Tembok itu membentang di sepanjang bibir pantai. Tak begitu tinggi. Hanya sebatas pinggang. Membuat gw yang hanya memliki tinggi 160-an cm bisa dengan mudah naik ke atasnya. Gw duduk di salah satu sisinya. Menantang apa-apa yang membentang di hadapan. Menantang angin yang tak jera menerjang apa saja yang ada di hadapannya.
Menendang-nendang tembok bagian bawah dengan tumit. Bergantian. Kanan-kiri. Kanan-kiri. Maju-mundur. Maju-mundur. Bak anak kecil yang sedang menunggu teman bermainnya di taman. Tepat di bawah telapak kaki, batu-batu besar tersususun membentuk karang. Pelan dihantam air laut yang malu-malu mencium permukaannya.
Sempurna. Tanpa matahari, perbatasan antara perairan dan daratan ini jauh lebih indah. Langit seolah terbalik. Bintang gemintang tumpah ruah di permukaan air. Berkerlap kerlip. Merah. Jingga. Bukan. Bukan bintang. Ternyata lampu-lampu pelabuhan di kejauhan. Lampu-lampu kapal yang tengah merapat di dermaga.
Iya. Pantai di sebelah utara daerah khusus ibukota ini memang lebih sempurna di kala malam. Warna lautnya seolah senada dengan hitamnya langit. Karena kalau bukan malam, pemandangannya tentu saja kontras bukan buatan. Tidak seperti pantai selatan di daerah Banten sebelumnya.
Malam itu sempurna. Sejauh mata memandang hanya hitam dan kerlap kerlip bintang. Kerlap kerlip lampu pelabuhan. Satu dua pesawat melintas. Tiga empat. Tidak. Sepuluh sebelas. Melintas dari utara ke selatan. Dari barat ke timur. Dari Kalimatan ke Soekarno Hatta. Dari Cengkareng ke Adisucipto.
Mata gw menantang apa-apa yang ada di hadapan. Tersenyum. Menyenangkan. Melihat luas apa yang ada di hadapan. Mendengar suara pasang surut air laut yang menenangkan. Kalau boleh, gw lebih memilih untuk tidak pulang.
Tak ada yang bisa dibahasakan dengan baik di sini. Menatap. Mendengar. Diam. Jauh lebih berharga dari pembahasaan perasaan dalam bentuk apapun saat ini. Keindahan lukisannya jauh lebih dari cukup menjelaskan semuanya. Kesyukuran itu merangsek dalam. Pengertian itu datang seperti hujan. Begitu saja. Mengalir deras.
Sempurna. Tanpa matahari, perbatasan antara perairan dan daratan ini jauh lebih indah. Langit seolah terbalik. Bintang gemintang tumpah ruah di permukaan air. Berkerlap kerlip. Merah. Jingga. Bukan. Bukan bintang. Ternyata lampu-lampu pelabuhan di kejauhan. Lampu-lampu kapal yang tengah merapat di dermaga.
Iya. Pantai di sebelah utara daerah khusus ibukota ini memang lebih sempurna di kala malam. Warna lautnya seolah senada dengan hitamnya langit. Karena kalau bukan malam, pemandangannya tentu saja kontras bukan buatan. Tidak seperti pantai selatan di daerah Banten sebelumnya.
Malam itu sempurna. Sejauh mata memandang hanya hitam dan kerlap kerlip bintang. Kerlap kerlip lampu pelabuhan. Satu dua pesawat melintas. Tiga empat. Tidak. Sepuluh sebelas. Melintas dari utara ke selatan. Dari barat ke timur. Dari Kalimatan ke Soekarno Hatta. Dari Cengkareng ke Adisucipto.
Mata gw menantang apa-apa yang ada di hadapan. Tersenyum. Menyenangkan. Melihat luas apa yang ada di hadapan. Mendengar suara pasang surut air laut yang menenangkan. Kalau boleh, gw lebih memilih untuk tidak pulang.
Tak ada yang bisa dibahasakan dengan baik di sini. Menatap. Mendengar. Diam. Jauh lebih berharga dari pembahasaan perasaan dalam bentuk apapun saat ini. Keindahan lukisannya jauh lebih dari cukup menjelaskan semuanya. Kesyukuran itu merangsek dalam. Pengertian itu datang seperti hujan. Begitu saja. Mengalir deras.
Ini baru kedua kalinya di umur gw yang sudah berkepala dua. Tapi sepertinya gw jatuh cinta. Jatuh cinta dengan semua pemandangan ini. Tentang apa-apa yang gw lihat di perbatasan antara darat dan laut. Jatuh cinta yang terlambat datang. Bagi anak negeri dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia :)
0 komentar:
Posting Komentar