Ini perjalanan mandiri Gandewa menuju Desa Sawarna yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten. Perjalanan ini diinisiasi oleh Kak Aday yang merupakan
finalis Abang Jakarta Favorit tahun 2005 angkatan 1 Gandewa. Seperti yang telah diceritakan
sebelumnya, perjalanan ini bukan tanpa hambatan. Mulai dari gonta-ganti rencana perjalanan sampai antusiasme anak Gandewa yang awalnya minim banget. Perjalanan nyaris dibatalkan kalau yang ikut kurang dari 6 orang. Mendengar keputusan ini?
Gw : Rim, kalau sampai akhirnya kita batal ke Sawarna bareng Kak Aday, lw mau nemenin gw nekat backpacking berdua ke Sawarna gak?
Yaa, begitulah gw. Kalau udah nekat, agak sedikit mengerikan, hehehe :P
Sampai akhirnya.. Jeng-jeng! Yang awalnya konfirmasi ikut hanya sekitar 4 orang, ternyata yang benar-benar jadi ikut ada 14 orang! :D Alhamdulilaaah, horaaay pisan lah! :D Empat belas itu terdiri dari : Gw, Rima, Nadya, Kamal, Hari, Kak Putnov, Kak Laila, Kak Aday, Kak Alitta, Kak Yesthi, Kak Vicky, Kak Rendy, Kak Sisil, dan Kak Banjai.
Karena selama ini kordinasi untuk menghubungkan antara anak Gandewa yang masih di Psiko dan yang sudah lulus dilakukan oleh Gw dan Kak Aday, akhirnya gw dimintai tolong oleh Kak Aday sebagai manajer keuangan perjalanan ini.
Awalnya, perjalanan ini direncanakan ditempuh dengan menggunakan transportasi umum. Dari Depok menuju Bogor naik kereta, nyambung angkot menuju terminal Barangsiang, naik bus menuju Pelabuhan Ratu, kemudian charter angkot sampai Desa Sawarna. Akan tetapi, karena pada akhirnya yang konfirmasi ikut cukup banyak, setelah dihitung-hitung oleh Kak Aday, diputuskanlah untuk menyewa mobil dari Depok menuju Sawarna. Benar saja. Di akhir perjalanan ini, setelah gw hitung pemasukan dan pengeluaran perjalanan, ternyata surplus looh, hihihi :D
Perjalanan dilakukan tanggal 5-7 April 2012. Kami berangkat berkumpul di Alfamart Psikologi terlebih dahulu. Perjalanan mengalami keterlambatan karena harus menunggu Kak Aday terlebih dahulu yang baru pulang dari kantor. Pukul 22.13 WIB kami berangkat. Mobil sewaan yang kami gunakan adalah mobil ELF, semacam mobil yang digunakan oleh jasa travel dengan kapasitas 15 orang plus supir.
Nyaman bangetlah perjalanannya. Selain karena ini pertama kalinya jalan sama Gandewa dengan kendaraan dan suasana senyaman ini (yaiyalaah, sebelumnya khan kalau jalan sama Gandewa dalam konteks diklat dan pelantikan, hehehe :P), mungkin gw nya juga lagi capek banget. Belum genap satu jam mobil meninggalkan Depok, gw suah tertidur lelap.
Ditengah jalan, gw terbangun-tidur lagi-terbangun lagi-tidur lagi. Apalagi kalau bukan karena medannya yang luar biasa mengguncang badan? Hohoho. Kayak off road pisan lah. Makin berasa karena ukuran mobilnya memang besar. Di satu waktu saat gw terbangun, gw melewati Pelabuhan Ratu.
Gw menempelkan muka gw di dinding kaca mobil -yang memang saat itu gw duduk di sisi sebelah kiri di kursi bagian paling belakang mobil-. Subhanallah :')
Satu, itu pertama kalinya lagi gw melihat pantai, setelah terakhir kali melihatnya di Dufan. Dua, malam itu lagi bulan purnama. Bulatnya sempurna. Makin cantik saat sinarnya dipantulkan air laut yang memang sedang tidak cukup tenang karean keberadaannya. Pemandangan itu pun yang pada akhirnya membuat gw tidak kunjung untuk memejamkan mata lagi.
Pukul 02.35 dini hari, kami berhenti di salah satu mesjid di Pelabuhan Ratu. Selain untuk mengistirahatkan pak supir sejenak, jika kami langsung melanjutkan perjalanan, kami akan datang terlalu pagi menuju Desa Sawarna. Padahal homestay yang kami sewa masih ada penghuninyadan dan baru check out pukul 09.00 pagi. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti disini terlebih dahulu dengan waktu yang cukup lama.
Sambil mengisi waktu, Kak Alitta mengeluarkan CD film. Mobil sewaan yang memang memiliki fasilitas TV gantungnya ini pun menjelma menjadi bioskop dadakan selama kurang lebih 2 jam! Hahaha :D
Film yang kami tonton adalah Step Up 2. Untuk ukuran gw yang tidak begitu gemar menonton film, buat gw ini seru! :D Intinya:
Hidup ini terlalu berharga jika hanya untuk menjadi bayang-bayang orang lain.
Menginjak subuh, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari mesjid terdekat. Di tengah jalan, kami dimintai uang retribusi sebesar Rp 70.000. Angka yang menurut gw pribadi terlalu besar. Benar saja, keesokan harinya kami menyadari bahwa retribusi itu tidak resmi. Saat perjalanan pulang, baru terlihat bahwa tempat ditagihnya restribusi itu hanya sebuah pos kamling biasa tanpa penjagaan tetap. Kami tidak melihat sebelumnya karena saat itu malam hari. Selain itu tidak ada tanda terima pembayaran retribusi yang biasa ditemukan.
Pukul 05.00 kami menemukan sebuah mesjid. Kami pun sholat bergantian sambil meregangkan diri karena telah berjam-jam duduk di mobil.
Fajar di sudut Pelabuhan Ratu
Setelah sholat, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan ternyata masih cukup jauh. Gw pun teringat sesuatu. Kakak-kakak gw di Gandewa sebelumnya pernah melakukan perjalanan menuju Sawarna juga. Akan tetapi, perjalanan dilakukan benar-benar dengan menggunakan transportasi umum. Dari pertigaan Pelabuhan Ratu sampai menuju Sawarna, mereka naik ojeg. Itu jarak yang jauh loh kawaan. Gw yang berjam-jam duduk di mobil aja pegal luar biasa. Apa kabar kakak-kakak gw yang berjam-jam duduk di jok motor yak?
Perjalanan dilanjutkan. Suasan di mobil mulai ramai. Lagu-lagu nostalgia, seperti sherina dan OST. film-film kartun jaman dulu pun meramaikan mobil kami. Pukul 07.00, tidak jauh dari homestay kami, kami menemukan tempat persinggahan untuk sarapan. Letaknya tepat di depan SDN Sawarna 1. Menu sarapannya adalah nasi kuning. Gw yang lagi males makan banyak memutuskan untuk join bareng Nadya aja. Satu porsi nasi kuningnya Rp 7.000. Wew abis. Buat gw harga yang cukup mahal untuk porsi yang (sangat) tidak terlalu besar. Ibu penjualnya sudah terbiasa kali ya dengan para pendatang yang berwisata kesini yang umumnya datang dari kota. Mungkin itu yang meyebabkan pada akhirnya harga nasi kuningnya pun ikut melambung. Tapii.. berhubung laper.. enak kok nasi kuningnya, hehehe :D
Kiri ke kanan : Kamal, Rima, Gw, Kak Laila, dan Hari di tempat sarapan
Setelah makan, kami menyempatkan main ABCD Lima Dasar dulu sambil menunggu kakak yang lain selesai sarapan. Masih inget permainan ini khan? Hehehe. Soalnya gw bingung mau mendeskripsikan cara memainkan permainan ini gimana :P Kami pun sempat ditegur oleh Kak Vicky saat bermain ini. Suara tertawa kami dianggap terlalu keras, hehehe :P
Sarapan selesai, kami segera menuju homestay kami! :D Akan tetapi, benar saja, kami masih terlalu pagi untuk datang. Saat itu masih pukul 07.00 WIB. Itu berarti homestay sewaan kami masih ada yang menghuni. Setelah briefing sebentar, akhirnya kami memutuskan untuk langsung ke Pantai Pasir Putih terlebih dahulu sebelum ke homestay. Sebelum berangkat kami diingatkan dulu oleh Kang Andri, penduduk setempat yang merupakan pemilik homestay kami, untuk tidak berenang dan cukup bermain di pinggir pantai saja. Menurutnya ombak saat ini lagi cukup besar dan tidak aman untuk digunakan berenang.
Pintu gerbang menuju Pantai Pasir Putih Sawarna
Setelah berganti kostum dan menggunakan sunblock, tepat pukul 08.00 kami menuju Pantai Pasir Putih Sawarna. Jembatan di atas salah satu icon di Desa Sawarna. Selain karena jembatan ini yang menjadi pintu masuk para wisatawan sebelum menuju pantai, jembatan ini pun dikenal dengan... goyangannya kawaaaan, mantap sekali! :P
Oia, disamping kanan jembatan ada jalan khan ya? Dari jalan itu, belok kanan, disitulah homestay kami berada :)
Gw dan Rima di pintu gerbang jembatan menuju Pantai Pasir Putih
Depan ke belakang : Kak Alitta, Kak Vicky. Kak Yesthi, Kak Banjai,
Kak Rendi, dan Kak Sisil di Jembatan Goyang
Bisa dilihat khan kawan bentuk jembatannya? Alamaaak, benar-benar sungguh menggoyang -_-" Jembatan ini hanya disangga oleh dua bilah bambu yang menancap di bagian tengahnya. Menurut papan yang terpasang di depannya, jembatan ini hanya mempu menyangga sepuluh orang sekali jalan. Itu mengapa sering terjadi antrian panjang untuk melewati jembatan ini. Yang ikut mengantri? Ternyata motor pun turut serta dalam antrian ini, hohoho :P
Selain jembatan ini, jembatan-jembatan lainnya, yang bahkan tak ada penyangganya sama sekali di bagian bawah, ikut meramaikan perjalanan kami selanjutnya :D
Setelah melewati jembatan, kami dimintai biaya retribusi per orang sebesar Rp 2.000 untuk masuk ke Pantai Pasir Putih. Karcis retribusi ini bisa digunakan bolak balik, termasuk kami gunakan untuk menuju Tanjung Layar sore harinya.
Sepanjang pejalanan, kanan kiri kami berupa rumah penduduk yang sebagian besar disewakan sebagai homestay untuk para wisatawan. Pemandangan ini pun berganti dengan hamparan sawah yang gw pertanyakan sumber pengairannya. Perubahan pemandangan sekitar pun selaras dengan apa yang gw pijak. Pijakan gw yang tadinya berupa semen, beganti bebatuan, sampai akhirnya berubah menjadi pasir pantai :)
Pantainya masih belasan meter lagi dari gw. Tapi pasir pantainya udah gw injek dan ombaknya sudah gw lihat.
Subhanallah :')
Gw merinding. Sekali. Dua kali. Berkali-kali.
Pertama, ini pertama kalinya gw nginjek pasir pantai. Empuk. Halus. Antara seneng banget pengen loncat-loncat tapi gak mau kelihatan norak pun bercampu jadi satu. Dengan anggunnya, pelan-pelan gw melepas sepatu untuk merasakan pasir pantai langsung, meredam kenorakan gw :P
Kedua, ombaknya, Ya Allah, tinggi banget. 2-3 meteran! Selain pantai ini memang pantai di bagian selatan Pulau Jawa yang langsung menghadap Samudra Hindia, kondisi bulan yang memang tengah lagi purnama menjadi salah satu faktor tinggi ombaknya gak tanggung-tanggung banget. Gw yang sempat impulsif ngomongin tsunami karena melihat ketinggian ombak pun langsung ditegur beramai-ramai oleh yang lain.
Wajar penduduk sekitar mengingatkan. Siapa juga yang berani bermain-main dengan ombak setinggi itu selain para surfer? Sayangnya, keesokan harinya gw baru tahu kalau memang sungguh ada yang berani.
Di saat yang lain sudah mulai menikmati suasana pantai, mulai bermain-main bersama ombak, lari-lari di pantai, berfoto dengan berbagai pose, gw masih memilih diam. Gw masih amaze dengan apa yang gw lihat - yang memang belum pernah gw lihat langsung sebelumnya-.
Di hadapan gw, ombak yang ketinggiannya super tinggi masih berkejaran. Pantainya luas banget. Hanya segelintir orang yang sama-sama tengah menikmati pantai ini bersama kami. Berasa pantai sendiri. Walaupun memang tidak seputih namanya, tapi pantai di pasir ini memang berwarna cerah. Sayangnya, kecerahannya tidak cukup didukung dengan apa yang gw lihat berserakan disekitarnya. Banyak batok-batok kelapa yang berserakan tak bertanggung jawab, yang tentu saja bukan proses alami yang membuatnya berada di sini.
Sepanjang mata memandang cuma ada laut, langit, pasir, dan hamparan pohon kelapa yang gw lihat. Indah, kawan. Sungguh. Keindahan lain yang baru berhasil gw sentuh di sudut bumi-Nya yang lain :')
Kiri ke kanan : Kak Putnov dan Kak Laila
Kiri ke kanan : Kak Alitta, Kak Yesthi, dan Kak Vicky
Sampai akhirnya gw pun mulai ikut melebur dengan keramaian di sekitar. Bermain dengan ombak, berlari, dan melompat bersama mereka. Mereka yang bukan tidak mungkin akan mengantarkan gw, lagi, ke sudut-sudut indah lain di bumi milik-Nya.
Kiri ke kanan : Rima, Gw, Nadya, dan Kamal
Kiri ke kanan : Hari, Rima, Gw, Nadya, Kak Alitta, Kak Laila, Kamal,
Kak Banjai, Kak Vicky, Kak Yesthi, dan Kak Aday
Sungguh. Semua teriakan dan lompatan itu nyaris sempurna menghilangkan tekanan yang tertinggal di Depok.
Dirasa lelah bermain-main, kami istirahat sejenak di saung yang terletak di pinggir pantai. Menyempurnakan apa yang biasa dilakukan di pantai pun, Hari bermain-main dengan pasir pantai dan Nadya serta Kak Alitta membeli air kelapa masih lengkap dengan batoknya.
Sampai detik-detik terakhir kami hendak meninggalkan pantai ini untuk menuju homestay, gw masih menyempatkan diri menelanjangi hamparan pemandangan di hadapan gw. Masih merinding untuk yang kesekian kalinya. Sungguh. Indah kawan. Kalau boleh, gw pengen banget gak usah pulang dari sini :)
Gw tiba-tiba teringat kutipan sebuah novel yang gw lupa judulnya.Salah satu kutipannya,
Tidak banyak yang menyadari bahwa Tuhan menciptakan laut dan langit terlihat begitu indah karena ada jarak diantara keduanya.
Gw pun memperhatikan lebih dalam apa yang gw lihat di depan gw. Ya. Memang ada jarak. Kalau tidak ada jarak, mungkin laut dan langit tidak akan terlihat begitu indah seperti yang gw rasakan saat ini.
Well.
Sentimentil gw keluar.
Tersenyum miris.
Mungkin memang ada yang tidak bisa dipaksakan untuk bisa bersisian. Karena ketika tidak ada jarak, mungkin memang tidak akan pernah terasa seindah ini.
Seperti saat ini.
Gw di Pantai Pasir Putih
Mendung pun mewarnai ujung keceriaan kami sebelum meninggalakan pantai ini. Kak Putnov kehilangan sebelah sendalnya. Setelah menelusuri pantai untuk mencari, tetap tidak ditemukan. Mungkin memang sudah terbawa arus karena tempat penyimpanannya masih dapat dijangkau oleh air laut.
Belum ditemukan sendal Kak Putnov, handphone Kak Aday pun dinyatakan hilang. Diperkirakan terjatuh saat lompat tadi. Pantai pun kembali ditelusuri. Handphone Kak Aday pun tetap tidak ditemukan.
Kami pun sempat bercanda tentang hal ini.
Bener-bener nih pantai minta barang...
Meminta?
Esok harinya, mendung pun menghiasi langit Pantai Pasir Putih lagi. Entah karena mereka tidak menuruti larangan penduduk sekitar untuk tidak berenang atau bagaimana, tersiar kabar tiga orang dinyatakan hilang di pantai ini. Satu orang yang pada akhirnya ditemukan, dinyatakan tewas.
Seketika kami yang tengah bersiap kembali pulang ke Depok merinding mendengarnya. Kalimat Kak Vicky yang sempat menegur kami saat bercanda berlebihan waktu sarapan pun terngiang-ngiang di telinga gw.
Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.