Dear
Teh Dewi,
Nama
saya Annisa Dwi Astuti. Seorang mahasiswi tingkat satu yang oleh
orang-orang
baik di depan, di belakang, di kanan, dan di kirinya biasa dipanggil
Tuti.
Salam kenal ya, Teh Dewi :) Tapi omong-omong, sebelumnya saya mohon maaf
ya, Teh, kalau Teh Dewi kurang berkenan
dipanggil dengan sapaan ‘Teteh’. Soalnya saya bingung mau memanggil
dengan
sapaan apa. Mau memanggil dengan sebutan ‘Kakak Dewi’? Rasa-rasanya
seperti memanggil
senior saya di kampus. Memanggil dengan sebutan ‘Tante Dewi’? Hehehe.
Saya rasa
ada pilihan yang lebih baik dari sapaan itu. Terpikir oleh saya untuk
memanggil
dengan sebutan ‘Mba Dewi’ mengingat saya memiliki darah Jawa, lebih
tepatnya
Yogyakarta yang menggunakan sapaan ‘Mba’ untuk perempuan pada umumnya.
Lagipula, panggilan ‘Mba’ dirasa cukup universal digunakan di Indonesia.
Akan
tetapi, panggilan Teteh lah yang pada akhirnya saya putuskan untuk
digunakan.
Selain karena saya yang lahir di Tanah
Sunda, Teh Dewi juga kelahiran Bumi Parahyangan khan? Hehehe. Semoga
berkenan ya, Teh, dengan sapaan ini :)
Pertama
kali saya mengetahui ada kompetisi menulis surat untuk Teh Dewi di mizan.com, saya antusias
banget loh, Teh! Soalnya momennya pas banget waktu saya lagi
semangat-semangatnya mau menulis serius. Serius dalam arti kata
memberanikan
diri untuk mengikuti kompetisi tulis menulis. Soalnya selama ini saya
cuma
berani nulis di kandang doang, Teh,
alias nulis di blog pribadi, hehe :P Tapi, tapi, tapi, antusiasme saya
hanya
terjadi beberapa menit pasca saya membaca pertauran kompetisi tersebut
Teh Dewi.
Antusiasme saya tenggelam oleh sebuah tanda tanya besar, “Mau nulis apa
untuk
Dewi Lestari?”
Bagaimana
saya tidak bertanya-tanya, Teh? Kalau boleh jujur ya Teh Dewi, saya teh
bukan penggemar berat karya-karya
Teteh. Masih pembaca pada umumnya. Mungkin
lebih karena saya jarang baca buku Teteh juga kali ya? Dari sekian
banyak karya
Teteh yang berupa novel
dan kumpulan cerpen, saya baru membaca tiga buku Teteh. Supernova,
Perahu Kertas,
dan Filosofi Kopi. Dan kalau boleh
jujur lagi nih, Teh, ketiga buku itu pun berhasil saya baca karena hasil
rekomendasi teman dan hasil meminjam, hehehe :P
Dengan
fakta seperti itu, jadi kan saya bingung Teh mau nulis tentang apa ke
Teh Dewi.
Kalau membahas tentang buku, saya cuma bisa cerita tentang pengalaman
membaca
tiga buku Teteh itu. Tentang Supernova
yang bikin otak saya muter banget waktu bacanya, tentang Perahu
Kertas yang bikin nyess
banget, dan tentang Filosofi Kopi
yang beberapa ceritanya membuat saya tersindir sekaligus terpojokkan
karena
saya ngerasa itu saya banget.
Sisanya? Bohong banget kalau di surat jadinya saya muji-muji Teteh kalau
semua
buku Teteh benar-benar membangun ruang baru dan begitu
membekas di hati saya, wong saya belum baca lagi yang lain. Jadilah
saya menunda penulisan surat ini saking bingungnya. Sampai
akhirnya di batas pengumpulan surat untuk Teteh, hari ini, tanggal 25
Januari 2012, saya
menemukan apa yang bisa saya tulis kepada Teh Dewi! :D
Tapi
sebelumnya Teh, sepertinya kebiasaan buruk saya dalam menulis kambuh
lagi. I can’t control my write :( Surat buat
Teteh khan batasnya 200-400 kata, Teh. Bahkan di saat saya belum
menyampaikan
apa yang mau saya utarakan kepada Teh Dewi, surat saya ini sudah
mencapai 500 kata. Heu.
Gapapalah ya, Teh! :D Setidaknya kalau saya tidak berhasil memenangkan
kompetisi untuk menulis surat kepada Teh Dewi, saya tetap berhasil
menjadi pememang karena
telah mengalahkan ketakutan saya untuk mulai menulis keluar :D
Jadi,
yang ingin saya sampaikan kepada Teh Dewi adalah.. Teh Dewi begitu
beruntung!
:D Teteh beruntung karena tinggal di kota yang menjadi sumber
pengkhayalan
tingkat tinggi saya. Kota yang sempat memenuhi alam tidak sadar saya
beberapa
tahun ke belakang. Kota Kembang. Bandung.
Kalau
boleh bercerita ke Teh Dewi, oleh teman-teman saya yang berada di
Fakultas
Psikologi, saya didiagnosis terkena Bandung
Complex, Teh. Yaa, walaupun memang hanya diagnosis mahasiswa
fakultas
psikologi yang baru mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa selama 1
semester,
tapi terkadang saya merasa diagnosis tersebut ada benarnya, Teh. Terlalu
panjang
untuk diceritakan asal musababnya, Teh. Tapi seperti yang pernah saya
katakan, Bandung
adalah kota yang menjadi sumber pengkhayalan tingkat tinggi saya. Banyak
pengkhayalan yang saya lakukan dengan kota ini. Mulai dari kotanya,
beberapa
sudut daerahnya, beberapa sudut tempatnya, bahkan orang-orang di
dalamnya.
Entah
disebut syndrom atau bukan, saya
selalu memiliki ketertarikan lebih dengan kota yang satu ini, Teh.
Bahkan
adakalanya, walaupun tidak selalu, ketika kota ini disebut-sebut, mood
saya bisa berubah sangat drastis.
Berubah senang melayang-layang. Atau bahkan berubah hancur berantakan. Mood
Booster? Mungkin.
Omong-omong,
saya lupa Teh, kalau Perahu Kertas itu, latarnya Bandung bukan? Sampai
saat ini,
latar yang melekat di kepala saya sebagai latar novel Perahu Kertas adalah sebuah
kota yang
bernama Bandung.
Sayangnya,
ketertarikan saya akan kota yang satu ini, tidak sejalan dengan
kesempatan
untuk bisa menjejakkan kaki di sana Teh Dewi. Saya berdomsili di Bogor.
Tidak
ada satu pun keluarga saya yang berdomisili di Bandung –dulu ada satu,
tapi
sekarang sudah pindah-. Saya lahir dari keluarga yang begitu menyayangi
anak
perempuan satu-satunya sehingga membutuhkan usaha mati-matian untuk bisa
pergi
ke Bandung dengan alasan apapun. Saya pun lahir dari keluarga yang tidak
begitu
menyukai traveling yang menyebabkan
tidak tersentuhnya Bandung sebagai tempat tujuan saat liburan. Berapa
kali saya
pergi ke Bandung? Seumur hidup masih bisa dihitung dengan jari Teh Dewi.
Lima
kali Teh Dewi. Lima kali. Sungguh saya iri dengan teman-teman saya yang
bisa
dengan mudah keluar masuk kota itu, Teh.
Pernah
saya mencoba membenahi diri atas ke-kompleks-an saya terhadap kota yang
satu ini.
Tapi saya tidak berhasil Teh Dewi. Sampai akhirnya saya mencoba
berdamai.
Berteman baik dengan kota sumber pengkhayalan tinggi saya ini dengan
menerima
bahwa ada sesuatu yang indah di balik ke-kompleks-an saya ini. Di tengah
usaha
berdamai itu pun, Tuhan pun berbaik hati membiarkan saya memiliki
banyak teman yang bercerita banyak
tentang kota sumber pengkhayalan saya itu. Yap. Mungkin saya memang
tidak
diberikan kesempatan untuk bisa merengkuh kota khayalan saya itu Teh
Dewi. Tapi
sebagai gantinya, Dia memberikan banyak teman yang berasal dari kota
khayalan
itu kepada saya saat ini :)
Lalu,
apa perkaranya saya menyampaikan ke-kompleks-an saya dengan kepada Teh
Dewi
melalui surat ini? Yaa, saya hanya ingin bilang, Teh Dewi beruntung.
Beruntung
karena bisa lahir dan menetap di Kota Bandung. Itu saja :) Boleh khan
saya
mengkhayal, lagi, saya bisa diajak keliling Kota Bandung ditemani Teh
Dewi?
Hitung-hitung terapi menyembuhkan ke-kompleks-an saya sekaligus belajar
nulis
bersama Teteh, hihihi :P Besar harapan saya suatu saat nanti Teh Dewi
mencipta
sebuah karya besar lagi. Tapi kali ini, khusus tentang kota sumber
pengkahayalan tinggi saya itu.
Terima
kasih Teh Dewi telah bersedia mendengar ceracauan saya. Oia, di antara
banyak
ketidakjelasan isi surat ini, saya juga ingin menyampaikan satu hal lagi
untuk
Teh Dewi. Tetap berkarya ya, Teh Dewi :)
Semoga
segala bentuk inspirasi tetap menyelimuti setiap karya Teteh. Inspirasi
yang
menguatkan perempuan Indonesia untuk terus berani berimajinasi.
Inspirasi yang
menguatkan perempuan Indonesia untuk bisa menjadi penulis yang cerdas di
tengah
hingar bingar penulis pria yang semakin berbinar.
Dari
: Yang masih mencari pinjaman buku Dee :P,
Annisa
Dwi Astuti
Untuk : Mizan.com
0 komentar:
Posting Komentar