Rabu, 9 Januari 2013
Kantor Kecamatan Sobang.
Pagi itu hujan. Gerimis lebih tepatnya. Tiga bus dan satu minibus
berwarna biru bersusah payah untuk parkir di depan kantor kecamatan Sobang.
Susah karena jalan yang tidak terlalu lebar. Hanya sepelemparan batu antara
sisi satu dengan sisi lainnya. Susah karena jalan ini bukan aspal yang tak
bergeming dihantam tetesan hujan. Jalan ini tanah. Menjerembabkan banyak
langkah yang tak biasa menjejak.
Di salah satu bus yang sedang bersusah payah memposisikan tubuh
besarnya, gw duduk bersandar di kursi. Menyangga kepala pada salah satu jendela
kaca. Mengerjap ngerjapkan mata. Mengumpulkan nyawa. Mengusir jauh jauh dingin
akibat perpaduan AC dan hujan yang membungkus. Menggerak gerakan badan
sekenanya. Kembali bersandar sambil menghitung hitung posisi di mana gw berada
sekarang.
Di sebelah kanan dan kiri gw terdapat dua buah bangunan. Satu
persamaannya. Sama sama memiliki tiang bendera. Tapi bangunan sebelah kanan
bertuliskan SD Negeri 1 Sobang sedangkan bangunan yang kiri bertuliskan kantor
Kecamatan Sobang.
Iya. Kita telah sampai. Di titik
di mana setelah ini, masing masing dari kita akan berjuang di tempat masing
masing.
Kawan, mari gw ajak untuk membayangkan di mana letak kecamatan
Sobang. Kecamatan ini masih berada di pulau yang konon menjadi pulau paling
padat di Indonesia, Pulau Jawa. Tau provinsi yang paling baru terbentuk di
pulau ini? Yap. Kecamatan ini berada di Provinsi Banten. Provinsi di sebelah
barat Provinsi Jawa Barat. Layaknya provinsi yang banyak terdiri dari kota dan
kabupaten, begitu juga dengan Banten. Salah satu kabupaten yang ada di Banten
adalah Kabupaten Pandeglang. Kalau kita pernah belajar bahwa kabupaten/kota
terdiri dari kecamatan-kecamatan, Sobang salah satu kecamatan yang ada di
kabupaten pandeglang. Dan di sinilah kami berada sekarang.
Tapi kehidupan tidak hanya berhenti sampai di Kecamatan Sobang
kawan. Tiap kecamatan bisa terdiri dari desa-desa. Dan, di Desa Cipeuti, salah
satu desa yang berada di Kecamatan Sobang, gw bersama 14 orang lainnya berjuang
untuk menghidupi kehidupan.
Sungguh kawan, di desa itu ada kehidupan. Sayangnya, dalam
kehidupan yang sederhana itu, tidak banyak yang tau bawa mereka memiliki
kehidupan yang lebih besar dibandingkan hanya besarnya jarak antara
Cipeuti-Sobang. Sama seperti di kemudian hari, gw mengetahui bahwa anak anak gw
tidak mengetahui bahwa dirinya tinggal di Provinsi Banten, di Pulau Jawa, yang
menjadi bagian dari gugusan pulau di Indonesia.
Posisi gw masih sama. Duduk bersandar di kursi. Menyangga
kepala pada salah satu jendela kaca. Hujan menderas. Satu dua warna
warni bermunculan di tengah hantaman hujan. Bukan. Bukan pelangi. Warna warna
ini tidak melengkung membentuk setengah lingkaran. Warna warna ini bergerak
beriringan bak semut yang sedang berjalan.
Itu warna payung, warna seragam, dan warna sepatu boots anak-anak
SD yang beriringan menuju sekolah. Bangunan di bagian kiri posisi gw. Iya, sekarang sekolahnya berada di sebelah kiri gw. Busnya sudah memutar, dengan susah payah. Payungnya
sungguh besar kawan. Jangan bayangkan payung mereka adalah payung payung lipat
macam kita yang bisa masuk ke dalam tas. Di sini tidak tren payung macam itu.
Sepatu? Aah, di sini juga tidak tren sepatu crocs. Sepatu crocs yang menjadi
primadona di musim hujan karena gampang dicuci kalau kotor masih kalah pamor
dengan sepatu boots di sini. Aah, di sini boots lebih menjanjikan. Selain
mudah dicuci, bonus tidak akan kena kotor sampai betis. Satu dua dari mereka
begitu repot sekali. Satu tangan memegang payung, tangan lainnya menjinjing
sepatu yang dibungkus plastik. Sepatu non boots yang akan mereka kenakan
sesampainya di sekolah.
Gw memperbaiki posisi duduk. Sambutan ini sungguh menyenangkan. Di
kemudian hari, pemandangan ini akan begitu familiar buat gw. Tentang budaya
tidak peduli. Tidak peduli hujan menderas dalam intensitas yang besar. Tidak
peduli harus membawa dua sepatu. Tidak peduli dengan medan yang tidak
benar-benar bersahabat untuk menjejak. Yang penting, kaki ini harus menjejak ke
sekolah. Dan di kemudian hari, gw mengetahui. Ini tentang kekuatan habituasi.
Gw nyengir. Halo Tuti. Malukah kau untuk banyak menggunakan jatah
bolos kuliah hanya karena alasan-alasan... badannya lagi ngedrop?
Satu satu iring-iringan warna warni itu memasuki gerbang sekolah.
Payung-payung yang mengembang itu seketika menutup. Berganti dengan jejeran
payung besar yang menggantung di jendela dan pintu kelas. Berbanding terbalik
dengan ada yang antusiasme yang ada di dalam bis-bis berwarna biru yang
terparkir di depannya.
Antusisme ini mengembang. Sempurna meluap. Segala kebahagiaan,
keriangan, kecemasan, dan kekhawatiran mendobrak masuk. Mendesak tak
tertahankan. Bahkan luapan air hujan yang membanjiri kantor kecamatan di malam
harinya, tidak benar-benar sanggup membendung antusiasme ini.
Warga : Iya neng. Ini teh baru pertama kali banjir
sampai kayak gini di sini. Kebetulan pas mahasiswa lagi dateng.
Dan luapan
antusiasme ini, dimulai...