Nama
saya Annisa Dwi Astuti. Seorang mahasiswi tingkat satu yang oleh
orang-orang
baik di depan, di belakang, di kanan, dan di kirinya biasa dipanggil
Tuti.
Salam kenal ya, Teh Dewi :) Tapi omong-omong, sebelumnya saya mohon maaf
ya, Teh, kalau Teh Dewi kurang berkenan
dipanggil dengan sapaan ‘Teteh’. Soalnya saya bingung mau memanggil
dengan
sapaan apa. Mau memanggil dengan sebutan ‘Kakak Dewi’? Rasa-rasanya
seperti memanggil
senior saya di kampus. Memanggil dengan sebutan ‘Tante Dewi’? Hehehe.
Saya rasa
ada pilihan yang lebih baik dari sapaan itu. Terpikir oleh saya untuk
memanggil
dengan sebutan ‘Mba Dewi’ mengingat saya memiliki darah Jawa, lebih
tepatnya
Yogyakarta yang menggunakan sapaan ‘Mba’ untuk perempuan pada umumnya.
Lagipula, panggilan ‘Mba’ dirasa cukup universal digunakan di Indonesia.
Akan
tetapi, panggilan Teteh lah yang pada akhirnya saya putuskan untuk
digunakan.
Selain karena saya yang lahir di Tanah
Sunda, Teh Dewi juga kelahiran Bumi Parahyangan khan? Hehehe. Semoga
berkenan ya, Teh, dengan sapaan ini :)
Pertama
kali saya mengetahui ada kompetisi menulis surat untuk Teh Dewi di mizan.com, saya antusias
banget loh, Teh! Soalnya momennya pas banget waktu saya lagi
semangat-semangatnya mau menulis serius. Serius dalam arti kata
memberanikan
diri untuk mengikuti kompetisi tulis menulis. Soalnya selama ini saya
cuma
berani nulis di kandang doang, Teh,
alias nulis di blog pribadi, hehe :P Tapi, tapi, tapi, antusiasme saya
hanya
terjadi beberapa menit pasca saya membaca pertauran kompetisi tersebut
Teh Dewi.
Antusiasme saya tenggelam oleh sebuah tanda tanya besar, “Mau nulis apa
untuk
Dewi Lestari?”
Bagaimana
saya tidak bertanya-tanya, Teh? Kalau boleh jujur ya Teh Dewi, saya teh
bukan penggemar berat karya-karya
Teteh. Masih pembaca pada umumnya. Mungkin
lebih karena saya jarang baca buku Teteh juga kali ya? Dari sekian
banyak karya
Teteh yang berupa novel
dan kumpulan cerpen, saya baru membaca tiga buku Teteh. Supernova,
Perahu Kertas,
dan Filosofi Kopi. Dan kalau boleh
jujur lagi nih, Teh, ketiga buku itu pun berhasil saya baca karena hasil
rekomendasi teman dan hasil meminjam, hehehe :P
Dengan
fakta seperti itu, jadi kan saya bingung Teh mau nulis tentang apa ke
Teh Dewi.
Kalau membahas tentang buku, saya cuma bisa cerita tentang pengalaman
membaca
tiga buku Teteh itu. Tentang Supernova
yang bikin otak saya muter banget waktu bacanya, tentang Perahu
Kertas yang bikin nyess
banget, dan tentang Filosofi Kopi
yang beberapa ceritanya membuat saya tersindir sekaligus terpojokkan
karena
saya ngerasa itu saya banget.
Sisanya? Bohong banget kalau di surat jadinya saya muji-muji Teteh kalau
semua
buku Teteh benar-benar membangun ruang baru dan begitu
membekas di hati saya, wong saya belum baca lagi yang lain. Jadilah
saya menunda penulisan surat ini saking bingungnya. Sampai
akhirnya di batas pengumpulan surat untuk Teteh, hari ini, tanggal 25
Januari 2012, saya
menemukan apa yang bisa saya tulis kepada Teh Dewi! :D
Tapi
sebelumnya Teh, sepertinya kebiasaan buruk saya dalam menulis kambuh
lagi. I can’t control my write :( Surat buat
Teteh khan batasnya 200-400 kata, Teh. Bahkan di saat saya belum
menyampaikan
apa yang mau saya utarakan kepada Teh Dewi, surat saya ini sudah
mencapai 500 kata. Heu.
Gapapalah ya, Teh! :D Setidaknya kalau saya tidak berhasil memenangkan
kompetisi untuk menulis surat kepada Teh Dewi, saya tetap berhasil
menjadi pememang karena
telah mengalahkan ketakutan saya untuk mulai menulis keluar :D
Jadi,
yang ingin saya sampaikan kepada Teh Dewi adalah.. Teh Dewi begitu
beruntung!
:D Teteh beruntung karena tinggal di kota yang menjadi sumber
pengkhayalan
tingkat tinggi saya. Kota yang sempat memenuhi alam tidak sadar saya
beberapa
tahun ke belakang. Kota Kembang. Bandung.
Kalau
boleh bercerita ke Teh Dewi, oleh teman-teman saya yang berada di
Fakultas
Psikologi, saya didiagnosis terkena Bandung
Complex, Teh. Yaa, walaupun memang hanya diagnosis mahasiswa
fakultas
psikologi yang baru mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa selama 1
semester,
tapi terkadang saya merasa diagnosis tersebut ada benarnya, Teh. Terlalu
panjang
untuk diceritakan asal musababnya, Teh. Tapi seperti yang pernah saya
katakan, Bandung
adalah kota yang menjadi sumber pengkhayalan tingkat tinggi saya. Banyak
pengkhayalan yang saya lakukan dengan kota ini. Mulai dari kotanya,
beberapa
sudut daerahnya, beberapa sudut tempatnya, bahkan orang-orang di
dalamnya.
Entah
disebut syndrom atau bukan, saya
selalu memiliki ketertarikan lebih dengan kota yang satu ini, Teh.
Bahkan
adakalanya, walaupun tidak selalu, ketika kota ini disebut-sebut, mood
saya bisa berubah sangat drastis.
Berubah senang melayang-layang. Atau bahkan berubah hancur berantakan. Mood
Booster? Mungkin.
Omong-omong,
saya lupa Teh, kalau Perahu Kertas itu, latarnya Bandung bukan? Sampai
saat ini,
latar yang melekat di kepala saya sebagai latar novel Perahu Kertas adalah sebuah
kota yang
bernama Bandung.
Sayangnya,
ketertarikan saya akan kota yang satu ini, tidak sejalan dengan
kesempatan
untuk bisa menjejakkan kaki di sana Teh Dewi. Saya berdomsili di Bogor.
Tidak
ada satu pun keluarga saya yang berdomisili di Bandung –dulu ada satu,
tapi
sekarang sudah pindah-. Saya lahir dari keluarga yang begitu menyayangi
anak
perempuan satu-satunya sehingga membutuhkan usaha mati-matian untuk bisa
pergi
ke Bandung dengan alasan apapun. Saya pun lahir dari keluarga yang tidak
begitu
menyukai traveling yang menyebabkan
tidak tersentuhnya Bandung sebagai tempat tujuan saat liburan. Berapa
kali saya
pergi ke Bandung? Seumur hidup masih bisa dihitung dengan jari Teh Dewi.
Lima
kali Teh Dewi. Lima kali. Sungguh saya iri dengan teman-teman saya yang
bisa
dengan mudah keluar masuk kota itu, Teh.
Pernah
saya mencoba membenahi diri atas ke-kompleks-an saya terhadap kota yang
satu ini.
Tapi saya tidak berhasil Teh Dewi. Sampai akhirnya saya mencoba
berdamai.
Berteman baik dengan kota sumber pengkhayalan tinggi saya ini dengan
menerima
bahwa ada sesuatu yang indah di balik ke-kompleks-an saya ini. Di tengah
usaha
berdamai itu pun, Tuhan pun berbaik hati membiarkan sayamemiliki
banyak teman yang bercerita banyak
tentang kota sumber pengkhayalan saya itu. Yap. Mungkin saya memang
tidak
diberikan kesempatan untuk bisa merengkuh kota khayalan saya itu Teh
Dewi. Tapi
sebagai gantinya, Dia memberikan banyak teman yang berasal dari kota
khayalan
itu kepada saya saat ini :)
Lalu,
apa perkaranya saya menyampaikan ke-kompleks-an saya dengan kepada Teh
Dewi
melalui surat ini? Yaa, saya hanya ingin bilang, Teh Dewi beruntung.
Beruntung
karena bisa lahir dan menetap di Kota Bandung. Itu saja :) Boleh khan
saya
mengkhayal, lagi, saya bisa diajak keliling Kota Bandung ditemani Teh
Dewi?
Hitung-hitung terapi menyembuhkan ke-kompleks-an saya sekaligus belajar
nulis
bersama Teteh, hihihi :P Besar harapan saya suatu saat nanti Teh Dewi
mencipta
sebuah karya besar lagi. Tapi kali ini, khusus tentang kota sumber
pengkahayalan tinggi saya itu.
Terima
kasih Teh Dewi telah bersedia mendengar ceracauan saya. Oia, di antara
banyak
ketidakjelasan isi surat ini, saya juga ingin menyampaikan satu hal lagi
untuk
Teh Dewi. Tetap berkarya ya, Teh Dewi :)
Semoga
segala bentuk inspirasi tetap menyelimuti setiap karya Teteh. Inspirasi
yang
menguatkan perempuan Indonesia untuk terus berani berimajinasi.
Inspirasi yang
menguatkan perempuan Indonesia untuk bisa menjadi penulis yang cerdas di
tengah
hingar bingar penulis pria yang semakin berbinar.
Selama
liburan, gw cukup sering bolak-balik ke kampus, khusunya fakultas gw
sendiri. Entah memang sedang ada keperluan akademis-nonakademis entah
hanya
numpang lewat sebagai jalan alternatif untuk menuju perpustakaan pusat.
Beberapa hari belakangan itu pula
ada sekelompok mahasiswa, yang
beberapa diantaranya teman-teman seangkatan gw, tengah berkutat dengan
kardus,
cat warna, dan alat-alat gambar lainnya. Ternyata mereka adalah
anak-anak
dekorasi Dapur.
Dapur merupakan kependekan dari
Tenda Purnama. Setiap usai prosesi
wisuda di tingkat universitas, para wisudawan/wisudawati biasanya
mengikuti
sebuah prosesi lagi –semacam pelepasan- di fakultas masing-masing. Dan
di
Fakultas Psikologi, Tenda Purnama inilah tempatnya :D
UI tiap tahunnya mengadakan dua
gelombang prosesi wisuda. Wisuda yang pertama dilaksanakan
bulan Agustus, sekaligus prosesi penyambutan mahasiswa baru. Adapun
wisuda yang
kedua dilaksanakan sekitar bulan Februari.
Tenda Purnama sendiri merupakan
kegiatan yang dilaksanakan setelah
prosesi wisuda tingkat universitas. Sejalan dengan prosesi wisuda yang
dilaksanakan dua kali dalam setahun, Dapur pun dilaksanakan dua kali
dalam
setahun. Berhubung gw baru merasakan Dapur satu kali, jadi gw gak tahu
tuh apa
memang setiap tahunnya Dapur selalu dilaksanakan di hari, waktu, dan
tempat yang
sama. Dapur tahun lalu, waktu pelaksanaanya setelah prosesi wisuda
tingkat universitas dari sore sampai malam harinya.
Bertempat di Akademos. Saat itu juga para wisudawan dan
wisudawati nya
masih cantik-cantik dan ganteng-ganteng dengan make up dan dibalut
dengan
kebaya dan jas.
Selain hiburan yang disajikan dari
berbagai angkatan, mulai dari band,
accoustic, vocal group, dan acara-acara hiburan lainnya,
prosesi paling penting
dari Dapur adalah pelepasan para wisudawan –kalau Dapur yang pertama
ditambah
penyambutan maba-. Dapur bulan Agustus lalu bertema tema Carnival.
Ada momen
dimana para wisudawan/wisudawati dipanggil oleh MC dan keluar serentak
beriringan dan berarak-arak mengelilingi Akademos sebelum pada akhirnya
bergabung dengan
mahasiswa yang lain. Saat berarak menuju Akademos, mereka keluar sambilmeniup terompet untuk ulan tahun dengan face
painting layaknya badut -beberapa sih, gak semuanya-. Muka-muka
lelah seharian
menggunakan kebaya dan jas tenggelam dibaliksenyum dan suka cita seorang mahasiswa yang baru di wisuda.
Tangan kanan
kirinya ada yang menggenggam setangkai atau bahkan seikat bunga entah
dari
siapa. Bersamaan dengan backsong lagu
berirama suka cita yang disiapkan panitia untuk mengiringinya, seketika
gw merinding lah
ngeliatnya. Ya Allah, kurang lebih 4
tahun lagi, amiin.
Tenda Purnama 2011 @ Afternoon
Tenda Purnama 2011 @
Night
Yellguys Wisudawan
Naaah, dari Dapur itu gw baru tahu
kalau ada budaya pemberian bunga
dari dan ke wisudawan/wisudawati. Gw baru ngeh padahal pas
prosesi wisuda, di
sekitar balairung banyak yang menjual bunga. Sepengetahuan gw dari
beberapa
cerita teman, pemberian bunga bisa dilakukan dari wisudawan/wisudawati
kepada
orangtuanya atau sebaliknya. Ada juga dari adik kelas kepada kakak
kelasnya.
Dari orang terdekat. Ataupun dari teman seangkatan. Tujuannya banyak.
Sebagai
ucapan terima kasih, selamat, ataupun tujuan-tujuan lain yang mungkin
hanya diketahui oleh si pemberi
bunga.
Kalau tau gitu, waktu wisuda
kemarin gw ngasih bunga deh ke Teh Mapaw
yang diwisuda sebagai sarjana Farmasi UI :( Tak mengapa, masih ada
kesempatan.
Mudah-mudahan bisa ngasih bunga di wisuda S2 Profesinya nanti :D
Berhubung sekarang bulan Januari,
berarti tinggal hitungan hari lagi
akan diselenggarakan wisuda gelombang 2 dan Tenda Purnama. Gw jadi
kepikiran
mau ngasih bunga. Untuk bulan Februari dan untuk bulan Agustus mendatang
:D
Untuk bulan Februari, gw
terpikirkan tentang seorang kakak perempuan-yang
dalam perjalanannya tetap gw panggil teteh. Salah seorang teteh yang
paling
awal bersedia berbagi cerita dan gak tanggung-tanggung panjangnya untuk
ukuran
wawancara tugas prosesi maba. Tentang banyak hal baik dari lingkup
fakultas
maupun lingkup universitas. Tentang senang dan sedihnya di dunia
perkuliahan. Cerita tentang seorang teteh yang dulu hanya
gw kenal di lembar hall of fame di
buku tahunan beberapa tahun silam.
Segala prestasi baik bidang
akademis maupun akademisnya -ditambah
wajah cantiknya :P- menggenapkan niat gw untuk memberikan bunga di hari
wisudanya
bulan depan. Selamat untuk S.Psi nya teteh :D terima kasih juga untuk
teladannya.
Untuk bulan September mendatang?
Naah, yang ini nih, gw mau sok-sokan
ngasihnya :P Soalnya, jujur, gw gak kenal secara personal, heheh :P Gw
berniat
untuk memberikan bunga kepada dua orang. Seorang kakak perempuan dan
seorang
kakak laki-laki. Tidak seperti dengan teteh sebelumnya yang memiliki
sebuah
lingkaran yang sama, gw belum memiliki kedekatan personal dengan
kakak perempuan dan kakak laki-laki ini .
Makanya gw bilang sok-sokan :P
Mereka bukan orang-orang yang
beredar di tingkat fakultas atau
universitas yang dikenal banyak orang karena perjalanan kegiatan
kemahasiswaannya -terbukti dengan tidak banyaknya maba yang mengenal
mereka
berdua-. Mereka bukan seorang orator ulung yang ketika berbicara mampu
membuat
orang-orang yang mendengarnya terkesima. Mereka pun bukan juara-juara
yang
bergelut dalam dunia akademis.
Tapi entah mengapa, sampai saat ini
gw berinteraksi dengan dua kakak
tersebut, gw selalu ngerasa nyaman
mendengar mereka berbicara. Bahkan gw rindu loh mendengar mereka
berbicara, atau lebih tepatnya bercerita.
Bukan untaian kata mutiara. Bukan kata-kata yang
disusun sedemikian rupa agar para lawan bicaranya berdecak kagum. Bukan
pembicaraan
intelek yang membutuhkan waktu untuk proses pemaknaannya. Bukan juga
cara bicara
dengan jeda yang teratur dan berapi-api yang membuat lawan bicaranya
tertular
semangat.
Buat gw dua kakak gw itu cerdas dalam bicara, dibalik
ke-apa-ada-an-nya. Bahkan gw sedih loh hanya bisa
bertemu satu tahun dengan mereka, heu.
Jadi?
Selamat untuk gelar sarjananya,
Tetehku :D
Selamat berjuang untuk skripsinya,
dua Kakak gw :D
Semoga 3 tangkai yang direncanakan
untuk dikirim benar-benar sampai di
bulan Februari dan Agustus mendatang.
Dan buat panitia Tenda Purnama
2012, hamasah! :D
Tenda Purnama 2012
Ngomong-ngomong soal hamasah, udah lama ih gak
di-hamasah-in orang, hihihi :P
Gw lagi suka sama hastag #bahagiaitusederhana di twitter. Belum pernah
make sih. Tapi seneng aja sama tweet-tweet orang yang pake hastag itu. Semua
tweetnya nunjukkin kalau bahagia itu bisa berasal dari mana aja. Dari hal-hal
kecil yang mungkin dianggap gak penting bagi sebagian orang. Dari hal-hal yang
sebenarnya mungkin dianggap biasa aja karena, yaa, memang bukan sesuatu yang
istimewa. Itu mengapa bahagia disebut sederhana :)
Sayangnya, hari Kamis kemarin (19 Januari 2012) gw lagi gak bisa ngetweet. Padahal gw
berkesempatan make hastag yang satu itu, hehehe.
Bahagia itu sederhana.
Sesederhana gw untuk kesekian kalinya menghabiskan liburan gw di NF
Paledang. Bedanya, Kamis itu terasa lebih ramai. Kami semua berkumpul di meja
penerima tamu. Berpesta! :D Ada gw, Jemi, Akbar, Upay, Mas Asep, Mas Pit, Mas
Zuhri, Mas Yusuf, Mas Ade, dan Mba Dewi. Ditemani pie apel, rujak, dan pisang aroma khas Bogor yang dibeli Mas Zuhri pasca
aksi protes gw karena Jemi dan Mas Yusuf ditraktir tepat setelah gw pamit
pulang kemarin lusa.
Bahagia itu sederhana.
Sesederhana kami yang ngegerecokin
Mas Yusuf yang sedang mengerjakan dokumen tentang proses renovasi NF Paledang.
Memperdebatkan ejaan ‘menyapu’ dalam bahasa Inggris, double ‘e’ atau double ‘p’.
Mempertanyakan mengapa istilah roof top
yang dipakai untuk mengartikan genteng paling atas. Menertawakan apa arti dag-dag dalam list renovasi (?).
Bahagia itu sederhana.
Sesederhana ngeliatin orang-orang yang ketawa sampe ngakak-ngakak
setelah baca Si Salmon yang gw bawa. Tapi di satu sisi geleng-geleng ngeliat Mas
Zuhri dan Jemi yang gak minat sama sekali dengan buku yang satu ini.
Bahagia itu sederhana.
Sesederhana gw yang mager gak mau pulang dari NF walaupun kepala gw
udah kleyengan dan menggigil setengah
mati gara-gara darah rendah gw kumat. Ah, orang lagi bahagia kadang bisa tidak
merasakan kalau fisiknya sedang sakit, bukan? ;)
Hari
ini (Selasa, 17 Januari 2012) joging ke 6 gw selama
liburan. Rute lingkar luar UI. Waktu 65 menit. Lebih
cepat 10 menit dibandingkan joging ke 4 dengan rute yang sama. Yippi :D
Kali ini gw gak
sendiri. Gw joging ditemani oleh Hanifah -biasa gw panggil dengan
sebutan
Nipeh- yang merupakan caang 5 Gandewa juga.
Oia,
yang namanya lingkar luar UI itu, mengelilingi lingkar dalam UI
terlebih dahulu, mulai dari Psikologi, Hukum, MUI, Balairung, FKM,
FMIPA, PNJ,
Kukel, Gym, Stadiun UI, sampai Kutek. Pokonya ngikuti jalur Bikun merah
lah. Setelahnya,
rute tidak dilanjutkan dengan menelusuri FT, FE, FISIP, dan Psikologi,
tapi
dilanjutkan dengan menempuh sebuah jalan alternatif di sebelah Kutek.
Jalan
tersebut membelah hutan UI dan penghujungnya
merupakan Asrama UI. Rute dilanjutkan
dengan menyusuri jalur Spekun yang bermula dari asrama UI. Menyusuri
Rumah
Makan Mang Engking, danau UI yang lain,
UI Wood, Gerbatama, Stasiun UI, sampai kembali ke Psikologi lagi.
Awal-awal
jogging gw masih lari beriringan dengan Nipeh. Lama-lama gw
di belakang Nipeh karena ritme jogging Nipeh lebih cepat dibandingkan
dengan
gw. Lucu loh kalau ngeliat Nipeh lagi jogging. Sambil jogging, Nipeh
yang
merupakan penggemar K-Pop ini, suka melakukan taran-tarian kecil. Konon,
tarian-tarian itu adalah gerakan-gerakan yang sering dilakukan oleh
artis-artis
K-Pop itu sendiri. Ngeliat Nipeh jogging sambil nari-nari gitu tuh kayak
menikmati jogging banget. Berbanding terbalik banget sama gw yang
jogging malah
dipake mikir banyak hal yang bikin kening keriput.
Makin
lama gw semakin tertinggal oleh Nipeh. Buset daah, Nipeh kayak
kancil banget. Larinya kayak loncat-loncat, cepet banget! :D Sampai pada
akhirnya, punggung Nipeh hilang dari pandangan gw. Di kepala gw masih
terbayang-bayang Nipeh yang jogging sambil menari-nari dengan kecepatan
kayak
kancil. Di saat yang bersamaan, gw udah mulai nyeret-nyeret kaki yang
mulai
minta berhenti -_-“
Hal yang paling menyenangkan dari
jogging adalah ketika pada akhirnya
segala bentuk pemaksaan yang dilakukan secara fisik (baca :
nyeret-nyeret kaki)
maupun mental (baca : mengibarkan bendera permusuhan dengan berhenti di
tengah-tengah) berhasil membawa badan gw untuk mencapai garis finish! :D
Atau
yang oleh gw biasa disebut dengan berhasil merasakan sensasi pipi
kesemutan lagi :D
Setelahnya,
kami memutuskan makan di Kanlam. Kanlam yang merupakan
kependekan dari Kantin Lama merupakan kantin Fakultas Psikologi UI
selain
Kancil. Makanan-makanan di Kanlam memang tidak cukup bervariasi
dibandingkan
dengan Kancil. Terlepas dari fotokopian, rental komputer, wartel, dan
toko merchandise, Kanlam hanya terdiri dari
satu kios minuman dan satu kios makanan. Kios minuman, yang didalamnya
dikenal
dengan sosok Mas Geboy, terdapat beberapa aneka jus dan minuman. Adapun
kios
makanannya memiliki menu aneka nasi, aneka mie, aneka soto, aneka hot
plate, aneka ayam, dan beberapa
jenis makanan lainnya. Walaupun hanya terdapat dua kios, bukan berarti
tidak
ada makanan enak disini :D
Kalau
Kancil gw recommended
banget sama yang namanya Ayam Lodho, di Kanlam gw recommended
banget sama yang namanya Soto Paru! :D Pertama kali gw
tahu ada makanan enak macam ini dari Annas, jaman-jamannya magang
kastrat.
Soto
Paru Kanlam memiliki penampilan layaknya soto pada umumnya. Soto
berkuah kuning dengan daging di dalamnya. Bedanya, dagingnya diganti
dengan
paru sapi. Paru nya pun digoreng terlebih dahulu sebelum akhirnya
dimasukkan ke
dalam kuah soto. Kriuk abis! Nyaam. Selain paru, terdapat pula potongan
dadu
kentang goreng, tomat, dan emping di dalamnya. Nyaam nyaam.
Soto
Paru Kanlam
Soto
Paru biasanya disajikan
saat panas. Setelah dicampur kecap, sambal, dan jeruk nipis,
alamaaaak..nyam..nyam..nyaam.. Subhanallah banget lah rasanya :D
Sepanjang
perjalanan gw merekomendasikan Soto Paru ini ke temen-temen gw yang
lain, belum
ada yang bilang gak enak nih soto. Satu porsi soto paru, lengkap bersama
sepiring nasi, dihargai Rp 9.000. Worth it lah sama
rasanya :D
Tapi,
tapi, tapi, selain Soto Paru, yang membuat gw lebih sumringah
pagi ini adalah jus
belimbing Mas Geboy! Yippi :D Akhirnya stok jus belimbing
Mas Geboy tersedia lagi. Bersama soto paru, gw pun memesan segelas jus
belimbing Mas Geboy. Habis jogging minum jus belimbing? Suegeeer rek >.<
Gw dan Jus Belimbing Mas Geboy,
Kanlam
Setelah
selesai makan, gw dan Nipeh kembali ke habitat masing-masing.
Nipeh kembali ke kostan dan gw kembali ke rumah kakak gw di daerah
Mekarsari.
Setelah mandi, nyuci, dan packing
untuk kembali ke Bogor sore hari nanti, gw langsung kabur lagi dari
rumah kakak
menuju Perpustakaan Pusat UI.
Kompas
sedang menyelenggarakan acara di Perpustakaan Pusat UI. Pameran
foto dan pemutaran sebuah film. Pameran foto dan pemutaran film tersebut
mengusung tema Ekspedisi Cincin Api. Sebuah program ekspedisi yang
dilaksanakan
oleh Kompas selama kurang lebih satu tahun untuk menelusuri daerah
daerah yang
termasuk ke dalam cincin api di Indonesia. Foto dan film tersebut
menyajikan
hasil dari perjalanan ekspedisi tersebut. Pameran fotonya telah
diselenggarakan
dari tanggal 10-17 Januari. Adapun pemutaran filmnya dilaksanakan
tanggal 17
Januari 2012, yaitu hari ini :D
Gw
datang terlalu pagi karena ternyata pemutaran filmnya diundur
menjadi jam 1. Ngomong-ngomong, sepanjang jalan banyak banget banner
dan pamflet tentang pemutaran
film ini. Tapi gak ada informasi spesifik tentang lokasi pemutaran film.
Tulisannya hanya “di Perpustakaan Pusat UI”. Helooo, Perpus pusat
kayaknya ada
8 lantai deh -_-
Akhirnya,
gw pun menyambangi seorang satpam wanita yang bertugas di
depan pintu masuk perpus.
Gw :
Permisi, Mba. Nonton bareng Film Ekspedisi Cincin Api di lantai
berapa ya, Mba?
Mba Satpam : Di lantai
6, Dek. Jam 1 siang.
Lantai
6? Hehehehehehehehe. Pikiran gw langsung melayang ke Bogor.
Lebih tepatnya ke Nisop dan Udin. Nisop! Udin! Akhirnya! Akhirnya! (tangan
dikpal ke atas dengan raut wajah
penuh kemenangan)(ketawa penuh kemenangan).
Cerita sebelumnya tentang Nisop, Udin, dan lantai 6 perpus pusat,
silahkan di
baca di
sini yaa. Gw akan menjejakkan kaki gw di lantai
misterius itu,
hahahaha
Sambil
menunggu jam 1, gw menuju Bank BNI yang masih terletak di dalam
gedung Perpus Pusat UI kalau-kalau ada yang bisa gw temui di sana. Benar
saja.
Gw masuk ke Bank BNI dan menghampiri Nipeh dan Rima disana. Rima sampe
bilang
gw cenayang karena gw bisa tahu kalau
mereka sedang ada disana. Hahaha. Ngeri juga disebut cenayang.
Padahal mah.. gw khan hanya mempelajar pola-pola, iya
khan Teh Cune ;) FYI : Rima adalah teman caang 5 Gandewa gw juga.
Setelah
shalat Zuhur, gw dan Nipeh berpisah dengan Rima. Gw dan Nipeh
menuju lantai 6, sedangkan Rima tidak ikut nonton karena harus mengambil
brosur
Psikologi untuk kepentingan promosi di SMA nya. Jadilah gw menghabiskan
waktu
seharian dengan Nipeh :D
Gw
dan Nipeh menuju lantai 6 Perpus Pusat. Benar apa yang dikatakan Rj,
lantai 6 Perpustakaan Pusat UI adalah sebuah auditorium untuk nonton
film
bareng. Kalau yang dipublikasikan kepada orang-orang mah yaa bioskop
mini gitu.
Gw dan Nipeh datang terlalu cepat. Akhirnya kami turun lagi untuk
mencari
makan. Kami memutuskan untuk makan di salah satu kios yang ada di bagian
samping perpustakaan pusat. Baso Malang.
Gw
memesan baso spesial telor. Dengan harga Rp 15.000 satu porsi, gw
berekspetasi bahwa telornya adalah telor ayam dengan ukuran normal.
Setelah
mangkok dihidangkan di hadapan gw, jeng..jeng! Telornya telor puyuuuh
meeen,
satu biji butir lagi -_-
Bakso Malang Perpustakaan Pusat
UI
Kalau
dari segi rasa memang enak. Tapi kalau dari segi porsi? Ibuu...
harganya gak sebanding dengan porsinya :( pajaknya mahal kali yak?
Setelah
makan, gw dan Nipeh kembali ke lantai 6.Wiih, kali ini
auditnya udah penuh. Gw dan Nipeh pun
sebenarnya gak cukup dapet posisi yang strategis. Gimana ya
menggambarkannya?
Jadi auditnya itu bukan ruangan bak bioskop pada umumnya yang berbentuk
persegi
normal. Auditnya menyerupai huruf ‘L’ yang tidak sempurna. Pada huruf
‘L’ itu
ada sebuah garis panjang dan sebuah garis pendek khan? Perpotongan kedua
garis
itu tidak membentuk sudut 90 derajat, tetapi membentuk sudut lebih dari
90
derajat. Naah, layar terbesar yang ada di ruangan tersebut hanya dapat
dilihat
oleh orang-orang yang duduk di jajaran kursi di wilayah garis
terpanjang.
Adapun orang-orang yang duduk di jajaran garis pendek hanya bisa
menonton
melalui layar kecil seperti yang biasa digunakan untuk presentasi pada
umumnya.
Gw dan Nipeh salah satu yang duduk di jajaran garis yang pendek.
Sambil
menunggu film dimulai, gw memerhatikan orang-orang yang ada di
dalam ruangan. Ada Ola dan Caraka. Ada Izzat yang merupakan teman gw di
caang 5
Gandewa juga. Ada Kak Meutia, pengurus HUMUS (pecinta alamnya FEUI). Ada
Kak
Ucup, ketua KAPA (pecinta alamnya FTUI). Film ini
sepertinya cukup menarik perhatian
orang-orang yang bersinggungan dengan alam dan lingkungan.
Film
pun dimulai. Bercerita tentang ekspedisi yang dilakukan di Anak
Krakatau. Bermula dari kisah meledaknya Gunung Krakatau yang terjadi
pada tahun
1883. Tsunami dan perubahan iklim dunia sebagai akibat yang
ditimbulkannya.
Sisa-sisa tragedi alam yang masih bisa ditemukan sampai saat ini.
Fenomena
munculnya Anak Krakatau. Suksesi yang terjadi di Krakatau yang begitu
cepat
pasca penghancuran diri Gunung Krakatau. Sampai prediksi ilmuan tentang
kemungkinan menyusulnya Anak Karakatu untuk melakukan penghancuran diri
seperti
yang pernah dilakukan oleh ayahnya tahun
1883.
Walaupun
sempat mendapat kritik cukup pedas dari salah satu penonton
tentang ketidaklengkapan beberapa unsur dalam film tersebut, buat gw
pribadi
film hasil ekspedisi tersebut cukup informatif untuk disaksikan. Lebih
jauh
lagi, pengambilan gambar yang oke banget membuat siapapun harus setuju
kalau
Indonesia punya keindahan alam yang wajib untuk dijajaki bagi siapa saja
yang
mengaku mencintai Indonesia sebagai tanah airnya :)
Pemutaran
film Ekspedisi Cincin Api ini gak cuma tentang Anak Krakatau.
Ada tentang Danau Tambora, Kawah Ijen, Gunung Agung-Rinjani, Gunung
Semeru, dan
beberapa kenampakan alam yang dikategorikan ke dalam wilayah cincin api
di
Indonesia. Walaupun hari itu gw cuma nonton bagian Anak Krakataunya, gw
berkesempatan untuk meyaksikan beberapacuplikan pendek film-film lainnya.
Saat tiba di
kenampakan Ranu Kumbolo di Gunung Semeru dan Danau Segara Anak di Gunung
Rinjani, gw dan Nipeh pun grasak-grusuk sikut-sikutan :P
Yap.
Kami pernah berada di sana.
Bersama 5 cm nya Donny Dhirgantoro dan Sunset Bersama Rosienya Tere Liye
:)
Jadi
inget tabungan gw buat ke Rinjani. Ada yang mau ikut nabung? ;)
Selain
tentang kenampakan alam yang dikategorikan ke dalam wilayah
cincin api Indonesia, kami juga diperlihatkan tentang teknik foto 360
derajat
yang digunakan oleh tim ekspedisi Kompas. Melalui teknik tersebut, saat
melihat
hasil fotonya, kita dibawa seolah-olah berada di titik di mana gambar
itu
diambil. Informasi lebih lanjut tentang eksepdisi cincin api dan teknik
foto
360 derajat ini silahkan buka di cincinapi.com
yaa :D
Pemutaran
film selesai! Gw pun beranjak dari lantai 6 perpustakaan
pusat UI. Lantai 6? Hehehe. Sebagai bukti kalau gw pernah menjejakkan
kaki di
sini, gw pun berfoto dulu di lantai yang beberapa hari lalu sempat gw
anggap
misterius! Hahaha. Ola aja ampe geleng-geleng ngeliat gw yang iseng
banget foto
disini :P
Gw
di Lantai 6 Perpustakaan Pusat UI
Dari
tempat gw foto, terlihat jelas gedung Fasilkom dari ketinggian.
Kalau dari jarak seperti ini, sekarang gw ngerti deh kenapa gedung
Fasilkom
sering disebut dengan rumah ninja, hehehe :P
Lift
turun penuh. Akhirnya gw dan Nipeh pun turun melalui tangga. Kami
pun tiba di lantai 5. Lantai 5? Hehehe. Lantai ini juga belum jadi gw
jajaki
nih sama Udin dan Nisop beberapa hari yang lalu karena terlanjur ilfeel
dengan Bapak Satpam yang terhormat.
Sebelum turun ke lantai selanjutnya, gw pun mengjajak Nipeh sebentar
untuk
menjajaki lantai ini. Gak ada ruangan yangberarti di lantai ini. Hanya
ada
lorong-lorong yang menghubungkan antara satu tempat ke tempat lain. Tapi
ada deng satu hal yang menarik perhatian
gw. Tau Taman Teletubbies yang terletak di atas
gedung Perpustakaan Pusat?
Berupa tanah miring yang menyerupai bukit yang dipenuhi hamparan rumput
hijau
–yang sekarang rumputnya jigrak-jigrak
karena belum dipotong-? Yang awal keberadaannya membuat gw bertanya
bagaimana
cara nyiram dan ngerawat tanaman di ketinggian seperti itu? Ternyata,
lantai 5
inilah akses menuju kesana :D
Nipeh : Teh,
mau difoto disana gak?
Hehehe.
Makasih Peh. Tapi untuk kali ini, gak usahlah. Taman Teletubbies
udah cukup indah kok
tanpa salah satu Tubbie berfoto di
dalamnya -_-
Gw
dan Nipeh pun berpisah. Nipeh ke Spektra untuk membeli textbook
semester 2, gw menuju ke
Stasiun UI untuk kembali ke Bogor.
Seperti
biasa, sebelum pulang, gw mampir dulu ke NF Paledang. Hari ini
ada yang berbeda. Di Paledang, gw bertemu lagi dengan teman lama yang
baru gw kenal.
Sama seperti tahun lalu, Jemi pun lagi menghabiskan liburan yang
tinggal
tersisa beberapa hari lagi. ITB memang gak berubah. Selalu terdepan
dalam ujian
dan liburan, hehehe :P Cerita sebelumnya tentang Jemi, silakan baca
di sini yaa :)
Gw
dan Jemi gak janjian untuk datang ke Paledang hari ini. Tapi satu
hal yang kami sepakati bersama, selama masih ada Mas Yusuf dan Mas Ade,
Paledang akan
selalu bersedia menampung kami kapanpun kami mau kembali kesini.
Saat
gw datang, pemandangannya gak jauh berbeda dengan tahun lalu. Jemi
lagi ditodong sama siswa NF buat bantuin ngerjain soal. Hohoho. Lucu
banget
merhatiin anak SMA yang maksa banget Jemi buat diajarin, materinya
tentang
vektor. Di sisi lain, Jemi sedang berusaha mengingat-ingat pelajaran
yang satu
ini ditengah paksaan anak SMA itu. Wong jurusan perminyakan udah gak
belajar
ginian lagi.
Jemi : Tuth, gw lupa nih tentang
vektor. Siapa tau lw bisa?
Jedaaaar.
Maap-maap nih Jem, bukan bermaksud mengkotak-kotakkan ilmu
pengetahuan. Saking lamanya gak ngitung nih ya. Gw mau bayar 3 mangkok
mie ayam
yang satunya seharga Rp 6.000 aja gw bayar dengan Rp 36.000 -_-“
Namanya
Meta. Siswa akselerasi SMAN 6 Bogor. Gw yang tadinya cuma
senyum-senyum ngeliatin dia yang lagi rusuh banget minta diajarin Jemi,
akhirnya gw beranikan diri juga untuk berkenlan. Ternyata Meta salah
satu siswa
NF terlama. Ia sudah bergabung dengan NF sejak masih duduk di bangku
sekolah
dasar. Cerita tentang cita-citanya mau masuk PTN mana pun mengalir.
Fakultas
Kedokteran UI. Ternyata masih menjadi fakultas favorit di berbagai
zaman.
Tambah rusuh lagi ketika Meta tau Jemi anak SMA 7. SMAN 6 dan SMAN 7
Bogor,
entah berawal dari mana, sama-sama mendeklarasikan bahwa mereka adalah
musuh
abadi. Dan pemahaman itu sepertinya dibawa di tiap angkatannya. Bahkan
sampai
ke Meta dan Jemi yang sejatinya berbeda angkatan. Walaupun permusuhan
yang
terjadi di depan gw lucu, berantem gara-gara soal matematika, hihihi.
Setelah
puas konsultasi dengan Jemi mengenai vektor, Meta pun beralih
ke Mas Zuhri, menayakan soal tentang resistor. Mas Zuhri adalah mantan
guru NF
gw. Guru fisika. Lulusan S1 Fisika UI dan S2 Fisika di Italia ini, saat
ini
tengah mengenyam penididkan S3 di Amerika Serikat. Keberadaanya di NF
hari ini
pun dalam rangka liburannya selama satu bulan. Di usianya yang masih
sangat
muda, dengan jenjang penididkan seperti itu yang berhasil ia dapatkan
melalui
beasiswa, gw gak ngerti lagi mau kemana arah hidupnya, hahaha :P
Sepanjang
sore itu pun gw habiskan dengan tertawa. Tertawa karena
membantu Jemi mengelabuhi Meta kalau Jemi adalah teman satu angkatannya,
tertawa melihat ekspresi Meta yang kesal karena dikelabuhi, tertawa
karena
celetukkan celetukkan Mas Yusuf, yang seperti biasa, mulai tidak waras
kalau
sudah menjelang sore :P, tertawa karena melihat Mas Zuhri tertawa.
Kawaan,
melihat guru gw yang satu ini tertawa merupakan pengalaman langka. Buku
Raditya
Dika saja diniliainya tidak lucu sama sekali -_-“ Dan menertawakan
hal-hal
sepele lainnya. Gak penting sih. Tapi dibalik ketidakpentingan itu
terkadang seseorang
bisa melepaskan tawa yang sebenarnya :)
Sebelum
pulang, gw sholat magrib dulu di Paledang. Sepanjang gw
bercerita bersama Meta, Jemi, dan Mas Zuhri, Meta gak pernah beranjak
sedikitpun dari kursinya. Saat dia beranjak berdiri untuk sholat,
alaaaamaaaaak, jiper banget gw. Untuk ukuran anak kelas 3 SMA, Meta
tinggi
bangeeet -_- 171 cm aja loh tingginya. Gw yang berjalan bersisian dengan
Meta
ke mushola pun gak henti-hentinya menatap cangak tingginya yang begitu
aduhai.
Gw
pun sholat berjamaah dengan
Meta. Senang bisa berkenalan dengan salah satu keluarga besar Paledang
lagi.
Semoga citamu tahun ini dimudahkan ya, Meta.
Yap.
Satu lagi hari dengan
mobilitas tinggi. Satu lagi hari dengan penjagaan tali silaturahmi.
Satu
lagi hari dengan intensitas senyuman yang membumbung tinggi :)