Rabu, 23 Mei 2012

K-E-L-U-A-R-G-A

Kosakata itu kemarin sempat jadi trending topic kehidupan gw selama sehari. Kemarin seru juga ya dipikir-pikir. Gw UAS MPK Agama dan Inkemas. Di Agama, bahasannya konsep keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Di Inkemas, bahasannya intitusi keluarga dan hubungan-hubungan intim. Mana gw malu lagi pas belajar bareng tentang ini -_-". 

Jadi khan ya kita lagi belajar bareng di Kancil. Belajarnya pake handout slide. Nah, pas lagi belajar materi ini, ada pengantarnya tuh, berupa pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
  • Sudahkah Anda berpikir untuk menikah? Kapan dan untuk apa?
  • Apakah ada syarat-syarat tertentu yang Anda tekankan untuk sebuah pernikahan?
  • Keluarga seperti apa yang ingin Anda bangun?
  • Apa yang akan Anda lakukan jika keinginan-keinginan Anda tak terpenuhi?
  • Apa pendapat Anda tentang perceraian?
Nah, pas lagi belajar sendiri, dengan isengnya gw jawab tuh pertanyaan. Gw corat-coret slidenya dengan jawaban-jawaban gw. Walupun iseng, itu jawabannya dari hati pisan lah. Pas udah belajar bareng, gw gak engeh ternyata slide gw dipinjem dan dioper-oper anak-anak. Pas gw sadar ada jawaban-jawaban iseng gw, mau gw tarik tuh slide. Tiba-tiba anak-anak (cowok) pada senyum-senyum dan bilang :
Zico : Hehehe, kita udah baca dari tadi kok, Teh. Amin ya, Teh.

Romi : Yang udah kepala 2 mah emang udah mikirin ya, Tut?
Duaaaaaar. Gw malu loh. Jawaban-jawaban yang mereka baca soalnya jawaban yang jujur dari hati yang paling dalam soalnya -_-"

Terus ya, sorenya gw regol (registrasi online) buat semester pendek. Alhamdulilah masuk kuota. Salah satunya mata kuliah yang berjudul Penididikan Keluarga. Kalau kata kakak senior mah, inti dari mata kuliah tersebut adalah "bagaimana menjadi orangtua yang baik". 

Terus terus ya, kemarin ditutup dengan sebuah notes yang ditag oleh Ketua Gandewa gw yang judulnya, "Nikah=Menyatukan". Ini lagi satu yang gw gak ngerti. Ketua Gandewa gw tercinta ini, di antara segitu banyak anak 2011, cuma gw yang ditag di postingan ini. Kakak, muka saya ada tulisan mau nikah ya? -__-"

Ini tulisan tentang pernikahan dari sudut pandang salah satu anak Psikologi UI tahun ke-3. Semoga bermanfaat. Tulisan ini khsusus gw dedikasikan untuk seorang sahabat gw yang kemaren sempat bertanya-tanya, 'setelah ini, mau apa?'.

Check this out!

***

"Nikah = Menyatukan"

Assalamua’alaikum wr.wb
Selamat pagi/siang/sore/malam teman-teman, semoga hari ini, esok dan seterusnya kita diberi keberkahan oleh Allah disetiap aktivitas yang kita jalani. Amiin

Tiba-tiba saja (di masa UAS), saya tertarik sekali untuk membuat tulisan ini, yaitu pembentukan sebuah keluarga (pernikahan). Selain karena usia, pengalaman buruk yang saya alami langsung di keluarga besar saya membuat saya tergerak untuk berbagi. 

Mungkin untuk beberapa teman saya ketika diajak untuk membicarakan tentang kata maut ini, anggapan mereka adalah “Ngapain sih put mikirin nikah sekarang? Kuliah aja lah dulu” atau “Nikah? Ehmm gimana ya. Hahaha”. Kira-kira seperti itu, padahal individu seusia kita ini (>20 tahun) sudah layak untuk memikirkan hal ini lho. 

Siap untuk menjalani sebuah pernikahan? Mungkin belum, saya akui itu. Tetapi jika ditanya apakah kita siap untuk merencakan sebuah pernikahan? Tentu jawabannya harus siap. Karena dengan merencakan kita tahu apa yang kita mau, nah ada beberapa pandangan saya tentang pernikahan dimana tentu saja pandangan ini terinspirasi dari orang-orang hebat yang saya temui dan pengalaman pribadi yang terjadi dalam keluarga saya.

Pernikahan adalah sebuah bentuk penyatuan dua keluarga yang mungkin memiliki latar belakang berbeda sehingga penting sekali untuk kita mengenali karakteristik keluarga yang akan menjadi besan kita tersebut. Nah teman-teman, carilah calon suami/istri yang bisa mengimbangi keunikan keluarga mu, yang bisa menerima keadaan keluargamu dan yang paling penting adalah ia bisa menghargai keluargamu. Misalnya, berlaku adil dengan mertua dan orang tua sendiri. Dan ketika kalian mendengar kalimat ini “Gue mau nikah sama lo karena gue cinta, gue ga peduli orang tua gue setuju apa nggak!”, kita harus waspada. Mungkin dia hanya cinta pada dirimu tapi tidak dengan keluargamu. Hidup hanya dengan cinta itu saja tidak cukup lho. Nah orang-orang seperti ini (menurut saya) sudah di diskualifikasi dari awal.

Lalu, masih berhubungan poin di atas, ada hal lain yang juga bisa  kita jadikan bahan pertimbangan untuk memilih calon ayah/ibu dari anak kita nanti.
  • Panci ketemu tutup”. Begitulah kira-kira istilah yang saya dapatkan dari dosen mata kuliah Pendidikan Keluarga. Maksud dari istilah tersebut adalah saling melengkapi, carilah orang yang bisa menutupi kekuranganmu dan mengimbangi kelebihan mu. Tidak salah jika kamu memilih orang yang sangat berbeda denganmu, tapi please banget dipikirin jangan sampe perbedaan itu malah jadi cikal bakal retaknya hubungan kalian nanti. Karena dari beberapa kasus perceraian yang ada alasannya kebanyakan “Karena sudah tidak cocok lagi”, “kita beda prinsip” atau “sudah tidak ada yang perlu dipertahankan lagi”. Wow begitu hebatnya alasan-alasan ini. logikanya, jika memang merasa beda prinsip, tidak cocok dari awal mengapa memutuskan untuk menikah? Dan satu lagi, carilah pendamping hidup yang memiliki satu visi dengan mu, insyaallah dengan begitu kita akan berjalan bersama untuk mencapai visi tersebut. Hem kembali lagi ke istilah di atas, jangan sampai panci ketemu panci atau tutup ketemu tutup, tidak akan menyatu … :D 
  • Seiman. Menurut saya ini MUTLAK! Tidak bisa diganggu gugat. Walaupun setiap agama mengajarkan hal yang sama, tapi menurut saya cara setiap agama untuk mengamalkan ibadahnya berbeda-beda. dan ketika perbedaan cara ini muncul dalam sebuah pernikahan, imbasnya adalah perkembangan anak. pikirkan lah itu.
Lalu, fenomena yang cukup menjadi trending topic sekarang, yaitu pernikahan dini. Banyak teman saya yang memutuskan untuk menikah ketika mereka sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Alasannya pun bervariasi; takut zinah pra-nikah, merasa sudah siap, terlalu cinta (ini alasan bodoh menurut saya), atau sudah tidak ada kerjaan lagi (sudah lulus, belum dapat kerja ya sudah nikah saja). Tapi, banyak hal sebenarnya yang harus kita persiapkan kawan. Selain pemikiran pada poin pertama tadi, jika kita melirik kembali ke pelajaran biologi sewaktu SMA, tujuan dari sebuah perkawinan adalah reproduksi. Begitu juga dengan manusia, tujuan pernikahan adalah memiliki anak. Nah, anak itu sebuah anugerah Tuhan yang sangat istimewa lho jadi kita harus memeliharanya dengan baik.

Bagaimana caranya? Dengan uang, fisik, mental, dan ilmu tentunya.

Hal ini lah yang harus kita pikirkan ketika ingin memutuskan untuk menikah.  Uang itu mungkin merujuk pada pekerjaan kali ya,
  1. Apakah kita sudah memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, memberi makan keluarga dan anak-anak, biaya pendidikan & kesehatan keluarga?
  2. Apakah secara fisik kita sudah kuat untuk hamil, melahirkan di usia dini, menjaga serta merawat anak dari usia kandungan hingga dewasa?
  3. Secara mental apakah kita siap menghadapi pertumbuhan anak di zaman seperti ini dan problema suami-sitri?
  4. Dan apakah secara ilmu kita sudah matang ketika harus menjawab pertanyaan anak “Mama, aku datangnya dari mana?” atau “Papa, kenapa punya ku sama Abang beda?” ?
Maka bagi yang sudah punya pasangan dan ingin segera menikah, coba refleksi lagi apakah ke-empat unsur tadi sudah terpenuhi.

Saya percaya bahwa setiap kita memiliki gambaran ideal bagaimana kehidupan keluarga kita dan dengan siapa kita menjalaninya. Tapi terlepas dari semua itu, apa yang saya tulis ini hanyalah sebuah pandangan dan syukur-syukur bisa menginspirasi. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menggurui teman-teman, karena saya pun masih belajar, saya belum punya anak, dan saya belum menikah.

 “Sebuah perencanaan akan membuat kita menjadi lebih selektif dalam memilih karena kita tahu apa yang kita mau.”

***
'Tuth, udah mikirin buat berkeluarga?"
"Sudah"

4 komentar:

Rarasscantikk mengatakan...

IMO, somehow yg bikin takut dari jurusan ini adalah ilmu yg kita dapet selayaknya bisa diimplementasikan ke kehidupan sehari-hari. Kl kita sendiri gagal ngewujudinnya, gimana mau ngasih solusi buat orang lain, sederhananya gitu.
Termasuk bagian ngembangin anak, berumah tangga, dll krn kita tau ilmunya jadi ngerasa punya tanggung jawab yg lebih ngga sih buat jalanin hidup sesuai dengan pemahaman kita? Oke, itu emang teori, tp dr teori itu sendiri kita jadi bs prediksi kan apa kekacauan yg bisa terjadi kl kita ga jalanin sesuai dgn yg seharusnya
Persiapin diri itu perlu, tapi lalu apa gunanya persiapan yg lama dan matang kl kita sendiri ga berani utk ngambil langkah konkret selanjutnya? Seperti, takut untuk menikah mungkin? *proyeksi* hahahahaha

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@raras : thanks for reading sayang :) setuju sama raras bagian di "ngerasa punya tanggung jawab yg lebih ngga sih buat jalanin hidup sesuai dengan pemahaman kita?". Tapi toh tanggung jawab itu gak menuntut kesempurnaan khan? gw rasa anak psikologi manusia juga ras. Kalau pada akhirnya jalan hidup orang-orang lulusan ini tidak sejalan sesempurna ilmu yang didapatkan, bukan tidak mungkin itulah yang mungkin malah menjadikan dia bisa ngebantu orang yang tengah dihadapkan masalah :) seriously itu proyeksi beneran ras?

Rarasscantikk mengatakan...

Pretty good answer

ushmrkstv mengatakan...

there, how cool you are :) saya seusia tuti, masih kebanyakan takut untuk belajar. dan setua ini baru memberanikan diri belajar tentang pernikahan, semoga ga terlalu terlambat..