Hujan. Sudah dua jam Arini berdiam diri di samping jendela kamarnya sambil memandangi hujan yang sudah dua jam pula tak kunjung berhenti. Kepalanya bersandar lemas pada bingkai jendela. Tetapi tidak dengan matanya. Sorot matanya tajam membelah tetesan-tetesan hujan yang semakin deras. Tidak. Arini tidak sedang memandangi hujan. Tetapi Arini sedang bersiap untuk memulai “petualangan” di negeri lamunannya. Arini menghela nafas panjang. Tubuhnya berbalik kemudian bersandar pada dinding kamarnya. Matanya pun perlahan terpejam, bersamaan dengan kenangan masa lalu yang mulai mengisi seluruh sudut pikirannya.
***
Arini tertegun sesaat. Menelan ludah. Matanya masih terpejam. “Petualangannya” terhenti sesaat. Ia rindu kata-kata itu. Sungguh ia rindu. Rindu dengan kata-kata yang saat ini sudah jarang ia dengar, atau bahkan sudah tidak pernah lagi ia dengar. Kata-kata yang selalu mampu membantunya bangun ketika terjatuh. Tangannya bergetar. Arini menggigit bibir. Ia tak mau menangis. Ia beristigfar. Sekali lagi ia menghela nafas panjang. “Petualangan”nya pun kembali dimulai.
***
“Allahuakbar Allahuakbar”
Jam kamar Arini menunjukan pukul 15.15 WIB. Suara azan ashar membangunkan Arini dari lamunannya. Perlahan Arini membuka matanya. Ketika hujan di luar sudah mulai mereda, di saat yang bersamaan Arini sudah tak kuasa membendung air matanya. Ia menangis. Sungguh ia rindu dengan sahabatnya. Tangan Arini bergetar lebih hebat. Ia takut kehilangan sahabat yang selama ini selalu jadi motivatornya. Ia takut kehilangan salah satu fondasi diri yang telah membentuknya. Sambil menangis, ia melangkahkan kakinya untuk mengambil air wudhu. Ia ingin mengadu. Ia ingin shalat.
Kamar Arini hening. Arini sedang sholat. Hanya terdengar sesekali isakan tangis Arini ditengah-tengah shalatnya hingga rakaat terakhir. Setelah selesai, Arini masih termenung. Ia tak mau banyak bicara karena ia tahu Yang Maha Mengetahui sudah tahu apa yang akan ia adukan. Ia kembali terpejam. Arini berzikir menenangkan hatinya. Sampai diujung zikirnya ia tersenyum. Seakan menemukan jawaban dari apa yang selama ini membuatnya risau.
***
Sahabatku, maaf kalau aku terlalu egois. Maaf kalau aku hanya memikirkan diriku sendiri yang membutuhkan kau sebagai sahabatku. Maaf kalau aku memang tak bisa memberikan sesuatu yang berarti buatmu selama ini. Tapi aku benar-benar menyayangimu sahabatku, dan kini sungguh aku merindukanmu. Aku hanya takut tidak lagi memiliki motivator dan sahabat hebat sepertimu. Kau tau apa yang paling aku takuti? Kau dulu mengajarkanku bahwa terkadang kesendirian itu tidak menyenangkan. Dan sekarang? Tanpa kau mungkin aku akan kembali seperti dulu. Sendiri.
Tapi akhirnya aku mengerti. Bahwa kita memang “berbeda”. Kau dengan duniamu, dan aku dengan kesendirianku. Aku sangat bersyukur pernah jadi salah satu sahabat terbaikmu. Sahabatku, aku hanya bisa mendoaknmu. Semoga Allah selalu membrikan yang terbaik dimanapun kau berada. Hari-hari berat yang dulu kita lalui bersama, sebentar lagi akan datang lagi sahabatku. Kita akan sama-sama berjuang, walaupun dengan tempat dan cara yang berbeda. Doakan aku juga ya sahabat, doakan aku bisa berjuang maksimal, wlaupun pada akhirnya aku harus kembali seperti dulu. Berjuang dengan kesendirianku. Aku selalu sayang kau sahabatku.