kali, tetap tidak hilang-hilang.”
Kalau boleh, dilihat dari ekspresi wajahnya, beberapa staf ingin rasanya berebut menciumi tangan pak pejabat, merasakan bau yang disebut-sebut. Aku menahan geli.
“Sudah pakai sabun, Pak?” Ada yang ketelapasan bertanya bodoh.
“Tentu saja. Kau pikir aku tidak tahu soal itu, hah? Aku sudah pakai shampo, deterjen, apa-saja kata orang, tetap tidak hilang-hilang.” Pak pejabat itu mendengus kesal, kembali mengacungkan lengannya yang terkena air karet.
Kerumunan mengangguk-angguk, bersimpati sambil pura-pura memikirkan jalan keluar.
Aku ber-dehem, “Kalau boleh usul, aku tahu cara menghilangkannya.”
Mereka menoleh padaku. Sama seperti satpam di pintu gerbang, menyelidik dari ujung rambut ke ujung kaki. Sayang, meski aku dengan cepat hendak bergegas melihat name-tag mereka, ada dua hal yang membuatku kesulitan, satu: mereka ada bersepuluh, bagaimanalah aku hendak menyapa mereka satu-persatu, dua: ternyata tidak ada yang menggunakan name tag—jangan-jangan itu hanya dipakai pegawai kasta rendah, sedangkan di atasnya tidak perlu. Rumus baku Pak Tua tidak bisa kulaksanakan.

Aku mengeluh dalam hati, grogi dipelototi orang banyak, mana kerumunan ini-pula nampaknya tempat aku menyerahkan berkas lamaran, beruntung sebelum mereka serempak bertanya, “Siapa kau ikut-ikut campur percakapan orang?” Pak pejabat itu lebih dulu bertanya, “Nah, bagaimana caranya, anak muda?”
Aku menelan ludah, “Pakai daun singkong, Pak. Daunnya diremukkan, diberi air, lantas dipakai untuk mencuci tangan yang terkena cipratan air karet. Atau daun pepaya juga bisa.”
Pak pejabat itu berpikir sejenak, menatapku tajam, maksudnya apalagi kalau bukan: kau tidak sedang bergurau?
“Sungguh, pak. Saya berkali-kali, berkali-kali pernah terkena air karet bau, dan berkali-kali, berkali-kali juga menghilangkannya dengan cara itu.”
“Nah, di mana aku bisa mendapatkan daun singkong sekarang?” Pejabat itu melotot, awas saja kalau kau bohong.
“Pasar sayur pagi kalau tidak salah, dekat dari sini, pak. Lima ratus meter. Di sana pasti banyak.” Aku mengangkat bahu.
Pak Pejabat menoleh ke belakang, berteriak, “Malih, mana Malih.” Kerumunan juga ikut bergumam memanggil. Yang dipanggil segera merapat, menunduk-nunduk, bilang selamat pagi, ada yang bisa saya kerjakan, pak.
“Kau beli daun singkong di pasar sayur.”
“Daun singkong, pak?” Si Malih ragu-ragu. Bukankah selama ini hanya segelas kopi hangat, plus roti maryam buatan kampung Arab sudah cukup untuk sarapan pak pejabat.
“Daun singkong, Malih. Segera sana, tidak pakai lama, apalagi pakai tanya-tanya.”
Dan Malih-pun mengangguk mantap.
Aku teringat percakapan saat main kartu dua malam lalu, Malih ini pastilah kacung yang dimaksud. Menelan ludah dua kali, semoga aku tidak diterima menjadi kacung di sini. Celaka dua belas, meski itu tetap pekerjaan yang mulia (Ibu pernah bilang, “Bahkan penjaga kakus juga pekerjaan yang mulia, Borno. Sepanjang kau lakukan dengan tulus.”), aku belum siap memasang gerak-gerik dan ekspresi kacung sehalus dan semulus Malih.

Kabar baiknya tidak. Berkas lamaranku diterima, esok harinya aku dipanggil wawancara, di ruangan besar pejabat syahbandar. Dia tertawa senang melihatku, bilang betapa manjurnya saranku soal daun singkong kemarin. Membuka map merah milikku.
“Sayangnya kami hanya menerima calon pekerja yang cakap, Borno. Benar, saat kami butuh belasan tenaga kerja baru, kami membutuhkan petugas karantina dan juru pandu kapal. Berkasmu bahkan tidak cukup syarat untuk mengikuti tes tertulis. Kau masih muda sekali, baru lulus SMA. Kenapa kau tidak melanjutkan sekolah? Ambil akademi bea cukai departemen keuangan misalnya, gajinya alamak sekarang, atau sarjana muda pelayaran, atau bila perlu calon insinyur teknik perkapalan yang top di Surabaya, kau bisa bekerja di galangan kapal Eropa sana? Jangan tanya penghasilannya, gadis tercantik di Pontianak yang mata duitan, kau kerling sedikit langsung jatuh-hati.”
Aku menggeleng perlahan, bilang justeru dengan bekerja aku berharap punya cukup uang untuk sekalian kuliah.
“Klasik.” Pak Pejabat syahbandar tersenyum lebar, “Kau tipikal anak muda yang mandiri. Kau tahu, aku dulu juga begitu, harus bekerja keras agar punya uang sekolah. Seumuran kau, aku menjadi kuli di pabrik gula. Serabutan, disuruh ini-itu, kerja rendahan. Kau mau bekerja seperti itu?”
“Mau, Pak. Saya mau mengerjakan apa-saja di sini, asal jangan seperti Pak Malih.”
“Pak Malih? Oh, si Malih.” Pak pejabat terbahak, “Astaga, Borno, di sisi tertentu, ini antara kita berdua saja ya, kau bahkan lebih berharga dibanding staf yang mengerumuniku kemarin dijadikan satu.”
Demi sopan-santun aku ikut tertawa—walau tidak terlalu paham.
Pak Pejabat menelepon sebentar, menyebut-nyebut namaku, lantas bilang, “Jumlah pekerja kasar di syahbandar sudah terlalu banyak, Borno. Orang Jakarta selalu bertanya hal itu padaku setiap rapat bulanan. Tadi aku menghubungi kepala operator feri Kapuas, mereka bisa menampung. Kau datang saja besok ke sana. Nah, Borno, semoga saat kita bertemu lagi, kau tidak sekadar memberiku solusi daun singkong, tapi lebih hebat dari itu.” Pak Pejabat mengembalikan map merah, menyalamiku.

Besoknya aku berangkat ke dermaga feri Pontianak.

Jadi begini, selain motor tempel, atau disebut juga sepit (kalian pasti bisa menebaknya, dari kata speed; sama seperti sekolah dari kata school, bahasa Belanda), lalu-lintas penduduk Pontianak menyeberangi Kapuas juga dilayani oleh kapal feri. Tidak besar macam feri yang menyeberangi selat Bali atau selat Sunda apalagi selat Lombok, tetapi mereka bisa menaikkan sepeda motor, kapasitas penumpang mereka juga bisa dua puluh kali sepit, sekali feri datang, kerumunan di dermaga langsung tersapu habis. Pagi-pagi atau sore-sore saat lalu-lintas menyeberangi Kapuas sedang tinggi-tingginya, kapal feri menjadi pamungkas. Jika sepit punya beberapa dermaga kayu di sepanjang kota Pontianak, kapal feri hanya punya satu, di lokasi paling strategis, tengah kota, dermaga beton permanen.
Ke sanalah aku besok berangkat. Mandi pagi-pagi, memakai kemeja terbaik, yang apa daya adalah kemeja kemarin pagi yang buru-buru kucuci siangnya dan kusetrika malamnya.
“Doakan Borno sukses, Bu.” Aku mencium tangan Ibu.
“Kau macam mau pergi perang dengan Malaysia saja.” Ibu yang masih menyimpan memori ganyang negara tetangga puluhan tahun silam menyeringai.
Aku tertawa, mengucap salam.
Menumpang perahu tempel Bang Togar menyeberangi Kapuas.
“Kau sebenarnya mau kemana dengan pakaian rapi macam Walikota, hah? Kantor syahbandar Pontianak seperti kemarin? Biar kuantar, sekalian mau pulang, mesin sepit ku ini terkentut-kentut sejak tadi, khawatir malah mogok di tengah Kapuas. Kasihan penumpangnya.” Selepas tiba di seberang, Bang Togar bertanya.
Aku menggeleng, “Tak ke sana, Bang. Aku mau ke dermaga feri.”
“Dermaga feri? Apa pula urusan kau ke tempat itu?” Seringai Bang Togar yang biasanya ramah selalu (karena dia teman dekat almarhum Bapak dulu) langsung terlipat, masam seketika.
Aku ragu-ragu menjawab—merasa ada yang ganjil dengan tampang Bang Togar, “Eh, hendak melamar pekerjaan, Bang.”
“Astaga? Apa kau bilang?” Bang Togar terlonjak dari posisi duduknya mengendalikan sepit, hampir terjengkang ke dalam air.
Aku takut-takut mengangguk. Bang Togar ini besar tinggi, berkumis melintang. Terkenal sekali berwibawa dan berjiwa pemimpin, konon katanya seluruh penduduk Pontianak kenal. Dia adalah ketua PPSKT, Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta.
“Tiga turunan, Borno…. Tiga turunan! Kau ingat itu baik-baik!” Bang Togar kasar menunjuk hidungku.
Aku tercengang belum mengerti. Ternyata inilah yang membuat rumit urusan pekerjaan keduaku, kusut macam benang terpintal.

***bersambung

0 komentar: