Sabtu, 10
Desember 2011
Kami tiba di pertigaan Cibodas pukul 01.00 WIB. Masih
dalam keadaan mengumpulkan nyawa, saat turun dari bis sedikit terjadi
kepanikan. Kamalia panik mencari-cari carriernya
yang belum berada di tangannya. Setelah dilihat lebih teliti, ternyata carriernya berada tumpukan carrier di sisi yang lain.
Selanjutnya, proses tawar menawar pun diakukan kembali.
Kali ini dengan supir angkot berwarna kuning yang berada di pertigaan Cibodas.
Angkot berwarna kuning ini akan membawa kami ke pintu masuk Taman Nasional Gede
Panrango yang selanjutnya dilanjutkan dengan berjalan kaki untuk mencapai
Sekretariat Montana. Setelah terjadi kesepakatan, kami pun mendapatkan satu
angkot untuk dinaiki. Ada yang unik dengan angkot kali ini jika dibandingkan
dengan angkot-angkot sebelumnya yang pernah kami naiki. Dengan kami yang
berjumlah tiga belas orang, kali ini kami hanya membutuhkan satu angkot. Hal
ini bisa terjadi karena carrier-carrier yang
tidak kecil dan tidak sedikit milik kami kali ini diletakan di atas angkot. Bak
ibu-ibu di pedesaan yang sanggup membawa beras di atas kepalanya tanpa
dipegangi, angkot kali ini pun begitu adanya. Seolah-olah sudah menjadi sarapan
sehari-hari bagi angkot dan supirnya, carrier-carrier
kami diletakan di atas angkot tanpa menggunakan tali pengikat apapun.
Pukul 01.25 WIB kami tiba di pintu gerbang Taman Nasional
Gede Pangrango. Keadaan sekeliling begitu gelap yang membuat kami tak bisa
melihat pemandangan apapun di sekitar. Beberapa caang mulai mengeluarkan headlamp-nya masing-masing sebagai alat
penerangan. Dipimpin oleh Kak Adi, kami menuju Sekretariat Montana dengan
berjalan kaki.
Sampai di Sekretariat Montana, kami disuruh menunggu
sejenak. Awalnya saya kira akan dilakukan pemeriksaan identitas dan barang
bawaan mengingat sebelumnya saya diberitahu bahwa ada beberapa barang yang
dilarang dibawa masuk ke dalam taman nasional, termasuk Tramontina (baca :
golok tebas). Akan tetapi, beberapa saat kemudian kami langsung disuruh masuk
tanpa pemeriksaan menuju ke sebuah gedung menyerupai aula kecil. Di sana
pengurus Gandewa yang lain sudah tiba terlebih dahulu. Di tempat tersebutlah
kami akan beristirahat sebelum melanjutkan aktifitas di pagi hari. Setelah
sholat isya, menyelesaikan urusan di kamar mandi, briefing bersama Kak Resty, kami pun bergegas tidur. Walaupun pada
kenyataanya, ada yang tidak bisa benar-benar langsung tidur saat itu.
Malam itu, diketahuilah bahwa Bimo ternyata tidak membawa
sleeping bag. Bimo memang melakukan packing mendadak yang menyebabkan sleeping bag menjadi salah satu barang
yang luput untuk dibawa. Walaupun Bimo tipikal orang yang tidak terlalau rewel
dengan hal tersebut-terlebih kemampuan dasar yang ia miliki dalam berkegiatan
alam-, hal tersebut tidak serta merta membuat caang lainnya untuk tidak peduli
dengan ketidaktersediaan sleeping bag
untuk Bimo selama beberapa hari ke depan. Mungkin memang tidak membantu banyak,
tetapi meminjamkan jaket atau apapun yang bisa menjadi penahan dingin tetap
dilakukan oleh caang lainnya demi tidak membiarkan Bimo tidur tanpa menggunakan
penahan dingin apapun.
Pukul 05.00 WIB caang bangun. Setelah sholat, caang bergegas
memasak sarapan. Kegiatan masak pagi ini masih dilakukan berdasarkan manajemen perjalanan
kelompok masing-masing. Seluruh kelompok sama-sama memasak nasi, yang berbeda
hanya lauknya saja. Kelompok 1 memasak sup. Kelompok 2 memasak semacam salad.
Kelompok 3 memasak bihun dan tahu
goreng.
Setelah selesai sarapan, kami mencuci peralatan makan dan
bergegas packing. Packing kali ini bisa dikatakan tidak
terlalu memakan waktu dibandingkan packing-packing
sebelumnya. Salah satu faktornya adalah kami tidak membuka tenda. Kami hanya
mengeluarkan perlengkapan tidur, matras, dan perlengkapan makan yang tidak
membutuhkan wakltu lama untuk di-packing
kembali.
Setelah selesai packing,
kami melakukan pemanasan. Pemanasan dilakukan karena setelah ini kami akan
berjalan kaki menuju Geger Bentang. Pemanasan dilakukan di depan aula. Saat
pemanasan, mulai terdengar hiruk pikuk orang-orang yang mendekati TNGP. Entah
pendaki lain entah rombongan yang tengah berwisata. Setelah pemanasan, kami
melakukan briefing. Briefing dipimpin oleh Kak Resty. Kak
Resty menjelaskan bahwa medan yang akan kami lalui menuju Geger Bentang
bukanlah jalur resmi. Walaupun begitu, jalur tidak resmi ini sejatinya
merupakan jalur yang memang sudah menjadi rahasia umum untuk digunakan di
sebagian kalangan pendaki. Akan ada
kemungkinan kami bertemu dengan petugas selama perjalanan. Untuk mengantisipasinya,
kami pun diarahkan untuk tidak berjalan beriringan seluruhnya, tetapi berjalan
satu kelompok satu kelompok terlebih dahulu. Kami pun dibekali pengetahuan
bagaimana jika kami benar-benar menghadapi kemungkinan terburuk bertemu petugas
di tengah perjalanan. Selain itu, kami pun dijelaskan untuk mengikuti
tanda-tanda yang telah dipasang tim advance
yang berupa tali rafia berwarna biru.
Setelah dirasa sudah siap, briefing ditutup dengan doa.
Perjalanan di mulai dengan keberangkatan kelompok 1 yang didampingi oleh Kak
Dina dan beberapa pengurus Gandewa. Setelah jeda 10 menit, kelompok 2 pun
berangkat didampingi oleh Kak Adi. Sebagai kelompok dengan jeda 20 menit
sebelum keberangkatan, saya dan kelompok 3 melakukan beberapa kegiatan untuk
mengisi waktu. Izzat dengan Al-Matsuratnya, Kautsar dan Amel menyelesaikan
urusan dengan kamar mandi, dan saya dengan minya kayuk putih saya.
Setelah jeda 10 menit setelah keberangkatan kelompok 2,
kelompok 3 segera berangkat. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan banyak
orang. Mulai dari pendaki lain sampai beberapa rombongan sekelompok, entah
siswa entah mahasiswa, yang menggunakan jaket alamamater berwarna hijau. Kami
pun sempat melihat Kak Ismi yang bercengkerama dengan salah satu pendaki yang
sebelumnya bertanya, “Ini Gandewa, ya?”.
Entah siapa yang melakukan percakapan dengan Kak Ismi,
ternyata apa yang dijelaskan oleh seorang kawan di Kelompok Mahasiswa Pecinta
Alam (KMPA) ITB benar adanya. Bahwasanya menurut kode etik pecinta alam, sesama
pecinta alam bersaudara. Di gunung, kita tidak akan merasa sendirian karena
sesama pecinta alam akan berbaik hati saling bertegur sapa dan menanyakan
kabar. Itu alasan mengapa Kak Ismi begitu akrab dengan pendaki yang kami temui
di tengah perjalanan tersebut dan itu pula yang menjadi alasan mengapa kami
selalu disambut hangat oleh KAPA FTUI dan Humus FEUI setiap berkunjung untuk
meminjam alat-alat.
Perjalanan pun terus dilanjutkan. Kami melalui jalan yang
berlawanan arah dengan rombongan dan beberapa pendaki kebanyakan. Kami berjalan
keluar dari Sekretariat Montana menuju pintu gerbang Taman Nasional Gede
Pangrango. Di sepanjang perjalanan menuju gerbang, di kanan kiri jalan terlihat
para penjual tanaman hias. Udara Cibodas yang cukup dingin memang menjadi lahan
basah bagi para penjual tanaman hias untuk membudidayakan tanamannya.
Pemandangan tanaman-tanamah hias di sepanjang kiri kanan jalan pun segera
berganti dengan toko-toko kecil yang menjajakan berbagai macam souvenir dan panganan khas Cibodas.
Mulai dari kaos, kerajinan tangan, buah arbei, sampai sale pisang.
Setelah sampai di gerbang utama, kami tidak keluar
gerbang. Kami belok kiri dan menuju tempat yang telah ditentukan. Setelah
sampai, kami bertemu denagn kelompok 2. Kelompok 2 bertugas kepada kami untuk
menjelaskan rute jalan yang selanjutnya harus kami lalui. Hal yang sama pun
dilakukan oleh kelompok 1 kepada kelompok 2 sebelumnya.
Setelah jeda 10 menit keberangkatan kelompok 2, kami pun
bergegas berangkat. Ada sedikit perubahan yang dilakukan selama perjalanan.
Kami yang awalnya berniat mengikuti tanda-tanda dari tim advance yang berupa tali rafia warna biru, berubah menjadi
mengikuti petunjuk cat berbentuk panah yang ada di batu. Selain karena kami
tidak menemukan cukup banyak tanda-tanda tali rafia berwarna biru, tanda cat
berbentuk panah itu cukup banyak tersebar di beberapa titik. Cat yang terlihat
sudah lama tersebut mengindikasikan bahwa petunjuk itu memang dibuat oleh
orang-orang sebelum kami yang memang sudah terbiasa melalui jalur ini.
Awal perjalanan kami lalui dengan baik. Kami menyusuri
pinggir sungai kecil. Melintasi perkebunan milik penduduk yang ditanamai oleh
pohon cabai dan arbei. Bertegur sapa dengan para petani yang tengah menggarap
tanahnya. Tidak jarang petani yang ditegur pun membalas dan berpesan untuk
hati-hati di tengah perjalanan. Kebiasaan ini menjadi satu hal yang
menyenangkan bagi saya pribadi selama berkegiatan alam. Menyapa dan menebar
senyum kepada orang-orang yang
ditemui di jalan walaupun belum pernah dikenal sebelumnya
terasa begitu meyenangkan. Lebih jauh lagi, saya pun menemukan bukti bahwa
klaim penduduk Indonesia adalah penduduk yang ramah memang benar adanya.
Sampai akhirnya kami tiba di sebuah persimpangan.
Persimpangan tersebut terdiri dari dua jalan kecil. Jalan pertama sebuah jalan
mendaki dan jalan kedua berupa jalan menurun. Di depan dua jalan tersebut
terdapat dua buah batu yang sama-sama bertanda cat berwarna biru di atasnya. Di
batu yang terletak di depan jalan yang mendaki terdapat sebuah tanda silang dan
di batu di depan jalan menurun terdapat sebuah tanda panah. Logikanya, Geger
Bentang yang dituju adalah sebuah titik yang berada di atas Gunung Pangrango
yang seharusnya membuat kami memilih untuk terus mendaki ke atas. Akan tetapi,
kami ragu untuk terus mendaki ke atas mengingat batu dihadapan jalan tersebut
bertanda silang. Pada umumnya, tanda silang digunakan untuk menandai daerah
yang seharusnya tidak dilewati. Dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan
dan setelah mencoba mengecek bahwa ada tanda-tanda selanjutnya setelah batu
tersebut, kami pun memilih untuk mengambil jalan menurun yang di depannya
terdapat sebuah batu yang bertanda panah.
Jalan yang kami ambil pun terus menurun. Langkah kami
hanya dikuatkan dengan adanya tali rafia biru di sekeliling tanaman cabai milik
penduduk, walaupun bukan hanya tali rafia berwarna biru yang ada di sekeliling
tanaman tersebut. Kami tetap terus melangkah sampai akhirnya kami pun semakin
ragu dengan jalan yang kami ambil. Perlahan cat berwarna biru dan tali rafia
berwarna biru hilang dari pandangan. Kami mencoba bertanya kepada orang yang
kami temui apakah sebelum kami ada sekelompok orang yang menggunakan tas besar
(baca : carrier) melewati daerah yang
kami lalui. Semua orang yang kami temui menjawab bahwa kami orang pertama yang
berpenampilan seperti ini yang melalui daerah ini. Kesimpulan bahwa kami pun
tersasar sempurna sudah ketika kami menyadari bahwa kami berada di pinggir gunung,
bukan di atas gunung. Dengan menguatkan
diri bahwa inilah praktek jungle survival
yang sebenarnya, kami pun memutuskan untuk kembali ke persimpangan tadi.
Setelah memilih jalan yang satunya, jalan yang didepannya
terdapat batu dengan tanda silang di depannya, akhirnya kami tiba di bibir
hutan. Kak Ismi menghubungi Kak Resty untuk memastikan apakah jalan yang kami
lalui ini sudah benar. Setelah yakin bahwa jalan yang kami lalui benar, sebelum
melanjutkan perjalanan masuk ke dalam hutan, kami memutuskan untuk beristirahat
sejenak. Tempat kami beristirahat tepat berada di bibir hutan. Tempat ini
merupakan titik tertinggi di mana kami masih bisa melihat tempat kami bertemu
kelompok 2 tadi. Tempat ini merupakan sebuah lahan terbuka yang ditanami oleh
tanaman semacam kubis. Kami yang sedari tadi bergumul dengan tanaman-tanaman
tinggi di kanan kiri jalan dimanjakan sejenak dengan hembusan angin di lahan
terbuka tersebut. Sampai beberapa saat kemudian, kami segera melanjutkan
perjalanan memasuki hutan.
Sebelumnya Izzat sempat mendapatkan informasi dari Kak
Odi, wakil Ketua BEM UI 2012 terpilih, yang memiliki hobi traveling bahwa medan
untuk menuju Geger Bentang merupakan tanjakan yang tidak ada habisnya.
Pernyataan dari Izzat tersebut pun kami buktikan sendiri dan memang benar
adanya. Tanjakan tersebut seolah tidak kunjung berakhir. Mulai dari tanjakan
dengan jalan setapak yang masih jelas terlihat sampai tanjakan yang pijakannya
harus dipilah sendiri oleh pendaki.
Wajah-wajah kelelahan sudah tidak bisa dibendung lagi di
tiga perempat perjalanan. Kautsar yang lebih banyak di depan hanya bisa
sesekali menoleh ke arah belakang untuk memastikan bahwa kami dalam keadaan
baik-baik saja. Izzat dengan keistiqomahannya menggunakan rok masih luar biasa
menjejak langkah demi langkah untuk terus mendaki. Amel yang berada paling
belakang dan ditemani oleh Kak Ismi mulai menggunakan kayu sebagai alat bantu
dengan wajah luar biasa lelah. Sedangkan saya sendiri hanya bisa memberikan
semangat sekenanya kepada teman-teman yang lain karena jujur saja, saat itu
pikiran saya tidak benar-benar sedang ikut mendaki.
Kami benar-benar mendaki di pinggir gunung dan di bibir
jurang. Salah melangkah, kami bisa tergelicir jatuh ke jurang. Masing-masing
dari kami begitu lelah, tapi pantang bagi kami merengek manja, seperti yang
telah Gandewa ajarkan kepada kami. Entah apa yang ada di kepala kami
masing-masing untuk menguatkan langkah. Tapi raut wajah kami masing-masing
menyiratkan kelelahan yang amat sangat sekaligus usaha mati-matian untuk tidak
menyerah. Bagi saya pribadi, kelelahan yang amat sangat itu pun menuntun pada
kesadaran bahwa gunung ini begitu besar dan sudah selayaknya seorang manusia
tidak mempertanyakan kembali kebesaran pemilik gunung yang begitu besar ini.
Sampai di ujung kelelahan itu, kami pun tiba di daerah
Geger Bentang, di titik yang ditentukan oleh panitia. Kelompok 1 dan Kelompok 2
sudah tiba terlebih dahulu. Setelah beristirahat sejenak, kami langsung
melanjutkan kegiatan. Kegiatan selanjutnya adalah materi bivak buatan. Awalnya,
saya mengira pemberian materi bivak buatan ini benar-benar akan ditunjukkan
cara membuatnya baru kami langsung mempraktikannya. Diklat pamungkas ini pun
menumbuhkan kesadaran saya bahwa pembelajaran yang dilakukan selama diklat
Gandewa pun sejatinya sudah mengikuti proses pembelajaran di perkuliahan, yaitu
belajar mandiri. Atas dasar kepercayaan bahwa kami sudah mengerti cara
pembuatan bivak yang disampaikan di diklat kelas, percaya bahwa kami telah
membaca materi di booklet, dan percaya bahwa kami mampu mengambil gambaran dari
contoh bivak yang telah didirikan oleh pengurus, kami langsung disuruh membuat
bivak buatan dengan peralatan kami punya.
Kami yang sejujurnya belum pernah membuat bivak secara
mandiri, kecuali bivak yang dipasang berdampingan dengan tenda, cukup mengalami
kesulitan. Diantara tiga kelompok, hanya bivak kelompok 1 yang benar-benar
berdiri. Bivak kelompok 2 dan 3 tidak bisa berdiri dengan kendala yang sama,
yaitu bentuk flysheet yang tidak segi
empat sehingga sulit untuk dibentuk. Lebih khusus lagi, untuk kelompok 3
sendiri kesulitan dihadapi karena kebingungan untuk menggunakan simpul dan
jenis tali yang tepat. Selain itu, diskusi untuk menentukan bentuk bivak yang
terlalu panjang membuat bivak tidak segera selesai sampai waktu yang diberikan
habis.
Setelah praktik dilakukan, satu orang pengurus memberikan
evaluasi untuk bivak buatan yang didirikan oleh masing-masing kelompok. Untuk
kelompok 3, evaluasi diberikan oleh Kak Bimo. Menurut Kak Bimo, apapun bentuk flysheet-nya, seharusnya tidak perlu
menjadi kendala dalam prosespembuatan bivak, walaupun flysheet yang kami gunakan kemarin memang tidak direkomendasikan
untuk digunakan. Hal yang terpenting dalam pembuatan bivak adalah tegangnya
tali yang menyangga dan tegangnya flysheet atau ponco sehingga bisa sempurna
berfungsi sebagai aliran air. Adapun tentang simpul yang digunakan seharusnya
tidak perlu menjadi masalah. Simpul apapun bisa digunakan selama bisa
dipastikan kekuatannya. Jika perdebatan bentuk bivak seperti apa yang akan
dibuat dan simpul apa yang akan digunakan terlalu lama, bisa-bisa kita dan carrier kita sudah terlanjur basah oleh
hujan sebelum bivak dibuat.
Setelah setiap kelompok mendapatkan evaluasi
masing-masing, kami mendapat tugas angkatan untuk membuat sebuah bivak buatan
besar sebagai tempat meletakkan carrier-carrier
kami. Mulai dari sini, kegiatan-kegiatan
selanjutnya pun sudah tidak berorientasi pada tiap-tiap kelompok. Kami mulai
berkegiatan sebagai satu angkatan. Sebagai caang 5 Gandewa.
Walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya kami
berhasil membuat sebuah bivak buatan besar untuk satu angkatan. Kami melakukan
pembagian tugas tanpa komando. Ada yang membuat atap bivak dan menalikannya di
beberapa sudut pohon. Ada yang menggelar ponco sambil merapikan carrier-carrier yang berada di atasnya.
Ada pula yang membuat aliran air di sekeliling bivak mengingat lahan yang kami
gunakan sebagai tempat pembuatan bivak merupakan sebuah turuan. Setelah siap,
kami meletakkan carrier-carrier kami
di bawah bivak tersebut dan melanjutkan kegiatan selanjutnya.
Kegiatan selanjutnya adalah pemberian materi tentang
makanan survival. Setelah sebelumnya
kami diperkenalkan makanan-makanan survival
yang terdapat di Geger Bentang melalui slide
pada diklat kelas lalu, di sini, kami ditunjukkan secara langsung makanan-makan
tersebut. Ada daun Begonia yang dimakan di bagian batangnya. Rasanya asam
menyegarkan seperti belimbing wuluh. Daun yang berwarna merah dan berbentuk
menjari ini pun menjadi salah satu favorit makanan survival bagi para caang.
Ada pula Palma. Palma yang memang merupakan jenis palem-paleman ini merupakan
tanaman yang dimakan di bagian batangnya pula. Berbeda dengan Begonia yang
batangnya langsung bisa dimakan, bagian batang palma yang bisa dimakan adalah
bagian yang berwarna putih. Jadi, untuk memakannya, batang palma yang berwarna
hijau harus dikupas terlebih dahulu. Ada pula paku-pakuan. Tanaman ini tidak
bisa mentah-mentah dimakan seperti Begonia dan Palma. Tanaman ini harus dimasak
dan direbus terlebih dahulu layaknya sayur, baru bisa dikonsumsi setelahnya.
Sambil ditunjukkan secara langsung, kami pun mencicipi makanan-makanan survival yang disedikan sebagai contoh
tersebut.
Diantara tanaman-tanaman tersebut, terselip satu jenis
hewan diantaranya. Cacing tanah. Sayangnya, ketika kami berhamburan sementara
untuk mengambil rain coat dan payung saat tiba-tiba hujan turun, cacing
tersebut menghilang dari tempatnya yang menyebabkan tidak ada yang sempat
mencicipinya sebagai makanan survival.
Setelah diperkenalkan, kami langsung diberi tugas untuk ‘berbelanja’
makanan survival. Makanan yang akan
kami cari adalah makanan yang akan digunakan sebagai santap siang kami. Seluruh
bahan makanan dan cemilan yang kami miliki disita oleh pengurus. Hanya beberapa
bumbu masakan yang diberikan kepada kami untuk membantu mengolah bahan makanan
yang kami dapatkan. Di tengah rintik hujan yang semakin lama semakin deras,
kami pun segera menuruni gunung. Pencarian makanan survival pun dimulai.
Berbekal Tramontina dan pisau lipat, kami pun mencari
beberapa bahan makanan untuk santap siang kami. Amel mendapatkan begitu banyak
Begonia. Saya dan beberapa caang lainnya lebih banyak mendapatkan palma dan
paku-pakuan. Beberapa saat kemudian, Kak Adi, Hari, Kautsar, dan Bimo pun
berhasil menemukan pohon pisang yang masih lengkap dengan jantung pisangnya.
Menurut pengurus Gandewa, dalam keadaan survival,
mendapatkan jantung pisang bak mendapatkan makanan mewah. Hal itu disebabkan
karena jika bisa mengolahnya, jantung pisang merupakan makanan olahan yang
enak.
Saya sendiri yang penasaran dengan rasa cacing tanah
berusaha mencarinya di akar tanaman epifit yang menempel di beberapa pohon besar.
Menurut Kak Dina, dibandingkan dengan cacing tanah, cacing yang menempel di
akar tanaman epifit lebih sehat dan bergizi. Sayangnya, berkali-kali saya
menemukan akar tanaman epifit yang masih menggantung ataupun sudah tergeletak
di tanah, tidak ada satu pun cacing di dalamnya.
Merasa sudah cukup dengan bahan makanan yang dibawa, kami
pun segera bergegas kembali ke atas. Tangan-tangan para caang penuh dengan
bahan makanan masing-masing. Saya dan Kamal membawa jantung pisang yang
berhasil didapatkan oleh Kak Adi, Hari, Kautsar, dan Bimo. Tangan Amel penuh
dengan Begonia. Tangan-tangan caang lainnya pun menggenggam palma dan
paku-pakuan.
Setelah sampai di atas, kami mengumpulkan semua bahan
makanan di satu tempat. Bimo begitu antusias dengan apa yang didapatkannya,
yaitu jantung pisang dengan pisangnya yang masih begitu bayi. Sayangnya,
beberapa saat kemudian antusiasmenya memudar saat menghadapi kenyataan bahwa
bayi pisang yang dibawanya tidak layak untuk dimakan. Bayi pisang tersebut
masih berupa getah dan biji-biji hitam di dalamnya. Bimo pun mendadak kecewa
mengingat begitu susah payah dirinya mendapatkan jantung pisang dan bayi pisang
tersebut.
Begitu mengetahui bahwa kami mendapatkan jantung pisang
sebagai bahan makanan, penanggung jawab konsumsi masing-masing kelompok pun
dipanggil untuk menemui Kak Alim. Danti dari kelompok 1, Nadila dari kelompok
2, dan Amel dari kelompok 3. Kak Alim, pengurus Gandewa angkatan 2008, yang
memang dikenal dengan keahliannya dalam meracik bahan makanan (baca : memasak)
mengajarkan para penanggung jawab konsumsi bagaimana cara untuk mengolah
jantung pisang.
Waktu pun sudah lewat beberapa jam dari waktu Zuhur.
Izzat yang memang memiliki pemahaman agama yang cukup baik diantara caang
mengajak caang untuk segera sholat. Kami yang kebingungan karena kondisi kami
saat itu dalam keadaan berlumpur, tidak memungkinkan untuk mengganti pakaian,
dan tengah minim air mendapatkan pengetahuan baru tentang kemudahan sholat
lainnya dari Izzat. Izzat memberi tahu bahwa ternyata kami bisa sholat dalam
keadaan seperti itu. Kami cukup berwudhu dengan mengusap setiap bagian yang
menjadi rukun wudhu dengan sekali usapan menggunakan air yang berada di atas
bivak. Sementara untuk kaki, kami cukup mengusap ujung-ujung sepatu saja.
Setelahnya, kami sholat dengan menggelar ponco sebagai tempat bersujud, tanpa
melepas sepatu, kami memulai sholat. Kemudahan tersebut tidak berlaku ketika kita
melepas sepatu karena itu berarti ada bagian tubuh kita yang bersih yang
mengharuskannya dibersihkan pula seluruh bagian tubunh lainnya.
Setelah selesai sholat, kami pun diinstruksikan untuk
segera memasak makan siang. Kami pun memutuskan untuk memasak bersama sebagai
satu angkatan, tidak berkelompok-kelompok lagi. Di saat penanggung jawab
konsumsi mempersiapkan proses memasak, basecamp
manager dari setiap kelompok dipanggil Kak Resty. Kelompok 1 Bimo, Kelompok
2 Hari, dan Kelompok 3 saya sendiri. Kami diinstruksikan untuk mendirikan
sebuah tenda di lahan yang sudah ditentukan Kak Resty. Tenda tersebut dibangun
bukan untuk tempat beristirahat kami nanti malam, melainkan untuk meletakan carrier-carrier kami karena malam ini
kami akan tidur di bivak alam yang akan kami buat setelah ini. Sedangkan
tenda-tenda yang kami bawa sebelumnya diserahkan kepada pengurus.
Saya, Bimo, dan Hari, serta dibantu Kautsar bergegas
mendirikan tenda. Tenda yang dipasang kali ini agak berbeda dengan tenda-tenda
biasanya. Tendanya bagus. Terdapat beberapa rangka dalam yang membuatnya
terlihat megah dan mewah. Cukup untuk
memuat 5-6 orang di dalamnya. Sayangnya, tenda bagus kali ini tidak
diperuntukkan untuk kami, tapi untuk carrier-carrier kami.
Setelah tenda berhasil berdiri dengan aliran air di
sekelilingnya, kami segera naik ke bivak buatan dan bergabung dengan
teman-teman caang lainnya untuk makan siang. Santap siang kami hari itu adalah
nasi, telur orak arik, dan jantung pisang olahan bersama. Enak. Bukan karena di
atas gunung makanan apapun selalu tampak enak, melainkan karena sepertinya para
penanggung jawab konsumsi sukses mengolah jantung pisang dengan baik.
Setelah selesai makan siang, kami pun berkumpul kembali
untuk melanjutkan kegiatan. Secara pribadi, saya merasa diklat kali ini adalah
diklat paling tak berjeda. Sebanding dengan banjirnya ilmu yang kami dapatkan.
Kami dikumpulkan karena kami akan diinstruksikan untuk membuat bivak alam.
Pembuatan bivak alam ini tidak boleh main-main karena di bivak tersebutlah kami
akan memanfaatkan waktu istirahat kami. Kami diminta untuk membuat bivak sebaik
mungkin. Kami pun segera mengadakan pembagian tugas. Sebagian membersihkan
lahan yang akan digunakan untuk membuat bivak, sebagian lagi berbelanja untuk
mencari bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat bivak.
Danti, Rima, Amel, dan Kamalia bertugas untuk merapikan
lahan yang akan digunakan untuk membuat bivak alam. Kami mendapatkan lahan
tepat di bibir jurang. Lahan dengan kemiringan yang sanggup membuat kami bisa
sekaligus bermain perosotan saking miringnya. Sebenarnya kami memiliki
kesempatan untuk mencari lahan yang lebih layak. Akan tetapi, berhubung waktu
sudah mendesak menjelang malam, dan tidak ada lahan yang lebih layak di sekitar
tenda yang berisi carrier-carrier
kami untuk bisa digunakan, akhirnya kami mencoba mensiasati lahan yang miring
tersebut agar bisa digunakan sebagi tempat beristirahat.
Di sisi lain, Bimo, Hari, Nadila, Nadya, Kautsar, Izzat,
dan saya bertugas berbelanja mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat
bivak alam. Bahan-bahan yang kami butuhkan adalah kayu-kayu penopang yang cukup
kuat, kayu-kayu ringan sebagai atap diatasnya, dan daun-daunan yang cukup lebar
untuk menutupi atap tersebut. Kami pun menuruni gunung. Melihat kanan kiri
kalau-kalau ada bahan yang cocok untuk digunakan sebagai bahan untuk membuat
bivak alam lagi. Kami turun cukup jauh dari tempat dimana kami akan membuat bivak
alam. Setelah dirasa cukup, kami memutuskan untuk segera naik karena takut
terlalu banyak bahan yang dicari tetapi tidak sanggup dibawa lagi ke atas.
Di tengah perjalanan naik, caang laki-laki dipanggil
untuk turun kembali. Ternyata di bagian bawah banyak batang pohon dengan daun
yang cukup lebar untuk digunakan sebagai bahan pembuat bivak. Caang laki-laki pun
kembali turun dan caang perempuan tetap melanjutkan perjalanan naik sambil
mengambil bahan-bahan yang ditinggalkan di sisi kanan jalan tersebut. Di tengah
perjalanan kembali, kami baru mengetahui bahwa dalam pembuatan bivak buatan
tidak boleh menggunakan tali rafia, tambang, dan semacmanya. Alat yang
digunakan untuk mengikat pun harus berasal dari alam. Akhirnya kami pun baru
mencari tanaman menjalar sebagai alat pengikat di sekitar lahan tempat kami
akan membuat bivak alam.
Beberapa lama kemudian, Hari, Bimo, dan Kautsar datang
dengan wajah yang teramat lelah dari bawah. Hal itu wajar ketika melihat mereka
membawa batang pohon yang, sungguh, besar lengkap dengan daunnya. Belum selesai
sampai di situ, masing-masing orang membawa tiga batang pohon yang, sungguh,
besar itu. Wajah mereka terlihat pucat yang membuat beberapa caang perempuan
segera bergerak untuk mencarikan mereka minum. Kalau mau diukur tingkat
kelelahannya, kalau tadi kami berangkat menuju titik ini, mendaki, hanya dengan
membawa satu carrier di punggung,
kali ini mereka membawa tiga batang
pohon sekaligus yang, sungguh, besar di punggung. Bahkan ternyata di tengah
kelelahan itu, Kautsar bercerita bahwa ia tiba-tiba merindukan Kutek sebagai
tempat kostnya dan Warteg Shinta sebagai tempat makannya.
Setelah beristirahat sejenak, kami pun berkumpul lagi
untuk melakukan briefing seperti apa
bivak alam yang akan kami buat. Jujur saja, ketika ditanya oleh Kak Resty dan
Kak Vira tentang bentuk bivak alam seperti apa yang akan kami buat, kami
bingung. Pengetahuan kami tentang bentuk-bentuk bivak belum cukup baik. Sampai
akhirnya ide spontan Bimo untuk membuat dua buah bivak, di atas dan di bawah,
tanpa dinding penghalang apapun di empat sisinya yang menjadi pilihan kami.
Lagi-lagi, dengan pembagian yang terjadi tanpa isntruksi,
kami terbagi menjadi dua tim. Ada yang menyelesaikan bivak bagian atas dan
bivak bagian bawah. Kami memotong batang, mengikatnya satu sama lain, dan
menutupinya dengan daun. Terdengar mudah, tapi tidak sebenarnya. Kami
kekurangan tali temali untuk mengikat ranting. Kami kekurangan daun untuk
menutupi bagian atas. Kami kekurangan pencahayaan karena jumlah headlamp yang minim. Kami pun mulai
kehilangan stamina. Kami mulai lelah dengan padatnya kegiatan hari ini. Tapi
entah apa yang menguatkan kami, kami pun sanggup menyelesaikan bivak alam ini
dengan baik. Di luar ekspetasi kami yang sebelumnya tidak tahu akan membuat
bivak seperti apa.
Setelah bivak alam selesai, kami pun melakukan pembagian
tugas lagi. Ada yang merapikan dan menyiapkan bagian bawah bivak untuk tempat
beristirahat kami, ada pula yang memulai untuk memasak makan malam. Setelah tim
yang merapikan bagian bawah bivak selesai, kami bergabung dengan tim yang
memasak di dekat tenda tempat kami menyimpan carrier. Seolah hadiah dari kerja keras kami seharian ini, makan
malam hari itu sungguh mewah. Kami menikmati ikan, ayam bakar, tumis udang,
sayur kangkung, dan beberapa lauk lainnya didampingi dengan energen yang begitu
hangat. Dua jempol untuk para penanggung jawab konsumsi, khusunya Izzat yang dikenal
memang handal dalam memasak. Makan
bersama memang selalu terasa enak, apalagi bersama orang-orang yang telah
berlelah-lelah bersama.
Setelah selesai makan, kami menuju bivak buatan kami
sebelumnya untuk melakukan evaluasi harian bersama pengurus Gandewa. Malam itu,
seperti biasa, caang mengeluarkan segala unek-uneknya dan menjelaskan kondisi
kesehatannya. Sedangkan pengurus mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang
dilakukan oleh kami dan mengapresiasi apa-apa yang dianggap baik yang telah kami lakukan.
Mengetahui bahwa kami belum berganti baju sejak siang,
sebelum tidur kami pun diinstruksikan untuk segera berganti baju sebelum tidur.
Setelah berganti baju, sebagian caang ada yang sholat. Kami solat di bivak alam
yang kami buat di bagian tas. Butuh perjuangan juga untuk sholat kali ini
karena lahan yang kami gunakan miring sempurna.
Setelah semua selesai membersihkan diri dan sholat, kami
bergegas tidur. Bivak atas ditempati oleh Saya, Amel, Kamal, Nadila, Danti, dan
Izzat. Sementara bivak bawah ditempati oleh Hari, Bimo, Kautsar, Nadya, dan
Rima. Walaupun bivak berhasil dibuat, bukan tanpa perjuangan untuk bisa tidur
dengan baik di masing-masing bivak. Bivak bagian atas merupakan turunan yang
cukup curam. Beberapa orang yang tidur di bivak atas harus tidur dengan kondisi
menahan kakinya di tanah agar badannya tidak merosot menghantam kepala
orang-orang yang tidur di bivak bawah. Di sisi lain, orang-orang yang tidur di
bivak bawah harus menjaga gerakan tidurnya karena mereka benar-benar tidur menghadap
jurang dan hanya dibatasi oleh beberapa batang pohon yang diikat tali rafia
sebagai penjaga.
Sebelum tidur, kami pun berdoa bersama semoga malam ini
cerah dan tidak hujan. Berhasil membuat bivak bukan berarti berhasil selamat
dari ancaman ketika hujan tiba-tiba mengguyur karena iami sadar bivak yang kami
buat tidak memenuhi standar untuk sebagai tempat berlindung. Walaupun begitu, di
dalam sleeping bag masing-masing, pada akhirnya lelahlah yang membawa kami
untuk segera tidur dan tidak memedulikan dimana kami dan dengan posisi apa kami
tidur sekarang.
(bersambung, lagi...)