Layaknya sebuah rumah pada umumnya, ruangan depan di dalam rumah ini difungsikan sebagai ruang tamu. Tidak, tidak seperti rumah pada umumnya yang terdiri dari sofa-sofa empuk dengan meja kecil di tengahnya untuk meletakkan minuman dan panganan kecil bagi para tamu. Di rumah ini, ruang tamu hanya terdiri dari dua meja kayu dan beberapa kursi yang berjejer rapi di depannya. Toh ruang tamu ini memang dikondisikan untuk menerima tamu yang hanya berkunjung sejenak untuk menanyakan seputar kehidupan di rumah ini. Durasi berkunjungnya juka tidak terlalu lama, hanya berkisar 15-30 menit.
Gw mengambil posisi duduk di salah satu kursi di depan meja kayu yang berhadapan langsung dengan sebuah jendela yang menghadap ke arah bagian lain dari rumah ini. Tentu saja, masih dengan posisi yang sama dengan di beranda. Dengan buku di atas meja dan pensil di tangan. Menunduk takzim melahap bacaan baris demi baris, halaman demi halaman, dan buku demi buku.
Ruangan ini tidak pernah sepi. Bukan karena bunyi printer yang tak pernah berhenti menggerung yang terletak di salah satu meja di sudut ruangan ini, melainkan karena di ruangan ini ada seseorang yang tengah bertugas. Seorang kepala staff rumah ini yang tak pernah kehabisan cerita untuk meramaikan ruangan ini.
Namanya Mas Yusuf. Coba tanya kepada siapapun yang pernah tinggal di rumah ini sebelumnya, siapa pula yang tidak kenal dengan Mas Yusuf? Gw kenal beliau dari kelas 3 SMP. Saat lokasi ini masih berada di daerah Mawar, pindah ke Kantor Batu di sebelah Gang Selot, sampai akhirnya berada di sini, ternyata gw adalah salah satu orang yang setia mengikuti perpindahan Mas Yusuf dari lokasi ke lokasi. Mas Yusuf yang masih tampak muda walaupun telah memiliki dua orang anak yang kini duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah dasar ini merupakan salah satu staff senior yang ada di rumah ini.
Di ruangan ini, gw lebih banyak mendengarkan cerita Mas Yusuf yang selalu menyenangkan untuk didengarkan. Mulai dari seluk beluk tentang rumah ini, suka duka bekerja di rumah ini, pengalaman-pengalaman di tempat kuliahnya, pengalaman di tempat kerjanya sebelum ini, sampai tentang kehidupan pribadinya.
Suka duka? Walaupun terlihat sederhana, bekerja di rumah ini ternyata amat tidak mudah. Tekanan bisa diperoleh dari siapa saja dan kapan saja. Mulai dari tekanan yang di dapatkan dari atasan, dari orang tua, dari pengajar, sampai dari anak-anak yang menuntut ini itu.
Satu hal yang sangat gw kagumi dari beliau : manajemen emosinya meen, gak naahaaaaan :D Dua jempol ke atas buat Mas Yusuf! Tidak bermaksud berlebihan. Hanya saja, walaupun beliau adalah staff utama di rumah ini, satu kali pun gw gak pernah melihat beliau marah kepada staff lainnya saat tengah menghadapi masalah. Ditambah lagi, selama ini di setiap ceritanya, walaupun saat itu topik ceritanya adalah tentang masalah yang tengah beliau hadapi, isi cerita dan intonasi yang beliau gunakan sama sekali tidak mengindikasikan beliau sedang mengeluh. Kalau lagi banyak pikiran, beliau pasti lebih memilih diam atau melampiaskan ke hal yang lain.
Contohnya? Suatu hari pernah tak ada angin tak ada hujan, Mas Yusuf tiba-tiba bernyanyi. Tidak tanggung-tanggung, lagu yang dinyanyikan adalah Keong Racun! Hahahaha :D Dan saat itu, semua orang pun tahu kalau Mas Yusuf sedang stress, jadi lebih baik jangan di ganggu :P
Hal itu dibenarkan lagi dengan sebuah peristiwa. Pernah satu hari beliau lagi menghadapi berbagai tekanan dalam waktu bersamaan. Walaupun memiliki manajemen emosi yang baik, tapi raut wajahnya tidak bisa berbohong kalau beliau tengah banyak pikiran. Beberapa saat kemudian datang orang tua yang tengah berkunjung. Kawan, tahu apa yang gw lihat saat itu? Dalam kurun waktu beberapa detik, wajah lelahnya berganti dengan senyuman paling ramah yang ia milikki dan matanya yang sayu tiba-tiba berbinar menunjukkan antusiasme saat menyambut orang tua.
Kadang kalau gw ngeliat Mas Yusuf gw suka malu sendiri. Kalau lagi BT dikit, galau dikit, capek dikit, pasti muka gw langsung ditekuk seolah minta ditanya. Hahahaha, tapi wajarlah ya. Namanya juga remaja, tingkat kegalauannya masih diatas rata-rata :P.
Ada juga yang namanya Mas Ade. Beliau staff juga di rumah ini. Kalau dibandingkan dengan Mas Yusuf yang sudah senior, Mas Ade masih bisa dikatakan staff baru. Namun, karena setiap tidak ada Mas Yusuf di rumah ini yang memegang kendali adalah Mas Ade, gw sering menyebutnya sebagai bos kedua :D
Usia Mas Ade dan gw tidak terpaut jauh. Mas Ade hanya 1 tahun lebih tua dari gw. Dan di usianya yang sebenarnya masih berhak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, beliau lebih memilih untuk bekerja. Pernah di minggu-minggu pertama gw di rumah ini, ada satu pernyataan Mas Ade yang masih gw ingat sampai sekarang. Saat itu gw dan Mas Ade tengah membicarakan penghasilan gw saat mengajar di sebuah bimbingan belajar (baca : Kak Bintang) dan penghasilannya saat bekerja di rumah ini.
Mas Ade : Kalau masih bisa kuliah mah, lebih baik gak usah kenal uang dulu, Tuth.
Kalau Mas Yusuf punya manajemen emosi yang oke banget, kalau Mas Ade hobi senyumnya yang oke banget. Lebih tepatnya, senyum dan tertawa tertahannya, hahaha :D Sama seperti Mas Yusuf, Mas Ade pun dekat dengan anak-anak penghuni rumah ini. Pembawaanya yang tidak kaku membuat anak-anak tidak canggung untuk membicarakan apa saja dengannya. Bedanya, kalau Mas Ade lagi banyak pikiran kelihatan banget dari wajahnya, kayak orang lagi pundung, hehehe :P
Mas ade tinggal di rumah ini. Tepatnya di lantai dua rumah yang tampak luar hanya memiliki satu lantai. Jadi, setiap pagi, kalau pintu rumah ini belum terbuka, tandanya Mas Ade masih tidur. Mas Ade juga staff yang paling perhatian dengan nilai-nilai TO anak-anak penghuni rumah ini, termasuk gw. Setiap hasil TO keluar, pasti Mas Ade gak pernah absen bertanya, "Tuti, TO nya gimana?", "TO nya naik gak, Tuth?", "Peringkat berapa, Tuth?", "Tuti kenapa nilai TO nya turun?".
Belakangan, gw baru tahu kalau Mas Ade punya hobi menulis dan membaca sama seperti gw. Dan jenis bacaanya? Hahaha. Gak jauh-jauh kayak gw. Andrea Hirata, Tere Liye, dan Ahmad Fuadi. Kecepatan membacanya juga oke banget. Satu buku bisa dilahap hanya dalam waktu satu hari satu malam. Mantap. Gw aja minimal dua hari satu malam untuk bacaan sekelas tiga pengarang tersebut.
Masih dari posisi duduk gw di ruangan ini. Tangan masih menggenggam pensil yang kian mengecil karena diserut berulang-ulang dengan buku terbuka. Bedanya, kaki gw sudah bersila di atas kursi, pegel. Dan tatapan gw sudah tidak se-takzim sebelumnya. Sudah agak siang, dan sudah semakin banyak yang gw perhatikan.
Sebenarnya di ruangan ini bukan hanya terdapat dua meja kayu dan kursi-kursi yang berjejer di depannya. Ada sebuah lemari yang cukup besar di sudut ruangan dan sebuah meja di sampingya. Lemari dan meja tersebut digunakan untuk menyimpan berbagai arsip dan buku-buku. Biasanya lemari dan meja tersebut terlihat amat bernatakan. Bagaimana tidak? Staff rumah ini laki-laki semua. Walaupun ada Mas Anto yang terkadang datang untuk membantu bersih-bersih, sepertinya tidak membantu banyak untuk memperindah ruangan.
Namun, ada yang lain beberapa bulan belakangan. Lemari dan meja itu tampak kelihatan jauh lebih rapi dari sebelumnya. Jauh lebih nyaman dipandang mata. Dan itu terjadi sejak kedatangan Mba Dewi :) Mba Dewi merupakan staff paling cantik yang ada di rumah ini. Selain karena satu-satunya staff perempuan yang ada di rumah ini, secara harfiah, Mba Dewi pun memang benar-benar cantik.
Sebenarnya, sebelum Mba Dewi, pernah ada seorang staff perempuan di rumah ini. Namanya Mba Sarah. Beliau lulusan Pondok Madani Gontor. Kalau di Negeri 5 Menara gw tahu bagaimana suasana dan kondisi PM Gontor di wilayah khusus laki-laki, dari Mba Sarah gw tau suasana dan kondisi PM Gontor di wilayah khusus perempuan. Tapi itu tidak lama. Keinginannya yang menggebu untuk melanjutkan pendidikan dan menjadi seorang mahasiswa, mendorongnya untuk mundur dari pekerjaan di rumah ini dan mengejar cita di tempat lain. Belakangan gw mendapat informasi bahwa Mba Sarah sudah diterima di UNJ. Subhanallah. Selamat ya Mba Sarah. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan :)
Gw masih di ruangan ini. Ruangan dengan cat biru muda dengan langit-langit yang berwarna putih. Masih dengan pensil di tangan dan buku yang terbuka. Di kemudian hari, kebiasaan gw ini cukup membuat jengah orang-orang yang melihatnya. Transfer ilmu, cerita, dan semangat pun terus mengalir di ruangan ini. Begitu juga transfer kepercayaan, yang terjadi bahkan baru di hari pertama saat gw menjejakkan kaki di rumah ini.
***
"Tuti pindah IPS? Kalau Tuti pindah IPS mah, bisa-bisa Tuti yang jadi peringkat pertama terus."
Itu kalimat pertama yang gw dapatkan di hari pertama gw menjejakkan kaki di rumah ini lagi saat di di ruang tamu. Kalimat itu meluncur dengan mudahnya dari seorang pengajar matematika senior di rumah ini yang memang sudah tidak asing lagi buat gw.
Peringkat pertama? Baru juga satu minggu gw buka buku IPS. Jangankan menjadi peringkat pertama, gw bisa mengikuti pelajaran IPS dengan baik dan benar saja sudah alhamdulilah.
Itu yang ada dipikiran gw saat kepercayaan itu meluncur dengan mudahnya. Apalagi kalimat itu meluncur dari seseorang yang sudah 6 bulan lamanya baru gw temui lagi hari ini. Tapi perkataan Aii,
"Orang kadang jauh lebih tau tentang kita dibandingkan diri kita sendiri, Tuth", kadang memang benar adanya. Kalimat beliau hari itu mampu melesatkan gw jauh selama beberapa bulan ke depan. Begitu pula kalimat-kalimat beliau selanjutnya.
Namanya Mas Asep. Beliau pengajar matematika senior di rumah ini. Tidak asing lagi buat gw karena tahun lalu saat gw di PPLS (Program Persiapan Langsung SNMPTN) IPA, beliau juga guru matematika gw. Lebih dari itu, istri dari Mas Asep adalah kenalan ibu gw.
Beliau lulusan Matematika UGM. Tidak jarang Mas Asep bercerita tentang Yogya dan UGM beserta seluk beluknya. Hal itu membuat tak jarang orang menyangka bahwa beliau berasal dari Jawa dan membuat orang-orang lupa bahwa namanya saja sudah menunjukkan bahwa beliau berasal dari tanah Sunda, hehehe :P
Di rumah ini, ada beberapa pengajar yang cukup dekat dengan anak-anak, dan salah satunya adalah Mas Asep. Saking dekatnya, pembicaraan Mas Asep dan anak-anak di rumah ini sudah bukan hanya tentang matematika, melainkan juga tentang kehidupan pribadinya. Pernah satu hari yang penuh kehalauan (nunggu pengumuman soalnya) gw dan anak-anak lagi istirahat makan, dan Mas Asep pun datang. Tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan, anak-anak menodong Mas Asep untuk bercerita tentang proses pertemuan beliau dan istrinya sampai akhirnya menikah. Hahahaha :D Bener-bener deh ni anak-anak, lagi pada ngebet nikah ya? :P
Ketika gw menemukan suatu momen dimana matematika menjadi obat penekan tingkat ke-stress-an gw (baca : Berkenalan dengan Teman Lama), sejak saat itu pula gw dekat dengan Mas Asep. Bagimana tidak dekat? Dikit-dikit nanya. Dikit-dikit konsul. Dikit-dikit minta tambahan. Dan sejak saat itulah gw akhirnya mengerti kata-kata Mas Piet, kalau matematika hanyalah ilmu yang mempelajari tentang keteraturan :)
Gw pun tak jarang menjadi sharing partner nya Mas Asep. Sharing partner? Iya, hehehe. Sharing partnernya Mas Asep untuk membicarakan kondisi dan perkembangan anak-anak di rumah ini. Mulai dari anak-anak yang rajin masuk, jarang masuk, yang rajin ngerjain PS, yang PS nya masih bersih, perkembangan nilai TO nya yang bagus banget sampai yang lagi turun banget, dan yang selalu bersemangat sampai yang sedang gundah gulana (kayak perkembangan lw bener aja, Tuth! -___-). Salah satu anak yang paling sering gw bahas sama Mas Asep adalah Zego :D (baca : Ampun, Zeg!)
Dan kalau ditanya, siapa yang paling berpengaruh untuk gw selama ada di rumah ini? Salah satunya adalah Mas Asep :)
Sistem perhitungan nilai TO yang dilakukan di rumah ini adalah perhitungan per lokasi dan perhitungan secara nasional. Hari itu minggu pertama bulan Maret 2011, hasil TO kedua program intensif SNMPTN keluar. Di luar ekspetasi, alhamdulilah, gw menduduki peringkat 4 se-nasional. Dan lagi-lagi, dengan mudahnya Mas Asep meluncurkan sebuah kalimat.
Mas Asep : Waah, tuti bisa ke-4 nih se-nasional. Bisa jadi peringkat pertama gak, Tuth, se-nasional?
Hahahaha. Bener-bener deh Mas Asep. Gw cuma bisa diem dan senyum doang di tantangin kayak gitu. Bisa gak ya?
Dan pertanyaan itu, pada akhirnya baru sanggup gw jawab di minggu terakhir bulan Juni, di TO ke 3 Intensif SIMAK UI.
Alhamdulilah, saya bisa, Mas!
Mas Asep
***
Masih di ruangan ini. Ruangan dengan lantai ubin bermotif yang selalu tampak berdebu walaupun sudah disapu dan dipel setiap paginya. Sebelum rumah ini ditempati oleh penghuninya yang sekarang, rumah ini merupakan rumah kosong yang tua. Seperti yang sering kita lihat di film-film. Lantai dan barang-barang penuh debu, di sudut ruangan penuh dengan sarang laba-laba, dan suara pintu-pintu tua yang bunyinya cukup tidak enak didengar ketika tertiup angin. Dari sekian banyak renovasi yang dilakukan pada rumah ini, salah satu yang tidak dipugar adalah ubinnya. Alasannya? Gw lupa :P
Di ruangan ini pula, gw bertemu kembali dengan Mas Eris :D ada yang familiar dengan nama ini di postingan-postingan gw sebelumnya, hehehe :P
Sama seperti tahun lalu, tahun ini pun beliau masih menjadi pengajar Bahasa Indonesia gw. Yang sedikit berbeda, tahun ini beliau tidak punya banyak waktu seperti sebelumnya untuk konsultasi. Karena tahun ini beliau pun seuah bekerja di Harian Republika sebagai editor. Subhanallah :D
Dari beliaulah gw tahu kehidupan seorang jurnalis dan kehidupan jurnalistik. Beliau yang merupakan lulusan Sastra Indonesia Universitas Pajajaran ini pernah menerangkan kepada gw bagaimana proses sebuah berita di buat sampai menjadi koran yang sering kita baca sehari-hari. Mulai dari diliput, masuk ke meja redaktur, di edit, kembali ke redaktur, di edit lagi, sampai akhirnya masuk ke percetakan. Dan semua proses itu dilakukan dalam kurun waktu kurang dari satu hari. Kerja stripping yang luar biasa :D (lw kira sinetron, Tuth, stripping -___-)
Pernah juga satu hari, gw tengah membawa salah satu harian nasional terkemuka ke rumah ini. Saat itu ada Mas Eris. Mas Eris menjelaskan kepada gw tentang kelebihan dan kekurangan lima besar harian nasional di Indonesia. Bahkan, gw dan Mas Eris sampai mencoba mengedit beberapa kesalahan di harian nasional yang saat itu gw bawa. Mantaaaap :D
Awalnya, dari cerita-cerita Mas Eris gw sedikit tertarik di bidang jurnalistik. Tapi meningat kenyataan bahwa sudah bukan rahasia umum lagi, tidak sedikit beberapa sektor jurnalistik di Indonesia yang sudah dipolitisasi, sepertinya gw akan berpikir dua kali.
***
Pukul 09.00
Saatnya masuk kelas!
Kelas gw hanya sepelemparan batu jarakanya dari ruang tamu. Kelas gw saat itu terletak di ruang 03. Di sebelah kiri kamar mandi putri, si sebelah kanan ruang 02, dan di seberang ruang 05. Kelas gw merupakan kelas dengan temperatur udara paling menusuk tulang karena kualitas AC yang masih sangat baik. Ruang kelas ini tidak besar. Ruangan dengan cat putih dan pintu berwarna buru muda, yang senada dengan warna temboknya ini hanya cukup di muati oleh sekitar 15-20 orang. Sama seperti kelas pada umumnya, ruangan ini hanya terdiri dari sebuah papan tulis, kursi-kursi, sebuah meja kecil di sudut kanan depan ruangan, dengan sebuah proyektor dia atasnya (dan saat gw keluar dari rumah ini, ternyata di atas papan tulis kini di pasang layar televisi -___-). Jendela kecil yang ada di sudut kanan belakang ruang kelas ini seolah tak berarti banyak karena memang tak pernah di buka. Tidak ada yang istimewa dari ruang kelas ini. Tapi yang membuatnya berbeda adalah orang-orang yang gw temui di dalamnya.
***
Salah satu pelajaran yang gw dapatkan di rumah ini, selain pelajaran yang diujikan dalam SNMPTN pada umumnya, gw juga mendapatkan sebuah pelajaran yang disebut dengan BIP. BIP merupakan singkatan dari Bimbingan dan Informasi Pendidikan. Atau mungkin lebih umum kita kenal dengan bimbingan konseling. Di BIP, selain diberikan materi-materi yang menunjang kebutuhan pemenuhan motivasi dalam belajar, diberikan juga penjelasan tentang seluk beluk SNMPTN. Mulai dari pelaksanaan teknis sampai non teknis.
Hari itu minggu pertama gw mendapatkan pelajaran BIP. Pengajar BIP gw adalah Mba Amalia Sekar Wulan atau yang akrab dipanggil Mba Amel. Belakangan gw tau bahwa Mba Amel adalah pengajar yang diceritakan T'Fia saat T'Fia berkonsultasi untuk mempertimbangkan pilihannya antara di UI atau di Unpad.
First time gw diajar oleh Mba Amel? Ya Allah.. Caranya menatap orang lain, caranya berbicara, bercerita, bahasa yang beliau gunakan, dan caranya menanggapi perkataan orang lain, mirip banget sama seorang teteh gw. Teteh yang sangat berpengaruh buat gw. Dan teteh yang sangat gw segani.
Mengingat gw udah lama banget gak buka internet, dan membuat gw lama tidak membaca tulisan teteh gw itu, tiba-tiba gw kangen aja sama teteh gw itu :(
Teh, apa kabar?
Belum habis dengan keterkejutan gw, Mba Amel memperkenalkan diri. Ternyata? Beliau lulusan Psikologi UI tahun 2004. Oh meeen, benar-benar sama dengan teteh gw yang satu itu, hanya tahunnya saja yang berbeda. Kawan, tau gak apa yang ada di otak gw saat itu? Gilaaa, masa iya lulusan Psikologi UI jadinya begini semua? Ngeri juga kayaknya :P
Benar saja, Mba Amel membuat gw sama segennya dengan teteh gw yang satu itu. Lebih segan malah, mengingat umur beliau yang lebih tua beberapa tahun dari teteh gw itu dan beliau sudah berkeluarga. Beberapa minggu awal pelajaran BIP, gw cuma bisa mendengarkan materi dari Mba Amel dengan takzim tanpa perlawanan. Mencoba merekam baik-baik setiap materi yang disampaikan.
Kalau kalian gagal lagi tahun ini, bayangkan sedihnya kalian bakal dua kali lipat! Malunya kalian bakal dua kali lipat! Dan marahnya kalian bakal dua kali lipat dari tahun ini!
Kalimat itu gak pernah berhenti di ulang-ulang Mba Amel setiap mengisi materi di kelas Ronin (baca : Mereka yang Juga Berjuang). Nada suaranya. Emosinya. Terekam baik dalam ingatan gw. Selama kalimat itu diulang-ulang, selama itu pula gw cuma bisa mengangguk dan menatap takzim Mba Amel. Dan tentu saja, masih tanpa perlawanan.
Iya Mba, semua itu akan terasa dua kali lipat lebih besar dari tahun ini.
Awalnya gw kira gw saja yang berlebihan menganggap Mba Amel mirip banget sama teteh gw itu. Tapi ternyata gak juga.
Hari itu, SMANSA DAY 2011. Gw datang bersama seorang teman gw yang kebetulan Ronin juga. Di gerbang, gw tidak sengaja bertemu dengan teteh gw itu yang sepertinya sudah mau pulang dan terburu-buru. Gw berpapasan. Satu dua menit saling sapa. Dan kemudian berlalu.
Temen gw : Tuth, itu siapa?
Gw : Itu teteh gw yang gw bilang mirip banget sama Mba Amel. Mirip gak?
Temen gw : Sumpah mirip banget, Tuth!
Sampai akhirnya di suatu malam, Mba Amel tiba-tiba sms gw. Beliau menyampaikan komentarnya setelah membaca blog gw yang entah dari mana beliau tau kalau gw punya blog (pasti dari fb laaah, Tuth, dari mana lagi? Suka dung dung deh ente -_-). Momen itu pun gw manfaatkan untuk menyampaikan keterkejutan gw. Gw cerita ke Mba Amel kalau Mba Amel ngingetin gw sama seorang teteh gw yang mungkin beliau kenal juga. Tapi ternyata beliau gak kenal. Tapi iya juga sih. Ketika Mba Amel lulus, satu tahun setelahnya baru teteh gw itu masuk Psikologi UI.
Setelah puas mengungkapkan segala apa yang ada di hati dan pikiran gw, gantian Mba Amel yang bercerita. Kawan, tau apa yang Mba Amel ceritakan? Seolah merasakan hal yang sama, Mba Amel bilang gw mengingatkannya dengan seorang sahabatnya di Psikologi UI dulu yang berasal dari SMAN 3 Bogor. Katanya gw mirip banget dengan sahabatnya itu. Terlebih lagi setelah membaca tulisan-tulisan gw di blog. Dan ternyata itu yang menjelaskan mengapa saat pertama kali bertemu sampai beberapa minggu kebelakang, kalau ada apa-apa pasti gw yang disebut oleh Mba Amel.
Sejak saat itu? Gw jauh lebih terbuka dengan Mba Amel. Jauh lebih klik dan jauh lebih klop :D
Hal itu pun dibuktikan saat seorang teman sedang bercerita mengenai masalah pribadi. Tanpa perlu banyak bicara, sepertinya tanggapan gw dan Mba Amel tentang kasus tersebut sama hanya dengan sekali lirikan mata, hahahaha, mantaaaap :D
Mba Amel : Annisa Dwi Astuti, first time I saw you, I guess that you are the yellow jacket :)
Itu kalimat yang disampaikan Mba Amel di group NF Paledang di Facebook setelah hari terakhirnya mengajar di rumah ini. Gw merinding dengernya. Dan kalimat itu menjadi amunisi tersendiri di saat gw mati-matian berjuang membunuh rasa jenuh -yang perlahan tapi pasti- mulai menggerogoti.
Kalau ada yang harus gw rindukan ketika meninggalkan rumah ini nanti, salah satunya adalah Mba Amel. Terima kasih untuk banyak hal ya, Mba.
And now, your guess is coming true, Mba :)
Mba Amel
***
Kalau ada yang bilang semua pengajar di dalam rumah ini dekat dengan anak-anak, sepertinya tidak juga. Bahkan ada seorang pengajar yang sama sekali gak pernah gw anggap sebagai pengajar. Akan tapi, selalu gw anggap sebagai teman cari ribut! Hahahaha :P
Namanya Mas Asep. Berbeda dengan Mas Asep matematika sebelumnya, semua orang pasti akan langsung menyangka bahwa beliau adalah orang Sunda karena wajah dan logatnya yang Sunda banget. Beliau pengajar ekonomi gw, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia. Yang gw gak habis pikir, ada aja kelakuan Mas Asep yang seolah ngajak gw ribut -_-
Hari itu, sore di bulan Januari 2011. Kelas gw ada tambahan ekonomi dengan Mas Asep. Lebih tepatnya tambahan akuntansi. Ternyata ekonomi dan akuntansi adalah sesuatu yang amat sangat berbeda. Belakangan gw baru tahu, kalau banyak anak ilmu ekonomi yang kesulitan lulus dari mata kuliah akuntansi dan begitu juga sebaliknya karena dua hal tersebut adalah hal yang sangat bertolak belakang. Kalau dalam pembagian kerja, mungkin bisa dianalogikan bahwa anak ilmu ekonomi adalah seorang konseptor, dan anak akuntansi adalah seorang pekerja lapang.
Berhubung gw benar-benar baru belajar akuntansi dari nol, semua istilah yang gw anggap membuat mata gw berkunang-kunang dan membuat banyak bintang berputar-putar di kepala gw, akan langsung gw tanyakan.
Salah satunya..
Gw : Mas, bedanya diterima di muka sama di bayar di muka apa?
Mendengar pertanyaan itu, Mas Asep langsung berdiri dari duduknya dan menghampiri gw yang kebetulan saat itu tengah duduk di barisan paling depan. Beliau mengeluarkan selembar uang 50.000. Kawan, tahu apa yang terjadi setelah itu?
Beliau melemparkan uang 50.000 yang ia pegang tepat di depan muka gw sambil berkata..
Mas Asep : Nih, yang dimaksud dibayar di muka!
Teman-teman sekelas gw yang mengerti maksud dari konotasi adegan barusan langsung berseru gaduh. Gw yang sekian detik selanjutnya disadarkan oleh suara riuh rendah teman-teman gw ,
"parah...parah...parah..", baru mengerti apa maksudnya. Edaaaaan, gw langsung tersenyum sinis dan geleng-geleng kepala. Gw yang saat itu masih dikenal pendiam (hahaha, mamantes lw, Tuth, pendiam :P) mulai menampakan wujud aslinya.
Dan sejak hari itu, perang berkobaaaar! Hahahahaha (bikin emote serem gimana sih?)
Ada juga di hari yang lain, saat itu gw sedang ada jadwal kelas siang. Pukul 12.10. Gw yang tau hari itu pelajaran Mas Asep, memutuskan sholat dulu dengan santainya. Yaudah sih ya, Mas Asep doang :P
Dari ruang kelas gw, Mas Asep berdiri di depan kelas melihat kanan kiri kalau-kalau ada yang belum masuk kelas. Melihat gw yang baru keluar dari mushola hendak menuju kelas, beliau masuk kelas dengan membiarkan pintu terbuka.
Masuk kelas? Ternyata tidak. Beliau ternyata menunggu di balik pintu. Ketika yakin gw sudah berada di jarak yang tidak jauh lagi dari daun pintu, beliau pun segera menutupnya dan membuat badan gw berbenturan dengan daun pintu! Edaaaan, gw salah apa ya sama si Mas yang satu ini :'(
Tapi diantara perang-perang tersebut, sepertinya memanggil gw dengan sebutan 'teteh' merupakan hal yang paling menyenangkan buat beliau. Hal itu bermula saat ia menyadari bahwa ketika gw berinteraksi dengan adik-adik gw di Perisai Ksatria, mereka menyebut gw dengan panggilan 'Teh Tuti'.
Sejak saat itu?
Mas Asep : Eh ada Teh Tuti. Teteh Teteh, kok dipanggilnya Teteh Tuti sih? Berarti Teteh udah tua ya, Teh?
Dan senjata pamungkas gw?
Gw : Panggilan dan muka boleh tua, Mas. Tapi mentally, saya dewasa!
Hahahaha, waeeee lw dewasaaa, Tuth! Masih suka jadi zombie kalau sedang galau tentang ****** juga, hahaha, iya khan sop ;)
Terlepas dari hobi ngajak ributnya dan cerita-cerita gw di atas yang membuat beliau terkesan sebagai seseorang yang picabokeun pisan, beliau tetap orang baik kok :)
Pernah di satu kesempatan, pada akhirnya gw bisa ngobrol serius juga dengan beliau (walaupun itu tidak berarti bendera perang diturunkan :P). Gw dan Mas Asep ngobrol tentang cita-cita, masa depan, dunia perkuliahan, idealisme, sampai tentang rasionalitas. Sama seperti Mas Asep matematika, gw juga sering jadi sharing partnernya Mas Asep ini untuk membahas perkembangan anak-anak di rumah ini. Bedanya, kali ini dilihat dari sisi ekonomi (apa cobaaaa, Tuth? -__-)
Lebih jauh dari itu, selain Mas Alex, Mas Asep lah orang yang paling berjasa besar membantu gw untuk mendongkrak nilai-nilai gw lewat ekonomi. Yap. ekonomi benar-benar mendongkrak nilai gw gila-gilaan di SNMPTN tahun ini.
Sepeninggalan gw dari rumah ini, ternyata Mas Asep pun akan meninggalkan rumah ini. Melanjutkan hidupnya di Kota Kembang Bandung. Ketika gw tanya alasannya, beliau tidak mau menjelaskan. Well, mungkin ada sesuatu yang harus dikerjakan di kampung halaman :)
Mas Asep : Yah, Tuth. Kalau kamu psikologi berarti gak ada yang melanjutkan saya di ekonomi, dong?
Weits, jadi anak psikologi bukan berarti jadi gak ngerti ekonomi khan, Mas? :D Terima kasih dan mohon maaf untuk banyak hal ya, Mas. Sampai bertemu di lain kesempatan. Atau mungkin di perang-perang selanjutnya! Hahaha :D
***
Belum beranjak dari ruangan ini. Ruangan dengan papan tulis yang agak sedikit cacat karena sudah menggelembung. Papan tulis yang menyadarkan gw bahwa fokus mata gw sepertinya sudah mulai buyar lagi untuk melihat jarak jauh.
Hari itu, pelajaran sosiologi. Gw yang tengah menikmati menatap tulisan-tulisan yang ada di papan tulis, tiba-tiba dibuyarkan oleh seseorang.
Mba Devi : Tuti, kamu tuh anak IPC ya?
Gw : Eh, IPC, Mba? Enggak kok Mba. Saya pindah IPS. Emang kenapa gitu, Mba?
Mba Devi : Soalnya mata kamu mata anak IPA.
Namanya Mba Devi. Beliau pengajar sosiologi dan sejarah gw selain Mas Damar. Beliau lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kalau udah ngedengerin beliau cerita, khusunya sosiologi, enaaaak banget dengernya. Apalagi ditambah aksen jawanya yang
medok banget,
maknyuslah pokoknya.
Ngomong-ngomong soal mata, emang mata saya ada tulisan 'IPA' nya ya, Mba? Hohoho. Kalaupun ada, kayaknya tulisannya bukan 'IPA' deh Mba, tapi 'WARNING! MINUS BERTAMBAH!' :(
*bersambung