Rabu, 25 Januari 2012

#22 - Surat untuk Dewi 'Dee' Lestari

*Untuk Blog Contest Mizan.com

Dear Teh Dewi,

Nama saya Annisa Dwi Astuti. Seorang mahasiswi tingkat satu yang oleh orang-orang baik di depan, di belakang, di kanan, dan di kirinya biasa dipanggil Tuti. Salam kenal ya, Teh Dewi :) Tapi omong-omong, sebelumnya saya mohon maaf  ya, Teh, kalau Teh Dewi kurang berkenan dipanggil dengan sapaan ‘Teteh’. Soalnya saya bingung mau memanggil dengan sapaan apa. Mau memanggil dengan sebutan ‘Kakak Dewi’? Rasa-rasanya seperti memanggil senior saya di kampus. Memanggil dengan sebutan ‘Tante Dewi’? Hehehe. Saya rasa ada pilihan yang lebih baik dari sapaan itu. Terpikir oleh saya untuk memanggil dengan sebutan ‘Mba Dewi’ mengingat saya memiliki darah Jawa, lebih tepatnya Yogyakarta yang menggunakan sapaan ‘Mba’ untuk perempuan pada umumnya. Lagipula, panggilan ‘Mba’ dirasa cukup universal digunakan di Indonesia. Akan tetapi, panggilan Teteh lah yang pada akhirnya saya putuskan untuk digunakan. Selain karena saya yang lahir di Tanah Sunda, Teh Dewi juga kelahiran Bumi Parahyangan khan? Hehehe. Semoga berkenan ya, Teh, dengan sapaan ini :)

Pertama kali saya mengetahui ada kompetisi menulis surat untuk Teh Dewi di mizan.com, saya antusias banget loh, Teh! Soalnya momennya pas banget waktu saya lagi semangat-semangatnya mau menulis serius. Serius dalam arti kata memberanikan diri untuk mengikuti kompetisi tulis menulis. Soalnya selama ini saya cuma berani nulis di kandang doang, Teh, alias nulis di blog pribadi, hehe :P Tapi, tapi, tapi, antusiasme saya hanya terjadi beberapa menit pasca saya membaca pertauran kompetisi tersebut Teh Dewi. Antusiasme saya tenggelam oleh sebuah tanda tanya besar, “Mau nulis apa untuk Dewi Lestari?”

Bagaimana saya tidak bertanya-tanya, Teh? Kalau boleh jujur ya Teh Dewi, saya teh bukan penggemar berat karya-karya Teteh.  Masih pembaca pada umumnya. Mungkin lebih karena saya jarang baca buku Teteh juga kali ya? Dari sekian banyak karya Teteh yang berupa novel dan kumpulan cerpen, saya baru membaca tiga buku Teteh. Supernova, Perahu Kertas, dan Filosofi Kopi. Dan kalau boleh jujur lagi nih, Teh, ketiga buku itu pun berhasil saya baca karena hasil rekomendasi teman dan hasil meminjam, hehehe :P 

Dengan fakta seperti itu, jadi kan saya bingung Teh mau nulis tentang apa ke Teh Dewi. Kalau membahas tentang buku, saya cuma bisa cerita tentang pengalaman membaca tiga buku Teteh itu. Tentang Supernova yang bikin otak saya muter banget waktu bacanya, tentang Perahu Kertas yang bikin nyess banget, dan tentang Filosofi Kopi yang beberapa ceritanya membuat saya tersindir sekaligus terpojokkan karena saya ngerasa itu saya banget. Sisanya? Bohong banget kalau di surat jadinya saya muji-muji Teteh kalau semua buku Teteh benar-benar membangun ruang baru  dan begitu membekas di hati saya, wong saya belum baca lagi yang lain.  Jadilah saya menunda penulisan surat ini saking bingungnya. Sampai akhirnya di batas pengumpulan surat untuk Teteh, hari ini, tanggal 25 Januari 2012, saya menemukan apa yang bisa saya tulis kepada Teh Dewi! :D

Tapi sebelumnya Teh, sepertinya kebiasaan buruk saya dalam menulis kambuh lagi. I can’t control my write :( Surat buat Teteh khan batasnya 200-400 kata, Teh. Bahkan di saat saya belum menyampaikan apa yang mau saya utarakan kepada Teh Dewi, surat saya  ini sudah mencapai 500 kata. Heu. Gapapalah ya, Teh! :D Setidaknya kalau saya tidak berhasil memenangkan kompetisi untuk menulis surat kepada Teh Dewi, saya tetap berhasil menjadi pememang karena telah mengalahkan ketakutan saya untuk mulai menulis keluar :D

Jadi, yang ingin saya sampaikan kepada Teh Dewi adalah.. Teh Dewi begitu beruntung! :D Teteh beruntung karena tinggal di kota yang menjadi sumber pengkhayalan tingkat tinggi saya. Kota yang sempat memenuhi alam tidak sadar saya beberapa tahun ke belakang. Kota Kembang. Bandung.

Kalau boleh bercerita ke Teh Dewi, oleh teman-teman saya yang berada di Fakultas Psikologi, saya didiagnosis terkena Bandung Complex, Teh. Yaa, walaupun memang hanya diagnosis mahasiswa fakultas psikologi yang baru mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa selama 1 semester, tapi terkadang saya merasa diagnosis tersebut ada benarnya, Teh. Terlalu panjang untuk diceritakan asal musababnya, Teh. Tapi seperti yang pernah saya katakan, Bandung adalah kota yang menjadi sumber pengkhayalan tingkat tinggi saya. Banyak pengkhayalan yang saya lakukan dengan kota ini. Mulai dari kotanya, beberapa sudut daerahnya, beberapa sudut tempatnya, bahkan orang-orang di dalamnya.

Entah disebut syndrom atau bukan, saya selalu memiliki ketertarikan lebih dengan kota yang satu ini, Teh. Bahkan adakalanya, walaupun tidak selalu, ketika kota ini disebut-sebut, mood saya bisa berubah sangat drastis. Berubah senang melayang-layang. Atau bahkan berubah hancur berantakan. Mood Booster? Mungkin.

Omong-omong, saya lupa Teh, kalau Perahu Kertas itu, latarnya Bandung bukan? Sampai saat ini, latar yang melekat di kepala saya sebagai latar novel Perahu Kertas adalah sebuah kota yang bernama Bandung.

Sayangnya, ketertarikan saya akan kota yang satu ini, tidak sejalan dengan kesempatan untuk bisa menjejakkan kaki di sana Teh Dewi. Saya berdomsili di Bogor. Tidak ada satu pun keluarga saya yang berdomisili di Bandung –dulu ada satu, tapi sekarang sudah pindah-. Saya lahir dari keluarga yang begitu menyayangi anak perempuan satu-satunya sehingga membutuhkan usaha mati-matian untuk bisa pergi ke Bandung dengan alasan apapun. Saya pun lahir dari keluarga yang tidak begitu menyukai traveling yang menyebabkan tidak tersentuhnya Bandung sebagai tempat tujuan saat liburan. Berapa kali saya pergi ke Bandung? Seumur hidup masih bisa dihitung dengan jari Teh Dewi. Lima kali Teh Dewi. Lima kali. Sungguh saya iri dengan teman-teman saya yang bisa dengan mudah keluar masuk kota itu, Teh.

Pernah saya mencoba membenahi diri atas ke-kompleks-an saya terhadap kota yang satu ini. Tapi saya tidak berhasil Teh Dewi. Sampai akhirnya saya mencoba berdamai. Berteman baik dengan kota sumber pengkhayalan tinggi saya ini dengan menerima bahwa ada sesuatu yang indah di balik ke-kompleks-an saya ini. Di tengah usaha berdamai itu pun, Tuhan pun berbaik hati membiarkan saya  memiliki banyak teman yang bercerita banyak tentang kota sumber pengkhayalan saya itu. Yap. Mungkin saya memang tidak diberikan kesempatan untuk bisa merengkuh kota khayalan saya itu Teh Dewi. Tapi sebagai gantinya, Dia memberikan banyak teman yang berasal dari kota khayalan itu kepada saya saat ini :)

Lalu, apa perkaranya saya menyampaikan ke-kompleks-an saya dengan kepada Teh Dewi melalui surat ini? Yaa, saya hanya ingin bilang, Teh Dewi beruntung. Beruntung karena bisa lahir dan menetap di Kota Bandung. Itu saja :) Boleh khan saya mengkhayal, lagi, saya bisa diajak keliling Kota Bandung ditemani Teh Dewi? Hitung-hitung terapi menyembuhkan ke-kompleks-an saya sekaligus belajar nulis bersama Teteh, hihihi :P Besar harapan saya suatu saat nanti Teh Dewi mencipta sebuah karya besar lagi. Tapi kali ini, khusus tentang kota sumber pengkahayalan tinggi saya itu.

Terima kasih Teh Dewi telah bersedia mendengar ceracauan saya. Oia, di antara banyak ketidakjelasan isi surat ini, saya juga ingin menyampaikan satu hal lagi untuk Teh Dewi. Tetap berkarya ya, Teh Dewi :)

Semoga segala bentuk inspirasi tetap menyelimuti setiap karya Teteh. Inspirasi yang menguatkan perempuan Indonesia untuk terus berani berimajinasi. Inspirasi yang menguatkan perempuan Indonesia untuk bisa menjadi penulis yang cerdas di tengah hingar bingar penulis pria yang semakin berbinar.

Dari : Yang masih mencari pinjaman buku Dee :P,
Annisa Dwi Astuti
Untuk : Mizan.com

0 komentar: