Pertemuan Pertama
Sudah dua kali aku menanyakan hal yang sama pada Pak Tua, dan dua-duanya dijawab sama. Kalau aku sudah khatam belajar mengemudikan motor tempel, lantas sepit siapa yang akan kubawa narik? Jaman keemasan sepit sudah berlalu, tidak banyak pemilik sepit yang punya lebih dari satu perahu tempel—seperti halnya juragan oplet. Kalaupun ada yang punya dua atau tiga, peminat pengemudi sepit lebih banyak dibandingkan perahu yang tersedia dan pemilik lazimnya membawa sendiri sepit mereka.
Pak Tua bilang, “Tak usah cemas, paling sial kau bawa sepit milikku, Borno.” Aku keberatan, lantas Pak Tua bekerja apa? “Ah, justeru sudah lama aku ingin berhenti narik. Kakiku ini sudah sering sakit karena asam urat, beginilah kalau masa muda kurang latihan fisik dan mengunyah apa saja memuaskan nafsu perut, sekarang sedikit-sedikit terasa nyilu, salah makan sedikit langsung tidak enak badan. Kau bisa pakai sepit-ku setiap hari.” Aku tetap keberatan, lantas dari mana Pak Tua mendapatkan nafkah, “Ya tentu dari setoran kau-lah.” Pak Tua tertawa lebar, “Enam puluh-empat puluh, kau ambil enam persepuluh dari penghasilan bersih sehari, aku sisanya. Cukup adil, bukan?”
Cukup adil memang, lain lagi dengan logika Bang Togar, “Kau tahu, pengkhianat, dengan jumlah sepit yang ada sekarang saja, kami harus berbagi penumpang. Sudah untung pulang bawa setoran, ada juga habis untuk beli solar. Pelampung haram itu menghabisi semuanya. Nah, kalau Pak Tua pensiun, itu lumayan mengurangi jumlah sepit di dermaga ini, ternyata kau yang menggantikannya. Kau tidak layak bergabung dengan kami, sejak awal saja sudah bikin masalah.”
Aku memilih diam, meneruskan menyikat perahu tempel Bang Togar, tidak menanggapi. Sekali aku khatam belajar, sudah boleh membawa penumpang, masa plonco-ku usai. Esok-lusa, agar profesiku sebagai pengemudi sepit berjalan lancar, dan karena Bang Togar akan selalu berada di sekitar dermaga gang tepian Kapuas, kupikir lebih baik menganggap dia mahkluk gaib. Ada tapi tiada. Tiada tapi ada. Bodo amat dia mau berkicau apalagi. Dan pagi istimewa akhirnya tiba, hari kelulusanku. Pak Tua tertawa melihatku datang di dermaga kayu pagi buta.
“Aku tahu terlalu dini, Pak. Di rumah, Ibu sejak shubuh menyuruhku berangkat. Daripada kena omel terus, lebih baik bergegas.” Menguap.
Dermaga dengan cepat dipenuhi penumpang, bunyi suara sepit mengetem, merapat dan meluncur dari dermaga memenuhi langit-langit ditingkahi teriakan petugas timer mengatur perahu dan penumpang, “Maju lagi, dua. Maju, dua. Dan kau, Borno, sabar, kau masih lima sepit lagi.” Radio di warung pisang goreng me-relay siaran berita RRI. Tadi beberapa pengemudi menyapaku, tersenyum simpul, “Kau tidak gugup kan, Borno?” Aku berusaha tertawa, menggeleng. Aku sudah terlatih.
Akhirnya giliran perahu Pak Tua tiba, “Ya, Borno bawa ke sini sepit kau.”
Sial, saat namaku diteriakkan, pengemudi lain sibuk bertepuk-tangan.
Aku sedikit tegang menggerakkan tuas kemudi, sepit yang kukemudikan patah-patah merapat ke dermaga. Pak Tua sebaliknya, seperti pertapa takjim duduk santai di sebelahku, bersidekap, menikmati matahari pagi menerpa permukaan Kapuas, hangat nan menyenangkan.
Dua belas penumpang segera menaiki perahu, empat baris tiga-tiga. Tiga ibu-ibu (yang asyik ngobrol sedari melangkah hingga duduk rapi di kursi kayu melintang, entah sibuk membicarakan apa, seru sekali, berbisik-bisik, tertawa), dua gadis seumuranku (sepertinya hendak berangkat kuliah, terlihat rapi dan mungkin wangi), dua laki-laki setengah baya berseragam perusahaan swasta, empat anak sekolah berseragam merah putih, dan satu lagi, aku memperhatikan penumpang terakhir yang anggun menaiki sepit, duduk persis di haluan depan, memunggungi buritan. Kemudian ia mengembangkan payung tradisional berwarna merah. Rambutnya tergerai panjang, mengenakan baju kurung berwarna kuning seperti keturunan Melayu Pontianak, tapi tak pelak lagi, selintas aku lirik tadi, wajahnya China.
Sepitku penuh. Pak Tua berbisik, menyuruh segera menjalankan sepit.
“Tahan dulu, woi!” Terdengar suara khas itu.
“Dia bisa menjalankan sepit sendirian, kenapa harus ditemani, Pak Tua?” Bang Togar berkata tegas.
“Maksud kau?” Pak Tua lebih dari paham kalimat sederhana Bang Togar, itu hanya pertanyaan retoris-klarifikasi.
“Yeah, biarkan Borno menjalankan sepit sendirian, dia sudah lebih dari cakap, bukan? Sudah seminggu dia belajar. Bukankah kemarin siang dia sendirian membawa sepit berkeliling Kapuas.”
Pak Tua melipat dahi, berpikir sejenak, “Sepertinya tidak, Togar. Aku harus menemani.”
“Ah, semua pengemudi sepit juga dulu memulai hari pertamanya tanpa ditemani. Kenapa dia harus diistimewakan? Karena dia cucu kakeknya? Putra bapaknya? Hingga Pak Tua sayang sekali?” Bang Togar mengirimkan skak-mat.
Pak Tua menoleh padaku, ragu-ragu. Penumpang yang terlanjur duduk di sepit juga mulai ragu-ragu, penumpang di atas dermaga yang menunggu sepit berikut asyik menyimak keributan kecil.
“Tidak apa, Pak. Tidak apa-apa.” Aku berusaha memantapkan kalimat—meski sebenarnya dengan ditemani Pak Tua saja aku sudah gugup, apalagi sendirian membawa sepit penuh penumpang. Ini berbeda dengan latihan kemarin-kemarin, ada dua belas orang yang harus kubawa menyeberangi Kapuas dengan selamat.
“Kau yakin, Borno?”
Aku mengangguk, menyeka keringat di pelipis.
“Nah, apalagi masalahnya sekarang.” Bang Togar berseru senang, seperti habis menang lotere, “Mari kita tunggu sepit ini kembali dengan selamat dari dermaga seberang.”
Sayangnya ada yang tidak senang.
“Bukan Pak Tua yang bawa, ya?” Salah-satu ibu-ibu memberanikan diri bertanya.
“Aduh, bagaimana ini. Mending kami turun saja.” Dengan cepat bertiga membuat keputusan.
“Tetap duduk, Bu. Ingat antrian, Bu. Tidak boleh pindah ke sepit berikutnya, nanti kacau balau.” Petugas timer segera menghalangi.
“Kalau yang bawa baru belajar kami tidak mau. Kami pindah saja.” Ibu-ibu itu mengotot, menyibak paksa petugas.
“Tenang, Bu. Borno jauh lebih pandai mengemudikan sepit.” Pak Tua berusaha menjelaskan, “Dia sudah terlatih. Semua aman.”
“Tidak mau. Aku tidak mau terbalik di tengah Kapuas, aku tidak pandai berenang.” Ibu-ibu itu sudah memaksa masuk antrian penumpang lagi.
Dan hanya soal waktu, dua gadis kuliahan ikut loncat ke dermaga kayu, juga dua bapak-bapak, disusul empat anak SD. Tampang mereka sama, cemas, lebih baik pindah ke sepit.
“Astaga. Sepit berikutnya tidak bisa jalan kalau yang ini belum penuh, Bu.” Petugas timer kalang-kabut membujuk, “Ayolah, Bu. Itu sudah aturan main. Antri satu-persatu, kita bukan ojek motor kampung yang berebut penumpang!” Bujukannya tidak mempan.
Aku menelan ludah, sekali lagi menyeka keringat di dahi, telapak tanganku sejak tadi basah memegang kemudi. Menatap dermaga yang mulai ruwet, sepertinya tidak ada yang mau naik ke sepitku. Petugas timer berseru-seru memaksa. Pak Tua menatap Bang Togar sebal, dan lihatlah, si pembuat masalah, sekarang duduk santai di kursi panjang warung pisang Pontianak.
“Ayolah, semua sepit sama, Bu. Lihat, masih ada yang mau naik, bukan.” Petugas menunjuk gadis yang sendirian duduk di haluan depan.
Aku seperti tersadarkan, benar, tidak semua calon penumpangku kabur. Masih ada yang bertahan. Gadis itu tetap duduk anggun, seperti tidak tertarik dengan keributan. Ujung rambutnya melambai pelan diterpa angin pagi.
Lima menit berlalu, pengemudi sepit lain yang tadi bertepuk tangan menyemangatiku, mulai berteriak-teriak sebal menyuruh berangkat. Petugas timer masih bersikeras membujuk penumpang. Akhirnya dua laki-laki setengah baya itu kembali duduk, disusul lima remaja tanggung berseragam SMA (saling dorong loncat ke perahu, tidak peduli siapapun pengemudinya), masih kosong dua, petugas berteriak menyuruh siapa yang buru-buru di antrian belakang agar segera maju. Akhirnya sepasang bule, turis dari manalah dengan ransel besar naik. Cas-cis-cus, potret sana, potret sini. Sepitku akhirnya penuh.
Petugas timer menghela nafas lega, “Kau jalan-lah, Borno.”
Aku mengangguk, menggigit bibir bersiap.
“Hati-hati, Borno. Tidak usah ngebut-ngebut, yang penting sampai.” Petugas dengan wajah macam melepas pesawat kamikaze berpesan hal sama untuk kesekian kali.
Aku menarik tuas gas. Gelembung air di permukaan sungai buncah, bergemeletuk, sepit bergetar sedikit, aku menggeser kemudi ke kiri, dan segera sepit itu lincah membelah Kapuas. Lima belas detik, aku sudah meninggalkan dermaga sepuluh meter, menuju seberang. Terpaan angin pagi di wajah membuat tegangku berkurang drastis, suara motor tempel dan air pecah menerpa lambung perahu membuatku tersenyum tipis, tidak ada yang perlu dicemaskan, ini justeru seru, aku menambah kecepatan, sepitku gagah melesat. Turis itu bahkan sudah asyik memotretku, tertawa, mengacungkan jempol. Salah-satu dari mereka jahil melangkah ke buritan, membuat sepit bergoyang, aku segera menggeser tuas kemudi menyeimbangkan, aku sudah terlatih mengatasi riak pelampung, tidak sulit.
Salah-satu rekan turis duduk di sebelahku, pose, rekannya mengambil gambar. Aku ikut tertawa, pose. Rekannya menepuk bahu gadis berpayung merah, menunjuk-nunjuk kameranya, sepertinya dia minta tolong diambilkan gambar. Lantas menyibak penumpang, ikut melangkah ke buritan. Kali ini aku menggenggam kemudi sepit lebih kencang, ini dua bule seperti jalan di karpet merah, santai sekali.
Gerutu dalam hatiku tidak lama, saat dua bule itu duduk di depanku, pose, saat aku ikut menatap ke depan, saat itulah aku untuk pertama kali melihat wajahnya. Payung merah itu sekarang dipegangkan penumpang lain. Gadis berbaju kurung kuning. Alamak.
***
Sebelum loncat turun, dua turis itu merogoh tas pinggang, mencari uang ribuan—sepertinya mereka sudah tahu cara membayar sepit, beda dengan rombongan turis dari Jakarta dulu, meletakkannya di dasar perahu. Menepuk-nepuk bahuku, bilang ‘Therimakhasih.” Lantas loncat ke dermaga. Remaja tanggung berseragam SMA sudah berebut naik, saling dorong, “Hati-hati, woi. Jatuh baru tahu rasa kalian.” Petugas timer memarahi mereka. “Ternyata kau memang sudah mahir.” Dua laki-laki setengah baya dengan wajah lega menyapaku, aku mengangguk tanggung, ikut tertawa lega.
Dan gadis itu, anggun berdiri dari tempat duduknya, payungnya mengembang sempurna, gerakan tubuhnya mulus tidak terpengaruh goyangan sepit, dan kakinya yang terbungkus sepatu kain berwarna hitam melangkah pelan ke dermaga, tanpa satu kata, segera hilang di ujung antrian, menuju jalan besar yang dipadati kendaraan.
“Cantiknya, Borno.” Petugas timer tertawa, sejenak menatap punggung, “Kau sempat berkenalan dengannya tak, Kawan?”
Aku menggeleng, menggaruk rambut.
“Woi, kau ini bodoh sekali. Kalau aku, sudah kucatat baik-baik alamat rumahnya.” Petugas timer itu menepuk ujung perahu kayu, “Masuk antrian sana, Borno.” Berseru pada sepit lain, “Satu lagi sepit merapat. Satu lagi!”
Aku mengantri hampir satu jam, matahari semakin tinggi, payung-payung terkembang memenuhi Kapuas semakin banyak, hingga giliran sepitku. Kali ini agak lama, sepuluh menit baru penuh, penumpang berangsur sepi. Kali ini tidak ada masalah, tidak ada penumpang yang takut naik sepitku, sepit segera meluncur ke Kapuas.
***
Apa yang Pak Tua bilang kemarin lalu? Belajarlah membolak-balik hati.
Sebalku pada Bang Togar soal kejadian tadi pagi sebenarnya sudah ditelan kecipak air Kapuas pengalaman pertama kali mengemudi sepit penuh penumpang, sayangnya, si sok kuasa itu sekarang berdiri persis di tepi dermaga, terlihat benar menungguku. Apa lagi mau dia? Masa ploncoku sudah selesai. Kali ini kalau dia banyak tingkah, akan kutiru ide Andi, dorong saja jatuh dari dermaga kayu.
Dermaga sudah sepi penumpang, yang ada hanya pengemudi sepit berdiri bersama Bang Togar. Selepas penumpangku turun, memungut gumpalan uang, me-rekennya, aku menambatkan sepit ke tonggak kayu, lantas melangkah ke dermaga, kenapa Cik Tulani Koh Acung juga ada di sini? Hendak kemana? Mereka sepertinya tidak terlihat mau berpergian, justeru terlihat menungguku.
“Nah, Borno, resmi sudah kau jadi pengemudi sepit.” Bang Togar, lain dari biasanya malah tertawa riang, menepuk bahu saat aku mendekat, menjadi orang pertama yang menyambutku.
Pengemudi lain, Cik Tulani, Koh Acung dan Pak Tua ikut tertawa, bertepuk-tangan. Aku menyeka dahi, habis salah makan obat kah, Bang Togar? Sejak kapan dia beramah-tamah denganku. Pengemudi lain menjulurkan tangan memberikan selamat, mengacak-acak rambutku, bahkan ada yang berteriak lemparkan Borno ke air.
“Jangan dulu.” Bang Togar tertawa, melambaikan tangan menyuruh diam. Kerumunan menurut, semua memperhatikan Bang Togar—yang nampak bersiap memberikan ceramah, kebiasaan buruknya.
“Kau dua kali bertanya pada Pak Tua bukan?” Bang togar menyeringai, “Bertanya sepit mana yang akan kau bawa narik. Tentu saja bukan sepit tua miliknya, Borno. Kau berhak dapat yang lebih baik. Jupri! Mana Jupri?” Bang Togar menoleh ke pojokan dermaga. Semua kepala juga menoleh. Dan tanpa kusadari sejak naik dermaga tadi, di sana telah tertambat satu sepit baru nan mulus, bercat biru, gagah nian diterpa cahaya matahari pagi.
Jupri, salah-satu pengemudi bergegas menghidupkan sepit itu, suara mesin barunya terdengar lembut bertenaga, lantas seperti arak-arakan armada kebanggaan kerajaan Kutai dulu, sepit itu merapat ke dermaga disambut seruan ramai.
“Ini perahu kau, Borno.” Bang Togar membentangkan tangannya, berkata penuh perasaan, “Kau tahu, kakek kau dulu rela berhutang kemana-mana untuk membantu pengemudi sepit gang ini bertahan hidup. Pagi ini, kami tidak akan membiarkan cucu kakek kau tidak punya sepit. Ini perahu dari kayu terbaik, Borno, dengan mesin paling canggih, tukang paling ahli. Lihat, sudah kami berikan nama di lambungnya.”
Aku yang sejenak masih kehilangan kata-kata mengembangkan senyum.
Setengah tidak percaya, mengucek mata. Benarkah itu sepit milikku? Ini macam mimpi?
“Ini semua rencana Togar, Borno.” Pak Tua berbisik di tengah keramaian. “Togar yang meminta semua pengemudi, penghuni gang, para penumpang mengumpulkan sumbangan. Bedanya ya dia tidak sampai membuat surat permohonan berlaminating.”
Aku tertawa, sudah loncat memeluk Bang Togar erat-erat. Lihatlah sepitku, Ibu, tertulis hebat di lambungnya muasal nama anakmu, BORNEO. Dua rekan pengemudi sudah menyambar tubuhku, dan tanpa menunggu komando, segera melemparkanku ke permukaan Kapuas. Tergelak.
***
Perayaan kecil khatam belajar mengemudi dan penyambutan sepit baruku sepertinya baru akan selesai satu-dua jam lagi. Sudah dua kali aku dilempar ke permukaan Kapuas. Sudah tiga pengemudi lain yang ikut kuseret jatuh. Tertawa-tawa. Hingga tiba-tiba, petugas timer meneriakiku yang basah kuyup sedang duduk di kursi panjang warung pisang Pontianak, makan-makan ditraktir Bang Togar.
“Hoi, ada barang penumpang tertinggal di sepit kau, Borno!”
Aku menoleh, merapikan rambut basah di dahi.
“Barang apa?” Bertanya pada petugas timer yang mendekat.
“Ini! Kau tadi memangnya tidak memeriksa dasar perahu?”
“Ah, Borno paling juga hanya tajam melihat gumpalan uang, mana perhatian dia dengan barang lain.” Pengemudi lain menggoda, tertawa.
Aku hendak tertawa, tetapi mulutku menutup. Ini apa?
“Kutemukan di bangku paling depan sepit Pak Tua, tergeletak di bawah papan melintang. Kau masih ingat siapa saja yang duduk di bangku itu, Borno?”
Aku terdiam, telingaku tidak lagi mendengarkan pertanyaan petugas, mataku sibuk menatap lamat-lamat benda yang kupegang. Alamak? Ini surat bersampul merah, dilem rapi, tanpa tertera nama.
Surat? Untuk siapa?
***bersambung