Terpapar dengan romantisme ketulusan di
setiap detiknya, di setiap menjejak langkah, sukses membuat gw gagal berespon
untuk berbagai jenis ketulusan selain dengan sebuah senyuman.
Selain dengan sebuah kesyukuran.
Kak Shally : Karena kita ingin menunjukkan apa yang bisa kita lakukan bersama mereka, bukan tentang melulu terjebak dengan romantisme keterbatasan mereka.
Gw anaknya gampang terharu. Kalau bukan karena kalimat dari Kak Shally, pengajar muda Indonesia Mengajar angkatan 2, yang berputar-putar di kepala gw selama 23 hari lalu, gw udah nangis entah berapa kali mungkin karena berbagai bentuk keterbatasan, ketulusan, dan kesyukuran.
Iya. Tentang apa yang bisa gw lakukan untuk dan bersama mereka. Bukan tentang keterbatasan mereka.
Akhirnya, 23 hari kemarin, setiap bangun pagi, setiap pergerakan langkah, setiap perpindahan, selalu diiringi dengan pertanyaan-pertanyaan, "Setelah ini apa lagi?", "Setelah ini bisa ngasih apa lagi?", "Setelah ini mereka harus mengetahui dan mengerti apa lagi?", "Setelah ini mereka bisa apa lagi?" demi menolak mentah-mentah dalam jebakan romantisme keterbatasan
Walau akhirnya, tangis itu pun tak bisa dibendung. Pecah dalam bentuk sejadi-jadinya, di H-2 kepulangan ke Jakarta.
Hari itu, kondisi kelas se-chaos itu. Anak-anak tidak mau diatur. Diajak latihan drama untuk pentas seni tidak mau. Diajak bernyanyi malah merajuk. Mereka berlari kesana kemari. Bergelantungan di bawah meja. Tidur-tiduran diatas meja. Biasanya gw yang tiba-tiba diam di depan kelas sambil tersenyum cukup ampuh mendiamkan mereka. Ini tidak. Mereka tidak memedulikan apa yang gw katakan. Yang mereka pedulikan cuma satu. Countdown di papan tulis yang tertulis H-2 yang telah mereka ganti menjadi H-21.
Gw melihat kondisi kelas lain. Sama. Suasana kepulangan ini sungguh membuat mereka tidak nyaman. Menganggap ini bagian dari pelampiasan emosi mereka, untuk pertama kali gw menyerah menghadapi kelas. Gw meminta tolong kepada Kak Ara untuk mengambil alih kelas. Gw keluar kelas untuk menyelesaikan tugas yang bisa gw selesaikan. Gw ke ruang guru mengajak salah satu anak gw untuk memberitahukan bahwa ia mendapatkan beasiswa. Namanya Kadiman.
Kadiman, pemimpin pasukan yang paling kanan
Kadiman adalah salah satu dari sebelas anak gw di kelas 5. Sebenarnya Kadiman bukan yang paling bersinar di kelas. Ada Susan yang jauh lebih bersinar dari dirinya. Susan murid paling cerdas di kelas yang mampu mengerjakan soal ulangan selama 10 menit ketika teman-temannya butuh waktu satu jam untuk mengerjakannya. Tapi yang paling membedakannya dengan Susan, ilmu yang dia miliki tidak hanya untuk dirinya sendiri. Susan menjadi paling bersinar karena ia bisa di saat teman-teman yang lain tidak bisa, tetapi ia tidak membaginya dengan teman lainnya. Bisa nya hanya untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Kadiman yang ketika bisa mengerjakan soal, ia berbagi dan mengajarkan kepada teman-temannya. Bisa nya ia bagi dengan teman-temannya.
Kadiman dan hasil karyanya
Berdasarkan pertimbangan status ekonomi keluarga, prestasi di kelas, motivasi belajar, dukungan keluarga, dan budi pekertinya, gw memilih Kadiman menjadi yang lebih berhak mendapatkan beasiswa. Beasiswa ini diberikan oleh sponsor Gerakan UI Mengajar Angkatan 2 yang akan membantu siswa yang mendapatkannya untuk bebas biaya sekolah sampai jenjang SMA.
Gw duduk berhadapan dengan Kadiman di ruang guru. Pelan-pelan gw menjelaskan bahwa ia mendapatkan beasiswa. Gw jelaskan apa pertimbangannya. Apa alasannya. Beasiswanya berbentuk apa. Dan memintanya untuk membawa rapotnya besok sebagai salah satu persyaratan.
Mendadak Kadiman menangis.
Gw sesak.
Dibandingkan dengan anak-anak lainnya di kelas 5, khususnya anak laki-laki di kelas 5, Kadiman berbeda. Ketika anak-anak lain masih sering gelayutan kepada gw, ketika anak anak lain senang rambutnya gw acak-acak, dan ketika anak-anak lain membalas rangkulan gw. Kadiman tidak. Kadiman hanya tersenyum dan seolah ingin berkata bahwa ia anak laki-laki yang sudah besar. Dia tidak nyaman diperlakukan seperti itu. Bahkan ketika anak laki-laki lain menangis saat mengungkit masalah kepulangan, Kadiman masih bertahan dengan senyumnya. Tanpa raut wajah sedih sedikitpun. Iya, Kadiman berbeda. Membuat gw pada akhirnya pun memutuskan untuk memperlakukannya dengan cara berbeda.
Tapi hari itu, Kadiman menangis di hadapan gw. Ia memalingkan wajahnya dari gw. Sibuk memainkan kawat yang ada di tangan kanannya sambil mengusap-usap matanya dengan tangan kirinya berusaha menghentikan air matanya. Tanpa terlihat cengeng sedikitpun. Gw sesak. Tambah sesak lagi, tangisan itu tidak terlihat seperti tangisan terharu.
Gw : Kadiman kenapa? Ibu ada salah sama Kadiman?
Kadiman : (menggeleng)
Gw : Ibu salah ngomong ya?
Kadiman : (diam)
Kadiman masih dengan posisi yang sama. Memalingkan wajahnya dari gw. Sibuk memainkan kawat yang ada di tangan kanannya sambil mengusap-usap matanya dengan tangan kirinya berusaha menghentikan air matanya. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Pertanyaan demi pertanyaan pun gw lontarkan demi membuatnya berbicara. Bahkan pertanyaan iya atau tidak pun tidak dijawab dengan anggukan atau gelengan kepala.
Allah... kamu kenapa, Nak?
Setengah jam tidak ada percakapan yang berarti. Gw diam. Memerhatikan Kadiman. Pelan-pelan ikut menangis. Siapa juga yang tahan melihat seorang anak yang biasanya tersenyum manis kepada gw saat ini tiba-tiba menangis dan tidak mau berbicara kepada gw? Siapa juga yang tidak menangis ketika melihat anak yang pernah menulis di sebuah kertas, "Kadiman tidak boleh sedih. Soalnya nanti Ibu Tuti ikut sedih. Khan anaknya Bu Tuti harus selalu senang", saat ini benar benar menangis di hadapan gw? Beberapa kali gw menengadahkan kepala. Sambil berusaha menyederhanakan pertanyaan.
Gw : Kadiman, beasiswa ini dikasih untuk anak-anak yang semangat dan mau ngelanjutin sekolah sampai SMA. Ibunya Kadiman khan udah ngedukung Kadiman sampai SMA. Kadiman mau khan ya ngelanjutin sampai SMA?
Air mata Kadiman saat itu makin deras. Bersamaan dengan itu, sambil terbata-bata sebuah kalimat terlontar dari mulut Kadiman.
Kadiman : Ibu, saya... mau.. sampe... SMP aja...
Suara itu bergetar. Dan tentu saja menyentak gw yang setahu gw Kadiman memiliki motivasi belajar yang tinggi dan keluarga yang mendukung pendidikannya seterbatas apapun kondisi keluarganya.
Gw : Ibu boleh tau kenapa Kadiman mau sampai SMP aja?
Tangisnya makin deras. Gw mencoba merangkul Kadiman. Rangkulan gw ditepisnya. Ia masih memalingkan muka sambil sibuk menghapus air matanya yang menderas.
Allah... Kamu kenapa, Nak? Kamu kenapa?
Setengah jam selanjutnya gw habiskan untuk melontarkan pertanyaan lagi. Berharap ia mau menjelaskan alasannya. Pertanyaan-pertanyaan gw tidak digubrisnya. Hanya kalimat yang sama yang berulang ulang ia keluarkan.
Kadiman : Saya mau sampai SMP aja, Bu. Saya mau sampe SMP aja, Bu.
Kalimat itu masih terbata. Tangisannya menderas. Gw hampir menyerah. Gw ikut menangis.
Gw : Kadiman, Ibu boleh tau alasannya kenapa? Kalau Kadiman gak mau ngomong sama Ibu, Ibu sedih Kadiman...
Gw mulai menangis. Kadiman masih memalingkan muka. Gw menatap lekat-lekat tangisannya.
Allah, keadaan ini sungguh tidak menyenangkan.
Tiba-tiba Pak Caca, Kepala SDN Kertaraharja 1 datang.
Pak Caca : Kenapa, Bu?
Gw : Ini Pak. Kadiman saya beritahu kalau ia dapet beasiswa. Tapi mendadak nangis. Mungkin kaget kali ya, Pak?
Pak Caca : Iya, Bu. Mungkin kaget. Saya setuju kalau Kadiman yang dapat beasiswa. Anaknya pinter. Santun. Penurut. Mungkin dia terharu, Bu. Inget sama Bapaknya.
Iya. Mungkin ia ingat Bapaknya. Kadiman anak sulung. Ia punya adik yang bernama Akbar, umurnya tiga tahun. Selain bersama adiknya, ia tinggal bersama ibu dan neneknya yang sudah sepuh. Ibunya terkena epilepsi. Sering sekali kambuh. Dan sering menjadi bahan gunjingan tetangga yang tidak mengerti apa itu epilepsi. Bapaknya meninggal sejak ia kecil. Pernah memiliki Bapak tiri tapi kemudian Bapak dan ibunya bercerai. Iya, mungkin ia ingat Bapaknya. Tapi terharu? Tidak. Itu bukan tangisan terharu.
Sambil menangis gw pun terus bertanya kepada Kadiman. Mencoba meyakinkan bahwa gw tidak akan memaksanya kalau ia hanya ingin meneruskan sampai SMP. Tapi gw ingin tahu mengapa. Apa alasannya.
Setengah jam beralu lagi. Akhirnya sebuah kalimat keluar lagi dari mulut Kadiman.
Kadiman : Saya... gak... mau... jauh.. jauh.. dari.. sini.. Bu...
Air matanya menderas. Di sini, SDN Kertaraharja 1 bersebelahan dengan SMPN 4 Sobang. Sedangkan SMA, jauh berada di kecamatan. Dua jam perjalanan dari sini. Tapi bukan berarti dua jam yang mudah. Barrier tipografi, kenampakan alam, kondisi jalan yang sulit dilalui kendaraan dan tidak bisa dilalui mobil menjadikan desa ini menjadi desa paling terpencil dari kecamatan. Membuat kecamatan menjadi tempat yang begitu jauh untuk dikunjungi anak-anak di sini. Menjadi tempat yang sulit dijejak.
Kondisi jalan di Desa Cipeuti
Dan kalimat Kadiman selanjutnya, menjadi alasan mengapa ia memalingkan muka. Mengapa ia tidak mau berbicara. Dan mengapa ia mau sampai SMP aja.
Kadiman : Saya.. gak mau.. jauh-jauh dari sini, Bu... Saya mau jaga Ibu sama Akbar....
Allahuakbar...
Dan kalimat itu, keluar dari seorang anak laki-laki kelas 5 SD. Anak yang biasanya tersenyum dengan masnisnya. Yang saat ini menangis di depan gw karena.... lebih memilih menjaga keluarganya dibandingkan melanjutkan sekolah di tempat yang jauh.
Allah... maafkan hamba... untuk pertama kalinya, detik itu, hamba merutuki keterbatasan di desa ini.
Air muka Kadiman membaik. Sudah tidak ada air mata yang mengalir. Menyisakan matanya yang masih berkaca-kaca. Seolah melepaskan beban yang sejak tadi dipendamnya. Berbeda dengan gw yang semakin sesak. Ketulusan ini terlalu manis untuk didengar dari seorang anak kelas 5 SD. Kedewasaan ini terlalu indah untuk dimiliki seorang anak kelas 5 SD.
Akhirnya semua ini telah jelas. Sebelum Kadiman melihat ibu gurunya benar-benar meledak karena menangis di hadapannya, gw menutup pembicaraan itu dengan pertanyaan terakhir.
Gw : Kadiman...kalau di sini ada SMA.. Kadiman mau ngelanjutin ke SMA?
Kadiman : (mengangguk perlahan)
Gw : Sekarang Kadiman boleh pulang. Besok rapotnya tetap di bawa yaa.
Kadiman pergi meninggalkan ruang guru tanpa tahu ibu gurunya menangis sejadi-jadinya setelahnya. Urusan ini telah jelas.
Astagfirullahalazim... Astagfirullahalazim...
Gw menangis sesenggukan di pelukan Kak Qori. Merutuki keterbatasan ini. Merutuki semangat yang terbatas oleh jarak dan fasilitas. Merutuki diri sendiri yang bebas bermimpi tapi kadang tak menghargai apa-apa yang telah dimiliki.
Diakhiri sebuah tangisan kesyukuran. Memiliki dan mengenal anak sedewasa ini.
Bersama Kadiman
***
H-1 Kepulangan.
Mengapa waktu cepat berganti
Hingga Ibu Tuti pulang lagi
Padahal kami sangat menyayangi, Ibu Tuti
Tulisan itu tertulis di papan tulis saat gw memasuki
kelas untuk persiapan drama. Tulisan tersebut diakhiri oleh tanda hati. Diikuti
dengan beberapa tanda tangan tanpa nama pemiliknya.
Gw : (tersenyum) siapa yang menulis tulisan di papan tulis?
Angga : Kadiman, Bu!
Gw : (tersenyum)
Yang namanya disebut hanya tersenyum manis sambil mengangkat bahu. Seolah tidak pernah melakukan apa-apa.
Terima kasih sudah menyayangi Ibu, Kadiman. Kejadian kemarin membuat ibu semakin yakin bahwa kamu yang paling berhak mendapatkan beasiswa itu.