Senin, 05 November 2012

Like Stars On Earth

Hari Rabu kemarin, pagi-pagi mata gw panas dan bengkak. Capek nangis gw semaleman. Hey, Muhammad Ryan Junaldi! Lw harus bertanggung jawab atas bengkaknya mata gw! Pagi-paginya, Rj ngasih gw sebuah film. Judulnya (dalam bahasa india) Taare Zameen Par. Katanya film yang ada unsur Psikologinya. Gw disuruh nonton sama Rj. Dia pengen denger tanggepan gw sebagai anak Psikologi.

(gambar dari sini)

Film yang disutradarai oleh Aamir Khan ini adalah film India yang bercerita tentang anak dengan dyslexia. Ichsan diceritakan sebagai anak dengan kesulitan membaca dan menulis karena adanya gangguan di otak yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengenali dan memproses simbol-simbol tertentu. 

Selama nonton, nangis gw aduhai banget. Gw sering nangis kalau lagi nonton film, tapi gw jarang banget nangis sampe pake tisu. Biasanya nangisnya cuma sampe di sudut mata, berlinang sekali dua kali di pipi, terus gw hapus. Lah ini? Baru pertama kali loh gw nangis sambil ngabisin satu pak tisu di kamar kostan gw. Satu lagi yang makin bikin gw gak paham bisa sampai nangis se-aduhai itu, film yang gw tonton itu bahasa India dan tanpa subtitle apapun sebenarnya.

Gw belajar tentang psikologi perkembangan. Gw belajar tentang anak luar biasa yang salah satu di dalamnya adalah tentang anak dyslexia. Gw belajar tentang sibling relationship, tentang pola asuh orangtua, tentang labelling, tentang how to be an effective teacher, tentang friendship, tentang theory multiple intelligence, dan tentang apa-apa yang disampaikan dari hati, sampainya akan ke hati juga. 

Gw bisa nangis se-aduhai itu, gw rasa karena semua materi itu seolah dirangkum jadi satu dan dirubah dalam bentuk visual. Gw benar-benar ditunjukkan gimana sih rasa ingin tahunya anak kelas 3 SD, gimana anak dengan dyslexia melihat tulisan dan angka-angka yang ada di hadapannya, gimana tentang dukungan seorang saudara kandung kepada saudara lainnya, gimana dampak pola asuh orangtua authoritarian, gimana seorang guru menyentuh anak-anaknya dengan hati dan dampaknya ke anak-anaknya, gimana tentang seorang teman yang peduli dengan keterbatasan temannya, dan gimana setiap anak itu spesial, punya kecerdasannya masing-masing yang gak melulu hanya tentang kecerdasan verbal dan matematika. 

Gw nangis karena ternyata apa yang gw tahu tentang apa yang dianggap baik benar-benar divisualisasikan berdampak baik. Dan tentang apa yang dianggap tidak baik benar-benar divisualisasikan berdampak tidak baik.

Satu scene yang paling membuat gw mengambil tisu dengan intensitas yang tinggi adalah ketika Ichsan mengalami depresi. Ketidakmampuannya untuk membaca dan menulis membuatnya di-label sebagai anak yang malas, nakal, bodoh, bahkan gila oleh ayah, guru, dan teman-temannya. Dampaknya, ia hanya diam, melamun, dan berkutat dengan dirinya sendiri. Gw nangis karena gw tahu yang namanya diam, melamun, dan berkutat dengan diri sendiri karena dirundung masalah itu, se-capek itu. Se-menyakitkan itu. Membunuh kesempatan seseorang untuk bisa bergabung dengan dunia sekitarnya. Menghilangkan keceriaan dan produktifitas seseorang untuk berkarya. Apalagi, hal ini dialami oleh anak kelas 3 SD. Dan di film ini, gw makin ngerasa kalau labelling itu, ternyata memang bisa se-jahat itu.

Nangis gw makin kejer karena ditambah lagi, sehari sebelumnya, gw memang benar-benar diperlihatkan bahwa labelling, memang benar-benar bisa se-jahat itu.

***

Selasa, 30 Oktober 2012

Selamat pagi, Bogor.
Pagi ini, gw lagi di SD tempat Ibu menjadi kepala sekolah. Tepatnya, di sebelah SD gw dulu. Dikasih kesempatan untuk mengikuti seleksi simulasi mengajar GUIM angkatan 2, membuat gw meminta izin kepada Ibu buat praktik ngajar di sekolahnya buat persiapan simulasi hari Jumat besok. Mengingat gw segitu lamanya gak bersinggungan dengan urusan manajemen kelas.

Gw meminta izin mengajar kelas 5, mata pelajaran Bahasa Indonesia, materi membaca puisi. Kebetulan, guru kelas 5 sedang tidak hadir. Gw yang hanya berencana mengajar 35 menit, bablas menjadi 90 menit. Praktik ngajar hari ini pun pada akhirnya bukan sekedar urusan persiapan simulasi, tapi berujung pada urusan meletakkan hati. Karena memutuskan untuk meletakkan hati, berurusan dengan waktu yang tak sebentar bukan? :)

Gw ke sekolah Ibu bersama Icha. Awalnya, gw mau praktik ngajar di kelas 5 dan Icha mau praktir ngajar di kelas 2. Sayangnya, Icha ngerasa belum siap. Akhirnya Icha memutuskan untuk mengobservasi saja di kelas.

Sebelum gw mulai mengajar, gw dan Icha duduk di belakang kelas untuk mengobservasi cara ibu mengajar. Ibu mengajar IPA, tentang bagimana cara tumbuhan mempertahankan diri. Dulu, Mas dan gw pernah diajar Ibu. Ibu memang sudah 32 tahun memutuskan untuk mengabdi sebagai seorang pendidik. Itu mengapa bentukan gw jadi kayak gini. Jadi orang yang seseneng itu kalau jadi sharer dan mentor. Sejak gw lahir, gw sudah hidup di lingkungan pendidikan.

Gw udah lama gak liat Ibu ngajar. Hari ini, saat gw perhatikan, cara mengajar Ibu memang tidak banyak berubah. Masih jadi guru yang se-tegas itu. Kalau kata Icha mah, yang se-galak itu :P Tapi, untuk gw yang sudah terpapar begitu banyak metode pembelajaran di kelas, baik dari dosen, buku, televisi, maupun internet, gw ngerasanya cara ngajar Ibu masih se-konvensional itu. Masih menyamakan cara mengajar  anak kelas 5 SD yang belajar di tahun 2012 dengan cara mengajar kepada gw sebagai anak SD yang belajar di tahun 2005 lalu.

Agak kaget ketika melihat cara penyikapan Ibu kepada seorang anak yang tidak bisa memperhatikan ibu di tengah pelajaran. Sebenernya, dari dulu cari Ibu menegur muridanya yang tidak fokus memang seperti itu.  Setegas itu. Itu yang selalu sukses membuat Ibu mendapatkan perhatian dari anak-anaknya dan memang terbukti anak-anak didikan ibu menjadi orang-orang sukses di masanya. Bedanya, sekarang gw tau istilah  yang disebut dengan labelling dan dampak dari labelling. Gw pun senggol-senggolan sikut dengan Icha saat menyaksikannya.
Ibu : Ayo Rafli, coba baca tulisan ibu di papan tulis.
Rafli : .... (diam)
Ibu : Ayo Rafli dibaca (dengan nada tegas)
Rafli : Gak tau ah, Bu. Gak kebaca.
Ibu : (nada tinggi) Kok  bisa gak kebaca? Ayo teman-teman yang lain bisa baca gak?
Teman-teman : Bisa, Bu. (bersama-sama membaca tulisan di papan tulis)
Ibu : Tuh, Rafli, temen-temen yang lain bisa baca. Kenapa coba kamu gak bisa baca tulisan Ibu? Soalnya kamu gak merhatiin Ibu. Soalnya kamu ngelamun terus di kelas. Kamu juga suka datang terlambat terus khan? Kamu ranking berapa?
Rafli : (menggelengkan kepala)
Ibu : Tuh khan, itu buktinya. Yang suka telat datangnya, ngelamun di kelas, wajar kalau gak dapat ranking. Kamu juga suka main game ya?
Teman-teman : Iya, Bu. Iya. Rafli suka main game. Suka telat juga.
Ibu : Kamu juga suka nyontek khan?
Teman-teman : Iya, Bu, iya. Rafli suka nyontek.
Ibu : Ya itu hasilnya.
Glek. Gw menelan ludah. Ibu, maaf. Kok gw ngeliatnya agak jahat ya? Ngasih feedback negatif buat anak  di depan teman-temannya. Di label pula.
Gw : Cha, nyokap gw kok kayak ngelabel ya?
Icha : Iya, Teh. Kasihan Raflinya.
Pelajaran ibu selesai. Saatnya gw yang mengajar. Ibu tidak memperkenalkan gw sebagai anaknya. Ibu memperkenalkan gw sebagai ibu guru baru yang berasal dari SD tetangga. SD mereka dan SD gw bukan SD favorit yang berada di tengah kota. SD kami SD kampung. Berada di sebuah desa dekat Kabupaten Bogor. Tetapi ketika mereka tahu bahwa ada anak dari SD mereka yang bisa masuk SMPN 1 Bogor dan SMAN 1 Bogor yang berada di tengah kota, dan menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, mereka sontak bertepuk tangan. Matanya berbinar.
Ibu : Ada yang mau kayak Ibu guru Tuti?
Anak-anak : Mauuuu, Buuuu!
Ya. Mereka punya mimpi kawan. PR nya? Bagaimana mengelola mimpi mereka dengan baik.

Ibu pun menyerahkan kelas kepada gw dan menuju ke belakang kelas menemani Icha. Gw memulai kelas. Bismillahirahmanirrahim. Setelah ini, biar hati yang selanjutnya mengambil alih :)

Gw maju ke depan kelas. Membawa botol minum bening berisi bintang-bintangan dari kertas. Mata mereka tertuju pada botol minum yang gw bawa. Bertanya-tanya apa isinya. Sampai akhirnya ada yang memberanikan diri bertanya.
"Bu guru, itu apa?"
Ini senjata gw. Senjata yang gw pakai dari jaman dua tahun lalu untuk ngajar di kelas. Bintang-bintangan yang terbuat dari kertas. Diberikan untuk siapa saja yang berani menjawab pertanyaan, membantu membagikan tugas, dan berani maju ke depan. Kesepakatannya, yang berhasil mendapatkan banyak bintang, ia yang menjadi bintang kelas hari ini.
Gw : Setuju? :)
Anak-anak : Setuju, Buuuu!
Efek pemberian bintang ini pun, memang selalu sedahsyat itu. Padahal ini hanya sebuah bintang-bintangan dari kertas, Kawan. Mereka rebutan menjawab pertanyaan gw. Rebutan untuk membantu gw membagikan kertas. Rebutan untuk maju ke depan membacakan puisi.
Gw : Ayo semua tangan di atas meja. Hitungan ketiga baru angkat tangan yaa. 1... 2...3!
Anak-anak : Saya, Bu. Saya, Bu!
Gw : Ayo Adit maju ke depan :)
Anak-anak yang lain : (sambil memukul meja) Ah, Ibu. Saya khan lebih cepat, Bu. Saya juga pengen jawab, Bu.
Mereka butuh penghargaan atas usahanya, Kawan. Mereka se-semangat itu untuk belajar. PRnya? Bagaimana mengelola bentuk penghargaan yang diberikan dan menjaga semangat mereka dengan baik.

Semangat itu, antusiasme itu, dimiliki juga oleh Rafli. Segitu cepatnya ia berusaha mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan gw, segitu kerasnya ia memukul meja ketika acungan tangannya tidak gw tunjuk, dan segitu semangatnya ia ketika gw pilih untuk membagikan kertas puisi untuk teman-temannya.

Ketika ia sempat mengganggu pekerjaan temannya, gw hanya menghampirinya, jongkok dan mensejajarkan muka gw dan muka Rafli, mengelus kepalanya sambil berkata,
Gw : Ganteng, temen-temennya lagi ngerjain tugas, gak boleh diganggu. Coba mana punya Rafli? Belum selesai juga khan? Ayo kembali ke tempat duduk dan diselesaikan. Oke?
Rafli : *diam* *kembali ke bangkunya*
Tahukah kawan apa yang gw saksikan? Saat gw berkata ganteng, matanya berbinar. Seolah hanya kali itu ia mendapatkan sebutan ganteng. Mereka butuh diakui. Mereka butuh diberikan pengertian. Mengapa mereka boleh melakukan ini dan mengapa mereka tidak boleh melakukan itu. Tidak perlu ada nada tinggi untuk semua ini, bukan?

Di 30 menit terakhir, gw memberikan tugas kepada mereka. Mereka diminta untuk membuat puisi untuk salah seorang teman yang ada di kelasnya. Puisinya bisa berbentuk ucapan terima kasih ataupun cerita tentang temannya itu. Tahukah kawan? Salah seorang temannya membuat puisi untuk Rafli. Judulnya? Sahabatku Pahlawanku. Isi puisinya bercerita tentang ucapan terima kasih kepada Rafli. Rafli dianggap sebagai pahlawannya karena ia berani membelanya ketika ia susah dan selalu mengajaknya bermain ketika ia sendirian.

Anak yang sering telat? Melamun? Main game terus? Gak memerhatikan guru di kelas? Ternyata dia pahlawan bagi temannya, Kawan.

Puncak-puncaknya gw ngerasa labelling bisa se-jahat itu, saat penghitungan jumlah bintang terbanyak dimulai. Ada dua orang yang mendapat bintang dengan jumlah terbanyak, yaitu 8 bintang. Adit dan... Rafli. Iya, Rafli. Anak yang sering telat, melamun, main game terus, dan gak memerhatikan guru di kelas.

Setelah memutar otak bagimana menentukan pemenangnya, akhirnya gw mendapatkan ide. Adit dan Rafli harus membuat puisi di depan papan tulis dengan tema guru selama 10 menit. Atas kejujurannya, gw memilih Adit sebagai bintang kelas pertama. Rafli dengan berat hari gw tetapkan sebagai bintang kelas kedua karena teman-temannya membantu membisikan puisi yang seharusnya Rafli buat sendiri.

Setelahnya, Adit dan Rafli gw minta maju ke depan. Gw rangkul di kanan dan kiri gw.
Gw : Sekarang yang merasa punya bintang, angkat bintangnya ke atas.
Semuanya mengangkat bintangnya masing-masing. Semua anak memang gw kondisikan untuk memiliki minimal satu bintang.
Gw : Ada yang tahu sifat bintang sebagai benda langit apa aja?
Nahda : Terang benderang, Bu!
Gw : Iya benar, sayang. Ada lagi?
Melissa : Indah, Bu!
Gw : Iya, benar. Kalau dari cahayanya, cahayanya bintang punya siapa?
Anak-anak : Punya cahaya sendiri, Bu!
Gw : Benar sekali :) Nah, bintang yang kalian pegang masing-masing, itu sama kayak kalian. Warna bintangnya beda-beda. Sama kayak kalian yang punya hobi beda-beda, yang punya mata pelajaran kesukaan beda-beda, yang punya permainan kesukaan beda-beda. Kalian punya sinarnya sendiri-sendiri, kayak warna bintang yang kalian pegang dan kayak sinar bintang yang ada di langit. Jadi, kalau ada temennya yang jago matematika, jago IPA, jago olahraga, kalian gak usah takut. Karena kalian juga pasti jago di satu hal. Yang harus dilakukan adalah belajar dengan rajin, biar kalian tau kalian jago di mana. Jadi  apa yang harus dilakukan?
Anak-anak : Belajar dengan rajin, Buuu!
Gw : Belajar nya harus tetap semangat. Walaupun yang jadi bintang kelas hari ini cuma Adit dan Rafli, kalian juga tetap jadi bintang buat orangtua masing-masing. Bintang buat siapa?
Anak-anak : Orangtua, Buu!
Ibu gak tau hari ini kalian paham dengan kata-kata Ibu atau enggak. Tapi semoga suatu saat ini, kalian benar-benar bisa mengerti :)

Adit gw hadiahi botol minum dengan bintang-bintangan kertas di dalamnya. Rafli? Gw melepas kalung kesayangan gw. Kalung berbentuk bintang yang berbuat dari kayu. Semoga apapun label yang orang-orang berikan kepada kamu, kamu tetap mau ingat dan mau berjuang untuk menunjukkan bahwa kamu punya sinarmu sendiri. Semoga kamu benar-benar jadi pemain bola profesional ya, sayang :)

Gw mengucapkan salam. Merapikan buku dan bersiap-siap keluar kelas.
Fahri : Bu, habis ini ngajar IPS aja?
Anak-anak yang lain : Iya, Bu! Iya, Bu!
Gw : Maaf sayang, ibu hanya mengajar kalian Bahasa Indonesia dan hari ini aja. Sekarang ibu harus pulang.
Anak-anak : Yaaaah, Bu. Masa gak ngajar lagi?
Gw : Kalian belajar yang rajin dulu. Biar nanti bisa masuk UI. Nanti bisa ketemu ibu lagi di UI, ya?
Gw bergegas keluar kelas. Sampai tiba-tiba satu anak mengahmpiri gw. Mencium tangan gw. Disusul teman-teman lainnya. Berebutan mencium tangan gw. Mereka saling dorong meraih tangan gw. Gw usap kepala mereka satu per satu. Menghangat.

Rafli mencium tangan gw. Mencium tangan gw lebih lama dari yang lain. Gw pun memelankan usapan kepalanya, sambil berbisik :
Gw : Rafli, kalung kesayangan ibu diajaga ya :)
Rafli : Iya, Bu!
Sampai tiba-tiba ada yang berteriak dari belakang kelas,
Seorang anak : Ibuuu! Auliya nangis!
Gw : Auliya kenapa?
Auliya : *sambil mengusap mata* *tersenyum* Ibu, kapan-kapan ngajar di sini lagi ya, Bu.
Urusan meletakkan hati gak hanya tentang datang dan pergi, Kawan :')

Di ruang guru.
Gw : Bu, emang Rafli biasa ngelamun gitu, ya Bu di kelas?
Ibu : Dia mah emang nakal, Cha. Bangor.
Gw : Ya, tapi kan jangan disudutin di depan kelasnya juga, Bu. Kasihan. Nanti dia ngerasa dirinya emang gak bisa apa-apa.
Ibu : Harus diingetin Cha, Rafli tuh. Kebiasaan soalnya.
Gw : Khan ada cara lain, Bu selain di sudutin di depan teman-temannya. Buktinya, tadi Rafli salah satu yang dapet bintang paling banyak. Bintang kelas kedua setelah Adit.
Ibu : ....
Semoga kelak Ibu mau mengerti. Anaknya yang sedang belajar psikologi, belajar tentang komunikasi nonverbal. Anaknya bisa melihat binar mata yang berbeda di mata Rafli saat ia disudutkan dan saat ia dimengerti.

Bu, semoga ibu mau mengerti, labelling itu bisa se-jahat itu. Bisa meredupkan sinar mata banyak orang. Bisa merenggut binar mata banyak orang

***

Gw juga korban labelling. Beruntungnya, labelling yang positif. Dampaknya? Gw jadi suka bintang. Sejak jaman ini dan sejak dikasih ini. Itu mengapa gw suka lagu Gemintang-nya Andien,  Temani Aku-nya Sheila On 7, Bintang-nya Kahitna, Bintang-nya Air, Bintang-nya Sherina, dan Lihatlah Lebih Dekat-nya Sherina. Itu mengapa gw suka bikin bintang-bintangan dari kertas, kenapa gw dipanggil Kak Bintang oleh murid-murid gw tahun lalu, kenapa kalung gw berbentuk bintang, dan kenapa background twitter gw bergambar Patrick Star. 

Terima kasih banyak, Je buat filmnya. Filmnya membakar gw habis-habisan untuk habis-habisan di Simulasi Mengajar GUIM Angkatan 2. Dan ternyata, Taare Zameen Par itu dalam bahasa inggris artinya : 
Like Stars On Earth :)

3 komentar:

Anonim mengatakan...

..berkaca-kaca baca postingan ini :')

eh iya, jadi pingin ngasih rekomendasi film juga buat tuti, tapi kalo ini bakal 'cape' nontonnya, soalnya ada 3 part (satunya 2.5 jam, jadi total 7,5 jam haha)

kalo sempet dan tertarik, tuth, coba tonton:
20th century boy
diangkat dari komiknya Urasawa Naoki dengan judul yang sama..

Anonim mengatakan...

Nice share kak, sy sampai berkaca-kaca bacanya :')
Jadi semakin tertarik buat masuk fakultas psikologi seperti kakak, hehe
Salam kenal ya kak, terima kasih, postingan kakak sangat menginspirasi :)

-Katarina, di Salatiga, Jawa Tengah

Annisa Dwi Astuti mengatakan...

@teh jannah : wiiih, hatur nuhun teh jannah untuk rekomendasinya :) pengen banget coba cari filmnya :D

@katarina : halo katarina, terima kasih banyak sudah berkunjung :)alhamdulilah kalau ternyata postingannya bermanfaat. waaah, berminat untuk psikologi juga? semangat ya katarina! semoga dimudahkan :D