Senin, 18 Juli 2011

Dan Janur Kuning pun (segera) Melengkung

”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”  (QS. An-Nur: 26)
Will be published on : September 2011! :D

Mepertanggungjawabkan Pilihan

Teh, kalau gw tahun depan aja, gimana?
Kalimat ini gw dengar 3 kali dari 3 orang yang berbeda, 3 adik gw di Perisai Ksatria. Kalimat itu meluncur di waktu yang berbeda, namun di minggu yang sama. Minggu pertama pasca pengumuman SNMPTN undangan dan pengumuman SNMPTN tulis.

Sampai detik pertama gw gagal USM STAN tahu lalu saja, gw masih belum sadar bahwa gw harus berjuang di tahun selanjutnya. Sampai akhirnya disadarkan Ujhee dengan pertanyaan, "Jadi, lw mau gimana, Tuth?"

Dan tahun ini, rasanya mendengar kalimat itu dari adik gw sendiri?

Entahlah. Tapi sedih aja gw dengernya. Kalimat itu harus meluncur saat gerbang-gerbang ujian masih terbuka lebar. Di saat cita-cita masih berharap untuk diperjuangkan. Ucapan adalah doa, bukan? Dan Dia sesuai prasangka hamba-Nya, bukan?

Terlepas dari hikmah yang menggunung sampai ke langit saat pencarian tempat terbaik di tahun kedua, gak ada yang pernah bilang kalau berjuang di tahun kedua itu mudah.

Kalau MOS, mungkin yang diahadapi adalah POSKO dan PJ yang menekan selama kurun waktu 4 hari. Kalau Regen, mungkin yang dihadapi adalah osdem dan BPPKO yang menekan selama kurun waktu 2 bulan. Kalu SPL, mungkin yang dihadapi adalah anak-anak cowok yang kapan saja siap membuat keributan ketika timnya merasa diperlakukan tidak adil dalam kurun waktu 4 bulan. Tapi ini? Lw harus berhadapan dengan diri lw sendiri, mencoba berdamai dengan bebagai tekanan yang salah satunya -tanpa sadar- adalah buatan diri lw sendiri dalam kurun waktu sepanjang tahun.

Walaupun banyak kasus yang menyebutkan orang-orang yang berjuang di tahun kedua, atau bahkan ketiga, pada akhirnya berhasil mengukir cerita indahnya masing-masing, sayangnya gak banyak yang mau melihat bahwa pencapaian itu didapatkan bukan tanpa perjuangan dan menguras air mata.

Dek, terlepas dari rencana indah yang Ia siapkan untuk dijemput, jangan pernah menunggu tahun kedua kalau tahun pertama masih bisa diperjuangkan mati-matian. Percaya sama gw. Mungkin kita memang punya tahun kedua. Tapi orang tua kita? Gak ada jaminan kalau orangtua kita masih punya tahun kedua untuk melihat anaknya menjadi mahasiswa!
"Teh, teteh nyesel gak ngulang di tahun kedua."

Menyesal? Alhamdulilah Dia gak pernah membiarkan rasa itu hinggap di hati gw. Karena sesungguhnya, hanya satu hal yang gw coba lakukan tahun ini.

Sejatinya, semua ini bukan tentang seberapa cerdas seseorang. Bukan tentang seberapa besar daya saingnya. Bukan tentang seberapa beruntung dirinya.Bukan juga tentang sebuah gelar S1 atau D3. Bukan tentang PTN, PTS, atau Sekolah Tinggi.

Dan ternyata, memang juga bukan tentang tahun pertama atau pun tahun kedua.

Ini hanya tentang memilih. Dan mempertanggungjawabkannya.

Dan tahun ini, untuk adik-adik gw di Benteng Batu, selamat memilih. Dan selamat mempertanggungjawabkannya :)
***

...
Udin : Ngomong-ngomong, Tuti jadi lanjut kah?
Gw : Setelah mempertimbangkan banyak hal, gw mundur, Din. Maaf ya, Udin...
Udin : :) Gapapa kok, Tuth. Nanti aktif di kampus ya, Tuth!
Gw : Insya Allah, Din :)
Untuk banyak hal, gw mohon maaf, Din. Meskipun tanpa gw, dengan masih adanya seorang lw dan 2010 yang luar biasa, gak ada yang benar-benar kehilangan banyak hal.

Satu hal yang bisa gw pastikan, gw masih akan tetap sayang dengan sekolah kehidupan itu. Dengan cerita-cerita di dalamnya. Dan dengan orang-orang di dalamnya. Walaupun eksekusinya, gw wujudkan dalam bentuk yang berbeda.

Satu kali lagi, boleh gw minta tolong, Din? Doakan gw ya, Din. Doakan gw agar bisa memepertanggungjawabkan pilihan gw yang satu ini dengan cara yang baik. Karena lw orang baik, Din. Dan orang baik, doanya selalu melesat menembus langit :)

Berkenalan dengan Teman Lama

Superintensif SNMPTN 2010.

Hari itu, seperti biasa, papan putih lebar yang tergantung di sudut ruangan mendadak menjadi pusat perhatian penghuni NF. Papan putih yang tak lagi putih karena penuh dengan tempelan kertas yang berisi ribuan huruf-huruf dan angka-angka itu seolah selalu bertransformasi jadi 'primadona' tiap minggunya. Apalagi kalau bukan pengumuman hasil try out.

Berbeda dengan try out sebelumnya, try out kali ini lebih dinanti dan lebih di perhatikan. Mengingat pengumuman hari ini adalah pengumuman try out pertama superintensif SNMPTN. Gw yang cuma bisa geleng-geleng melihat perkembangan nilai gw, tiba-tiba tertumbuk pada satu nama. Ada yang gak biasa.
Gw : Eh, itu yang peringkat pertama TO siapa ya? Kok kayak baru liat namanya?
Teman gw : Itu loh Tuth, yang sekelas sama kita.
Gw : Emang di kelas kita ada anak SMAN 7 ya?
Teman gw : Gw juga gak kenal sih, tapi yang suka duduk di belakang, Tuth.
Gw : Oooh...

Nama itu asing buat gw. Karena biasanya, posisi itu diduduki oleh Sofwah Nisana dan diikuti dengan nama-nama lain yang bertitel SMAN 1 Bogor. Tanpa permisi, nama itu sontak menggeser nama-nama lama penghuni 'singgasana' sebelumnya.

Minggu pertama. Minggu kedua. Sampai minggu ketiga, dengan 'angkuhnya' nama itu terus bertengger di sana. Seolah tak khawatir nama-nama dibawahnya akan menggesernya untuk merebut kembali tempat mereka sebelumnya.

Tanpa peduli dan berkeinginan mengetahui lebih jauh pemilik nama itu-yang jelas-jelas memiliki nilai-nilai yang menyenangkan untuk dilihat-, gw pun pelan-pelan menyingkir dari NF. Mengejar cita di tempat lain, tanpa tahu bahwa ternyata pada tahun selanjutnya, gw berkenalan dengan si pemilik nama itu, yang berhasil membantu gw menyikapi kegagalan dengan cara yang jauh lebih baik.

***

Awal Januari 2011.
Gw : Mas Asep, matriksnya bisa nol-nol gitu sih? Emang bikin persamaanya gimana?
Mas Asep : Sebentar, Mas Asep juga agak lupa, Tuth, soalnya yang waktu itu nemuin caranya Jemi, nanti Mas Asep coba cari dulu.
Jemi? Kayaknya gw familiar dengan nama itu. Tapi dimana ya? Entahlah. Tapi sepertinya, nama itu sering di sebut-sebut oleh Mas Asep beberapa kali di beberapa kesempatan. Lebih tepatnya di setiap soal matematika yang bikin otak panas yang ternyata selalu berhasil diselesaikan olehnya.
"Iya, waktu itu Jemi yang nemuin cara ngerjainnya"
 

"Dulu, Jemi kalau lagi bosen ngerjain soal, suka main bulutangkis sama Reza di belakang."
 

"Jemi tuh luar biasa, Tuth.."

Dan tanpa gw sadar, ternyata nama itu pun sering disebut-sebut oleh Mas Yusuf di lain kesempatan.
"Kalau dulu, yang suka betah di NF kayak Tuti sekarang tuh Jemi.."
 
"Kalau ibunya Jemi nyari dia, pasti ke NF Tuth, hahaha.."

Dan akhirnya gw pun teringat satu hal. Jemi Jaenudin. Nama itu adalah nama yang gw lihat tahun lalu. Nama yang menggeser Sofwah Nisana di urutan pertama TO superintensif snmptn. Dan dengan 'angkuhnya' tetap bertengger di posisi itu di minggu-minggu selanjutnya. Teman sekelas gw? Gw sama sekali gak inget. Bahkan sepertinya gw gak punya sepotong memori pun tentang sosoknya atau pun sekadar pernah menyapa atau enggak. Well, siapapun dia, satu hal yang bisa gw pastikan, dia orang baik dan dikenang baik oleh para pengajar dan staf di NF Paledang.
***

Pertengahan Januari 2011.

Bel istirahat NF berbunyi. Bel yang mungkin kelak akan sangat gw rindukan. Karena di kampus gak ada bel khan ya? :P Tidak seperti biasanya. Hari itu suasana di luar kelas terasa lebih ramai dari biasanya.

Keramaian itu pun menggugah gw untuk keluar kelas dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gw menyembulkan kepala gw di pintu kelas. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari pusat keramaian. Dan sepertinya memang ada beberapa orang yang sedang berkunjung. Dari jauh gw mencoba memperhatikan pusat keramaian itu. Sampai mata gw terhenti pada sosok laki-laki tinggi, berambut gondrong diikat, agak kurus, dan tengah mengobrol dengan Mas Yusuf. Dan sepengetahuan gw dia bukan anak Ronin. Siapa ya? Kayaknya gw pernah liat orang yang satu ini. Dan satu hal yang paling menarik perhatian gw, jaketnya. Jaket belakangnya tertulis besar-besar "FTTM". Pasti ITB.

Keesokan harinya, akhirnya gw tau, bahwa di lah pemilik nama itu. Nama yang gak ada habisnya dibanggakan oleh Mas Asep. Nama yang selalu diceritakan oleh Mas Yusuf. Dan nama seorang teman lama yang gak pernah gw kenal sebelumnya.

Hari itu bel istirahat NF pun berbunyi lagi. Berbekal satu soal program linear, buku kotretan, dan sebuah pensil, gw pun menerobos keluar kelas (kayak di hutan aja Tuth menerobos :P). Mencari siapa saja yang bisa membantu gw untuk mengerjakan soal yang satu ini. Gw mencari Mas Asep ke ruang pengajar, ternyata Mas Asep gak ada hari ini. Melongok ke kelas Ronin IPA, ternyata mereka belum keluar. Sampai gw sadar, ternyata Jemi hari ini berkunjung lagi ke NF. Belakangan gw tahu bahwa ITB sedang libur semester 1, dan Jemi pun sedang promosi Try Out ITB di NF.

Mendengar track record cerita-cerita pengajar dan staf NF tentangnya, menjadi saksi mata nilai-nilai nya tahun lalu, dan melihat tulisan jaketnya yang menyatakan dia tengah menempuh pendidikan di salah satu kampus terbaik di Indonesia, harusnya soal kayak gini bukan apa-apa baginya.

Tapi khan gw gak kenal, gimana ya? Saatnya berkenalan :D

Dengan gaya sok kenal dan sok dekat, dengan prinsip ilmu bisa di dapatkan dari siapa saja, dengan pemikiran bahwa orang yang akan gw hadapi adalah orang baik yang bersedia mengajarkan orang kayak gw yang matematikanya abal-abal, dan dengan didorong rasa frustasi karena gw ngeras bodo banget ya soal kayak gini doang gw gak bisa, akhirnya gw memutuskan 'menodong' Jemi.
Gw : Haloo Jemiii! Eh, bener khan lw Jemi?
Jemi : Hei, eh, iya..
Gw : Lw nganggur gak Jem?
Jemi : Iya, gw nganggur kok. Kenapa?
Gw : Ajarin gw mate doong, Jem. Boleh gak?
Jemi : Boleh, tapi kalau gw bisa yaa..
Berhasil! Gw pun menyodorkan buku soal gw, kotretan, dan pensil. Jemi menyuruh gw mengerjakan soal yang lain terlebih dahulu karena soal yang gw ajukan memang agak membutuhkan waktu untuk mengerjakannya. Bel masuk pun berbunyi lagi, gw meninggalkan Jemi dengan soal gw. Sampai bel pulang pun berbunyi, ternyata Jemi pun belum menemukan jawabannya. Woow, sepertinya soal yang gw ajukan memang agak-agak. Berhubung Jemi harus rapat persiapan TO ITB, Jemi pun pamit dan berjanji akan mencobanya kembali nanti.

Besoknya, gw lupa kalau kemarin gw pernah nanya soal ke Jemi. Beberapa waktu belakangan, gw memang bisa sangat cepat menangkap informasi baru, tapi di saat yang bersamaan daya ingat gw amat sangat menurun dalam beberapa hal. Sampai akhirnya gw diingatkan kembali saat Jemi minta soal yang sama ke gw untuk diselesaikan karena soal yang kemarin tertinggal.

Jemi pun masih berkutat dengan soal yang sama. Sambil melihat Jemi mengerjakan soal yang satu itu, gw pun ikut mencoba mengerjakan sambil ngobrol dengan Mba Devi di ruang tamu Melihat Jemi yang terlihat amat serius mengerjakan soal, Mba Devi pun buka suara.
Mba Devi : Gak ketemu ya, Jem jawabannya?
Jemi : Belum ketemu.
Gw : Pantang ya, Jem ngomong gak ketemu? Hahahaha :P
Jemi : Ngapain ngomong gak ketemu?!
Kalimat yang biasa. Intonasi yang biasa. Tapi menjadi sesuatu yang gak biasa buat gw. Karena di kemudian hari, kalimat itu yang menjadi dasar bagi  gw untuk bisa menghargai setiap soal matematika. Dan karena kalimat itu juga, matematika menjadi obat paling ampuh untuk menekan tingkat ke-stress-an gw. Jadi, kalau ada yang melihat problem set matematika gw penuh, itu bukan serta merta gw jago matematika. Tapi lebih tepat dinyatakan sebagai indikator bahwa tingkat ke-stress-an gw tengah menggila.

Keesokan harinya, soal itu pun belum menemukan titik terangnya. Akhirnya, gw memutuskan untuk bertanya kepada Mas Asep. Ternyata? Mas Asep bilang sepertinya memang soalnya yang kurang, jadi wajar saja kalau tidak bisa diselesaikan. Saat gw menyampaikan hal itu kepada Jemi, tanggapannya? 
"Walaupun soalnya kurang, harusnya masih bisa dilogikakan Tuth!"

Bener-bener deh ni orang satu. Gak mau menyerah. Lebih tepatnya, gak mau mengalah.

***

Seminggu berselang. Gw masih berkutat dengan rutinitas belajar di NF. Seperti biasa, sekeluarnya gw dari kelas, gw dan anak-anak Ronin berkumpul di meja  kayu coklat di sudut ruang keluarga untuk belajar bersama. Dan minggu itu, Jemi pun masih menghabiskan waktu liburannya untuk mengurus TO ITB dan berkunjung ke NF. Sesekali Jemi pun bergabung dengan anak Ronin, apalagi kami memang satu angkatan. Bergabung untuk membantu mengerjakan soal, ataupun hanya sekedar mengobrol dan bertukar cerita.

Menyenangkan. Untuk ukuran gw yang memang belum pernah kenal sebelumnya dan baru satu minggu bertemu, ngobrol dengan teman lama yang akhirnya gw kenal secara langsung ini sangat menyenangkan. Sudut pandang dan pola pikirnya gak jauh beda sama gw. Membuat topik apapun selalu seru untuk dibicarakan. Salah satu topik yang paling gw senangi, tentu saja, apalagi kalau bukan tentang ITB. Sebenarnya lebih banyak gw yang bertanya, dan Jemi pun berbaik hati menceritakan semua tentang ITB, tanpa peduli kalau kini ITB tidak lagi termasuk dalam daftar tujuan akhir perjuangan gw.

Jemi bercerita tentang euphoria persaingan belajar di ITB, tentang beasiswa, UKM-UKM nya, padatnya jadwal akademik dan nonakademik, biaya hidup di Bandung, pengalamannya waktu berjuang di NF tahun lalu, nilai-nilainya, berkas ujiannya yang nyaris hilang, kegalauannya mau masuk jurusan apa di FTTM, sampai tentang TO Ganapatya ITB yang akan dilaksanakan minggu depan di Regina Pacis.

Dan tentang TO Ganapatya? Beberapa bulan lalu, walaupun tidak terlalu berarti banyak, gw sempat terlibat dalam persiapan TO ini. Salah satunya, lewat YM, gw dan Aufa share masalah sponsorship acara karena Aufa terpilih jadi koor.sponsorship TO Ganapatya tersebut.  Dan ternyata, Jemi adalah anak buah Aufa di sie.sponsorship dalam TO ini. Bumi ini gak pernah benar-benar terasa luas ketika kita punya banyak teman baik di dalamnya :)

Tidak hanya bergabung dengan anak Ronin, Jemi juga dimintai tolong untuk membantu anak-anak PPLS. Kalau gw memang cuma bisa nanya tentang matematika (masa iya gw nanya sejarah ke Jemi?), anak PPLS lebih banyak bertanya tentang fisika. Pernah satu hari anak PPLS konsultasi eksklusif dengan Jemi sampai malam. Hasilnya?
Ndu : Karena A'Jemi, Ndu ngerti fisika, Teh.
Tapi memang benar sih. Kalau ada orang yang paham dan bisa memahamkan orang lain tentang materi yang ia kuasai, mungkin Jemi salah satu orang yang memiliki kualifikasi tersebut. Cara memahamkannya menyenangkan, sabar kalau ada orang yang loadingnya agak lama (kayak gw :P), dan yang paling penting : low profile! Cocoklah kalau suatu saat nanti berminat menjadi guru. Tapi harus guru SMP/SMA, soalnya kalau guru SD... Silahkan tanya sendiri pengalamanya bagaimana mengajar anak SD! :P

Suatu hari, dengan tingkat fudul yang amat tinggi, tiba-tiba gw terpikir untuk menanyakan sesuatu.
Gw : Eh Jem, lw selain ngurusin Ganapatya dan main ke sini, liburan gak kemana-mana lagi, Jem?
Jemi : Enggak, kesini aja gw.
Gw : Serius? Lw liburan cuma dipake buat bantuin orang belajar?
Jemi : Kalau gw kesini bisa sekalian bantuin orang, ya kenapa enggak.
Bener-bener deh ini orang.
***

Selepas kepulangan Jemi kembali ke Bandung, pengaruhnya masih berasa banget di NF. Pernah di satu kesempatan, Zahra, Bram, gw, dan beberapa orang lainnya sedang sharing masalah nilai, jurusan, dan universitas. Dan nama Jemi pun masih ikut terbawa dalam percakapan ini.
Zahra : Teh, dulu A' Jemi itu nilai-nilai TO nya langsung bagus-bagus gak sih, Teh?
Gw : Jujur ya Zah, gw aja baru ngeliat ada yang namanya Jemi tuh pas TO pertama superintensif. Kayaknya enggak deh, Zah. Kalau iya harusnya gw udah liat namanya dari jaman dulu di peringkat atas.
Percakapan pun terus berlanjut. Bahkan untuk memastikan apakah seorang Jemi pernah berada di urutan bawah saat TO, gw dan Zahra pun membongkar arsip nilai-nilai try out tahun lalu.

Tidak berhenti sampai di sini. Saat itu anak-anak PPLS tengah menjelang Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Sejenak mereka menghentikan terlebih dahulu persiapan snmptn dan fokus untuk menyiapkan ujian tersebut. Bukan berarti menghentikan proses belajar, melainkan mereka mengurangi porsi melahap soal-soal tipe snmptn untuk menambah porsi soal UN karena kedua tipe soal ujian ini memang berbeda. Ah, kalau urusannya seperti ini, ilmu jadi terasa penuh dikotomi.

Salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam UN, yang masih menduduki rating tertinggi sebagai pelajaran yang memiliki momok yang amat sangat 'disegani', adalah fisika. Saat itu, mereka lagi butuh-butuhnya konsultasi fisika, padahal pengajar fisika lagi agak jarang berada di Paledang.

Akhirnya?
Nechan : Teh Tuti minggu besok khan ada libur 3 hari ya, Jumat-Sabtu-Minggu..
Gw : Iya, Chan, kenapa gitu?
Nechan : Kalau A'Jemi disuruh pulang pas libur minggu besok ke Paledang, mau gak ya teh? Lagi butuh konsul fisika niih..
Gw : Waduuuh, gak tau, Chan, coba aja tanya. Tapi bolak-balik Bogor-Bandung khan lumayan, Chan. Emangnya dia mau ya?
Nechan : Kita patungan bayarin A'Jemi buat pulang deh, Teh, gimana?
Dan bahkan Zahra pun benar-benar sampai mengirim message FB ke Jemi berharap Jemi bisa pulang untuk ngajar fisika.

Subhanallah. Hei, Jemi hanya seminggu berada di NF semester ini. Dan di titik ini, gw baru sadar ternyata pengaruhnya sampai 'segitunya' di Paledang.

***

23 April 2011. Pukul 10.00.

Hari itu NF lagi libur seminggu. Sepi. Para pengajar tengah menghadiri raker untuk program superintensif SNMPTN yang akan dimulai minggu depan. Jadi, hari itu hanya ada 3 orang penghuni NF. Mas Yusuf, Gw, dan Jemi. Bentar, Jemi lagi?

Jemi yang lagi libur persiapan UTS awalnya berniat ke NF dengan harapan ada Mas Asep atau Mas PW yang bisa ia tanyai tentang kalkulus. Tapi karena para pengajar lagi raker, akhirnya ia memutuskan untuk numpang belajar di NF.

Gw berkutat dengan soal matematika gw. Jemi mengerjakan soal kalkulusnya. Dan Mas Yusuf menyelesaikan tugasnya di depan komputer. Sesekali pekerjaan kami masing-masing terpotong karena cerita dari salah satu di antara kami. Entah cerita dari Mas Yusuf yang yang bisa bikin kita ketawa, atau dari Jemi tentang ITB nya, atau lebih tepatnya, tentu saja karena gw yang selalu brtanya duluan tentang ITB. Kali ini topiknya lebih seru lagi. Mulai dari kegiatan kemahasiswaan ITB beserta euphoria perpolitikannya, persaingan sengit memperebutkan kursi jurusan di FTTM, kompetisi futsal antar fakultas, UKM lingkung sunda ITB (bener gak ya namanya?), Formasi B, gedung unik di ITB yang punya lantai 1 1/2 (atau 2 1/2 ya?), sampai tentang A'Ipang dengan IP 4 nya selama 2 tahun berturut-turut.

Ditengah obrolan dan tugas masing-masing, gw memperhatikan Jemi yang mulai terlihat uring-uringan dengan soal kalkulusnya sendiri. Gw pun menawarkannya untuk refreshing dengan membantu gw mengerjakan soal problem set (hahaha, gak tau diri lw, Tuth! :P). Jemi yang akhirnya meneyerah dengan soalnya sendiri (walaupun gw gak yakin dia benar-benar menyerah) sekarang beralih ke soal problem set gw.

Ditengah-tengah mengerjakan soal problem set, gw tiba-tiba nyeletuk bertanya kepada Jemi.
Gw : Jem, sumpah deh seumur-umur gw gak ngerti tentang volume benda putar. Untung di matdas gak ada materi itu, hehehe..
Jemi : Itu sebenernya sederhana kok, Tuth.
Jemi pun menjelaskan secara spontan materi volume benda putar kepada gw. Sebentar-sebentar gw memotong penjelasan Jemi karena gak paham. Gw cuma bisa mengerutkan kening sebentar. Menggangguk. Mengerutkan kening lagi. Mengangguk lagi. Tapi akhirnya? Hei, untuk pertama kali gw connect ama materi yang satu ini. Lebih jauh lagi, Jemi mengajari gw cara menurunkan rumus, integral lipat, dan logaritma natural. Yihaaa, gw ngerti kalkulus meeen. Walaupun gak ada jaminan kalau gw disodorkan soal gw bisa mengerjakan :P

Jemi pun terus menerangkan gw tentang dasar-dasar kalkulus tanpa peduli gw mungkin gak akan ketemu lagi dengan materi yang satu ini. Toh, sejatinya memang tidak ada dikotomi dalam ilmu khan? Yang ada hanya setiap orang berhak memilih untuk lebih mendalami sedikit dari sekian banyak ilmu-Nya.

***

Pukul 17.00.

Saatnya pulang!

Sepulang dari NF hari ini, gw dan Jemi pun menggantung target jangka pendek masing-masing. Jemi dengan IP 4 nya, dan gw dengan TO 900. Walaupun pada akhirnya gw dan Jemi belum berhasil mencapai target terebut. Jemi kurang 0,16 dari targetnya, dan gw kurang 0,001 dari target gw. Walaupun begitu, tetap saja, alhamdulilah. Apapun bentuknya, besok masih banyak target yang masih tergantun, dan menunggu untuk benar-benar bisa diraih.

Secara harfiah, gw emang cuma belajar matematika dari Jemi. Tapi di luar itu, gw belajar banyak hal.

Hey, Jemii! Berharap di teknik perminyakan dipertemukan dengan angka 4 ya, amiiin. Sampai ketemu, Jem! Terima kasih. Untuk matematikanya, dan untuk membuat gw mengerti mengapa orang yang tak sungkan membagi ilmunya, selalu dirindukan oleh orang-orang disekitarnya.

*Intermezzo

*Intermezzo di tengah proses pengetikan episode yang hilang yang membuat tangan mulai mengeriting.
Karena satu dan lain hal yang diantaranya : 
  1. Ada beberapa memori yang terlalu berkarat di kepala dan hati yang membuat gw sulit menguraikannya dalam bentuk tulisan.
  2. Ada beberapa penggalan cerita yang 'it's too melow to be told this time' yang membuat gw berpikir dua kali untuk menguraikannya kembali (sedang tidak mau melow dan galau soalnya, oh meeen, galau sungguh menguras hati :P)
  3. Ada sebuah proyek besar yang tengah digarap yang cukup menyita waktu, tangan, dan pikiran
Beribu maaf gw haturkan untuk para pembaca yang sudah setia menunggu episode yang hilang untuk dipublikasikan (ngarep banget dah ada yang nunggu -_-).

Setelah hari ini, judul postingan akan dipublikasikan secara random dan akan ada beberapa episode yang hilang yang akan benar-benar hilang atau baru akan dipublikasikan di cerita-cerita selanjutnya setelah tanggal 30 Juli 2011 dengan alur mundur.

Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.
Thanks for always reading this site :D

Dan Cerita Hari Ini?
  • Sarapan bareng Ujhee,Opik, Dimash, dan dibayarin Aldy,  di Selot
  • Ketemu adik-adik gw yang 2 tahun lalu gw MOS dan masih unyu-unyu tapi sekarang udah jadi POSKO 2011/2012
  • Main di sekret bersama Aldy, Opik, Dimash, Dika, dan A'Lukman OSIS Buspan.
  • Makan dan nyari sinyal hape di kantin SMANSA
  • Main parampa dan makan gratis di rumah Mbahnya Ujhee
  • Datang ke evaluasi siang MOPDB (Masa Orientasi Peserta Didik Baru) : Ketemu Maul! :D
  • Nonton Final Destination 2 bareng Perisai Ksatria di NF
  • Perpisahan sama anak Ronin NF di Pizza Hut
  • Balik lagi ke NF, main sama Nain, Uceng, dan Zego
  • Pulang bareng Uceng!
Dan sepertinya, gw memang hanya diizinkan untuk menggalau tadi malam saja. Thanks God for this smiling day :)

*Untuk cita dan cinta gw yang lagi UTS di IPB, semangaaat! :D
**Untuk adik gw yang sering gw omongin sama Mas Asep, gw tunggu kabar baiknya besok :)
***Untuk Anda yang mengirimkan sebuah sms tadi pagi, terima kasih. Senang bisa terus berteman baik sampai hari ini :)

Minggu, 17 Juli 2011

Rumah Ketiga : Antara Bogor dan Sukabumi (bagian 3)

Pukul 13.00.

Kelas selesai.

Setelah makan dan sholat, saatnya mencari tempat bersemayam selanjutnya :D

Untuk apa? Untuk apa lagi kalau bukan untuk melanjutkan kebiasaan gw seperti sebelumnya. Duduk takzim dengan pensil di tangan dan buku terbuka. Melahap bari demi baris, halaman demi halaman, dan buku demi buku.

Di rumah ini, gw punya dua tempat bersemayam (sumpah, gak ada kata yang lebih tidak horor dibandingkan ini apa, Tuth?). Di dua tempat ini, gw melanjutkan kebiasaan gw itu. Sampai waktunya mereka datang. Kalau mereka sudah datang, kebiasan itu berubah menjadi berbagai proses pen-transfer-an. Mulai dari tranasfer ilmu, transfer cerita, transfer semangat, transfer kegalauan, dan transfer air mata.  Mereka? Yap. Adik-adik gw di Perisai Kstaria (baca : Cita dan Cinta).

Tempat pertama, terletak di depan ruang 04. Untuk selanjutnya, sebut saja ruang ini sebagai ruang keluarga. Bedanya, kalau di rumah-rumah normal, ruang keluarga adalah ruangan yang terdiri sebuah televisi lengkap dengan dvd dan stereo. Di sepan TV tersebut terdapat sofa-sofa empuk tempat berkumpulnya keluarga untuk melepas penat setelah melakukan aktivitas sehari-hari. Di dindingnya, dipajang foto-foto keluarga yang menggambarkan begitu hangatnya ikatan keluarga pemilik rumah tersebut. Sedangkan di rumah ini, ruangan ini hanya terdiri dari sebuah ruangan luas dan satu buah meja kayu coklat di salah satu sudutnya. Meja kayu tersebut dikelilingi oleh kursi-kursi lipat berwarna hitam yang biasanya diambil dari ruang kelas. Tidak ada foto keluarga di dinding ruangan ini. Yang ada hanya papan tulis putih besar, dengan tempelan ribuan huruf dan angka di dalamnya.

 Meja kayu di sudut ruangan

Rasa heran melihat ada siswa yang betah duduk berjam-jam dalam waktu berhari-hari di ruangan ini tanpa melakukan pergerakan yang berarti, seorang pengajar fisika pun akhirnya buka suara.
Mas Piet : Kayaknya dari kemarin saya melihat kamu bersemayam di sini terus ya?

Namanya Mas Piet Wahyu. Akrab disapa Mas Piet atau Mas PW. Beliau lulusan Teknik Fisika ITB. Secara formal, gw emang gak pernah diajar Mas Piet di ruang kelas. Secara informal? Jangan ditanyaaa. Hobi bacanya dan rasa ingin tahunya yang tinggi membuat beliau mampu menjawab berbagi pertanyaan dari anak-anak yang berada di rumah ini. Kalau boleh diistilahkan, beliau kayak google berjalan lah :P

Kalau sedang tidak ada pengajar IPS, tempat konsul gw ya Mas Piet. Mulai dari Sejarah, Geografi, sampai Ekonomi dan Akuntansi. Selain pelajaran, beliau pun sering membicarakn topik-topik unik yang ada di kehidupan sehari-hari yang kadang tidak dipedulikan oleh sebagian orang.

Contoh. Satu hari Mas Piet pernah bertanya, "Di setiap stasiun kereta khan ada plang namanya. Di bawah plang nama itu suka ada tulisan kecil seperti ' Stasiun Bogor + 246 m'. Kalian tau gak itu artinya apa?"

Hahahaha. Gelooo. Jangankan ngeliat tulisan kecil itu. Ngeliat plang nama stasiun aja jarang saking sok-sok-anya udah hafal nama stasiun (boro hafaal, Tuth, pernah bikin anak orang turun di stasiun yang salah juga, hahaha :P)

Dan berdasarkan penjelasan Mas Piet, ternyata angka tersebut menunjukkan ketinggian stasiun di atas permukaan laut saat pertama kali stasiun itu dibangun. Hahaha. Kepikiran pan gw itu angka apaan. Dan karena gw baru tau, gw pun benar-benar hanya bisa ber-ooh saja bulat-bulat. Dan begitulah setiap harinya, ada saja pengetahuan beliau yang luas yang mampu membuat orang gw tercengang dan geleng-geleng kepala.

Dari sekian banyak pertanyaan-pertanyaan unik yang beliau ajukan, suatu hari gantian gw yang mengajukan pertanyaan kepada beliau.
Gw : Mas, Mas khan lulusan ITB ya, Teknik Fisika lagi. Kenapa, maaf ya, Mas, hanya memilih menjadi seorang pengajar di sini? Padahal khan dengan status lulusan salah satu PTN terbaik di Indonesia dan pengetahuan yang luas, Mas bisa jadi lebih dari seorang pengajar?

Jawabannya?

Mas Piet : Karena cita-cita saya adalah membantu orang lain mewujudkan cita-citanya.
Subhanallah. 

Lebih jauh lagi, dari beliau pulalah gw belajar kalau gak ada dikotomi dalam ilmu. Yang ada, hak seseorang untuk memilih mendalami sedikit dari sekian banyak ilmu milik-Nya :)

Masih dengan latar ruangan ini. Di sebuah meja kayu yang kokoh. Meja yang lebih sering tampak tidak rapih karena penuh dengan buku yang berserakan, tempat pensil, dan tas-tas yang bergelimpangan (kosakatanya gak asik banget sih, Tuth, bergelimpangan -_-).

Disini juga gw biasa berbincang dengan Mba Ade. Di rumah ini, selain punya dua nama 'Asep', ada juga dua nama 'Ade'. Bedanya, yang satu Mas Ade, yang satu lagi Mba Ade. Mba Ade merupakan pengajar geografi gw selain Mas Darul. Mba Ade yang ternyata pernah mengajar di SMANSA ini pun merangkap sebagai guru geografi di sebuah sekolah. Saat mengajar geografi di rumah ini, beliau tengah mengikuti seleksi pegawai negeri. Dari beliau gw diceritakan proses penyeleksian pegawai negri. Termasuk bagian-bagian yang begitu ironis untuk di dengar. Heu. Salah satunya, kalau dari ribuan pelamar semisal ada 6 kursi yang disediakan untuk orang-orang yang lulus seleksi, hanya dua dari kursi itu yang murni diduduki oleh orang-orang yang benar-benar berhasil lulus sekali. Ironis ya? Tak heran jika kian hari kian banyak orang yang enggan menjadi pegawai negeri :(

Dari sudut ruang keluarga ini, gw masuk ke sebuah lorong kecil yang berada di samping kiri depan ruangan ini. Begitu memasuki lorong, gw akan menjumpai sebuah ruangan terbuka. Di sinilah tempat kedua gw :)

Gw sering menyebutnya beranda belakang. Ruangan ini memang nampak seperti beranda. Terbuka. Hanya saja letaknya di dalam rumah. Awan mendung penanda akan turun hujan, pesawat yang tengah terbang rendah, sampai pohon pisang tetangga bisa terlihat jelas dari sini.  Di sini terdapat papan tulis dan beberapa kursi serba guna. Berguna mulai untuk konsultasi, pelajaran tambahan, diskusi, curhat, sampai untuk menggalau bersama (baca : Hari Menggalau Bersama). Beranda belakang ini tepat berada di sebelah ruang pengajar.

Jendela yang berada di ruang tamu menghadap ke beranda belakang ini. Dulu, dari jendela tersebut bisa terlihat jelas rumput-rumput tumbuh dengan liarnya di beranda ini. Tapi itu dulu, sebelum kedatangn Mas Iwan yang menggantikan Mas Anto untuk memperindah kondisi rumah ini. Beranda ini pun sering dimanfaatkan oleh Bram, Zahra, dan Fadel untuk memeberi makan Nihuy (baca : Fosil Nihuy).

Dan di beranda belakang ini pula, beranda yang dindingnya dipenuhi tumbuhan menjalar, beranda yang pernah terdapat beberapa keong di dalamnya, dan beranda yang sekarang telah ditanami beberapa tanaman yang berbaris rapi, gw pernah diingatkan tentang suatu hal oleh Dimash. Suatu hal yang mampu membuat gw menelan ludah selama berhari-hari (baca : Mereka yang Datang dan Menguatkan).

 
 Beranda belakang


Pukul 17.15.

Teng..Tong..Teng..Tong..Teng..Tong..

Palang pembatas pintu kereta api kembali turun. Penanda kereta hijau dengan tujuh gerbong itu akan kembali melintas menuju ke tempat pemberhentian terakhirnya.

Kereta itu akan kembali melintas setelah menurunkan orang-orang berpeluh seusai mencari rezekinya. Orang-orang yang jauh lebih percaya janji-Nya dibandingkan mempedulikan rasa letihnya menempuh jarak puluhan kilometer.

Berarti? Saatnya pulang! Dan kembali lagi besok untuk melanjutkan hari. Tepat saat kereta dari arah Sukabumi berangkat menuju ke Bogor lagi :)

*Ini tentang rumah gw. Rumah ketiga gw. Bukan rumah mewah nan megah yang selalu tampak di layar kaca. Bukan juga rumah modern dengan fasilitas lengkap yang memanjakan para penghuninya. Ini hanya tentang sebuah rumah tua. Dengan orang-orang yang ada di dalamnya.




Keluarga Besar Nurul Fikri Paledang 2011


Ini ceritaku. Apa ceritamu? :D

Sabtu, 16 Juli 2011

Rumah Ketiga : Antara Bogor dan Sukabumi (bagian 2)


Layaknya sebuah rumah pada umumnya, ruangan depan di dalam rumah ini difungsikan sebagai ruang tamu. Tidak, tidak seperti rumah pada umumnya yang terdiri dari sofa-sofa empuk dengan meja kecil di tengahnya untuk meletakkan minuman dan panganan kecil bagi para tamu. Di rumah ini, ruang tamu hanya terdiri dari dua meja kayu dan beberapa kursi yang berjejer rapi di depannya. Toh ruang tamu ini memang dikondisikan untuk menerima tamu yang hanya berkunjung sejenak untuk menanyakan seputar kehidupan di rumah ini. Durasi berkunjungnya juka tidak terlalu lama, hanya berkisar 15-30 menit.

Gw mengambil posisi duduk di salah satu kursi di depan meja kayu yang berhadapan langsung dengan sebuah jendela yang menghadap ke arah bagian lain dari rumah ini. Tentu saja, masih dengan posisi yang sama dengan di beranda. Dengan buku di atas meja dan pensil di tangan. Menunduk takzim melahap bacaan baris demi baris, halaman demi halaman, dan buku demi buku.

Ruangan ini tidak pernah sepi. Bukan karena bunyi printer yang tak pernah berhenti menggerung yang terletak di salah satu meja di sudut ruangan ini, melainkan karena di ruangan ini ada seseorang yang tengah bertugas. Seorang kepala staff rumah ini yang tak pernah kehabisan cerita untuk meramaikan ruangan ini.

Namanya Mas Yusuf. Coba tanya kepada siapapun yang pernah tinggal di rumah ini sebelumnya, siapa pula yang tidak kenal dengan Mas Yusuf? Gw kenal beliau dari kelas 3 SMP. Saat lokasi ini masih berada di daerah Mawar, pindah ke Kantor Batu di sebelah Gang Selot, sampai akhirnya berada di sini, ternyata gw adalah salah satu orang yang setia mengikuti perpindahan Mas Yusuf dari lokasi ke lokasi. Mas Yusuf yang masih tampak muda walaupun telah memiliki dua orang anak yang kini duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah dasar ini merupakan salah satu staff senior yang ada di rumah ini.

Di ruangan ini, gw lebih banyak mendengarkan cerita Mas Yusuf yang selalu menyenangkan untuk didengarkan. Mulai dari seluk beluk tentang rumah ini, suka duka bekerja di rumah ini, pengalaman-pengalaman di tempat kuliahnya, pengalaman di tempat kerjanya sebelum ini, sampai tentang kehidupan pribadinya.

Suka duka? Walaupun terlihat sederhana, bekerja di rumah ini ternyata amat tidak mudah. Tekanan bisa diperoleh dari siapa saja dan kapan saja. Mulai dari tekanan yang di dapatkan dari atasan, dari orang tua, dari pengajar, sampai dari anak-anak yang menuntut ini itu.

Satu hal yang sangat gw kagumi dari beliau : manajemen emosinya meen, gak naahaaaaan :D Dua jempol ke atas buat Mas Yusuf! Tidak bermaksud berlebihan. Hanya saja, walaupun beliau adalah staff utama di rumah ini, satu kali pun gw gak pernah melihat beliau marah kepada staff lainnya saat tengah menghadapi masalah. Ditambah lagi, selama ini di setiap ceritanya, walaupun saat itu topik ceritanya adalah tentang masalah yang tengah beliau hadapi, isi cerita dan intonasi yang beliau gunakan sama sekali tidak mengindikasikan beliau sedang mengeluh. Kalau lagi banyak pikiran, beliau pasti lebih memilih diam atau melampiaskan ke hal yang lain.

Contohnya? Suatu hari pernah tak ada angin tak ada hujan, Mas Yusuf tiba-tiba bernyanyi. Tidak tanggung-tanggung, lagu yang dinyanyikan adalah Keong Racun! Hahahaha :D Dan saat itu, semua orang pun tahu kalau Mas Yusuf sedang stress, jadi lebih baik jangan di ganggu :P

Hal itu dibenarkan lagi dengan sebuah peristiwa. Pernah satu hari beliau lagi menghadapi berbagai tekanan dalam waktu bersamaan. Walaupun memiliki manajemen emosi yang baik, tapi raut wajahnya tidak bisa berbohong kalau beliau tengah banyak pikiran. Beberapa saat kemudian datang orang tua yang tengah berkunjung. Kawan, tahu apa yang gw lihat saat itu? Dalam kurun waktu beberapa detik, wajah lelahnya berganti dengan senyuman paling ramah yang ia milikki dan matanya yang sayu tiba-tiba berbinar menunjukkan antusiasme saat menyambut orang tua.

Kadang kalau gw ngeliat Mas Yusuf gw suka malu sendiri. Kalau lagi BT dikit, galau dikit, capek dikit, pasti muka gw langsung ditekuk seolah minta ditanya. Hahahaha, tapi wajarlah ya. Namanya juga remaja, tingkat kegalauannya masih diatas rata-rata :P.

Ada juga yang namanya Mas Ade. Beliau staff juga di rumah ini. Kalau dibandingkan dengan Mas Yusuf yang sudah senior, Mas Ade masih bisa dikatakan staff baru. Namun, karena setiap tidak ada Mas Yusuf di rumah ini yang memegang kendali adalah Mas Ade, gw sering menyebutnya sebagai bos kedua :D

Usia Mas Ade dan gw tidak terpaut jauh. Mas Ade hanya 1 tahun lebih tua dari gw. Dan di usianya yang sebenarnya masih berhak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, beliau lebih memilih untuk bekerja. Pernah di minggu-minggu pertama gw di rumah ini, ada satu pernyataan Mas Ade yang masih gw ingat sampai sekarang. Saat itu gw dan Mas Ade tengah membicarakan penghasilan gw saat mengajar di sebuah bimbingan belajar (baca : Kak Bintang) dan penghasilannya saat bekerja di rumah ini.
Mas Ade : Kalau masih bisa kuliah mah, lebih baik gak usah kenal uang dulu, Tuth.
Kalau Mas Yusuf punya manajemen emosi yang oke banget, kalau Mas Ade hobi senyumnya yang oke banget. Lebih tepatnya, senyum dan tertawa tertahannya, hahaha :D Sama seperti Mas Yusuf, Mas Ade pun dekat dengan anak-anak penghuni rumah ini. Pembawaanya yang tidak kaku membuat anak-anak tidak canggung untuk membicarakan apa saja dengannya. Bedanya, kalau Mas Ade lagi banyak pikiran kelihatan banget dari wajahnya, kayak orang lagi pundung, hehehe :P

Mas ade tinggal di rumah ini. Tepatnya di lantai dua rumah yang tampak luar hanya memiliki satu lantai. Jadi, setiap pagi, kalau pintu rumah ini belum terbuka, tandanya Mas Ade masih tidur. Mas Ade juga staff yang paling perhatian dengan nilai-nilai TO anak-anak penghuni rumah ini, termasuk gw. Setiap hasil TO keluar, pasti Mas Ade gak pernah absen bertanya, "Tuti, TO nya gimana?", "TO nya naik gak, Tuth?", "Peringkat berapa, Tuth?",  "Tuti kenapa nilai TO nya turun?".

Belakangan, gw baru tahu kalau Mas Ade punya hobi menulis dan membaca sama seperti gw. Dan jenis bacaanya? Hahaha. Gak jauh-jauh kayak gw. Andrea Hirata, Tere Liye, dan Ahmad Fuadi. Kecepatan membacanya juga oke banget. Satu buku bisa dilahap hanya dalam waktu satu hari satu malam. Mantap. Gw aja minimal dua hari satu malam untuk bacaan sekelas tiga pengarang tersebut.

Masih dari posisi duduk gw di ruangan ini. Tangan masih menggenggam pensil yang kian mengecil karena diserut berulang-ulang dengan buku terbuka. Bedanya, kaki gw sudah bersila di atas kursi, pegel. Dan tatapan gw sudah tidak se-takzim sebelumnya. Sudah agak siang, dan sudah semakin banyak yang gw perhatikan. 

Sebenarnya di ruangan ini bukan hanya terdapat dua meja kayu dan kursi-kursi yang berjejer di depannya. Ada sebuah lemari yang cukup besar di sudut ruangan dan sebuah meja di sampingya. Lemari dan meja tersebut digunakan untuk menyimpan berbagai arsip dan buku-buku. Biasanya lemari dan meja tersebut terlihat amat bernatakan. Bagaimana tidak? Staff rumah ini laki-laki semua. Walaupun ada Mas Anto yang terkadang datang untuk membantu bersih-bersih, sepertinya tidak membantu banyak untuk memperindah ruangan.

Namun, ada yang lain beberapa bulan belakangan. Lemari dan meja itu tampak kelihatan jauh lebih rapi dari sebelumnya. Jauh lebih nyaman dipandang mata. Dan itu terjadi sejak kedatangan Mba Dewi :) Mba Dewi merupakan staff paling cantik yang ada di rumah ini. Selain karena satu-satunya staff perempuan yang ada di rumah ini, secara harfiah, Mba Dewi pun memang benar-benar cantik.

Sebenarnya, sebelum Mba Dewi, pernah ada seorang staff perempuan di rumah ini. Namanya Mba Sarah. Beliau lulusan Pondok Madani Gontor. Kalau di Negeri 5 Menara gw tahu bagaimana suasana dan kondisi PM Gontor di wilayah khusus laki-laki, dari Mba Sarah gw tau suasana dan kondisi PM Gontor di wilayah khusus perempuan. Tapi itu tidak lama. Keinginannya yang menggebu untuk melanjutkan pendidikan dan menjadi seorang mahasiswa, mendorongnya untuk mundur dari pekerjaan di rumah ini dan mengejar cita di tempat lain. Belakangan gw mendapat informasi bahwa Mba Sarah sudah diterima di UNJ. Subhanallah. Selamat ya Mba Sarah. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan :)

Gw masih di ruangan ini. Ruangan dengan cat biru muda dengan langit-langit yang berwarna putih. Masih dengan pensil di tangan dan buku yang terbuka. Di kemudian hari, kebiasaan gw ini cukup membuat jengah orang-orang yang melihatnya. Transfer ilmu, cerita, dan semangat pun terus mengalir di ruangan ini. Begitu juga transfer kepercayaan, yang terjadi bahkan baru di hari pertama saat gw menjejakkan kaki di rumah ini.


***
"Tuti pindah IPS? Kalau Tuti pindah IPS mah, bisa-bisa Tuti yang jadi peringkat pertama terus."
Itu kalimat pertama yang gw dapatkan di hari pertama gw menjejakkan kaki di rumah ini lagi saat di di ruang tamu. Kalimat itu meluncur dengan mudahnya dari seorang pengajar matematika senior di rumah ini yang memang sudah tidak asing lagi buat gw.

Peringkat pertama? Baru juga satu minggu gw buka buku IPS. Jangankan menjadi peringkat pertama, gw bisa mengikuti pelajaran IPS dengan baik dan benar saja sudah alhamdulilah.

Itu yang ada dipikiran gw saat kepercayaan itu meluncur dengan mudahnya. Apalagi kalimat itu meluncur dari seseorang yang sudah 6 bulan lamanya baru gw temui lagi hari ini. Tapi perkataan Aii, "Orang kadang jauh lebih tau tentang kita dibandingkan diri kita sendiri, Tuth", kadang memang benar adanya. Kalimat beliau hari itu mampu melesatkan gw jauh selama beberapa bulan ke depan. Begitu pula kalimat-kalimat beliau selanjutnya.

Namanya Mas Asep. Beliau pengajar matematika senior di rumah ini. Tidak asing lagi buat gw karena tahun lalu saat gw di PPLS (Program Persiapan Langsung SNMPTN) IPA, beliau juga guru matematika gw. Lebih dari itu, istri dari Mas Asep adalah kenalan ibu gw.

Beliau lulusan Matematika UGM. Tidak jarang Mas Asep bercerita tentang Yogya dan UGM beserta seluk beluknya. Hal itu membuat tak jarang orang menyangka bahwa beliau berasal dari Jawa dan membuat orang-orang lupa bahwa namanya saja sudah menunjukkan bahwa beliau berasal dari tanah Sunda, hehehe :P

Di rumah ini, ada beberapa pengajar yang cukup dekat dengan anak-anak, dan salah satunya adalah Mas Asep. Saking dekatnya, pembicaraan Mas Asep dan anak-anak di rumah ini sudah bukan hanya tentang matematika, melainkan juga tentang kehidupan pribadinya. Pernah satu hari  yang penuh kehalauan (nunggu pengumuman soalnya) gw dan anak-anak lagi istirahat makan, dan Mas Asep pun datang. Tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan, anak-anak menodong Mas Asep untuk bercerita tentang proses pertemuan beliau dan istrinya sampai akhirnya menikah. Hahahaha :D Bener-bener deh ni anak-anak, lagi pada ngebet nikah ya? :P

Ketika gw menemukan suatu momen dimana matematika menjadi obat penekan tingkat ke-stress-an gw (baca : Berkenalan dengan Teman Lama), sejak saat itu pula gw dekat dengan Mas Asep. Bagimana tidak dekat? Dikit-dikit nanya. Dikit-dikit konsul. Dikit-dikit minta tambahan. Dan sejak saat itulah gw akhirnya mengerti kata-kata Mas Piet, kalau matematika hanyalah ilmu yang mempelajari tentang keteraturan :)

Gw pun tak jarang menjadi sharing partner nya Mas Asep. Sharing partner? Iya, hehehe. Sharing partnernya Mas Asep untuk membicarakan kondisi dan perkembangan anak-anak di rumah ini. Mulai dari anak-anak yang rajin masuk, jarang masuk, yang rajin ngerjain PS, yang PS nya masih bersih, perkembangan nilai TO nya yang bagus banget sampai yang lagi turun banget, dan yang selalu bersemangat sampai yang sedang gundah gulana (kayak perkembangan lw bener aja, Tuth! -___-). Salah satu anak yang paling sering gw bahas sama Mas Asep adalah Zego :D (baca : Ampun, Zeg!)

Dan kalau ditanya, siapa yang paling berpengaruh untuk gw selama ada di rumah ini? Salah satunya adalah Mas Asep :)

Sistem perhitungan nilai TO yang dilakukan di rumah ini adalah perhitungan per lokasi dan perhitungan secara nasional. Hari itu minggu pertama bulan Maret 2011, hasil TO kedua program intensif SNMPTN keluar. Di luar ekspetasi,  alhamdulilah, gw menduduki peringkat 4 se-nasional. Dan lagi-lagi, dengan mudahnya Mas Asep meluncurkan sebuah kalimat.
Mas Asep : Waah, tuti bisa ke-4 nih se-nasional. Bisa jadi peringkat pertama gak, Tuth, se-nasional?

Hahahaha. Bener-bener deh Mas Asep. Gw cuma bisa diem dan senyum doang di tantangin kayak gitu. Bisa gak ya?

Dan pertanyaan itu, pada akhirnya  baru sanggup gw jawab di minggu terakhir bulan Juni, di TO ke 3 Intensif SIMAK UI.
Alhamdulilah, saya bisa, Mas!
 Mas Asep


***

Masih di ruangan ini. Ruangan dengan lantai ubin bermotif yang selalu tampak berdebu walaupun sudah disapu dan dipel setiap paginya.  Sebelum rumah ini ditempati oleh penghuninya yang sekarang, rumah ini merupakan rumah kosong yang tua. Seperti yang sering kita lihat di film-film. Lantai dan barang-barang penuh debu, di sudut ruangan penuh dengan sarang laba-laba, dan suara pintu-pintu tua yang bunyinya cukup tidak enak didengar ketika tertiup angin. Dari sekian banyak renovasi yang dilakukan pada rumah ini, salah satu yang tidak dipugar adalah ubinnya. Alasannya? Gw lupa :P

Di ruangan ini pula, gw bertemu kembali dengan Mas Eris :D ada yang familiar dengan nama ini di postingan-postingan gw sebelumnya, hehehe :P

Sama seperti tahun lalu, tahun ini pun beliau masih menjadi pengajar Bahasa Indonesia gw. Yang sedikit berbeda, tahun ini beliau tidak punya banyak waktu seperti sebelumnya untuk konsultasi. Karena tahun ini beliau pun seuah bekerja di Harian Republika sebagai editor. Subhanallah :D

Dari beliaulah gw tahu kehidupan seorang jurnalis dan kehidupan jurnalistik. Beliau yang merupakan lulusan Sastra Indonesia Universitas Pajajaran ini pernah menerangkan kepada gw  bagaimana proses sebuah berita di buat sampai menjadi koran yang sering kita baca sehari-hari. Mulai dari diliput, masuk ke meja redaktur, di edit, kembali ke redaktur, di edit lagi, sampai akhirnya masuk ke percetakan. Dan semua proses itu dilakukan dalam kurun waktu kurang dari satu hari. Kerja stripping yang luar biasa :D (lw kira sinetron, Tuth, stripping -___-)

Pernah juga satu hari, gw tengah membawa salah satu harian nasional terkemuka ke rumah ini. Saat itu ada Mas Eris. Mas Eris menjelaskan kepada gw tentang kelebihan dan kekurangan lima besar harian nasional di Indonesia. Bahkan, gw dan Mas Eris sampai mencoba mengedit beberapa kesalahan di harian nasional yang saat itu gw bawa. Mantaaaap :D

Awalnya, dari cerita-cerita Mas Eris gw sedikit tertarik di bidang jurnalistik. Tapi meningat kenyataan bahwa sudah bukan rahasia umum lagi, tidak sedikit beberapa sektor jurnalistik di Indonesia yang sudah dipolitisasi, sepertinya gw akan berpikir dua kali.
***

Pukul 09.00

Saatnya masuk kelas!

Kelas gw hanya sepelemparan batu jarakanya dari ruang tamu. Kelas gw saat itu terletak di ruang 03. Di sebelah kiri kamar mandi putri, si sebelah kanan ruang 02, dan di seberang ruang 05. Kelas gw merupakan kelas dengan temperatur udara paling menusuk tulang karena kualitas AC yang masih sangat baik. Ruang kelas ini tidak besar. Ruangan dengan cat putih dan pintu berwarna buru muda, yang senada dengan warna temboknya ini hanya cukup di muati oleh sekitar 15-20 orang. Sama seperti kelas pada umumnya, ruangan ini hanya terdiri dari sebuah papan tulis, kursi-kursi, sebuah meja kecil di sudut kanan depan ruangan, dengan sebuah proyektor dia atasnya (dan saat gw keluar dari rumah ini, ternyata di atas papan tulis kini di pasang layar televisi -___-). Jendela kecil yang ada di sudut kanan belakang ruang kelas ini seolah tak berarti banyak karena memang tak pernah di buka. Tidak ada yang istimewa dari ruang kelas ini. Tapi yang membuatnya berbeda adalah orang-orang yang gw temui di dalamnya.

***

Salah satu pelajaran yang gw dapatkan di rumah ini, selain pelajaran yang diujikan dalam SNMPTN pada umumnya, gw juga mendapatkan sebuah pelajaran yang disebut dengan BIP. BIP merupakan singkatan dari Bimbingan dan Informasi Pendidikan. Atau mungkin lebih umum kita kenal dengan bimbingan konseling. Di BIP, selain diberikan materi-materi yang menunjang kebutuhan pemenuhan motivasi dalam belajar, diberikan juga penjelasan tentang seluk beluk SNMPTN. Mulai dari pelaksanaan teknis sampai non teknis.

Hari itu minggu pertama gw mendapatkan pelajaran BIP. Pengajar BIP gw adalah Mba Amalia Sekar Wulan atau yang akrab dipanggil Mba Amel. Belakangan gw tau bahwa Mba Amel adalah pengajar yang diceritakan T'Fia saat T'Fia berkonsultasi untuk mempertimbangkan pilihannya antara di UI atau di Unpad.

First time gw diajar oleh Mba Amel? Ya Allah.. Caranya menatap orang lain, caranya berbicara, bercerita, bahasa yang beliau gunakan, dan caranya menanggapi perkataan orang lain, mirip banget sama seorang teteh gw. Teteh yang sangat berpengaruh buat gw. Dan teteh yang sangat gw segani.

Mengingat gw udah lama banget gak buka internet, dan membuat gw lama tidak membaca tulisan teteh gw itu, tiba-tiba gw kangen aja sama teteh gw itu :(

Teh, apa kabar?

Belum habis dengan keterkejutan gw, Mba Amel memperkenalkan diri. Ternyata? Beliau lulusan Psikologi UI tahun 2004. Oh meeen, benar-benar sama dengan teteh gw yang satu itu, hanya tahunnya saja yang berbeda. Kawan, tau gak apa yang ada di otak gw saat itu? Gilaaa, masa iya lulusan Psikologi UI jadinya begini semua? Ngeri juga kayaknya :P

Benar saja, Mba Amel membuat gw sama segennya dengan teteh gw yang satu itu. Lebih segan malah, mengingat umur beliau yang lebih tua beberapa tahun dari teteh gw itu dan beliau sudah berkeluarga. Beberapa minggu awal pelajaran BIP, gw cuma bisa mendengarkan materi dari Mba Amel dengan takzim tanpa perlawanan. Mencoba merekam baik-baik setiap materi yang disampaikan.
Kalau kalian gagal lagi tahun ini, bayangkan sedihnya kalian bakal dua kali lipat! Malunya kalian bakal dua kali lipat! Dan marahnya kalian bakal dua kali lipat dari tahun ini!
Kalimat itu gak pernah berhenti di ulang-ulang Mba Amel setiap mengisi materi di kelas Ronin (baca : Mereka yang Juga Berjuang). Nada suaranya. Emosinya. Terekam baik dalam ingatan gw. Selama kalimat itu diulang-ulang, selama itu pula gw cuma bisa mengangguk dan menatap takzim Mba Amel. Dan tentu saja, masih tanpa perlawanan.

Iya Mba, semua itu akan terasa dua kali lipat lebih besar dari tahun ini.

Awalnya gw kira gw saja yang berlebihan menganggap Mba Amel mirip banget sama teteh gw itu. Tapi ternyata gak juga.

Hari itu, SMANSA DAY 2011. Gw datang bersama seorang teman gw yang kebetulan Ronin juga. Di gerbang, gw tidak sengaja bertemu dengan teteh gw itu yang sepertinya sudah mau pulang dan terburu-buru. Gw berpapasan. Satu dua menit saling sapa. Dan kemudian berlalu.
Temen gw : Tuth, itu siapa?
Gw : Itu teteh gw yang gw bilang mirip banget sama Mba Amel. Mirip gak?
Temen gw : Sumpah mirip banget, Tuth!
Sampai akhirnya di suatu malam, Mba Amel tiba-tiba sms gw. Beliau menyampaikan komentarnya setelah membaca blog gw yang entah dari mana beliau tau kalau gw punya blog (pasti dari fb laaah, Tuth, dari mana lagi? Suka dung dung deh ente -_-). Momen itu pun gw manfaatkan untuk menyampaikan keterkejutan gw. Gw cerita ke Mba Amel kalau Mba Amel ngingetin gw sama seorang teteh gw yang mungkin beliau kenal juga. Tapi ternyata beliau gak kenal. Tapi iya juga sih. Ketika Mba Amel lulus, satu tahun setelahnya baru teteh gw itu masuk Psikologi UI.

Setelah puas mengungkapkan segala apa yang ada di hati dan pikiran gw, gantian Mba Amel yang bercerita. Kawan, tau apa yang Mba Amel ceritakan? Seolah merasakan hal yang sama, Mba Amel bilang gw mengingatkannya dengan seorang sahabatnya di Psikologi UI dulu yang berasal dari SMAN 3 Bogor. Katanya gw mirip banget dengan sahabatnya itu. Terlebih lagi setelah membaca tulisan-tulisan gw di blog. Dan ternyata itu yang menjelaskan mengapa saat pertama kali bertemu sampai beberapa minggu kebelakang, kalau ada apa-apa pasti gw yang disebut oleh Mba Amel.

Sejak saat itu? Gw jauh lebih terbuka dengan Mba Amel. Jauh lebih klik dan jauh lebih klop :D

Hal itu pun dibuktikan saat seorang teman sedang bercerita mengenai masalah pribadi. Tanpa perlu banyak bicara, sepertinya tanggapan gw dan Mba Amel tentang kasus tersebut sama hanya dengan sekali lirikan mata, hahahaha, mantaaaap :D
Mba Amel : Annisa Dwi Astuti, first time I saw you, I guess that you are the yellow jacket :)
Itu kalimat yang disampaikan Mba Amel di group NF Paledang di Facebook setelah hari terakhirnya mengajar di rumah ini. Gw merinding dengernya. Dan kalimat itu menjadi amunisi tersendiri di saat gw mati-matian berjuang membunuh rasa jenuh -yang perlahan tapi pasti- mulai menggerogoti.

Kalau ada yang harus gw rindukan ketika meninggalkan rumah ini nanti, salah satunya adalah Mba Amel. Terima kasih untuk banyak hal ya, Mba.

And now,  your guess is coming true, Mba :) 

Mba Amel

***

Kalau ada yang bilang semua pengajar di dalam rumah ini dekat dengan anak-anak, sepertinya tidak juga. Bahkan ada seorang pengajar yang sama sekali gak pernah gw anggap sebagai pengajar. Akan tapi, selalu gw anggap sebagai teman cari ribut! Hahahaha :P

Namanya Mas Asep. Berbeda dengan Mas Asep matematika sebelumnya, semua orang pasti akan langsung menyangka bahwa beliau adalah orang Sunda karena wajah dan logatnya yang Sunda banget. Beliau pengajar ekonomi gw, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia. Yang gw gak habis pikir, ada aja kelakuan Mas Asep yang seolah ngajak gw ribut  -_-

Hari itu, sore di bulan Januari 2011. Kelas gw ada tambahan ekonomi dengan Mas Asep. Lebih tepatnya tambahan akuntansi. Ternyata ekonomi dan akuntansi adalah sesuatu yang amat sangat berbeda. Belakangan gw baru tahu, kalau banyak anak ilmu ekonomi yang kesulitan lulus dari mata kuliah akuntansi dan begitu juga sebaliknya karena dua hal tersebut adalah hal yang sangat bertolak belakang. Kalau dalam pembagian kerja, mungkin bisa dianalogikan bahwa anak ilmu ekonomi adalah seorang konseptor, dan anak akuntansi adalah seorang pekerja lapang.

Berhubung gw benar-benar baru belajar akuntansi dari nol, semua istilah yang gw anggap membuat mata gw berkunang-kunang dan membuat banyak bintang berputar-putar di kepala gw, akan langsung gw tanyakan.

Salah satunya..
Gw : Mas, bedanya diterima di muka sama di bayar di muka apa?
Mendengar pertanyaan itu, Mas Asep langsung berdiri dari duduknya dan menghampiri gw yang kebetulan saat itu tengah duduk di barisan paling depan. Beliau mengeluarkan selembar uang 50.000. Kawan, tahu apa yang terjadi setelah itu?

Beliau melemparkan uang 50.000 yang ia pegang tepat di depan muka gw sambil berkata..
Mas Asep : Nih, yang dimaksud dibayar di muka!
Teman-teman sekelas gw yang mengerti maksud dari konotasi adegan barusan langsung berseru gaduh. Gw yang sekian detik selanjutnya disadarkan oleh suara riuh rendah teman-teman gw , "parah...parah...parah..", baru mengerti apa maksudnya. Edaaaaan, gw langsung tersenyum sinis dan geleng-geleng kepala. Gw yang saat itu masih dikenal pendiam (hahaha, mamantes lw, Tuth, pendiam :P) mulai menampakan wujud aslinya.

Dan sejak hari itu, perang berkobaaaar! Hahahahaha (bikin emote serem gimana sih?)

Ada juga di hari yang lain, saat itu gw sedang ada jadwal kelas siang. Pukul 12.10. Gw yang tau hari itu pelajaran Mas Asep, memutuskan sholat dulu dengan santainya. Yaudah sih ya, Mas Asep doang :P

Dari ruang kelas gw, Mas Asep berdiri di depan kelas melihat kanan kiri kalau-kalau ada yang belum masuk kelas. Melihat gw yang baru keluar dari mushola hendak menuju kelas, beliau masuk kelas dengan membiarkan pintu terbuka.

Masuk kelas? Ternyata tidak. Beliau ternyata menunggu di balik pintu. Ketika yakin gw sudah berada di jarak yang tidak jauh lagi dari daun pintu, beliau pun segera menutupnya dan membuat badan gw berbenturan dengan daun pintu! Edaaaan, gw salah apa ya sama si Mas yang satu ini :'(

Tapi diantara perang-perang tersebut, sepertinya memanggil gw dengan sebutan 'teteh' merupakan hal yang paling menyenangkan buat beliau. Hal itu bermula saat ia menyadari bahwa ketika gw berinteraksi dengan adik-adik gw di Perisai Ksatria, mereka menyebut gw dengan panggilan 'Teh Tuti'.

Sejak saat itu?
Mas Asep : Eh ada Teh Tuti. Teteh Teteh, kok dipanggilnya Teteh Tuti sih? Berarti Teteh udah tua ya, Teh?

Dan senjata pamungkas gw?
Gw : Panggilan dan muka boleh tua, Mas. Tapi mentally, saya dewasa!

Hahahaha, waeeee lw dewasaaa, Tuth! Masih suka jadi zombie kalau sedang galau tentang ****** juga, hahaha, iya khan sop ;)

Terlepas dari hobi ngajak ributnya dan cerita-cerita gw di atas yang membuat beliau terkesan sebagai seseorang yang picabokeun pisan, beliau tetap orang baik kok :)

Pernah di satu kesempatan, pada akhirnya gw bisa ngobrol serius juga dengan beliau (walaupun itu tidak berarti bendera perang diturunkan :P). Gw dan Mas Asep ngobrol tentang cita-cita, masa depan, dunia perkuliahan, idealisme, sampai tentang rasionalitas. Sama seperti Mas Asep matematika, gw juga sering jadi sharing partnernya Mas Asep ini untuk membahas perkembangan anak-anak di rumah ini. Bedanya, kali ini dilihat dari sisi ekonomi (apa cobaaaa, Tuth? -__-)

Lebih jauh dari itu, selain Mas Alex, Mas Asep lah orang yang paling berjasa besar membantu gw untuk mendongkrak nilai-nilai gw lewat ekonomi. Yap. ekonomi benar-benar mendongkrak nilai gw gila-gilaan di SNMPTN tahun ini.

Sepeninggalan gw dari rumah ini, ternyata Mas Asep pun akan meninggalkan rumah ini. Melanjutkan hidupnya di Kota Kembang Bandung. Ketika gw tanya alasannya, beliau tidak mau menjelaskan. Well, mungkin ada sesuatu yang harus dikerjakan di kampung halaman :)
Mas Asep : Yah, Tuth. Kalau kamu psikologi berarti gak ada yang melanjutkan saya di ekonomi, dong?

Weits, jadi anak psikologi bukan berarti jadi gak ngerti ekonomi khan, Mas? :D Terima kasih dan mohon maaf untuk banyak hal ya, Mas. Sampai bertemu di lain kesempatan. Atau mungkin di perang-perang selanjutnya! Hahaha :D

***

Belum beranjak dari ruangan ini. Ruangan dengan papan tulis yang agak sedikit cacat karena sudah menggelembung. Papan tulis yang menyadarkan gw bahwa fokus mata gw sepertinya sudah mulai buyar lagi untuk melihat jarak jauh.

Hari itu, pelajaran sosiologi. Gw yang tengah menikmati menatap tulisan-tulisan yang ada di papan tulis, tiba-tiba dibuyarkan oleh seseorang.

Mba Devi : Tuti, kamu tuh anak IPC ya?
Gw : Eh, IPC, Mba? Enggak kok Mba. Saya pindah IPS. Emang kenapa gitu, Mba?
Mba Devi : Soalnya mata kamu mata anak IPA.

Namanya Mba Devi. Beliau pengajar sosiologi dan sejarah gw selain Mas Damar. Beliau lulusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kalau udah ngedengerin beliau cerita, khusunya sosiologi, enaaaak banget dengernya. Apalagi ditambah aksen jawanya yang medok banget, maknyuslah pokoknya.

Ngomong-ngomong soal mata, emang mata saya ada tulisan 'IPA' nya ya, Mba? Hohoho. Kalaupun ada, kayaknya tulisannya bukan 'IPA' deh Mba, tapi 'WARNING! MINUS BERTAMBAH!' :(

*bersambung

Kamis, 14 Juli 2011

Rumah Ketiga : Antara Bogor dan Sukabumi (bagian 1)

Jln. Sekolah No.4A, Paledang, Bogor.
Pukul 06.15

Gerbang masih ditutup. Pintu masuk pun masih dikunci dan ditutup oleh tirai. Tempat parkir motor masih lengang tanpa motor satu pun. Penanda kehidupan belum benar-benar di mulai hari ini. Seperti biasa, gw mengambil posisi di sudut beranda. Duduk bersila dengan buku di pangkuan dan pensil di tangan. Menunduk takzim melahap bacaan baris demi baris, halaman demi halaman, dan buku demi buku. Mencoba mempertanggungjawabkan pilihan gila yang baru gw ambil seminggu terakhir ini (baca : Rabb, Saya Mau Mengupgrade Mimpi, Boleh Ya?).

Dari posisi ini, kegiatan orang-orang yang memulai harinya terlihat. Satu demi satu mobil berdatangan. Tidak, mobil itu tidak masuk ke tempat parkir rumah ini. Mobil-mobil itu hanya tengah berebut tempat parkir di depan gerbang rumah. Pada umumnya, orang-orang yang memarkirkan mobilnya di sini adalah para penglaju yang hendak naik kereta untuk bekerja di Jakarta. Begitu ironis ketika seseorang memutuskan untuk memiliki kendaraan pribadi untuk memudahkan mobilitasnya, kenyataanya kendaraan tersebut tidak benar-benar bisa memudahkannya karena pertimbangan kondisi dan jaringan jalan yang tidak memadai.

Perlahan pagi pun menggeliat menunjukkan kehidupannya. Jalan di depan gerbang mulai memadat. Penuh oleh mobil-mobil para orangtua yang mengantar anak-anaknya ke sekolah. Para pedagang dengan gerobaknya yang akan menjajakan dagangannya di sepanjangan jalan samping matahari pun menambah padat kondisi jalan. Saking padatnya, banyak anak yang memutuskan turun dari mobilnya dan berjalan ke sekolah yang jaraknya memang sudah tidak jauh lagi.

Gedung di seberang rumah ini pun mulai terlihat ramai. Pintu dari gedung putih yang memang merupakan kost-kostan ini mulai terlihat tertutup dan terbuka. Penghuninya mulai keluar masuk melakukan kegiatan. Mulai dari karyawan dengan seragam kantornya, mahasiswa dengan baju bebasnya, sampai siswa SMA dengan seragam putih abu-abunya.

Di tengah hingar bingar kepadatan pagi hari di sepanjang Paledang, ternyata ada yang memilih tidak mengambil andil di dalamnya. Di sudut gerbang rumah bagian kanan, ada seorang kakek yang selalu duduk di sebuah kursi kayu. Kakek tersebut hanya menggunakan kemeja, celana, dan topi yang super lusuh, penanda sudah berhari-hari atau mungkin berbulan-bulan tidak pernah diganti sama sekali. Ditambah lagi ketika berada di dekatnya, bau pesing menyeruak dengan jelas. Entah kapan terkahir kalinya kakek ini mandi. Setiap pagi ia hanya duduk beratapkan seng bekas warung yang sudah tak terpakai. Ia hanya duduk. Diam. Melihat segala bentuk kehidupan yang berlalu lalang di depannya.

Belakangan gw tau, kakek tersebut memang sebatang kara. Informasi pertama yang gw dapatkan, seluruh keluarga kakek tersebut telah meninggal dunia. Tapi informasi lain menyebutkan kakek tersebut ditinggal oleh anak-anaknya yang sudah menikah. Ia makan hanya jika ada orang yang memberinya makan saja. Pernah di satu hari yang lain gw pernah melihat kakek ini masuk ke dalam parit yang ada di sebrang rumah ini dalam waktu yang lama dengan membawa sembuah gembolan. Lama gw memperhatikan. Kakek itu tak kunjung keluar dari parit yang memang cukup besar untuk dimasuki oleh orang dewasa. Entah apa yang dilakukannya.

Melihat kondisi fisik kakek yang masih cukup baik, gw terpikir untuk mencarikannya sebuah perkerjaan.  Hidup terlalu singkat kalau hanya digunakan untuk duduk dan melihat saja bukan? Apalagi kalau ternyata ia hanya makan jika ada orang yang memberinya makan. Gak pernah ada jaminan keberlangsungan hidup kalau hanya memangku tangan, bukan? Saat itu, pekerjaan yang terpikirkan oleh gw adalah tukang koran. Bukan suatu pekerjaan yang berat untuk seorang kakek dengan kondisi fisik yang masih cukup baik. Tapi ternyata?
Kakek : Kakek udah tua neng buat kerja mah...
Gw mencoba memberikan perngertian. Mengganti alternatif lain pekerjaan. Tapi sepertinya kakek ini memang benar-benar sudah tidak ada keinginan untuk bekerja. Pada hakikatnya, memang selayaknya seorang kakek yang sudah berumur seperti ini diurus oleh anaknya. Tapi kalau keadannya sudah seperti ini? Apa iya kakek ini hanya mau duduk dan diam menunggu suatu hari anaknya pulang dan menjemputnya. Padahal jaminan anaknya -yang entah berada di mana- ingat dengan kakek ini pun tak ada.

Awalnya gw simpati. Akan tetapi, melihat kakek yang sudah tidak memiliki passion untuk merubah keadaan dirinya, ditambah di hari yang lain gw melihat kakek ini merokok, yap! m-e-r-o-k-o-k! Walaupun mungkin saja rokok itu bukan dia beli sendiri, tapi hasil pengasih orang, simpati gw luntur.

Biarlah. Toh gw gak cukup baik untuk bilang, "Allah gak akan ngerubah keadaan Kakek kalau Kakek gak ngerubahnya senidri, Kek". Mungkin memang cukup Allah saja yang menjaga Kakek ini. Dan cukup Allah saja yang memberikan pengertian kepada kakek ini.
***

Pukul 07.00.

Kepadatan di Paledang mulai terurai perlahan. Anak-anak sekolah sudah masuk sekolahnya masing-masing. Atau bahkan mungkin sudah duduk dengan tertib di kelasnya dan berdoa untuk menjemput ilmu. Para penglaju pun berganti memadati stasiun dan gerbong-gerbong kereta. Para pedagang kini masih sibuk mebereskan gerobaknya. Mengelap meja ketika satu dua pembeli datang untuk mengisi perutnya yang belum sarapan.

Akan tetapi, yang punya kehidupan pagi hari bukan saja di luar gerbang, di dalam gerbang juga ada kehidupan. Rumput-rumput di pelataran parkir terus berlomba untuk menjadi yang paling tinggi. Bunga-bunga merah muda -yang tidak gw ketahui namanya- tumbuh menjalar diantaranya. Tepat di sebelah posisi duduk gw, ada sebuah bunga berwarna putih -yang entah pula apa namanya-. Berjejer rapi dengan sekumpulan bunga pukul 4. Dan bunga-bunga itulah yang mengundang kupu-kupu berkunjung setiap paginya. Lucunya, kupu-kupu itu datang selalu bertepatan ketika gw tengah mengenakan baju dan jilbab warna cerah, seperti kuning, hijau muda, merah mudah, merah, ungu, dan putih. Benar saja, ketika gw mengenakan baju warna hitam, coklat, atau biru tua, pasti pagi itu tidak ada kupu-kupu yang berkunjung. Kesimpulannya? Gw unyu kayak bunga :D hahahahahaha :P

Di hari yang lain, pernah ada penghuni luar gerbang ikut meramaikan kehidupan di dalam gerbang. Hari itu, gw yang tengah merangkai kronologi perpindahan kekuasaan dari orde lama menuju orde baru, dikejutkan dengan seekor kucing yang tiba-tiba berdiri dihadapan gw. Tidak ada yang istimewa dari kucing tersebut. Tapi ada yang berbeda. Nafasnya memburu. Terengah-engah. Bulu-bulunya berdiri tegang. Kenapa nih kucing?

Sekian detik kemudian, datang anjing coklat besar di belakangnya. Seolah melanjutkan perseteruan yang telah terjadi sebelumnya, anjing dan kucing terebut pun bersitegang di depan gw. Anjing coklat yang berukuran dua kali lebih besar dari kucing tersebut pun terus menyalak.

Takut-takut anjing segera mencari mangsa baru menyerah karena tidak berhasil mengalahkan kucing, pelan-pelan gw menjauh dari tempat terjadinya konflik. Gw melihat dari luar gerbang rumah. Tanpa peduli dengan hukum alam yang menyatakan anjing akan selalu lebih unggul dari kucing, kucing pun terus mengeong bertahan. Pertahanan yang luar biasa. Setiap anjing bersiap mendekati kucing untuk menyergap, kucing terus mengeong dan bertahan dengan bulu yang kian menegang. Berusaha menunjukkan sosok paling seram yang dimilkinya.

Kejadian itu berlangsung selama 15 menit. Selama itu pula gw hanya berani melihat dari kejauhan. Sampai akhirnya? Anjing berbadan besar itu beringsut keluar gerbang. Melewati gw dan berlalu.

Kucingnya?

Beberapa waktu kemudian, kucing itu pun menyusul keluar gerbang, melewati gw ke arah jalan yang berbeda yang dilalui anjing. Dengan langkah setengah berlari, kucing itu pergi meninggalkan gw. Bulunya masih tampak menegang. Entah apa yang ia rasakan saat itu. Tapi satu hal yang gw tau, kucing itu berhasil bertahan!
***

Pukul 07.15

Teng..Tong..Teng..Tong..Teng..Tong..

Palang pembatas jalan kereta turun perlahan. Sejenak palang pintu itu menghentikan aktivitas di jalan sekolah itu. Pengendara motor, mobil, dan pejalan kaki berdiam di tempatnya masing-masing demi memberi kesempatan sebuah angkutan massal melintas.

Tak lama bumi bergetar. Sebuah kereta berwarna hijau dengan 7 gerbong melaju perlahan dari arah Sukabumi ke Stasiun Bogor. Kosong. Kereta itu siap menjemput muatan. Menjemput orang-orang yang siap menjemput rezekinya di berbagai belahan bumi milik-Nya.

Tak lama setelah itu, pintu rumah ini terbuka. Entah oleh Mas Anto yang datang, entah oleh Mas Ade yang telah bangun dari tidurnya. Bersamaan dengan itu, Matahari perlahan mulai melaksanakan tugas hariannya. Sinarnya yang hangat menghantam apa saja yang tampak di permukaan bumi tanpa diminta. Bak drakula yang takut dengan matahari, sinar tersebut mulai terasa menyilaukan untuk gw. Gw pun beringsut masuk ke dalam rumah.

Dan kehidupan hari ini pun dimulai :)

*bersambung

Rabu, 06 Juli 2011