Liburan itu..
Menulis apa yang mau gw tulis. Membaca apa yang mau gw baca. Dan menemui orang-orang yang ingin gw
temui :D
Setelah kemarin cukup lama menggalau untuk membeli satu
di antara tiga buku : Manusia Setengah
Salmon (Raditya Dika), Sunset Bersama
Rossie (Tere Liye), dan Kau, Aku, dan
Sepucuk Angpau Merah (Tere Liye-rilis 24 Januari 2012), akhirnya gw
memutuskan untuk memilih untuk membeli buku yang gw sebutkan pertama.
Hahaha, asli deh gw galau cuma untuk urusan yang satu
ini. Sampai melibatkan Uceng segala malah. Terima
kasih untuk pertimbangannya ya, Ceng :D
Mengapa bisa galau? Dengan kondisi gw yang sedang
liburan, sebenarnya gw bisa nge-save
uang lebih dari biasanya. Akan tetapi, dengan adanya rencana nonton Ujhee di
Madah Bahana In Concert pertengahan bulan ini (pada ikut nonton yuuuk? :D) dan bakal ada pelantikan Gandewa awal
Februari ini, yaa harus mikir beberapa kali juga kalau mau kalap beli buku. Soalnya kalau kalap
sama tiga buku ini, hahaha, ngeri jugaaa karena harga masing-masing bukunya gak murah.
Sebenarnya lagi juga, hal ini bisa disiasati kalau mau beli
buku di stasiun. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau harga buku di stasiun
miringnya bukan main, bisa cuma setengahnya malah. Selain karena emang bukan
buku asli, buku-buku di satasiun juga biasanya buku yang gak bisa masuk toko
buku karena ada kecacatan.
Tapi, tapi, tapi, entah mengapa gw tidak terbiasa beli
buku di stasiun. Ketidakbiasaan itu sudah dimulai dari gw kecil dari
jaman-jamannya gw masih baca novel-novel Mizan macam karya-karyanya Fahri Asiza.
Waktu itu yang ada dipikiran gw : Kalau
gw beli buku di stasiun, tandanya gw beli buku bajakan. Apa rasanya ya jadi
penulisnya kalau orang-orang lebih memilih beli buku bajakan? Gw kalau jadi
penulisnya pasti sedih. Polos banget dah ya pikiran gw saat itu? Tapi
pemikiran itulah yang gw bawa sampai sekarang yang membuat gw bertahan tetap
membeli novel-novel di Gramedia semahal apapun harganya. Walaupun agak
kontradiktif dengan gw yang belum terbiasa untuk membeli textbook asli buat kuliah -_-
Di Gramed, gw galau maksimal dihadapkan dengan Manusia Setengah Salmon dan Sunset Bersama Rossie. Tujuan awal
memang mau beli Si Salmon, tapi jujur
gw kangen banget baca buku Tere Liye (yang kata Ola secara tidak sadar
berpengaruh besar pada gaya menulis gw). Kangen berada di dalam dunianya Tere
Liye yang.. yang pernah baca bukunya taulah seperti apa :)
Sampai akhirnya ada yang ngebisikin gw entah dari mana
asalnya.
Lw lagi butuh ketawa, Tuth.
Akhirnya? Gw membeli buku Manusia Setengah Salmonnya Raditya Dika seharga Rp 42.000 dengan
perasaan gak rugi sama sekali setelahnya :)
Judul buku : Manusia Setengah Salmon
Penulis : Raditya Dika
Penerbit : Gagas Media
Tahun terbit, cetakan : 2011, ke-1
Tebal buku : vii + 258 halaman
Harga : Rp 42.000,00
Untuk selanjutnya, mari kita sebut Manusia Setengah Salmon dengan sebutan Si Salmon.
Sepanjang perjalanan pulang gw dari Gramed, Si Salmon sukses bikin gw keketawaan gak waras. Di Bis Terminal
Baranangsiang – Terminal Kampung Rambutan, di tukang ojek, sampai di kamar, gw
dibuat ketawa-ketawa. Mulai dari ketawa manis (karena lagi di bis), ketawa
tertahan (karena lagi di tukang ojek, bisa ngeguling ntar ojeknya kalau gw
ketawa ngakak), sampai ketawa sambil meluk guling (soalnya kalau meluk kasur
kegedean).
Sebenarnya ada bab-bab di Si Salmon yang kata orang-orang bisa bikin galau maksimal dan
garuk-garuk tanah. Kayak bab Sepotong
Hati di Dalam Kardus Cokelat, Mencari Rumah Sepurna, sampai Manusia Setengah Salmon. Tapi gak tau
kenapa, dibandingkan galaunya, gw lebih berasa ketawanya. Galauannya Raditya
Dika kali ini, menurut gw masih kalah dengan celetukan-celetukan angkatan gw di
psikologi kalau udah menggila. Kalau udah mulai nih ya celetukan-celetukannya,
gak cuma bisa bikin garuk-garuk tanah, tapi bisa bikin garuk-garuk aspal,
mukul-mukul tembok, sampai meluk tiang, hahaha.
Seperti yang sudah di review banyak orang dan disampaikan
Radit secara tersurat, Si Salmon
secara garis besar bercerita tentang perpindahan.
Si Salmon menceritakan perjalanan
Radit yang saat itu sedang mengalami pindah rumah, pindah hubungan keluarga ,
sampai pindah hati. Kesimpulan dari buku ini pun secara lugas Radit sampaikan
di halaman 256.
Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan. Mau tak mau, kita harus seperti ikan salmon. Tidak takut pindah dan berani berjuang untuk mewujudkan harapannya. Bahkan, rela mati di tengah jalan demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Gw jadi berpikir, ternyata untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, gue gak perlu menjadi manusia super. Gue hanya perlu menjadi manusia setengah salmon : berani pindah (Dika, 2011).
Untuk selanjutnya, mari kita sebut perpindahan ini dengan
istilah move on.
Dibandingkan tentang berani pindahnya, perhatian gw lebih tertuju
pada kalimat pertama dari kesimpulan Radit : Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan
di tempat yang sama.Lebih khususnya, perhatian gw tertuju pada frase pencapaian lebih. Buku Radit
menggenapkan asumsi gw kalau orang yang lagi move on, punya kekuatan untuk menghasilkan.
Kekuatan untuk berkarya.
Berdasarkan kesimpulan yang gw tangkap dari Si Salmon, move on nya seseorang dilakukan karena adanya kondisi tidak nyaman
di tempat sebelumnya yang mengahruskan dirinya untuk pindah ke tempat lain.
Contohnya, move on nya ikan salmon
dengan berenang berkilomeer-kilometer jauhnya bertujuan untuk mencari kondisi
yang memungkinkan untuk dirinya untuk bertelur. Pilihan move on nya Mama Radit ke rumah yang baru di bab Mencari Rumah Sempurna karena alasan
mencari rumah yang lebih nyaman untuk keluarganya yang ternyata tumbuh lebih
besar. Pilihan move on partner nya
Radit dari Radit pun karena alasan ketidakcocokan yang itu berarti ia akan
mencari kecocokan di tempat lain.
Rasanya move on?
Melelahkan. Dalam level yang berbeda, bisa terasa menyakitkan. Move on nya ikan salmon berenang melawan
arus berkilometer-kilometer jauhnya bukan tanpa resiko. Menurut Radit dalam bukunya halaman 253 :
Di tengah berenang, banyak yang mati kelelahan. Banyak juga yang menjadi santapan beruang yang nunggu di daerah-daerah dangkal. Namun, salmon-salmon ini tetap pergi, tetap pindah, apapun yang terjadi (Dika, 2011)
Move on nya mama Radit untuk nyari rumah baru juga bukan tanpa perjuangan.
Baca satu tabloid ke tabloid lainnya. Membaca satu iklan ke iklan lainnya.
Berlama-lama membuka website tempat menjual rumah. Belum lagi harus survei dan
merasa kecewa ketika rumah yang disurvei
tidak sesuai dengan foto. Hal itu pun
yang terjadi pada Radit saat harus move
on dari partnernya yang terlebih dahulu memilih move on dari dirinya. Kalau rasanya move on dalam konteks yang satu ini, gak perlu di deskripsikan kali
yaa. Setiap orang punya deskripsi masing-masing untuk move on yang satu ini. Tapi sepertinya ada yang bisa disepakati. Move on yang satu ini masuk ke ranah
level yang berbeda, menyakitkan. Setuju?
Tapi, tapi, tapi, gw punya sudut pandang sendiri tentang
lelah dan sakitnya perjuangan seseorang saat memutuskan untuk move on. Dibalik lelah dan sakitnya, move on punya sebuah kekuatan. Kekuatan untuk menghasilkan. Kekuatan untuk
mengambil makna. Kekuatan untuk berkarya.
Salmon yang pada akhir perjalanannya mampu bertelur dan
menghasilkan salmon-salmon selanjutnya, Mama Radit yang akhirnya berhasil
menyadari bahwa ia gak akan pernah mendapatkan sebuah rumah yang sempurna, dan
Radit yang berhasil berkarya lagi dengan menerbitkan sebuah buku tentang perpindahannya, bisa menjadi bukti
kalau move on itu punya kekuatan.
Menhasilkan. Mengambil makna. Berkarya.
Kekuatan itu pula yang secara gak sadar terjadi pada gw
(sadarnya baru pas beres baca Si Salmon).
Move on besar-besaran gw terjadi tepat
satu tahun yang lalu. Januari 2010. Move
on nya gw terjadi dalam bentuk hengkang dari IPA dan tidak memilih FTSL ITB di SNMPTN 2011 dengan pindah ke jurusan
IPS dan menggantinya dengan pilihan Manajemen dan Psikologi UI. Move on yang satu ini, buat gw, sudah
masuk ke level yang berbeda. Bukan hanya melelahkan, melainkan menyakitkan.
Gw pernah mengejar ITB pake hati. ITB udah masuk ke alam
tidak sadar gw dengan menjelma menjadi mimpi-mimpi gw di bulan-bulan awal
kegagalan gw. ITB udah menjadi coret-coretan gw di setiap kertas saat gw tengah
mengerjakan soal. Dan entah ada berapa kata ITB yang gw tulis di blog gw di
sepanjang 2010.
Sakit loh rasanya ketika gw tahu keinginan gw ke ITB gak
pernah benar-benar didukung oleh keluarga. Sakit ketika dihadapkan pada
kenyataan bahwa kemampuan gw memang gak cukup mumpuni untuk masuk ke ITB. Sakit
ketika secara finansial gw memang gak bisa berharap banyak untuk masuk ke ITB.
Dan sakit.. ketika sebauh kesadaran datang bahwa ada niat yang gak beres di
balik keinginan gw masuk ITB.
Tapi diantara kesakitan-kesakitan itu, kawan, tau mana
yang paling sakit? Waktu gw memutuskan untuk move on.
Ketika gw memilih
untuk move on, gw sholat tobat. Tobat atas banyak hal, lebih utamanya atas
ketidakberesan niat gw tersebut. Gw inget banget selama sholat tobat itu gw gak
baca apa-apa. Gw cuma nangis. Gw nangis
selama takbiratul ikhram. Rukuk. Sujud. Sampai salam isi sholat gw cuma nangis
doang.
Nangis gw makin menjadi saat berdoa. Pernah merasakan
ketika cita-cita yang udah mengakar dalam hati lw harus ikhlas lw lepas karena
alam seolah berkonspirasi agar lw tidak bisa mencapainya. Terlebih ketika lw
sadar ada alasan konyol dibalik pencapaian cita tersebut.
Gw nangis dari diam, bunyi, tertahan, samapi mengerang. Masih nangis bahkan ketika air mata gw gak
bisa dikeluarin lagi. Gw gak tau rasanya sakit asma kayak gimana, tapi malam
itu gw udah kayak gak punya udara yang dihirup. Cuma Allah yang tau nangis
macam apa gw malam itu. Mata gw udah gak kelihatan saking bengkaknya. Bengkak
atas dan bawah. Move on itu
bener-bener sakit, kawan.
Setelahnya, kekuatan move
on lah yang menemani hari-hari gw :)
Ketika move on
harus dilakukan demi pencapaian yang lebih baik, buat gw berarti memang harus
ada yang dikorbankan. Gw kayak orang kalap. Setiap hari gw bisa menghabiskan
waktu hanya dengan pensil dan soal-soal SNMPTN. Berimbas pada mata gw yang
tadinya hanya minus 2 naik drastis menjadi 5. Gw kalap untuk melarikan diri.
Selama kurang lebih 6 bulan gw undur diri dari dunia maya. Berimbas apada
beberapa silaturahmi yang harus terputus sementara
Kekuataan move on
itulah yang pada akhirnya membuat nilai-nilai TO gw menggila, beribu pemaknaan
membanjiri gw, dan tulisan demi tulisan mengalir deras dari kepala gw. Lebih
ekstrem lagi, laptop yang saat ini gw gunakan untuk menulis postingan ini
adalah hasil dari move on
besar-besaran gw tahun lalu.
Kalau lewat Manusia
Setengah Salmon Radit pengen nyampein pesen untuk berani pindah. Lewat bahasa yang berbeda, gw pengen nyampein : Jangan takut move on!
Lelah memang. Mungkin bakal sakit. Tapi, kekuatan
menghasilkan, mengambil makna, dan berkarya selama move on akan menemani hari-hari orang-orang yang berani mengambil
pilihan untuk move on. Ketika hasil,
makna, dan karya yang berhasil diperoleh, percaya sama gw, lw akan bersyukur
karena pernah dikasih kesempatan untuk move
on :)
Siapapun yang sedang merasa tempat yang lama, dalam
konteks apapun, dan sudah tidak cukup nyaman untuk tetap bertahan di dalamnya, move on bareng yuk?
Sampai gw mengetikkan postingan ini, gw pun masih
berjuang untuk move on. Berjuang untuk
move on dari sifat gw yang terlalu
sering membuat gw lelah karena harus berkali-kali melakukan move on untuk kasus yang sama, dengan
objek yang berbeda. Move on dari manajemen mengagumi yang buruk.
Jangan mengagumi seseorang secara berlebihan sampai kalian tahu bagaimana akhir hayatnya.
Gw harus move on
besar-besaran lagi sepertinya. Karena bahkan kalimat diatas terkadang gak cukup
membantu untuk mengubah sifat gw yang
satu ini.
Dan untuk kamu. Ya, untuk kamu yang gak pernah mau
menyerah sebelum bertanding. Jangan takut untuk move on, Dek.
3 komentar:
YUK MOVE ON! hihi :p
sedih akh tut
@acy : yuuk marii :)
@mas ade : jangan sedih-sedih lah maas :D
Posting Komentar