“Cepet dong, Dek! Bisa lari gak sih? Lelet banget sih kalian! Ini sekolah standar internasional, bukan sekolah standar siput! Lari donk lari!” teriak panitia MOS bersahut-sahutan untuk mempercepat langkah peserta MOS.
Jam menunjukan pukul 11 tepat waktu Indonesia bagian kota hujan, alias Buitenzorg, alias Bogor. Kata siapa Bogor adalah kota yang selalu bisa melarikan diri dari sengatan matahari yang hobi memberondong bumi? Kenyataannya? Tidak juga. Hari ini sungguh panas. Lebatnya pohon di Kebun Raya Bogor dan program penghijauan yang dicanangkan pemerintah untuk menanam seribu pohon di sepanjang ruas jalan kota pun agaknya tidak dapat berbuat banyak untuk menahan panas kota yang selalu dituduh sebagai pengirim air bah penyebab banjirnya ibukota akhir-akhir ini. Gersang. Kalau boleh dibandingkan dengan panasnya gurun sahara, ya mungkin sebelas duabelas lah. Bedanya, kalau di gurun sahara penuh dengan padang pasir, kalau di Bogor penuh dengan pusat perbelanjaan dan ruko-ruko yang kian hari kian menjamur.
Sayangnya tidak semua orang tahu kalau ternyata ada yang jauh lebih panas ketimbang cuaca siang hari ini. Hati para peserta MOS yang diteriaki oleh para seniornya lebih panas beberapa derajat celcius daripada cuaca hari ini.
Bagaimana tidak panas? Sudah enam hari hari mereka ditemani dengan teriakan-teriakan seniornya yang memekakkan telinga. Disuruh cepat. Disuruh bergegas. Sudah berusaha untuk cepat bagai kijang yang ada di pelataran Istana Bogor, tapi di mata seniornya para peserta seolah berjalan bak Gerry siputnya Spongebob. Sangat lambat. Belum lagi kalau melakukan kesalahan. Dibentak-bentak di depan umum. Iya kalau kata-kata bentakannya memang benar-benar untuk mengevaloasi. Lah ini? Bahasa kebun binatang keluar semua. Seolah hendak mengalahkan banyaknya jenis spesies yang dilindungi di Taman Safari Bogor Kekurangan fisik diungkit-ungkit. Strata sosial dibanding-bandingkan. Sepulang dari MOS? Tugas diperbanyak. Mending kalau tugasnya berbobot dan bermakna. Tugas tambahannya? Membawa makanan dan minuman bermerek dengan harga diatas ekonomi menengah ke atas untuk panitia MOS. Membuat karangan berulang ulang di sepuluh halaman kertas folio bergaris bolak-balik dengan tulisan, 'Saya Tidak Akan Mengulangi Kesalahan Saya Lagi'.
Eh maaf. Ada kesalahan. Ternyata ada satu orang yang sama sekali tidak merasa panas dengan keadaan seperti itu. Bahkan tanpa takut ia terus mengembangkan senyumnya dari hari pertama MOS sampai hari ini. Namanya, mmmh, nanti sajalah. Sebut saja ia : si gadis berponi.
Setelah semua peserta MOS masuk ke dalam aula yang terletak di lantai lima sekolah itu, semua pintu dan jendela aula ditutup. Kabarnya, hari ini adalah hari terakhir MOS. Biasanya, dari tahun ke tahun sebelum kegiatan MOS ditutup secara resmi oleh kepala sekolah, panitia MOS melakukan evaluasi akhir. Panitia MOS mempresentasikan kepada pihak sekolah bahwa evaluasi akhir yang selama ini selalu dilakukan adalah momen dimana pelatihan bagi peserta MOS mempertanggungjawabkan kesalahan yang ia perbuat selama MOS berlangsung. Tapi nyatanya, panitia MOS punya sebutan sendiri untuk evaluasi akhir yang satu ini : puncak pembantaian senior kepada junior!
“Hei, kalian disini mau ngapain? Mau diem aja kayak patung? Udah jalan lelet kayak siput, sekarang diem kayak patung! Kalian mau ngapain? Ayo jawab!” teriak salah satu perempuan yang merupakan panitia MOS memecah keheningan.
Suara teriakan yang menggelegar itu atau lebih tepatnya cempreng, cukup membuat panas kembali suasana karena memancing sahutan-sahutan dari panitia MOS lainnya. Lebih menggelegar lagi dan lebih cempreng lagi dari sebelumnya.
Semua peserta diam. Menunduk. Sebenarnya di dalam pikiran mereka masing-masing mereka sangat ingin berontak. Siapa sih yang mau dibentak-bentak seperti ini? Tanpa alasan yang jelas pula. Orangtua mereka sendiri saja jarang memarahi mereka seperti ini. Tidak pernah malahan. Ya, tapi daripada mencari perkara, bagi mereka diam mungkin memang lebih baik untuk saat ini. Tapi lebih tepatnya karena saat ini di dalam pikiran mereka masing-masing mulai tumbuh bibit senioritas untuk menenangkan diri.
Sekarang mending diem aja deh. Sabar-sabar. Hari terakhir ini. Liat aja nanti kalau gue jadi senior, gue balas yang lebih menyakitkan dari hari ini! Hahahaha!
Pada akhirnya pun, rantai senioritas saat MOS tak kunjung putus di sekolah ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebenarnya SMA swasta yang terletak di dekat salah satu kawasan elit dan terletak di pusat Kota Bogor ini merupakan sekolah berstandar internasional. Sekolah ini memang sudah memenuhi aspek yang ditetapkan untuk mendapatkan predikat tersebut. Mulai dari luas lahan, kualitas gedung, fasilitas pendidikan, banyaknya jenis kegiatan kesiswaan, sampai manajemen administrasinya memang sudah layak untuk mendapatkan predikat ini.
Sebenarnya sekolah ini bukan sekolah elit yang hanya bisa dimasuki oleh strata sosial tertentu saja. Hanya saja, letaknya yang berdekatan dengan kawasan elitlah yang menyebabkan strata sosial sekolah ini turut terseret menjadi sekolah elit. Selain itu, karena lokasi yang cukup strategis dan gelar standar internasional yang telah disandangnya, tidak jarang para orangtua perlente mempercayakan anak-anaknya yang sok-sokan perlente juga untuk bersekolah di sini.
Tapi ada pepatah yang bilang khan, jangan pernah menjudge isi suatu buku dari covernya. Sama dengan sekolah ini. Jangan menilai suatu sekolah dari predikat yang di dapatkannya. Nyatanya, rantai senioritas di sekolah ini cukup kuat untuk diputuskan. Bukan karena kepala sekolahnya yang tidak melarang. Kepala Sekolah SMA elit ini bahkan secara terbuka memerangi kesenjangan antara senior dan junior di sekolah ini dan menjunjung tinggi arti sebuah rasa kekeluargaan di sekolah ini. Setidaknya itu yang selalu ia katakan saat pembukaan kegiatan MOS setiap tahunnya. Bukan karena itu.
Sayangnya, kepala sekolah memang tidak tahu saja bahwa isi pidatonya hanya formalitas belaka. Senioritas itu masih ada. Bahkan terlalu rapih untuk diketahui keberadaanya.
“Hei, lo gak denger ya gue ngomong apa! Jawab Pertanyaan gue! Apa makud eo ngadu ke orangtua lo kalau kita keterlaluan kepada kalian? Apa?! Hei mikir donk! Kalian tuh udah SMA! Kayak gini aja pake acara ngadu segala! Balik aja ke taman kanak-kanak!” teriak salah satu panitia MOS di depan salah satu peserta MOS sambil mendorong badannya yang membuatnya nyaris jatuh.
Teriakan itu ditimpali dengan tawa panitia MOS lainnya. Tawa sinis.Tapi ternyata, ada tawa yang lebih sinis daripada panitia MOS saat itu.
Yaelah, ngaca dong kakak-kakak yang baik hati. Siapa yang sebenernya anak TK? Malah suara anak TK yang lagi nyanyi lebih bagus dari suara kakak-kakak yang cempreng itu. Lagian udah deh kak jujur aja. Capek khan ngehadepin kita yang cuma diem aja? Hahahaha.
Desis si gadis berponi sambil tertawa. Dalam hati.
Sejujurnya panitia MOS mulai lelah menghadapi peserta MOS kali ini yang cenderung cari aman dengan memutuskan untuk bungkam seribu bahasa. Tapi demi meluapkan emosi di hari terakhir ini, mereka tidak kehabisan akal.
Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk menghampiri peserta MOS satu persatu untuk memancing mereka agar melakukan kesalahan dan mengungkit kesalahan-kesalahan seminggu kemarin yang sebenarnya sudah selesai. Apabila mereka tidak menjawab juga, push up dan scot jam sudah menanti.
“Hei kamu! Iya kamu yang pake kerudung di barisan depan.” tunjuk salah satu panitia MOS yang di dadanya tertulis nama Delta.
“Saya, Kak?” sahut gadis yang ditunjuk sambil mengangkat kepalanya.
“Siapa nama lo?” tanya Driska.
“Delta, Kak.”
“Oke Delta. Dari tadi gue liat lo cuma diam aja waktu kita tanya. Kenapa? Takut?”
“Maaf Kak, setahu saya dari tadi kakak-kakak memang bertanya. Tapi pertanyaan kakak menurut saya tidak jelas dan tidak spesifik kepada saya. Saya kira saya tidak memiliki kewajiban menjawab.” jawab Delta sopan sambil memberanikan diri untuk terus menegakkan kepalanya.
Merasa menemukan mangsa yang empuk untuk dibantai, Driska mendekati Delta.
“Maksud lo apa bilang pertanyaan kami gak jelas? Sudah jelas-jelas kami tanya kalian mau ngapain di sini, tapi kaliannya diem aja, kayak patung! Apa elo nya yang gak denger? Ketutupan kerudung kali ya, jadi budek deh!” jawab Driska sinis sambil memainkan ujung-ujung kerudung Delta.
Belum sempat Delta menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu aula.
Tiba-tiba suasana aula menjadi hening. Semua mata tertuju pada laki-laki yang menyembul dari daun pintu. Laki-laki berpostur tubuh cukup tinggi. Berkulit sawo matang dan bersih untuk standar seorang laki-laki. Garis wajahnya yang dewasa mengisyaratkan bahwa ia seorang senior. Tapi ternyata bukan. Dia peserta MOS juga. ID MOS menggantung di lehernya dan membuat Driska seolah menemukan mangsa yang jauh lebih menyenangkan daripada Delta.
Sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah, laki-laki itu dengan sopan menganggukan kepala dan menghampiri Driska.
“Maaf saya terlambat, Kak. Ibu saya mendadak sakit dan saya mengantarnya ke puskesmas terlebih dahulu. Saya sudah izin kepada guru piket melalui telepon.” ujar laki-laki itu dengan nada sopan tanpa mengisyaratkan rasa takut sedikitpun.
Driska yang merupakan wakil ketua panitia MOS itu meninggalkan Delta dan mengalihkan pandangannya kepada laki-laki itu sambil tersenyum. Sinis.Sedetik kemudian Driska bertepuk tangan. Lebih sinis lagi.
“Well..well..well.. Insiatif kamu tinggi juga ya? Belum ditanya sudah menjawab.”
Raut wajah Driska yang tersenyum sinis semkin bertambah angkuh ketika ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Siapa nama lo?” tanya Driska sambil mengangkat sebelah alisnya. Meremehkan.
“Rayyan. Rayyan Rahadian Putra.” jawab laki-laki itu sambil tersenyum. Sopan.
“Kenapa gak izin ke panitia kalau lo terlambat? Elo gak ngehargain kita-kita disini?” tanya Driska deupngan nada yang mulai meninggi.
“Maaf Kak. Tadi saya terlalu panik dan terbutu-buru untuk meminta izin kepada panitia MOS juga.” ujar Rayan menjelaskan.
“Heh, yang jadi panitia MOS itu kami, bukan sekolah! Elo mikir gak sih? Harusnya lo minta izinnya ke kami, bukan ke sekolah.”
“Tapi Kak, setahu saya sekolah merupakan penanggung jawab segala kegiatan MOS yang berlangsung. Jadi bukan sesuatu yang salah bukan kalau saya meminta izin langsung kepada penanggung jawabnya?” ujar Rayyan tenang.
“Heh! lo nantangin gue ya? Sama sekali gak ngaku kalau lo salah lagi! Dan ngapain lo senyum-senyum kayak gitu? Ada yang lucu?” jawab Driska meradang.
Rayyan menghela nafas panjang. Berusaha untuk tidak tersulut emosinya.
“Pertama, kalau Kakak bilang saya tidak mengaku salah, saya kira Kakak yang salah. Saya mengakuinya dengan mengucapkan kata maaf di awal penjelasannya saya. Kecuali kalau ternyata kakak yang..,” jawab Rayyan sambil menekankan kata maaf dan menggantungkan ujung kalimatnya.
“Kedua, kalau boleh tau, bagian mana dari kalimat saya yang Kakak anggap 'nantangin'?
“Ketiga, memang tidak ada yang lucu kok, Kak. Saya tersenyum untuk menunjukkan antusiasme dan semangat saya dalam kegiatan MOS ini.” ujar Rayyan mengakhiri argumentasinya dengan senyum yang sama.
Driska panas. Meradang. Sampai hari keenam MOS belum ada satu peserta MOS pun yang mampu menjawab kembali pertanyaan-pertanyaannya, lebih tepatnya, menghadapi hardikannya dengan jawaban dan raut wajah setenang laki-laki yang ada di hadapannya ini. Kalau tidak diam seribu bahasa, peserta MOS hanya bisa menunduk. Alasannya, kalau bukan karena malas menjawab pertanyaan-pertanyaan Driska, pasti karena takut dengan suara Driska yang menggelegar dilengkapi dengan wajahnya yang sungguh angkuh saat tersenyum. Tersenyum sinis. Tapi laki-laki ini? Sungguh tak ada rasa gentar sedikitpun menhadapi Driska baik dari bahasa tubuhnya ataupun suaranya walaupun jelas-jelas ia melakukan sebuah kesalahan fatal (di mata Driska dan panitia MOS lainnya). Kepalanya tetap tegak walaupun tidak menenggak. Senyumnya terus mengembang. Kalau boleh jujur, Driska kagum dengan senyumnya yang menawan. Senyum tulus. Tapi untuk saat ini, senyum itu sama saja dengan meremehkan dirinya.
Ketika kata-kata hardikan Driska sudah tepat diujung lidahnya untuk dimuntahkan, lebih panas, lebih tajam, dan dilengkapi dengan kepalan tangannya yang hendak mencengkeram kerah baju Rayyan, tiba-tiba seorang laki-laki menahan tangan Driska. Giga. Ketua panitia MOS sekolah itu.
“Ini urusan laki-laki.” ujar Giga ambil memberi isyarat Driska untuk mundur.
Aula yang terletak di lantai 3 gedung sekolah ini memang cukup panas hari ini. Selain karena berisi 500 orang peserta MOS ditambah 100 panitia MOS yang berdesakan memadatinya dengan AC yang sengaja tidak dinyalakan, jendela yang sengaja di tutup, ke-panas-an aula itu makin menjadi saat Giga mulai angkat bicara untuk menghadapi Rayyan.
Semua peserta MOS yang telah selesai melakukan push up dan scot jam atas perintah panitia MOS lainnya mulai memberanikan diri mengangkat kepalanya. Mencuri-curi lihat apa yang akan terjadi setelah ini. Si gadis berponi pun sudah berhenti mencibir Driska di dalam hatinya. Pandangannya tertumpu pada Rayyan yang saat ini kembali beradu argumen dengan Giga Sang Ketua Panitia MOS.
Bentakan, hardikan, cacian pun dimuntahkan kepada Rayyan oleh Giga. Tapi Rayyan tak bergeming. Prinsipnya. Ketenangannya. Senyumnya. Masih berada di sana. Sama seperti saat menghadapi Driska tadi.
Seolah tidak tahan dengan jawaban-jawaban dan ketenangan yang ditunjukkan Rayyan, tanpa diduga Giga pun memberikan bogem tepat di ulouhati Rayyan yang membutanya tersungkur ke lantai.
Para peserta MOS tersentak dengan apa yang dilihatnya. Menahan nafas. Driska hanya menyungging kembali senyum sionisnya dan mulai kembali menambah panas keadaan.
“Heh, liat tuh! Itu akibatnya kalau kalian berani menantang kami! Bukan hanya push up dan scot jam yang bakal kalian daptakan! Kalian pikir kami takut untuk melakukan kekerasan kepada kalian? Jangan sok jagoan makanya! Ada lagi? Ada lagi yang berani sok jagoan lagi seperti dia?” teriak Driska ke arah peserta MOS lainnya sambil menunjuk ke arah Rayyan yang terlihat berusaha berdiri untuk memberikan perlawanan.
Dalam keadaan yang masih limbung dan belum sempurna berdiri, tiga orang panitia MOS lainnya menghampiri Rayyan atas perintah Giga. Mereka ikut memukuli Giga dan memukulinya di bagian dada, ulu hati, dan perut sampai Rayyan benar-benar tidak bisa berdiri lagi.
Para peserta MOS tercekat. Mereka hanya bisa menelan ludah. Mereka tahu ada sesuatu yang salah di depan mereka. Tapi tak ada yang berani menolong Rayyan. Lebih tepatnya tak ada yang tahu apa yang seharusnya mereka perbuat. Salah-salah setelah Rayyan mereka yang jadi korban kalapnya panitia MOS.
Sampai beberapa saat kemudian seseorang dari belakang menerobos barisan peserta MOS menuju ke arah Rayyan yang tersungkur dan masih dipukuli.
“Kak, saya mohon hentikan, Kak” pinta si gadis berponi dengan sopan.
“Kak saya, saya mohon, Kak” pintanya lagi.
Merasa perkataanya tidak digubris, si gadis berponi itu akhirnya menarik nafas panjang dan mengumpulkan keberaniannya. Tiba-tiba ia mendorong satu persatu panitia MOS yang memukuli Rayyan sambil berteriak.
“HENTIKAN!” teriak si gadis berponi yang mencengangkan panitia MOS.
Tiga panitia MOS yang memukuli Rayyan pun tersungkur ke lantai. Mereka kaget. Tidak menyangka gadis mungil berponi dan berkuncir kuda yang berada di hadapan mereka berani-bernainya menghentikan mereka. Akhirnya mereka mundur atas perintah Giga. Giga mengerutkan keningnya dan memilih diam karena penasaran apa yang akan dilakukan si gadis berponi ini.
Driska yang sedari tadi berada di barisan belakang untuk menyuruh peserta MOS lainnya untuk push up dan scot jam, tiba-tiba maju ke depan karena merasa terusik dengan teriakan yang seolah mengalahkannya. Ia kaget ketika di depan sudah ada seorang gadis yang tengah membantu Rayyan.
“Hey! Mau ngapain lo? Mau jadi pahlawan kesiangan?” hardik Driska.
Si gadis berponi itu tidak menggubris perkataan Driska. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari sesuatu. Pandangannya berhenti pada pojok aula. Ia berlari mengambil kursi dan kembali ke arah Rayyan. Sambil berusaha untuk mendudukkan Rayyan di kursi, Driska terus menghardik si gadis berponi yang sedari tadi tidak memedulikannya.
“Heh, lo denger gue gak sih? Gue ngomong sama lo!” bentak Driska sambil menarik lengan baju si gadis berponi.
Setelah memastikan Rayyan yang masih meringis kesakitan sudah terduduk di kursi, si gadis berponi segera mengalihkan perhatiannya kepada Driska.
“Akhirnya pahlawan kesiangan bisa denger juga. Mau ngapain lo? Mau sok jagoan juga kayak dia? Sok-sok nolongin orang?” tanya Driska sinis.
Si gadis berponi itu diam. Kemudian mengambil nafas pendek dan tersenyum.
“Halo, Kak. Perkenalkan nama saya Nasha. Saya bukan mau sok jagoan kok, Kak. Toh saya mah percaya kalau panitia MOS di ruangan ini adalah jagoan semua, lebih jago dari saya malah. Jago teriak-teriak, jago nyuruh push up dan skot jam tanpa alasan, jago mukulin orang. Iya khan, Kak? Kebetulan saya hanya seorang peserta MOS yang masih punya hati yang tidak bisa tingggal diam melihat temannya dipukuli tak berperikemanusiaan. Lagipula, kejadiannya khan baru 5 menit yang lalo, jadi saya nggak kesiangan dong, Kak?” jawab Nasha polos sambil memperlihatkan gigi-gigi kelincinya.
Beberapa peserta MOS menahan tawa mendengar jawaban Nasha. Driska tercengang. Tak menyangka gadis mungil berponi di depannya akan mempermalukan dirinya dengan jawabannya.
Sebelum tangan Driska nyaris menjambak rambut Nasha, tiba-tiba Giga sudah berada di depan Nasha dan mengisyaratkan kalau gadis mungil di depannya kini adalah urusannya.
Sejak tadi Giga memperhatikan tingkah laku Nasha. Mulai dari menerobos barisan, mendorong dan meneriaki panitia MOS untuk menyingkir dari Rayyan, mengambilkan kursi untuk Rayyan, tidak menggubris kata-kata Driska, sampai mampu mengeluarkan pernyataan yang mampu mempermalokan panitia MOS dalam sekali tembak. Dia bukan perempuan biasa yang bisa dengan mudahnya menunduk dengan hardikan-hardikan Driska. Keberaniannya bisa jadi ancaman terbongkarnya rantai senioritas selama ini saat MOS. Giga rasa mungkin memang lebih baik dia yang turun tangan untuk menghadapi gadis mungil ini untuk memastikan tingkahnya tidak akan menjadi ancaman.
“Siapa tadi nama lo? Nasha? Lo mau apa? Memang laki-laki ini siapa lo? Pacar lo? Sampai lo segitunya nolongin dia” interogasi Giga.
“Yaelah Kak. Kakak gak denger tadi saya bilang apa. Kebetulan saya hanya seorang teman yang masih punya hati yang tidak bisa tinggal diam melihat temannya dipukuli tak berperikemanusiaan. Saya rasa seorang teman di seluruh belahan dunia manapun akan melakukan hal yang sama seperti saya kalau melihat temannya dipukuli. Kecuali, kalau Kakak tidak pernah merasakan arti sebuah pertemanan.” ujar Nasha tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Pandangan Giga yang awalnya meremehkan kini berubah tajam kepada Nasha. Gadis mungil ini memang tidak bisa dianggap remeh.
“Jadi mau lo apa?”
Giga merupakan salah satu laki-laki populer di sekolah ini. Sama populernya dengan merek-merek sepatu, tas, minyak wangi, ikat pinggang, kaos kaki, sampai gel rambut yang ia kenakan. Ia pun salah satu senior yang terkenal dengan ringan tangan. Terpilihnya ia sebagai ketua MOS buka semata-mata karena jiwa kepemimpinannya mumpuni ataupun sifatnya yang bijaksana. Bukan sama sekali. Sepertinya ia malah tidak memiliki semua itu. Tapi karena ia salah satu anak pejabat tinggi sekolah ini. Walaupun begitu, dalam kamusnya ia paling anti menggunakan kekerasan kepada seorang perempuan.
“Mau saya? Saya kesini ingin menuntut ilmu aja kok, Kak. Paling saya cuma heran aja.”
“Heran?”
“Iya, Kak. Seperti yang tadi kakak-kakak bilang waktu meneriaki kami ke aula ini, sekolah ini sekolah berstandar internasional. Memang sekolah standar internasional itu di dalamnya terdapat kekerasan fisik seperti barusan ya, Kak? Kok saya baru tahu ya?” jawab Nasha santai yang kini membalas tatapan tajam Giga.
“Oh, jadi menurut kamu segala perilaku kami ini gak standar internasional? Gak banget gitu? Perilakyu kami salah? Itu maksud kamu?!” jawab Giga dengan nada meninggi.
“Weits. Saya gak ngomong gitu loh, Kak. Itu Kakak yang ngomong ya. Tapi yang pasti, satu hal yang baru saya ketahui. Ternyata ada sekolah standar internasional yang lebih mengedepankan kekerasan fisik daripada otak, etika, dan estetika.”
Kriiiiing...Kriiiiing...Kriiiiiing....
Tepat pukul 1 siang. Bel sekolah yang menandakan akan segera dimulainya upacara penutupan MOS ini, seolah mendeklarasikan kemenangan Nasha atas Giga dalam adu argumennya.
Nasha pun tersenyum. Menang.
Sebelum seluruh peserta MOS digiring ke lapangan untuk mengikuti upacara penutupan MOS yang dipimpin langsung oleh kepala sekolah, sepertia biasa, ketua MOS dari tahun ke tahun mengumandangkan pidato kenegaraanya sebagai penutup evaluasi akhir alias puncak pembantaian alias tempat mulai tumbuhnya tunas-tunas senioritas baru yang akan melanjutkan rantai senioritas di sekolah ini.
Isi pidatonya? Giga menekankan bahwa segala yang terjadi diruangan ini, termasuk kekerasan fisik yang terjadi pada Rayyan, semata-mata untuk menyadarkan peserta MOS bahwa dunia SMA itu keras dan kejam. Kalau tidak dibiasakan dari awal, mereka tidak akan bisa bertahan dan akan menjadi orang-orang minoritas yang tidak bisa menikmati indahnya masa-masa SMA.
“Sebelum kalian keluar dari ruangan ini, setiap orang harus menandatangani surat pernyataan bahwa apapun yang terjadi di ruangan ini cukup kalian dan kami yang mengetahuinya. Kalau sampai terdengar kabar ada pihak lain yang mengetahuinya, entah sekolah ataupun orangtua kalian, berarti sudah cukup membuktikan bahwa angkatan kalian memang cuma sekumpulan anak-anak manja yang hanya bisa mengadu saja!” ujar Giga tajam sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh peserta MOS sambil menekankan kata manja saat menatap Nasha.
Nasha hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum getir serta bergumam dalam hati.
“Prinsip apaan tuh kayak gitu? Tapi, gila! Mainnya rapih banget.”
Sejurus kemudian Nasha mengalihkan perhatiannya kepada Rayyan yang masih meringis kesakitan. Tanpa ikut mengantri untuk menandatangani surat pernyataan itu, Nasha menawarkan untuk membawanya ke unit kesehatan sekolah. Rayyan hanya bisa mengangguk.
Tanpa pikir panjang, Nasha pun segera memapah Rayyan menuju keluar aula. Giga yang menyadarinya tiba-tiba meneriaki Nasha.
“Hei! Nasha, mau kemana kamu?”
“Saya mau ke unit kesehatan, Kak. Kakak gak mau khan kalau sampai ada berita di koran besok pagi kalau ada peserta MOS yang mati mengenaskan di aula sekolah ini?”
“Tapi kamu belum tanda tangan surat pernyataan ini?”
“Tenang aja, Kak. Tanpa perlu menandatangani surat pernyataan itu pun saya gak akan jadi anak manja yang bisanya cuma ngadu sama orangtua. Lagipula, tanpa harus saya beritahukan pun, ada Zat Yang Maha Mengetahui segala kejadian di ruangan ini khan, Kak?” sahut Nasha sambil menekankan kata manja dengan tatapan tajam ke arah Giga.
Giga hanya menatap tajam Nasha yang berlalu bersama Rayyan.
Anak ini memang tak bisa diremehkan.
Dari dalam antrian, terlihat sepasang mata dan sebuah senyuman mengikuti punggung Rayyan dan Nasha yang mulai hilang ditelan daun pintu aula. Kagum.
***
“Thanks ya, mmh, siapa tadi nama lo? Nasha ya?” ujar Rayyan yang masih terbaring di unit kesehatan sambil memegangi kepalanya.
Nasha yang duduk di sofa yang berjarak hanya dua meter dari tempat Rayyan berbaring tidak menjawab. Nasha memperhatikan luka dan lebam di tubuh Rayyan dengan seksama yang baru saja diobati oleh anggota PMR kelas. Raut wajahnya menggambarkan seolah ia sedang memikirkan sesuatu yang rumit.
“Nasha? Kenapa lo ngeliatan gue kayak gitu?” tegur Rayyan
“Oh, eh. Hehehe. Maaf ya. Enggak kok, gue lagi terkesima aja dengan sesuatu.”
“Terkesima dengan body gue yang six pack ya?” canda Rayyan mencairkan suasana.
“Apa? Hahahaha. Gila lo ya? Cowok sopan kayak lo ternyata super pede juga. Bukanlah”
“Terus terkesima apa?”
“Senoritas disini ternyata mainnya rapih juga ya?”
“Maksud lo?”
“Pertama, surat pernyataan itu. Kedua, tadi gue ngobrol-ngobrol sama anggota PMR yang menangani lo kalau ternyata setiap tahun selalu ada korban seperti lo. Tapi ketika gue tanya seharusnya guru curiga kalau tiap tahun ada kejadian seperti ini, mereka hanya diam aja. Entah apa yang dilakukan oleh panitia MOS kepada anggota PMR tiap tahunnya supaya mereka bungkam. Dan terakhir...” jelas Nasha dengan ujung kalimat yang menggantung.
“Terakhir apa?” tanya Rayyan antusias.
“Terakhir, luka di tubuh lo. Sadar gak sih lo, mereka memukuli lo dibagian yang gak terlihat dari luar supaya tidak menimbulkan kecurigaan. Maksud gue, mereka memukuli bagian tubuh lo yang tertutup oleh baju. Perhatiin deh, gak ada luka di bagian tangan dan wajah lo khan?”
Rayyan memeriksa luka-luka yang ada di tubuhnya. Benar juga. Kalau saat ini bajunya memang terbuka, jadi loka dan lebam akibat pukulan itu jelas sangat terlihat bahkan dari jarak jauh sekalipun. Tapi kalau ia menutup kancing-kancing bajunya seperti biasa, weits, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Waw, sepertinya teman baru gue yang satu ini calon detektif handal nih?” goda Rayyan.
“Emang lo mau bayar berapa hasil analisis gue ini, Ray?” tantang Nasha.
“Ngomong-ngomong”, lanjut Nasha, “Setelah ini apa tindakan lo, Ray?”
“Tindakan gue? Kasus pemukulan ini maksud lo?”
Nasha mengangguk.
“Yaudahlah, Sha, toh gue kesini tujuannya mau belajar. Gak mau cari sensasi biar masuk koran karena jadi korban pemukulan seniornya. MOS juga cuma sekali khan? Gak akan ada kejadian kayak gini lagi gue rasa kalau kita juga gak cari masalah sama mereka. Setelah ini juga paling para senior sibuk belajar buat kelulusan mereka. Emang kenapa? Bu detektif yang satu ini mau menyelidiki kasus ini?” goda Rayyan.
“Hahaha. Bisa aja lo. Cuma nanya aja. Menyelidiki? Penasaran sih. Tapi mungkin suatu saat nanti. Gak sekarang. Gue mau mencari apa yang mau gue lakukan di sekolah ini dulu.” ujar Nasha.
Keadaan hening sejenak. Rayyan menatap langit-langit unit kesehatan dan berkutat dengan pikirannya. Memikirkan ibunya. Bagaimana keadaan ibunya siang ini? Semoga baik-baik saja. Apa perlu ia ceritakan kepada ibunya apa yang barusan terjadi kepada dirinya? Tak perlulah. Cukup dia sajak yang tau. Toh benar kata Nasha. Luka-luka ini tak terlihat dari luar. Ibu tak akan curiga. Lebih baik ibu berkonsentrasi dengan kesembuhannya.
Nasha pun hanya diam. Ia membuang pandangannya ke arah jendela unit kesehatan. Unit kesehatan ini terletak di lantai satu. Bersebelahan dengan sekretariat PMR dan sejajar dengan sekretariat seluruh kegiatan kesiswaan di sekolah ini. Kemudian Nasha mengedarkan pandangannya ke sekeliling gedung sekolah. Memerhatikan gedung yang berbentuk letter L dengan lapangan basket dan bulutangkis di dalamnya. Memandangi air mancur yang terletak di sudut lapangan basket. Air mancurnya indah. Mulai berpikir dan mengira-ngira apa yang akan ia lakukan selama tiga tahun di sekolah ini. Pandangnya pun berakhir pada langit pukul 1 siang Kota Bogor dengan wajah agak kecewa.
Bogor, kapan kau hujan lagi?
“Ngomong-ngomong, kita belom kenalan loh, Sha?” ujar Rayyan memecah keheningan.
Kata-kata Rayyan pun menyadarkan lamunannya.
“Kenalan? Hahaha, ada-ada aja lo. Ngapain? Gue udah tau nama lo, lo juga udah tau nama gue kali. Iya khan, Rayyan Rahadian Putra, si cowok sopan tapi super pede?”
“Tapi khan lebih enak kalau kenalannya resmi. Iya khan? Gadis mungil berponi yang baik hati karena gak mau membaca berita di koran besok pagi kalau temannya tewas mengenaskan di aula sekolahnya.”
Mereka pun tertawa bersama. Bersamaan dengan sorak sorai peserta MOS saat kepala sekolah menyatakan rangkaian kegiatan MOS resmi ditutup.
Pertemuan tak terduga hari ini pun menjadi awal dari perjalanan panjang sebuah persahabatan baru. Persahabatan yang tanpa mereka sadari kelak akan membawa mereka berhasil meruntuhkan tembok keangkuhan sebuah istana yang penuh dengan rantai senioritas yang nyaris berkarat.
***