Rabu, 11 Januari 2012

#11 – Kekuatan Move On

Liburan itu..

Menulis apa yang mau gw tulis. Membaca apa yang mau gw baca. Dan menemui orang-orang yang ingin gw temui :D

Setelah kemarin cukup lama menggalau untuk membeli satu di antara tiga buku : Manusia Setengah Salmon (Raditya Dika), Sunset Bersama Rossie (Tere Liye), dan Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah (Tere Liye-rilis 24 Januari 2012), akhirnya gw memutuskan untuk memilih untuk membeli buku yang gw sebutkan pertama.

Hahaha, asli deh gw galau cuma untuk urusan yang satu ini. Sampai melibatkan Uceng segala malah. Terima kasih untuk pertimbangannya ya, Ceng :D

Mengapa bisa galau? Dengan kondisi gw yang sedang liburan, sebenarnya gw bisa nge-save uang lebih dari biasanya. Akan tetapi, dengan adanya rencana nonton Ujhee di Madah Bahana In Concert pertengahan bulan ini (pada ikut nonton yuuuk? :D) dan bakal ada pelantikan Gandewa awal Februari ini, yaa harus mikir beberapa kali juga kalau mau kalap beli buku. Soalnya kalau kalap sama tiga buku ini, hahaha, ngeri jugaaa karena  harga masing-masing bukunya gak murah.

Sebenarnya lagi  juga, hal ini bisa disiasati kalau mau beli buku di stasiun. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau harga buku di stasiun miringnya bukan main, bisa cuma setengahnya malah. Selain karena emang bukan buku asli, buku-buku di satasiun juga biasanya buku yang gak bisa masuk toko buku karena ada kecacatan.

Tapi, tapi, tapi, entah mengapa gw tidak terbiasa beli buku di stasiun. Ketidakbiasaan itu sudah dimulai dari gw kecil dari jaman-jamannya gw masih baca novel-novel Mizan macam karya-karyanya Fahri Asiza. Waktu itu yang ada dipikiran gw : Kalau gw beli buku di stasiun, tandanya gw beli buku bajakan. Apa rasanya ya jadi penulisnya kalau orang-orang lebih memilih beli buku bajakan? Gw kalau jadi penulisnya pasti sedih. Polos banget dah ya pikiran gw saat itu? Tapi pemikiran itulah yang gw bawa sampai sekarang yang membuat gw bertahan tetap membeli novel-novel di Gramedia semahal apapun harganya. Walaupun agak kontradiktif dengan gw yang belum terbiasa untuk membeli textbook asli buat kuliah -_-

Di Gramed, gw galau maksimal dihadapkan dengan Manusia Setengah Salmon dan Sunset Bersama Rossie. Tujuan awal memang mau beli Si Salmon, tapi jujur gw kangen banget baca buku Tere Liye (yang kata Ola secara tidak sadar berpengaruh besar pada gaya menulis gw). Kangen berada di dalam dunianya Tere Liye yang.. yang pernah baca bukunya taulah seperti apa :)

Sampai akhirnya ada yang ngebisikin gw entah dari mana asalnya.
Lw lagi butuh ketawa, Tuth.
Akhirnya? Gw membeli buku Manusia Setengah Salmonnya Raditya Dika seharga Rp 42.000 dengan perasaan gak rugi sama sekali setelahnya :)

Judul buku : Manusia Setengah Salmon
Penulis : Raditya Dika
Penerbit : Gagas Media
Tahun terbit, cetakan : 2011, ke-1
Tebal buku : vii + 258 halaman
Harga : Rp 42.000,00









Untuk selanjutnya, mari kita sebut Manusia Setengah Salmon dengan sebutan Si Salmon.

Sepanjang perjalanan pulang  gw dari Gramed, Si Salmon sukses bikin gw keketawaan gak waras. Di Bis Terminal Baranangsiang – Terminal Kampung Rambutan, di tukang ojek, sampai di kamar, gw dibuat ketawa-ketawa. Mulai dari ketawa manis (karena lagi di bis), ketawa tertahan (karena lagi di tukang ojek, bisa ngeguling ntar ojeknya kalau gw ketawa ngakak), sampai ketawa sambil meluk guling (soalnya kalau meluk kasur kegedean).

Sebenarnya ada bab-bab di Si Salmon yang kata orang-orang bisa bikin galau maksimal dan garuk-garuk tanah. Kayak bab Sepotong Hati di Dalam Kardus Cokelat, Mencari Rumah Sepurna, sampai Manusia Setengah Salmon. Tapi gak tau kenapa, dibandingkan galaunya, gw lebih berasa ketawanya. Galauannya Raditya Dika kali ini, menurut gw masih kalah dengan celetukan-celetukan angkatan gw di psikologi kalau udah menggila. Kalau udah mulai nih ya celetukan-celetukannya, gak cuma bisa bikin garuk-garuk tanah, tapi bisa bikin garuk-garuk aspal, mukul-mukul tembok, sampai meluk tiang, hahaha.

Seperti yang sudah di review banyak orang dan disampaikan Radit secara tersurat, Si Salmon secara garis besar bercerita tentang perpindahan. Si Salmon menceritakan perjalanan Radit yang saat itu sedang mengalami pindah rumah, pindah hubungan keluarga , sampai pindah hati. Kesimpulan dari buku ini pun secara lugas Radit sampaikan di halaman 256.
Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan. Mau tak mau, kita harus seperti ikan salmon. Tidak takut pindah dan berani berjuang untuk mewujudkan harapannya. Bahkan, rela mati di tengah jalan demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Gw jadi berpikir, ternyata untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, gue gak perlu menjadi manusia super. Gue hanya perlu menjadi manusia setengah salmon : berani pindah (Dika, 2011).
Untuk selanjutnya, mari kita sebut perpindahan ini dengan istilah move on.

Dibandingkan tentang berani  pindahnya, perhatian gw lebih tertuju pada kalimat pertama dari kesimpulan Radit : Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama.Lebih khususnya, perhatian gw tertuju pada frase pencapaian lebih. Buku Radit menggenapkan asumsi gw kalau orang yang lagi move on, punya kekuatan untuk menghasilkan. Kekuatan untuk berkarya.

Berdasarkan kesimpulan yang gw tangkap dari Si Salmon, move on nya seseorang dilakukan karena adanya kondisi tidak nyaman di tempat sebelumnya yang mengahruskan dirinya untuk pindah ke tempat lain. Contohnya, move on nya ikan salmon dengan berenang berkilomeer-kilometer jauhnya bertujuan untuk mencari kondisi yang memungkinkan untuk dirinya untuk bertelur. Pilihan move on nya Mama Radit ke rumah yang baru di bab Mencari Rumah Sempurna karena alasan mencari rumah yang lebih nyaman untuk keluarganya yang ternyata tumbuh lebih besar. Pilihan move on partner nya Radit dari Radit pun karena alasan ketidakcocokan yang itu berarti ia akan mencari kecocokan di tempat lain.

Rasanya move on? Melelahkan. Dalam level yang berbeda, bisa terasa menyakitkan. Move on nya ikan salmon berenang melawan arus berkilometer-kilometer jauhnya bukan tanpa resiko.  Menurut Radit dalam bukunya halaman 253 :
Di tengah berenang, banyak yang mati kelelahan. Banyak juga yang menjadi santapan beruang yang nunggu di daerah-daerah dangkal. Namun, salmon-salmon ini tetap pergi, tetap pindah, apapun yang terjadi (Dika, 2011)
Move on nya mama Radit untuk nyari rumah baru juga bukan tanpa perjuangan. Baca satu tabloid ke tabloid lainnya. Membaca satu iklan ke iklan lainnya. Berlama-lama membuka website tempat menjual rumah. Belum lagi harus survei dan merasa  kecewa ketika rumah yang disurvei tidak sesuai dengan foto.  Hal itu pun yang terjadi pada Radit saat harus move on dari partnernya yang terlebih dahulu memilih move on dari dirinya. Kalau rasanya move on dalam konteks yang satu ini, gak perlu di deskripsikan kali yaa. Setiap orang punya deskripsi masing-masing untuk move on yang satu ini. Tapi sepertinya ada yang bisa disepakati. Move on yang satu ini masuk ke ranah level yang berbeda, menyakitkan. Setuju?

Tapi, tapi, tapi, gw punya sudut pandang sendiri tentang lelah dan sakitnya perjuangan seseorang saat memutuskan untuk move on. Dibalik lelah dan sakitnya, move on punya sebuah kekuatan. Kekuatan untuk menghasilkan. Kekuatan untuk mengambil makna. Kekuatan untuk berkarya.

Salmon yang pada akhir perjalanannya mampu bertelur dan menghasilkan salmon-salmon selanjutnya, Mama Radit yang akhirnya berhasil menyadari bahwa ia gak akan pernah mendapatkan sebuah rumah yang sempurna, dan Radit yang berhasil berkarya lagi dengan menerbitkan sebuah buku  tentang perpindahannya, bisa menjadi bukti kalau move on itu punya kekuatan. Menhasilkan. Mengambil makna. Berkarya.

Kekuatan itu pula yang secara gak sadar terjadi pada gw (sadarnya baru pas beres baca Si Salmon).

Move on besar-besaran gw  terjadi tepat satu tahun yang lalu. Januari 2010. Move on nya gw terjadi dalam bentuk  hengkang dari IPA dan tidak memilih FTSL  ITB di SNMPTN 2011 dengan pindah ke jurusan IPS dan menggantinya dengan pilihan Manajemen dan Psikologi UI. Move on yang satu ini, buat gw, sudah masuk ke level yang berbeda. Bukan hanya melelahkan, melainkan menyakitkan.

Gw pernah mengejar ITB pake hati. ITB udah masuk ke alam tidak sadar gw dengan menjelma menjadi mimpi-mimpi gw di bulan-bulan awal kegagalan gw. ITB udah menjadi coret-coretan gw di setiap kertas saat gw tengah mengerjakan soal. Dan entah ada berapa kata ITB yang gw tulis di blog gw di sepanjang 2010.

Sakit loh rasanya ketika gw tahu keinginan gw ke ITB gak pernah benar-benar didukung oleh keluarga. Sakit ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa kemampuan gw memang gak cukup mumpuni untuk masuk ke ITB. Sakit ketika secara finansial gw memang gak bisa berharap banyak untuk masuk ke ITB. Dan sakit.. ketika sebauh kesadaran datang bahwa ada niat yang gak beres di balik keinginan gw masuk ITB.

Tapi diantara kesakitan-kesakitan itu, kawan, tau mana yang paling sakit? Waktu gw memutuskan untuk move on.

Ketika gw memilih untuk move on, gw sholat tobat.  Tobat atas banyak hal, lebih utamanya atas ketidakberesan niat gw tersebut. Gw inget banget selama sholat tobat itu gw gak baca apa-apa. Gw  cuma nangis. Gw nangis selama takbiratul ikhram. Rukuk. Sujud. Sampai salam isi sholat gw cuma nangis doang.

Nangis gw makin menjadi saat berdoa. Pernah merasakan ketika cita-cita yang udah mengakar dalam hati lw harus ikhlas lw lepas karena alam seolah berkonspirasi agar lw tidak bisa mencapainya. Terlebih ketika lw sadar ada alasan konyol dibalik pencapaian cita tersebut.

Gw nangis dari diam, bunyi, tertahan, samapi mengerang.  Masih nangis bahkan ketika air mata gw gak bisa dikeluarin lagi. Gw gak tau rasanya sakit asma kayak gimana, tapi malam itu gw udah kayak gak punya udara yang dihirup. Cuma Allah yang tau nangis macam apa gw malam itu. Mata gw udah gak kelihatan saking bengkaknya. Bengkak atas dan bawah. Move on itu bener-bener sakit, kawan.

Setelahnya, kekuatan move on lah yang menemani hari-hari gw :)

Ketika move on harus dilakukan demi pencapaian yang lebih baik, buat gw berarti memang harus ada yang dikorbankan. Gw kayak orang kalap. Setiap hari gw bisa menghabiskan waktu hanya dengan pensil dan soal-soal SNMPTN. Berimbas pada mata gw yang tadinya hanya minus 2 naik drastis menjadi 5. Gw kalap untuk melarikan diri. Selama kurang lebih 6 bulan gw undur diri dari dunia maya. Berimbas apada beberapa silaturahmi yang harus terputus sementara

Kekuataan move on itulah yang pada akhirnya membuat nilai-nilai TO gw menggila, beribu pemaknaan membanjiri gw, dan tulisan demi tulisan mengalir deras dari kepala gw. Lebih ekstrem lagi, laptop yang saat ini gw gunakan untuk menulis postingan ini adalah hasil dari move on besar-besaran gw tahun lalu.

Kalau lewat Manusia Setengah Salmon Radit pengen nyampein pesen untuk berani pindah. Lewat bahasa yang berbeda, gw pengen nyampein : Jangan takut move on!

Lelah memang. Mungkin bakal sakit. Tapi, kekuatan menghasilkan, mengambil makna, dan berkarya selama move on akan menemani hari-hari orang-orang yang berani mengambil pilihan untuk move on. Ketika hasil, makna, dan karya yang berhasil diperoleh, percaya sama gw, lw akan bersyukur karena pernah dikasih kesempatan untuk move on :)

Siapapun yang sedang merasa tempat yang lama, dalam konteks apapun, dan sudah tidak cukup nyaman untuk tetap bertahan di dalamnya, move on bareng yuk?

Sampai gw mengetikkan postingan ini, gw pun masih berjuang untuk move on. Berjuang untuk move on dari sifat gw yang terlalu sering membuat gw lelah karena harus berkali-kali melakukan move on untuk kasus yang sama, dengan objek yang berbeda.  Move on dari manajemen mengagumi yang buruk.
Jangan mengagumi seseorang secara berlebihan sampai kalian tahu bagaimana akhir hayatnya.
Gw harus move on besar-besaran lagi sepertinya. Karena bahkan kalimat diatas terkadang gak cukup membantu  untuk mengubah sifat gw yang satu ini.

Dan untuk kamu. Ya, untuk kamu yang gak pernah mau menyerah sebelum bertanding. Jangan takut untuk move on, Dek.

3 komentar:

ACY mengatakan...

YUK MOVE ON! hihi :p

mas'ade mengatakan...

sedih akh tut

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@acy : yuuk marii :)

@mas ade : jangan sedih-sedih lah maas :D