15 Desember 2010
Terkisah ada dua orang remaja tanggung. Sebut saja si Fulan dan Fulani.
Si Fulan dan Fulani berasal dari tempat, pola pikir, dan kepribadian yang berbeda. Hingga suatu saat, garis hidup mereka bersinggungan dan berjalan beriringan yang menyebabkan mereka berdua akhirnya menjadi teman. Mereka berteman dengan baik. Menjadi partner kerja dengan baik. Walaupun banyak perbedaan yang mereka miliki. Ya. Teman dan partner kerja yang baik.
Sampai akhirnya terjadilah sebuah tregedi. Miss kordinasi dan miss komunikasi pun menjadi kambing hitam atas semua masalah ini. Pertemanan pun mulai meregang. Fulani yang mengandalkan persuasi dan negosiasi dalam penyelesaian masalah pun bersedia 'mengalah' terhadap si Fulan yang tempramental. Fulani selalu berusaha mejelaskan duduk perkaranya dengan berbagai cara yang pada akhirnya selalu ditangkis oleh si Fulan dengan berbagai cara.
Karena situasi dan kondisi, garis yang bersinggungan itu pun mulai berjalan ke arah masing-masing. Tapi jembatan ketegangan antar si Fulan dan Fulani tak pernah putus. Diperparah dengan si Fulan yang sudah tidak mau mendengar lagi dan Fulani yang terlampau lelah untuk mengahadapi si Fulan.
Ketegangan pun sampai klimaksnya ketika si Fulan dan Fulani ada di puncak emosi masing-masing. Si Fulan sudah tidak bisa berpikir rasional mulai mengancam akan melapor polisi dan membunuh si Fulani. Adapun Fulani, saking lelahnya menghadapi si Fulan secara baik-baik, sudah lupa tentang arti penting sabar, komunikasi, persuasi, dan negosiasi yang selama ini ia pelajari. Fulani pun menantang balik si Fulan bahwa dalam tragedi ini dialah yang ada di posisi yang benar dan mempersilahkan dengan tangan terbuka jika ingin dibawa ke ranah hukum. Dan pada akhirnya, si Fulan yang emosinya berkobar bak api semakin membesar, dan Fulani yang pada awalnya mampu memposisikan diri menjadi air mulai menampakan percikan api.
Sampai suatu hari, ayah si Fulan di panggil oleh-Nya.
Sejak saat itu, ketegangan tetap berlangsung dan tak kunjung usai. Bedanya, si Fulani menyadari penuh bagaimana status orang yang bersitegang dengannya saat ini. Yang pada akhirnya, membuat ia kembali memposisikan diri untuk tetap menjadi air.
Sepuluh bulan telah berlalu. Ketegangan itu pun tak kunjung usai. Stagnan tanpa menunjukkan titik terang.
Tapi ternyata di balik ketegangan itu, ada kisah yang tak bisa dijelaskan.
Setiap terjadi ketegangan. Ketika Si Fulan meledak-ledak dan si Fulani selalu berusaha meredakannya, di akhir ketegangan tersebut, bak tak pernah ada masalah, mereka saling mendoakan dan bercerita.
Si Fulan mendoakan Fulani untuk tes-tes yang dijalaninya, begitu pun sebaliknya. Si Fulani mendoakan si Fulan semoga keluarganya dalam keadaan sehat, begitu pula sebaliknya. Si Fulan bercerita tentang stressnya menghadapi ujian dan si Fulani menyemangatinya. Doanya tulus. Semangatnya tulus. Tanpa ada bumbu-bumbu seolah hanya doa basi-basi di tengah ketegangan.
Kini garis si Fulan dan Fulani semakin jauh. Jangankan beriringan, bersinggunan lagi pun sudah tidak. Dipisahkan oleh kota dan tujuan yang berbeda. Tapi jembatan ketegangan itu belum putus sampai saat ini. Dan entah kapan bisa diputus.
Tapi di sisi lain, doa dan semangat yang tulus itu pun seolah selalu menyertai ketegangan itu.
Si Fulan dan Fulani berasal dari tempat, pola pikir, dan kepribadian yang berbeda. Hingga suatu saat, garis hidup mereka bersinggungan dan berjalan beriringan yang menyebabkan mereka berdua akhirnya menjadi teman. Mereka berteman dengan baik. Menjadi partner kerja dengan baik. Walaupun banyak perbedaan yang mereka miliki. Ya. Teman dan partner kerja yang baik.
Sampai akhirnya terjadilah sebuah tregedi. Miss kordinasi dan miss komunikasi pun menjadi kambing hitam atas semua masalah ini. Pertemanan pun mulai meregang. Fulani yang mengandalkan persuasi dan negosiasi dalam penyelesaian masalah pun bersedia 'mengalah' terhadap si Fulan yang tempramental. Fulani selalu berusaha mejelaskan duduk perkaranya dengan berbagai cara yang pada akhirnya selalu ditangkis oleh si Fulan dengan berbagai cara.
Karena situasi dan kondisi, garis yang bersinggungan itu pun mulai berjalan ke arah masing-masing. Tapi jembatan ketegangan antar si Fulan dan Fulani tak pernah putus. Diperparah dengan si Fulan yang sudah tidak mau mendengar lagi dan Fulani yang terlampau lelah untuk mengahadapi si Fulan.
Ketegangan pun sampai klimaksnya ketika si Fulan dan Fulani ada di puncak emosi masing-masing. Si Fulan sudah tidak bisa berpikir rasional mulai mengancam akan melapor polisi dan membunuh si Fulani. Adapun Fulani, saking lelahnya menghadapi si Fulan secara baik-baik, sudah lupa tentang arti penting sabar, komunikasi, persuasi, dan negosiasi yang selama ini ia pelajari. Fulani pun menantang balik si Fulan bahwa dalam tragedi ini dialah yang ada di posisi yang benar dan mempersilahkan dengan tangan terbuka jika ingin dibawa ke ranah hukum. Dan pada akhirnya, si Fulan yang emosinya berkobar bak api semakin membesar, dan Fulani yang pada awalnya mampu memposisikan diri menjadi air mulai menampakan percikan api.
Sampai suatu hari, ayah si Fulan di panggil oleh-Nya.
Sejak saat itu, ketegangan tetap berlangsung dan tak kunjung usai. Bedanya, si Fulani menyadari penuh bagaimana status orang yang bersitegang dengannya saat ini. Yang pada akhirnya, membuat ia kembali memposisikan diri untuk tetap menjadi air.
Sepuluh bulan telah berlalu. Ketegangan itu pun tak kunjung usai. Stagnan tanpa menunjukkan titik terang.
Tapi ternyata di balik ketegangan itu, ada kisah yang tak bisa dijelaskan.
Setiap terjadi ketegangan. Ketika Si Fulan meledak-ledak dan si Fulani selalu berusaha meredakannya, di akhir ketegangan tersebut, bak tak pernah ada masalah, mereka saling mendoakan dan bercerita.
Si Fulan mendoakan Fulani untuk tes-tes yang dijalaninya, begitu pun sebaliknya. Si Fulani mendoakan si Fulan semoga keluarganya dalam keadaan sehat, begitu pula sebaliknya. Si Fulan bercerita tentang stressnya menghadapi ujian dan si Fulani menyemangatinya. Doanya tulus. Semangatnya tulus. Tanpa ada bumbu-bumbu seolah hanya doa basi-basi di tengah ketegangan.
Kini garis si Fulan dan Fulani semakin jauh. Jangankan beriringan, bersinggunan lagi pun sudah tidak. Dipisahkan oleh kota dan tujuan yang berbeda. Tapi jembatan ketegangan itu belum putus sampai saat ini. Dan entah kapan bisa diputus.
Tapi di sisi lain, doa dan semangat yang tulus itu pun seolah selalu menyertai ketegangan itu.
0 komentar:
Posting Komentar