Sabtu, 22 Desember 2012

Malaikat Tanpa Sayap

Beberapa minggu lalu, jalur KRL Bogor-Jakarta Kota terhambat. Ada longsor antara stasiun Cilebut dan stasiun Bojong Gede yang menyebabkan salah satu rel rusak dan tidak bisa berfungsi. Dampaknya, hanya ada satu rel yang bisa dipakai dan jadwal kereta dikurangi habis-habisan. Tidak ada kereta yang menuju stasiun Bogor karena medan yang tidak memungkinkan. Setelah masa perbaikan beberapa hari, kereta dengan tujuan akhir stasiun Bogor, dalam sehari hanya bisa  ada 4-5 kereta. Itu juga dengan jadwal yang segitu tentatifnya. Segitu gak pastinya.

Di awal-awal longsor, Stasiun Bojong Gede pun bertransformasi menjadi stasiun akhir menggantikan Stasiun Bogor. Anak Bogor-Depok seperti gw yang masih menyempatkan pulang minimal seminggu sekali ke Bogor pun terkena dampak dari terhambatnya alat transportasi massa ini. Akhirnya, jadi jarang-jarang pulang ke Bogor dan butuh effort yang lumayan kalau harus bener-bener pulang. Harus nyambung-nyambung angkot yang lumayan dalam kondisi Stasiun Bojong yang menjadi macet luar biasa.

Sekali-kalinya gw harus benar-benar pulang, gw gak pernah ngerasain yang namanya bermacet-macet dan bernyambung-nyambung angkot dari Stasiun Bojong Gede. Gak boleh sama Bapak. Bapak lebih milih jauh-jauh jemput anak perempuannya naik motor daripada anaknya nyambung-nyambung angkot.

Hari itu akhirnya pulang. Mau meledak banget bawaannya. Nyampe stasiun Bojong Gede, hujan gede banget, dalam kondisi nunggu di pinggir jalan yang gak gede dan sedang macet semacet-macetnya dan penuh teriakan-teriakan dan klakson orang-orang gak sabar.

Tapi gak jadi meledak waktu ngeliat Bapak dari jauh sambil dadah-dadahin gw dari jauh. Memastikan gw melihat Bapak dan memastikan Bapak sebentar lagi nyampe. Masih sabar bermacet-macet sambil pake jas hujan yang udah bolong-bolong buat jemput anak perempuannya.

Allah, apa hak saya untuk meledak setelah ini?

Hari Selasanya gw kembali ke Depok. Hari itu, sudah ada kereta yang berangkat dari Bogor. Tapi kereta menuju Bogor masih terbatas. Stasiun Bojong Gede masih bertugas sebagai stasiun akhir. Dengan cerdasnya, sampai di Stasiun UI baru sadar bahwa Lappy (baca : nama laptop gw) lengkap dengan chargernya dan tugas di dalamnya yang harus dikumpulkan besok tertinggal di rumah. Dengan berat hati, karena sedang gak memungkinkan untuk pulang ke Bogor lagi, minta tolong Bapak anterin ke Stasiun Bojong Gede yang kemudain akan gw ambil setelah kelas jam 16.00.

Setelah Zuhur, Bapak nelpon.
Bapak : Icha, di mana?
Gw : Icha lagi di kampus, Pak. Kenapa, Pak? Laptopnya khan nanti Icha ambil sore.
Bapak : Ini Bapak udah di depan.
Gw : Depan? Depan mana, Pak?
Bapak : Depan Fakultas Psikologi.
Allah...

Harusnya kecerobohan gw yang sudah di tahap keterlaluan ini didampingi sebuah peringatan, bukan sebuah pertanyaan..
Bapak : Ada lagi gak yang ketinggalan? Biar nanti Bapak anterin.
Minggu ini long weekend. Jadwal kereta sudah kembali normal. Gw berhenti di stasiun Bogor. Bapak pun masih lebih rela hujan-hujanan jemput anaknya di stasiun daripada anaknya harus naik angkot sendiri walaupun cuma satu kali.

Hari pertama pulang, gw langsung diajak ke toko tani di Pasar Anyar. Gw diajak buat beli sepatu boots buat di Pandeglang. Gw bilang nanti aja. Biar gw nabung dulu. Bapak bilang sekarang aja. Nanti-nanti belum tentu sempet.

Allah... hamba gak pernah minta.

Hari kedua, gw diajak ke optik langganan Bapak di depan Kebun Raya. Ngeliat ada yang aneh dengan kacamata anak perempuannya yang ditambal pake doubletip, gw disuruh ganti kacamata. Gw bilang nanti aja. Biar gw nabung dulu. Bapak bilang sekarang aja. Nanti-nanti belum tentu sempet.

Allah.. hamba gak pernah minta.

Bapak sekarang udah pensiun. Bapak banyak berubah. Gak banyak berkegiatan lagi. Kondisi finansial Bapak dan keluarga pun banyak beruabah. Bapak juga jadi sering marah-marah. Marah-marah dengan intensitas dan alasan yang gak wajar. Dosen gw bilang itu disebut dengan post power syndrom. Gw berusaha paham. Gw berusaha memaklumi. Tapi egoisnya gw kadang mendominasi. Kadang gak cukup kuat untuk menghadapi perubahan Bapak. Kadang gak cukup sabar untuk memberi banyak penjelasan. Kadang gak cukup mau untuk menerima perubahan.

Egoisnya gw bikin lupa bahwa sebenernya ada satu hal yang gak pernah berubah. Bahwa bagi Bapak, anak perempuannya masih jadi prioritas utamanya. Apapun kondisinya.
Ibu : Kamu tahu, Bapak sekarang cuma nerima uang pensiunan yang gak seberapa. Dan semua uang pensiunannya cuma buat kamu.
Setiap pagi Bapak selalu nelpon anak perempuannya. Memastikan anak perempuannya sholat subuh tepat waktu. Setiap malam, Bapak selalu nelpon anak perempuannya. Memastikan bahwa anak perempuannya sudah berada di kostan dan tidak pulang larut malam. Setiap minggu, selalu ada pulsa sebesar 20.000 masuk ke handphone gw. Pulsa yang selalu diiringi telpon setelahnya,
Bapak : Bapak barusan ngisi pulsa, keterima gak?
Egoisnya gw kadang gak bisa memaknai semua perhatian ini. Egoisnya gw kadang teriak kalau sekarang gw bukan anak kecil lagi. Egoisnya gw kadang menutup pemahaman bahwa malaikat, akan tetap menjadi malaikat walaupun wujudnya tak secemerlang sebelumnya.

Suatu malam, Rj nyuruh gw nonton film Malaikat Tanpa Sayap. Thanks Je, untuk segitu taunya kenapa gw harus nonton film ini.

Maaf untuk sempat jarang pulang. Maaf untuk menuntut kepercayaan yang jelas-jelas sudah diberikan dalam bentuk yang berbeda. Maaf untuk kekecewaan yang tak pernah ditunjukkan. Dan.. maaf untuk menolak tahu bahwa ada satu hal yang sampai kapanpun, gak akan pernah berubah. Bahwa doa dan keringat itu, masih akan selalu untuk anak perempuannya.


Terima kasih, Pak. Untuk selalu jadi juaranya :')

7 komentar:

ririn mengatakan...

sumpah, sampai nangis lho bacanya...

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@ririn : :)

Unknown mengatakan...

Waah iya mba tuti, terharu bacanya. Bersyukur masih bisa merasakan kehadirannya :)

ta.tan.ia mengatakan...

tuti ini manis sekali :)

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@ ririn : terima kasih sudah membaca :)

@nila : *hug nila*

@teh tatan : :')

Hastin Melur Maharti mengatakan...

teh..nangis nih jadinya :') aku juga merasakan pengalaman dan perasaan yang sama seperti teh tuti..

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@hastin : :)