Minggu, 13 Desember 2009

Ternyata, memang belum berubah...

10 Desember 2009

Hari ini hari ketiga ulangan umum semester 5. Ternyata memang gak berubah. Paling yang berubah cuma rasa deg-degan gw yang berkurang untuk ulangan kali ini. Mungkin karena udah keseringan try out di NF dan try out-try out lainnya kali ya? Sisanya? Sama aja. Mulai dari duduk di ruangan 3, nomor absen 4, duduk sama Aisyah Halda XI IPA 2 dua tahun berturut turut, persiapan gw yang masih sistem kebut semalam (astagfirullah..banguuun tuth, banguuuun! Udah kelas XII!) dan... heu, agak miris sih ceritanya. Ditambah curhatan Dita tadi siang dengan nada agak sedikit kesal.

Dita : Jujur Tuth, gw di rumah masih sering nangis! Gw nangis karena gw harus saingan sama orang-orang yang menghalalkan segala cara demi dapet nilai bagus. Gw gak habis pikir sama orang-orang yang kerjasama, nyontek, open book, nanya, atau ngenet pas ulangan. Pantesan Indonesia gak maju-maju. Dari sekarang aja udah ketahuan khan watak-watak pemimpin masa depannya kayak gimana?

Tersenyum getir gw mendengarnya. Tapi apa yang Dita bilang emang gak salah. Ironis. Ditengah kesibukan sebuah lembaga dengan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang sebentar lagi berubah menjadi Sekolah bertaraf Internasional, ternyata di dalamnya kejujuran belum benar-benar bisa dijunjung tinggi :(

Dita cerita kayak gitu ke gw karena gw dan Dita sama. Sama-sama masih menganut prinsip konvesional bahwa apapun yang terjadi, keadaan kita seperti apa, dan apapun hasilnya, setiap ulangan atau ujian adalah murni hasil kerja keras kita sendiri. Gw dan Dita pun mungkin termasuk segelintir orang yang dikatakan sok suci ataupun sok idealis yang masih menganut prinsip seperti itu. Tapi kami pun punya alasan masing-masing untuk melakukan hal itu.

Jadi inget perdebatan kecil antara adik-adik kelas gw tentang masalah yang satu ini di hari pertama ulangan umum yang tidak sengaja terjadi di depan gw. Kebetulan ada pihak pro dan kontra tentang kejujuran yang belum benar-benar bisa dijunjung tinggi selama ulangan umum ini (bahasa diperhalus demi keamanan gw karena takut terjerat kasus seperti Prita Mulyasari, hehehe...)

Adik pro : Sekarang gini deh. Kita udah berusaha untuk jujur. Tapi kenyataanya, nilai kita selalu dibawah orang-orang yang gak jujur. Tetep aja sakit hati. Mau jujur juga kalau tetep di remedial gak ada gunanya khan?

Adik kontra : Looh, berarti kalau kayak gitu persepsi kita udah salah dong tentang arti sekolah sebenernya. Berarti selama ini kita sekolah untuk ngejar nilai, bukan ngejar ilmu.

Adik pro : Karena kita sekolah di Indonesia yang selama ini orientasinya nilai, bukan ilmu. Kalau mau sekolah yang bagus, sekalian aja di luar negeri, yang bener-bener bagus dan bukan orientasi pada nilai.

Adik kontra : Pengennya sih gitu, tapi mampunya cuma sampe Indonesia. Yaudah, jalanin aja yang ada di sini...

Senyum-senyum gw mendengar perdebatan kecil adik-adik gw. Untuk sebagian orang yang masih berusaha istiqomah untuk menjunjung tinggi kejujuran selama ulangan, seperti Dita, apa yang dikemukakan adik pro merupakan salah satu alasan mengapa dia masih menganut prinsip itu. Sekolah untuk mencari ilmu, bukan mencari nilai. Dan ulangan, merupakan salah satu cara untuk mengukur kemampuan diri. Laah kalau ulangan aja gak jujur, dari mana kita bisa tahu kemampuan diri yang sebenarnya? Dari mana kita bisa tahu ilmu kita nambah atau enggak?

Dita, Opeh, Rj, Deden, dan banyak teman-teman lainnya -yang gak gw tahu yang (gw harap) jumlahnya gak kalah banyak dengan yang belum berusaha untuk menjunjung tinggi kejujuran ketika ulangan- yang mungkin memiliki alasan yang sama untuk tetap menganut prinsip konvensional itu. Berbeda dengan gw. Gw bukan orang cerdas seperti mereka yang berani memegang teguh paham itu karena mereka memang memiliki modal untuk melakukan itu. Gw bukan orang yang mampu dengan lancarnya menjawab setiap soal ulangan sendiri sampai-sampai gw gak pernah berani untuk tidak jujur ketika ulangan. Gw pun bukan orang jenius yang tidak pernah mendapat panggilan kepada pekan remedial. Gw memang bagian dari segelintir orang-orang yang menganut paham konvensional itu, tapi gw pun bukan bagian dari orang-orang cerdas itu. Dengan gw yang masih menganut prinsip seperti itu, bukan berarti gw lebih pintar dari orang-orang yang belum bisa menjunjung tinggi kejuuran saat ulangan. Sama sekali bukan. Gw punya sebuah alasan yang berbeda yang membuat gw memberanikan diri untuk tetap memegang paham tersebut.

Ketika nilai gw benar-benar jatuh, entah karena persiapan gw yang gak matang, gw yang kurang bisa mencerna soal, atau suasana hati gw yang berantakan, setidaknya masih ada satu hal yang masih bisa gw banggakan dengan nilai sejelek apapun yang gw dapatkan, yang masih bisa gw banggakan di depan teman-teman gw, di depan orang tua gw, atau di depan Sang Maha Melihat dalam doa gw, yang setidaknya bisa bikin gw tetap bertahan dalam kondisi nilai gw yang seperti apapun. NILAI ITU MURNI HASIL KERJA KERAS GW SENDIRI!

Hanya itu. Hanya itu prinsip gw dari SD yang alhamdulilah masih bisa gw pegang sampai saat ini. Prinsip yang mungkin ditertawakan sebagian orang karena sifatnya yang jadul banget. Tapi gw rasa ini yang dimaksud Bu Bekti ketika gw kelas X dalam pelajaran Sosiologi yang disebut internalisasi, sebuah kebiasaan yang mendarah daging yang sulit dilepaskan seseorang dan akan tertimpa perasaan yang amat bersalah ketika harus melanggarnya. Ini yang ditanamkan ayah gw dari kecil. Gw lebih takut dibentak oleh ayah gw karena tidak jujur daripada dibentak 'hanya karena sekedar' nilai gw yang tidak memuaskan..

Dita yang memegang paham itu karena memiliki modal saja sakit hati, gw yang hanya memegang prinsip itu apa tidak sakit hati harus saingan dengan orang-orang yang belum berusaha untuk menjunjung tinggi kejujuran?

Dulu gw pernah sakit hati. Tapi itu dulu. Setelah kejadian tiga tahun yang lalu. Kejadian ketika pengumuman NEM dan kelulusan SMP yang membuat gw nangis gak berhenti-berhenti karena gw harus berpisah dengan sahabat-sahabat terbaik gw. Berpisah karena mereka gak bisa bareng-bareng masuk SMANSA bareng gw, sekolah impian kami bersama, karena mereka tersisihkan oleh orang-orang yang ternyata belum bisa menjunjung tinggi kejujuran selama UAN. Setelah itu, gw pernah benar-benar benci dengan orang-orang seperti itu, orang yang secara gak langsung udah memisahkan gw dengan sahabat-sahabat terbaik gw. (dalam pola pikir gw waktu SMP). Sampai akhirnya perasaan benci gw benar-benar menjadikan gw seseorang yang apatis.

Yap. Gw benar-benar menjadi seorang yang apatis, sampai detik ini. Apatis bukan dengan orang-orang seperti itu. Tapi apatis dengan cara mereka bersaing. Terserah. Itu hak mereka, karena itu nilai mereka. Begitu juga gw, itu hak gw untuk tetap memegang paham konvensional itu, karena itu nilai gw. Dan alhamdulilah, gak sedikit yang menghargai prinsip gw yang akhirnya membuat gw jarang dilibatkan dalam 'urusan' seperti itu. Sejak kejadian tigak tahun lalu pun, gw telah benar-benar menjadi orang yang apatis. Orang yang gak pernah sakit hati lagi jika harus kembali bersaing dengan orang-orang yang belum bisa menjunjung tinggi kejujuran.

Dan ditengah arus persaingan yang makin deras menerpa Rakit Bambu, entah sampai kapan gw masih mampu memegang teguh prinsip ini. Walaupun begitu, terlalu banyak kejadian-kejadian yang membuat gw akan berpikir dua kali lebih panjang kalau harus meninggalkan prinsip ini. Allah baik banget sama gw. Banyak kejadian-kejadian yang telah Allah tunjukkan dan berikan kepada gw yang sampai saat ini masih sanggup membuat gw sangat percaya bahwa ALLAH MAHA ADIL! Walaupun bentuk keadilannya, terkadang tak tertangkap logika dan perasaan manusia...

*Ya Rabb, mungkin memang hanya ini yang benar-benar mampu hamba banggakan kepada-Mu untuk saat ini...


4 komentar:

Anonim mengatakan...

subhanallah .. keren tut pembawaan bahasa lu . kritis . dari satu topik bisa berkembang kemana2 . hha . likes abiss ama pemikiran lu ..
hha. gw sndiri mrasa "brengsek"
ama indonesia. negara yg slalu gw cari2 hal positifnya dblik sisi hitam yg mulai merebak sekarang. untuk "sebuah" kejujuran gw msh hrus di remed. wew. tp gw lg nyoba untuk miinimalisir ko :) hha

udah gede jd mendiknas aja ya tut .

semangat ulangannya ya . bsk terakhir :D

-you know lhaa-

tuti mengatakan...

@ anonim : makasih untuk commentnya :) semangat juga untuk besok ya! semangat terus untuk meminimalisirnya, kita sama-sama belajar untuk jadi lebih baik, ok?

amiiin, tapi kalau gw maunya mentri lingkungan hidup gimana? hohoho..

-yes, i know who you are.. hehehe-

Anonim mengatakan...

mantap tut, hehe.

tenang aja tuti. makin banyak yg nyontek pas ulangan, makin dikit saingan kita pas UM universitas / SNMPTN. yeah. itu salah satu motivasi gw.

karena menurut gw hanya orang-orang yg teguh untuk tidak mencontek saja yg akan bertahan pas ujian universitas. pada saat mereka stuck pada suatu soal, mereka sudah terbiasa untuk memecahkannya sendiri, menemukan cara yg tepat untuk mengerjakan soal tersebut.

bandingkan dengan orang yang selalu mencontek. mereka sudah terbiasa untuk melihat jawaban-jawaban orang lain saat mereka stuck. intinya mereka tidak percaya diri. di snmptn nanti mau nyontek sama siapa? tidak bisa. mereka akan kebingungan.

yah, mungkin kecuali kalau mereka emang dasarnya pinter & nyontek buat nyamain doang.

memang sulit untuk mengubah budaya mencontek ini. hah, guru-gurunya aja membiarkan murid-muridnya mencontek. gw yakin tu guru-guru pengawas sebenernya tau kalau kita nyontek. tapi dibiarin aja. haha aneh emang.

kok malah gw yg curhat sih?

~ a friend of yours ~

Linea Alfa Arina mengatakan...

like this Teh! :D walaupun memang "kelompok jujur" itu terbilang minor, semoga suatu saat kita dapet apa yang seharusnya pantes kita dapet, dan mereka dapet apa yang seharusnya pantes mereka dapet.
Allah Maha Adil :)