Semester ini gw ngambil mata kuliah kuliah Psikologi Pendidikan dan Karir. Minggu lalu, salah satu tugasnya adalah learning from others. Kami diminta untuk mewawancarai seseorang dengan karir yang sesuai dengan rencana karir kami. Wawancara ini dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas apa hal-hal yang dibutuhkan dan dilakukan di karir yang kami pilih. Salah satu rencana karir gw adalah menjadi penulis. Nama Chntya Febrina pun melintas cepat di kepala gw saat gw mendapatkan tugas ini.
Chntya Febrina Maharani, atau yang akrab disapa Chyn, adalah teman satu angkatan gw di SMA. Saat ini, Chntya sedang menyelesaikan tingkat akhirnya di jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI angkatan 2010. Kenapa Chntya? Gw jarang ketemu Chntya selama di UI. Sekali-kalinya gw dipertemukan dengan Chntya di BKUI 13. Sekalinya kemarin ketemu lagi bersama anak anak RGTT (Rakit Bambu Gos To Toga), Chntya datang dengan dua karyanya yang sudah duduk manis di lemari Toko Buku Gramedia. Dua buah novelnya berhasil masuk industri penulisan Indonesia. Novel berjudul Stasiun dan Bumi.
Ribut lah gw nanya nanya ke Chntya. Sejak kapan Chntya suka nulis. Kapan nulisnya. Kok tiba-tiba. Dan pertanyaan-pertanyaan gak terima lainnya karena yang judulnya pengen nulis buku adalah gw tapi Chntya duluan yang udah punya buku, haha.
Sejalan dengan tugas yang gw dapatkan, akhirnya gw meminta Chntya untuk menjadi narasumber gw di tugas ini. Chntya cerita banyak. Gw pun dapat banyak fakta. Tentang Chntya yang menulis sejak jaman SD. Memutuskan serius untuk menulis dari SMA (yang gw gak terima karena gw gak tahu, haha :p). Dan berhasil pelan-pelan menjejak mimpinya di penguhujung periode mahasiswanya.
Tentang fakta bahwa gak pernah benar-benar ada resep untuk menulis. Semua orang bisa menulis. Yang membedakan penulis dengan orang lain adalah niatnya, Tuth. Sekali lagi membuat gw percaya dengan kekuatan niat. Chntya, berhasil menyelesaikan bukunya yang kedua, Bumi, hanya dalam waktu 3 bulan.
Bumi adalah salah satu novel Chntya yang sudah gw baca. Bertajuk persahabatan yang sukses menampar gw pelan-pelan. Insight utamanya adalah ketika lw mengaku-aku orang lain sebagai sahabat lw, memperlihatkan kedekatan itu dengan foto bersama dan mengunggahnya di media sosial, padahal faktanya, lw gak pernah benar-benar tahu siapa orang yang lw aku-akau sebagai sahabat lw itu. Lw gak pernah benar-benar tahu masalah apa yang sedang orang-yang-lw-aku-sebagai-sahabat-lw itu hadapi.
Gw gak terlalu suka sama novel semacam teenlit. Awalnya gw mengira bukunya Chyn semcam teenlit. Ternyata bukan. Bukan sama sekali. Novelnya pake riset. Bahkan mengangkat isu besar seperti LGBT.
Gw : Chyn, gimana pendapat Chntya tentang penulis hebat yang hidupnya gak pernah lurus-lurus aja?
Chntya menjawab dengan jawaban yang gak pernah gw sangka. Dengan cerita yang membenarkan
penghiburan diri gw yang hebat.
Tentang masa-masa berat yang pernah Chntya alami, berpengaruh besar terhadap tulisannya.
Chntya : Kita hanya sanggup menceritakan kejadian di tulisan kita dengan emosi yang otentik ketika kita pernah melihat, mendengar, dan merasakannya sendiri, Tuth. Itu mengapa mungkin penulis hebat ditakdirkan punya jalan hidup yang gak lurus-lurus aja.
Gw, Chntya, Gedung H Fakultas Psikologi UI
***
Berminggu-minggu setelahnya, bersama PI-BPH BEM Psikologi UI gw rapat penentuan anak magang yang merupakan rangkaian terakhir di PDKM (Pelatihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa). Penentuan ini didasarkan pada penialaian kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatifnya dipaparkan di depan dengan menggunakan proyektor untuk dilihat bersama.
Sore itu gw lagi super suntuk. Urusan LPJ Keuangan di dua bulan terakhir ini sungguh menguras tenaga. Ketika mata gw gak sengaja melihat daftar penilaian kuantitatif di depan layar, tiba-tiba gw tersenyum melihat nama yang ada di urutan pertama. Nama tersebut memiliki nilai tertinggi dengan kepala nilai yang berbeda sendiri dengan kepala nilai di bawahnya. Gw refleks melihat Murai. Melempar senyum. Sama-sama tahu apa yang ada di kepala tanpa harus berkata-kata. Suntuknya hilang dalam sekejap.
Sekian detik kemudian, gw gak sengaja beradu tatap dengan Abang. Abang tersenyum penuh penghargaan.
Abang : Tuth, standar nilai anak SMANSA segini ya?
Gw mengangguk. Anak SMANSA kalau udah memutuskan melakukan sesuatu pake hati, urusannya memang jadi begini, Bang.
Selamat untuk peserta terbaik PDKM dear,
Denvi Giovanita
Denvi, Gw, Pusat Studi Jepang FIB, Grand Closing PDKM 2013
Di rangkaian Grand Closing PDKM juga terdapat talkshow mengenai kepemimpinan transformational. Menghadirkan pembicara yang salah satunya adalah alumni Psikologi, namanya Kak Anggun. Beliau pernah menjabat menjadi pengurus inti BEM Psikologi UI dan salah satu penggagas komunitas Terminal Hujan. Terminal Hujan?
Gw yang lagi berkutat dengan urusan LPJ keuangan, tiba-tiba disenggol Abang di sebelah.
Abang : Tut, alumni SMAN 1 juga?
Hah? Persis saat Abang menyenggol gw, gw menatap layar yang berisi CV Kak Anggun. Persis di bagian Senior High School tertulis : SMAN 1 Bogor.
Kak Anggun bercerita tentang Terminal Hujan. Komunitas yang bergerak di bidang pengajaran yang diperuntukkan bagi anak-anak di daerah Terminal Baranangsiang. Mendengarkan proses pembentukannya, apa yang dilakukan di komunitas tersebut, dan kondisinya saat ini.
Kondisi Terminal Hujan saat ini dikatakan kritis. Terminal Hujan sedang menghadapi tantangan besar karena orang-orang yang membangun Terminal Hujan dari dalam sedang menghadapi tugas perkembangannya masing-masing. Tuntutan dan godaan untuk bekerja di tempat yang lebih baik secara finansial, untuk segera menikah, berkeluarga, menjadi sebuah tantangan besar yang bersinggungan dengan komitmen membangun Terminal Hujan ini.
Selesai talkshow, gw menghampiri Teh Anggun. Berkenalan. Perkenalan singkat tentang sama-sama mashsiswa SMANSA-Psikologi, dengan gw yang tumbuh di OSIS dan Teh Anggun di MPK, dan sama-sama pernah menjadi pengurus inti BEM Psikologi, membuat gw refleks memanggilnya dengan Teteh yang kemudian dilanjutkan dengan percakapan bahasa Sunda yang super menyenangkan untuk menjadi pertemuan kali pertama.
Bertukar kabar tentang kondisi masing-masing, tentang SMANSA, tentang Psikologi, dan tentang Terminal Hujan, hingga berujung untuk saling mengabari lagi di lain kesempatan.
Gw : Teh, kapan-kapan Tuti boleh ngajar di Terminal Hujan?
Keinginan gw disambut hangat dan antusisas oleh Teh Anggun. Pertemuan pun ditutup dengan berjanji saling mengabari. Teh Anggun memeluk gw. Hangat. Seperti ketemu kakak lagi setelah sekian lama tidak bertemu.
***
Kemarin, di tengah Psikologi Seminar yang merupakan program kerja pamungkas Biro Danus, gw menyempatkan diri mampir di pelantikan Pengajar Gerakan UI Mengajar (GUIM) angkatan 3. Tadinya gak merencanakan untuk hadir karena harus mendampingi Danus. Tapi melihat seminar berjalan lancar dan sekalian gw menjemput Devinsa sang PO Seminar yang sedang dilantik juga sebagai salah satu pengajar, gw menyempatkan mampir.
Gw hadir saat seminar nyaris berakhir. Seminar dilanjutkan dengan perkenalan 36 pengajar GUIM 3 dan persembahan dari pengajar.
Tuhan, saya rindu. Entah GUIM nya, entah mengajarnya, entah anak-anaknya. Tapi saya rindu.
Sampai akhirnya tiba di persembahan 36 pengajar. Para pengajar membacakan puisi dan menyanyikan sebuah lagu. Sambil bernyanyi mereka membawa sebuah bunga. Di tengah tengah lagu, bunga yang dibawanya diberikan kepada orang yang dianggap istimewa untuk mereka sebagai ucapan terima kasih.
Tiba-tiba seorang pengajar menghampiri gw sambil menyodorkan bunga mawar putih.
Uceng : Teh, ini buat teteh. Terima kasih ya, Teh.
Emang dasarnya anaknya cengeng dan gak pernah dikasih bunga selama 21 tahun hidup, sekalinya dikasih bunga mau nangis lah. Hahaha.
Ese : Teteh itu bunga dari siapa?
Dari Uceng. Salah satu adik gw yang suka ceceritaan sama gw dari SMA. Kaget banget dia ngasih bunga ke gw. Sampai gw tahu alasannya setelah Uceng menjawab pertanyaan gw.
Uceng : Karena jawaban teteh setahun yang lalu, gw dapat berdiri di sana.
Terima kasih untuk bunganya, Ceng. Boleh minta satu hal? Ngajarnya pake hati, ya :)
Gw, Uceng, Pelantikan Pengajar GUIM angkatan 3
***
Obed : Teh, anak SMANSA itu pada lu apain sih?
Mungkin yang paling bertanggung jawab adalah hymne SMA kami, Bed. Mungkin liriknya yang harus disalahkan untuk semua urusan ini.