*Tulisan ini gw rasa gak ada intinya. Gak ada fokusnya. Loncat-loncat. Jadi, kalau mau di sekip tidak masalah, mau tetap dibaca alhamdulilah. Hanya melampiaskan sisa-sisa merinding setelah dipercaya untuk mendengarkan, lagi.
Pernah suatu hari, gw ngerasa ada yang salah dengan muka gw. Entah muka gw yang menggambarkan muka banyak masalah, entah muka gw memancing banyak masalah. Entahlah. Yang pasti, sepertinya ada yang salah.
Pernah tuh ya, sebutlah seorang teman gw bernama A. Dia jalan nih ke arah gw. Jaraknya sih masih jauh, tapi keliatan dari posisi gw. Sambil berjalan, dia menyapa teman teman lain yang berpapasan dengannya di jalan. Sapa kanan kiri. Senyum kanan kiri. Ketawa kanan kiri. Pokoknya, gw ngeliat dari kejauhan, hidupnya indah lah hari ini. Ceria sekali. Sampai akhirnya gw rasa berada di jarak yang cukup dekat dengannya, seperti biasa, gw teriak memanggil namanya, menyapa.
Sumpah gw cuma nanya doang. Gw cuma manggil namanya. Cuma menyapa. Belum mengeluarkan dua patah kata selanjutnya. Tiba-tiba mukanya masam menoleh ke arah gw. Merangsek duduk di sebelah gw.
Pernah ngerasa salah muka, pernah juga gw sering ngerasa salah lihat, salah dengar.
Gw sering mendengar cerita. Iya. Sama halnya dengan mahasiswa psikologi lain pada umumnya. Gw lebih sering mendengar cerita seseorang secara personal. Man to man. Iya. Sama halnya dengan mahasiswa psikologi lain pada umumnya. Tapi hal yang satu ini yang gw gak tahu, apakah memang dirasakan anak psikologi pada umumnya.
Pernah sedih. Karena merasa diperlakukan berbeda oleh si pemberi cerita. Ada yang salah dengan gw? Atau gw yang salah lihat dan salah dengar? Apa yang diceritakan, dikatakan, dan dilakukan secara personal dihadapan gw, jauh berbeda dengan apa yang diceritakan, dikatakan, dan dilakukan ketika gw dan si pemberi cerita, sedang berada dalam sebuah lingkaran sosial. Gw salah apa? Gw yang salah paham atau gw yang salah lihat dan salah dengar?
Satu orang. Dua orang. Bahkan sejumlah orang memperlakukan gw berbeda.
Sampai akhirnya, belakang gw paham. Belakangan gw mengerti. Detik di mana gw paham dan mengerti, gw mendadak merasa jadi orang kaya,
Tapi gw dipercaya. Entah dari sebelah mana kepercayaan itu lahir. Gw dipercaya mendengarkan. Gw dipercaya diperlihatkan sisi asli banyak orang tanpa personanya. Tanpa topengnya. Gw dipercaya jadi tempat yang nyaman untuk menumpahkan rahasia.
Allahuakbar...
Nyess itu adalah.... mendengar kalimat-kalimat ini, di akhir dan awal cerita,
Allah, maaf, saya cengeng hari ini.
Satu bulan ke belakang. Dua minggu kebelakang. Satu minggu ke belakang. Kemarin. Hari ini. Gw bertubi-tubi dipercaya mendengarkan, lagi. Ceritanya? Bahkan banyak cerita di luar dugaan gw yang dipercayakan untuk gw dengarkan. Cerita-cerita yang... gw kira itu hanya ada di novel-novel. Hanya ada di film-film. Tapi itu nyata kawan. Sungguh. Kalau ada yang menjuluki seseorang sebagai seorang drama queen, sungguh, hidup memang sedrama itu ternyata.
Allah, maaf, saya masih cengeng hari ini.
Detik gw menuliskan postingan ini, gw lagi nangis. Ada yang punya saran untuk mengalihkan gemeteran dan merinding gw ke bentuk lain selain menangis? Njir, gw gemeteran beneran. Merinding beneran. Cerita dia, cerita mereka, cerita kalian, cerita kamu, hey, gw merinding mengingatnya. Dan cerita-cerita itu dipercayakan untuk gw dengar.
Allahuakbar...
Gw merinding. Gw ikut senang. Ikut senyum-senyum. Ikut tertawa. Ternganga. Tercekat. Dan ikut menahan nafas. Untuk segala cerita itu. Terima kasih. Untuk dia, mereka, kalian, kamu. Terima kasih untuk ceritanya. Gw masih gemeteran. Kalau dipercaya itu diamanahkan. Gw gemeteran karena begitu banyak amanah yang datang bertubi-tubi.
Terima kasih. Untuk dipercaya mendengar. Untuk dipercaya belajar lebih banyak.
Kesimpulan : Gw masih nangis dan gemeteran.
Pernah tuh ya, sebutlah seorang teman gw bernama A. Dia jalan nih ke arah gw. Jaraknya sih masih jauh, tapi keliatan dari posisi gw. Sambil berjalan, dia menyapa teman teman lain yang berpapasan dengannya di jalan. Sapa kanan kiri. Senyum kanan kiri. Ketawa kanan kiri. Pokoknya, gw ngeliat dari kejauhan, hidupnya indah lah hari ini. Ceria sekali. Sampai akhirnya gw rasa berada di jarak yang cukup dekat dengannya, seperti biasa, gw teriak memanggil namanya, menyapa.
Sumpah gw cuma nanya doang. Gw cuma manggil namanya. Cuma menyapa. Belum mengeluarkan dua patah kata selanjutnya. Tiba-tiba mukanya masam menoleh ke arah gw. Merangsek duduk di sebelah gw.
Tut, gw mau cerita :(Sekali. Dua kali. Dan kejadian macam di atas pun terjadi berulang kali.
Teh, gw mau cerita :(Emaaaak, apa yang salah dengan muka anakmu ini? -___-"
Muka lu tuh mancing banget sih, Tut.
Pernah ngerasa salah muka, pernah juga gw sering ngerasa salah lihat, salah dengar.
Gw sering mendengar cerita. Iya. Sama halnya dengan mahasiswa psikologi lain pada umumnya. Gw lebih sering mendengar cerita seseorang secara personal. Man to man. Iya. Sama halnya dengan mahasiswa psikologi lain pada umumnya. Tapi hal yang satu ini yang gw gak tahu, apakah memang dirasakan anak psikologi pada umumnya.
Pernah sedih. Karena merasa diperlakukan berbeda oleh si pemberi cerita. Ada yang salah dengan gw? Atau gw yang salah lihat dan salah dengar? Apa yang diceritakan, dikatakan, dan dilakukan secara personal dihadapan gw, jauh berbeda dengan apa yang diceritakan, dikatakan, dan dilakukan ketika gw dan si pemberi cerita, sedang berada dalam sebuah lingkaran sosial. Gw salah apa? Gw yang salah paham atau gw yang salah lihat dan salah dengar?
Satu orang. Dua orang. Bahkan sejumlah orang memperlakukan gw berbeda.
Sampai akhirnya, belakang gw paham. Belakangan gw mengerti. Detik di mana gw paham dan mengerti, gw mendadak merasa jadi orang kaya,
karena gw dipercaya mendengarkan :')Dibandingkan teman-teman gw yang lain yang bisa bikin si pemberi cerita muter otak sendiri buat nyari solusi sendiri, yang senyumannya bisa meneduhkan dan meredam masalah si pemberi cerita yang berapi-api, gw bisa apa? Gw kalau mendengar cerita cuma bisa ngangguk-ngangguk doang, geleng-geleng doang, senyum-senyum doang. Solutif? Jauh panggang dari api.
Tapi gw dipercaya. Entah dari sebelah mana kepercayaan itu lahir. Gw dipercaya mendengarkan. Gw dipercaya diperlihatkan sisi asli banyak orang tanpa personanya. Tanpa topengnya. Gw dipercaya jadi tempat yang nyaman untuk menumpahkan rahasia.
Allahuakbar...
Nyess itu adalah.... mendengar kalimat-kalimat ini, di akhir dan awal cerita,
Tut, cuma sama lu gua cerita kayak gini.Bahkan tanpa diawali dan diakhiri kalimat itu, ada beberapa yang, gw tahu, itu bukan cerita untuk konsumsi umum. Mahal kawan. Semua kalimat itu mahal. Itu mengapa gw mendadak ngrasa jadi orang kaya.
Tut, jangan bilang siapa-siapa dulu ya, cuma beberapa orang yang tau.
Tut, lu orang pertama yang gw kabarin
Teh, teteh satu dari sedikit orang yang tahu cerita ini.
Allah, maaf, saya cengeng hari ini.
Satu bulan ke belakang. Dua minggu kebelakang. Satu minggu ke belakang. Kemarin. Hari ini. Gw bertubi-tubi dipercaya mendengarkan, lagi. Ceritanya? Bahkan banyak cerita di luar dugaan gw yang dipercayakan untuk gw dengarkan. Cerita-cerita yang... gw kira itu hanya ada di novel-novel. Hanya ada di film-film. Tapi itu nyata kawan. Sungguh. Kalau ada yang menjuluki seseorang sebagai seorang drama queen, sungguh, hidup memang sedrama itu ternyata.
Allah, maaf, saya masih cengeng hari ini.
Detik gw menuliskan postingan ini, gw lagi nangis. Ada yang punya saran untuk mengalihkan gemeteran dan merinding gw ke bentuk lain selain menangis? Njir, gw gemeteran beneran. Merinding beneran. Cerita dia, cerita mereka, cerita kalian, cerita kamu, hey, gw merinding mengingatnya. Dan cerita-cerita itu dipercayakan untuk gw dengar.
Allahuakbar...
Gw merinding. Gw ikut senang. Ikut senyum-senyum. Ikut tertawa. Ternganga. Tercekat. Dan ikut menahan nafas. Untuk segala cerita itu. Terima kasih. Untuk dia, mereka, kalian, kamu. Terima kasih untuk ceritanya. Gw masih gemeteran. Kalau dipercaya itu diamanahkan. Gw gemeteran karena begitu banyak amanah yang datang bertubi-tubi.
Terima kasih. Untuk dipercaya mendengar. Untuk dipercaya belajar lebih banyak.
Kesimpulan : Gw masih nangis dan gemeteran.