Gang Di Tepian Kapuas
Urusan ludah-meludah ini apalagi kalau bukan sarang burung walet. Cobalah panjat menara relay stasiun TVRI Pontianak, tengoklah ke seantero delapan penjuru mata angin, bangunan apa yang paling banyak terdapat di kota ini? Apalagi kalau bukan hotel mewah burung walet, jumlahnya beda-beda tipis dengan masjid ditambah kelenteng. Bentuk bangunan sarang walet menyerupai kotak, tinggi, tanpa cat, hanya warna semen mengelupas, dibuat permanen dari beton, dan konstruksi serta material terbaik—peduli amat kalau pemilik sarang burung walet itu sendiri hanya punya rumah yang bersahaja, kamar terbatas dan penghuninya terpaksa berhimpitan.
Siapapun dengan cepat akan mengenali bangunan sarang burung walet, karena selain mencolok, buat yang tidak pernah tahu, pastilah tidak habis pikir bertanya-tanya bangunan aneh apa yang tinggi dan kokoh tanpa jendela itu, seperti penghuninya benci matahari. Setiap senja datang, ribuan burung walet terbang di atas kota, melengking berisik. Kalau sedang suntuk, cobalah duduk di ujung dermaga kayu tepian Kapuas, lantas lamat-lamat menatap formasi burung walet hingga matahari terbenam, itu efektif menghilangkan beban pikiran. Beda kasus jika rumah kalian berdekatan dengan bangunan sarang walet yang padat burung, polusi suara yang ditimbulkan bisa sebaliknya, menambah stress.
“Selera makan manusia itu aneh, Borno.” Pemilik 37 gedung sarang walet di Pontianak, kenalan pejabat Syahbandar, dengan senang hati menjelaskan duduk perkara, “Ada yang suka makan ular, kodok, kepala kambing, monyet, atau bulu babi, ternyata ada juga yang suka makan ludah. Haha, ludah, kau bayangkan saja. Menjilat ludah baik secara harfiah maupun kiasan saja menjijikkan bagi sebagian orang, ini justeru sungguhan makan ludah.” Pria keturunan separuh baya itu tergelak.
Aku bergidik, bulu kudukku mulai berdiri.
“Kau pernah menikmati semangkok sup sarang burung walet?”
Aku menggeleng, semakin jerih—aku punya pengalaman buruk dengan segala jenis burung, nantilah kapan-kapan kuceritakan kenapa—sekarang lawan bicaraku malah asyik membahasnya.
“Tentu tidak pernah.” Pemilik 37 rumah sarang burung walet itu kembali tergelak, “Kalau kau saja pernah makan sup sarang burung walet, makanan itu berarti tidak istimewa, sama kastanya dengan pisang pontianak kalau begitu. Kau tahu, satu ons sarang burung walet terbaik, harganya tak kurang satu juta, nah, setelah diberi bawang putih dari dataran Tibet, potongan kentang dari Mongolia, dikucuri cuka pedalaman China, jadilah sup nikmat tiada tara, harganya bisa dua kali lipat lagi. Kau bisa membeli beratus piring pisang pontianak dengan semangkok sup Yan Wo.”
Aku hanya diam, menyeka dahi. Kupikir apalah pekerjaan terkait dengan ludah-meludah seperti yang dikatakan pejabat syahbandar dua hari lalu, bersemangat datang ke alamat yang diberikan, ternyata tentang b-u-r-u-n-g, mahkluk yang paling kuhindari selama ini—sama dengan kalian jerih pada tikus, kecoa atau laba-laba. Sialnya, pemilik 37 sarang walet itu malah menganggap ekspresi wajahku cerminan rasa ingin tahu atau terpesona, “Ini bisnis tujuh generasi, Borno. Aku cicit-cicitnya pemilik rumah sarang burung walet pertama kali di Pontianak. Jaman dulu, mereka harus mencarinya di goa-goa pedalaman sana, menantang mati dengan julur-julur bambu seadanya saat memanen sarang burung di kegelapan dan ketinggian belasan meter. Saat pertama kali kakek-kakekku membangun rumah burung walet, semua orang mentertawakan, bagaimanalah burung itu akan tertarik tinggal di rumah? Memangnya dia kucing? Atau kambing atau ayam? Berkembang-biak lantas mau membuat sarang dari ludah kentalnya. Jauh panggang dari api.”
“Tetapi kakek-kakekku tidak menyerah, dia menemukan trik dan rahasia cairan perangsang, keturunan berikutnya membuat rekaman suara walet untuk mengundang burung itu bersarang, hingga sekarang, 37 sarang yang kumiliki dikelola secara modern, scientific, pendekatan ilmiah, dan tentu saja produktif. Kami menjaga suhu dan kelembaban, ada alat monitor elektronik. Tak kurang tiga ton setiap bulan panennya, kau hitung sendiri berapa omzetnya.”
Aku meneguk ludah, “Re-ka-man su-a-ra?” Demi sopan-santun setelah terdiam satu menit, dengan wajah sedikit pias, memaksakan bertanya.
“Iya, sekarang malah ada keping CD pemanggil walet. Kau pasang audio system di dalam gedungnya, kau putar keping CD itu, macam memutar orkes dangdut di kampung, berbondong-bondong burung walet datang. Sarang mereka bergelantungan di langit-langit gedung, besar-kecil, betina-pejantan, beranak-pinak, banyak sekali, coba kau bayangkan.”
Aku meneguk ludah, tidak kubayangkan saja aku sudah mau mual.
“Mau kuperlihatkan fotonya?” Dan tanpa menunggu persetujuanku, pemilik 37 sarang burung walet itu beranjak meraih album foto.
Jemariku gemetar—sama saat kalian gemetar dikepung dua tikus, bedanya kalian bisa loncat ke atas kursi, meja apa saja, aku tentulah tidak bisa seketika lari dari ruangan itu. Demi sopan-santun meremas paha, membujuk diri meneguhkan hati.
“Ini foto sarangnya, banyak sekali bukan? Ini foto induk burung walet berkembang-biak. Ini telurnya. Ini proses panen sarangnya, inilah pekerjaan kau nanti, tenang, Borno, kau akan mengenakan masker, sarung tangan, semua aman, tidak ada itu flu burung, tetapi ya itu, tentu saja di sekitar kau berisik sekali, ribuan burung walet melenguh, mengerumuni—“
Kalimat riang pemilik 37 sarang burung walet itu terputus, aku sudah muntah persis mengenai album foto yang terbentang lebar.
***
Tidak. Aku tidak akan bekerja di bangunan sarang burung walet. Sebaik apapun pemiliknya, sebanyak apapun gajinya, sesederhana apapun pekerjaanku, ayolah, apanya yang sederhana kalau aku harus berhadapan dengan ribuan burung dalam ruangan tertutup dan gelap? Pejabat syahbandar tertawa lebar, manggut-manggut saat aku datang lagi, daripada aku lagi-lagi mengecewakan dia, kuputuskan untuk berusaha sendiri mencari pekerjaan berikutnya.
Terbetik kabar, Ijong, petugas SPBU hendak cuti panjang, pulang ke Jawa menjenguk embok-nya, dengan senang hati aku menjadi pemain pengganti, bekerja di sana selama dua bulan. Itu bukan sembarang pom bensin seperti yang kalian lihat di jalan protokoler Pontianak atau lintas trans Kalimantan, itu SPBU terapung di tepian Kapuas. Perahu tempel, kapal nelayan, boat, drum penjual minyak ke pedalaman Kapuas, semua yang mengapung merapat ke bantalan karet SPBU, lumayan efek goyangnya, kalau kalian bukan anak sungai, dijamin muntah—sudah kaki limbung, bau pengap solar pula. Dari percakapan dengan pengemudi perahu, sambil menunggu meteran menunjuk angka pol, aku jadi tahu banyak soal mesin kapal, mana yang boros, mana yang suka ngadat, mana yang bandel, mana yang bagus (tapi mahal). Percakapan itu tidak selalu mulus, dua kali aku justeru bertengkar dengan pengemudi perahu yang santai merokok. “Kau tahu taipan paling kaya di negeri ini adalah pengusaha rokok. Dia dapat kayanya, kau dapat penyakitnya, dan pom bensin ini bisa kena bala-nya, meledak.” Aku berteriak marah, entah mengerti atau tidak awak perahu nelayan di hadapanku.
Saat aku mulai merasa nyaman duduk di atas kursi plastik (karena ternyata Ijong sudah tiga bulan tidak pulang-pulang), menunggu perahu yang membeli solar, menatap lalu-lalang kehidupan di sungai Kapuas, menatap burung walet terbang, ujung-ujung bangunan aneh berbentuk kotak itu, indahnya remang cahaya senja menerpa permukaan Kapuas, Ijong tiba-tiba pulang. Sumringah dia bilang mbok-nya sehat wal’afiat. Aku tahu diri, meski pemilik SPBU ingin aku saja yang bekerja di sana—Ijong ditolak kembali bekerja karena tidak pernah kasih kabar—aku menyarankan agar Ijong tetap diterima. Aku tidak akan mengkhianati teman.
Pengangguran lagi satu bulan, hingga Mang Jaya, sopir oplet berwarna oranye, jurusan kota-tugu khatulistiwa, menawariku menjadi kondektur. “Apa perlunya oplet punya kondektur?” Aku menyeringai, ragu-ragu. “Setidaknya kau bantu berteriak, kosong, kosong.” Mang Jaya, tetangga di ujung gang tertawa. “Ayolah, kau bisa sekalian kuajari nyetir mobil. Itu upahnya.” Benar juga, aku mengangguk. Maka jadilah aku korban kelicikan Mang Jaya. Tiga bulan ikut dia narik, tiga bulan juga kemajuan belajar nyetirku jalan di tempat, padahal selain itu, Mang Jaya tidak sepeser memberiku tips dari hasil nariknya. “Sabar, Borno, hari ini kita belajar men-starter mobil dulu.” Atau “Tenang, Borno, sore ini kau latihan saja dulu menginjak kopling. Ya, diinjak, dilepaskan, diinjak, dilepaskan. Rasakan sensasinya.” Tidak pernah aku sungguh-sungguh diberikan kesempatan menjalankan opletnya. “Sebentar, sebentar, hari ini cukup satu meter saja dulu.” Demikian dia melarang. Aku mendengus jengkel. “Lah? Aku saja dulu butuh setahun baru bisa nyetir, kau ini kemajuannya sudah luar-biasa. Sabarlah.” Demikian dia membujuk. Aku memutuskan berhenti.
Enam bulan terakhir dihabiskan kerja serabutan. Membantu Cik Tulani di warungnya, menunggui toko kelontong Koh Acung, ikut melaut mencari ikan dan sotong, disuruh-suruh tetangga memperbaiki genteng, toilet mampet, jendela lepas, bahkan mencari kucing hilang.
“Itu setidaknya membuktikan satu hal, Borno.” Pak Tua menghiburku, “Sepanjang kau mau bekerja apa saja, maka kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, malu, dipikirnya tidak pantas dengan ijasah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.”
Aku tidak keberatan dengan jenis pekerjaan remah-remah itu—daripada Ibu terus mengomel melihatku bengong di rumah. Hanya saja, dua tahun lulus SMA tanpa juntrungan, apalagi rencana hendak kuliah lagi sambil bekerja, rasa-rasanya sudah saatnya aku melakukan sesuatu sedikit serius. Enam bulan terakhir, setelah berganti-ganti banyak jenis pekerjaan, tanpa sepengetahuanku, Pak Tua, Cik Tulani dan Koh Acong mengunjungi Ibu di suatu malam, membicarakan sesuatu.
Hasil pembicaraan itulah yang membuatku berangkat pagi-pagi dari rumah hari ini. Tanpa seragam, tidak perlu mandi, diolok-olok tetangga sepanjang gang tepian sungai Kapuas. Inilah pekerjaan baruku, yang ternyata berkelindan dengan banyak hal, termasuk salah-satunya: bertemu dengan kisah cinta sejati. Salah-satu pertanyaan terumit selain berapa lama waktu yang diperlukan kotoran berhiliran dari hulu kapuas hingga muaranya di Laut China Selatan. Inilah pekerjaan baruku, dan Ibu, aku akan bekerja sungguh-sungguh.
***bersambung
Urusan ludah-meludah ini apalagi kalau bukan sarang burung walet. Cobalah panjat menara relay stasiun TVRI Pontianak, tengoklah ke seantero delapan penjuru mata angin, bangunan apa yang paling banyak terdapat di kota ini? Apalagi kalau bukan hotel mewah burung walet, jumlahnya beda-beda tipis dengan masjid ditambah kelenteng. Bentuk bangunan sarang walet menyerupai kotak, tinggi, tanpa cat, hanya warna semen mengelupas, dibuat permanen dari beton, dan konstruksi serta material terbaik—peduli amat kalau pemilik sarang burung walet itu sendiri hanya punya rumah yang bersahaja, kamar terbatas dan penghuninya terpaksa berhimpitan.
Siapapun dengan cepat akan mengenali bangunan sarang burung walet, karena selain mencolok, buat yang tidak pernah tahu, pastilah tidak habis pikir bertanya-tanya bangunan aneh apa yang tinggi dan kokoh tanpa jendela itu, seperti penghuninya benci matahari. Setiap senja datang, ribuan burung walet terbang di atas kota, melengking berisik. Kalau sedang suntuk, cobalah duduk di ujung dermaga kayu tepian Kapuas, lantas lamat-lamat menatap formasi burung walet hingga matahari terbenam, itu efektif menghilangkan beban pikiran. Beda kasus jika rumah kalian berdekatan dengan bangunan sarang walet yang padat burung, polusi suara yang ditimbulkan bisa sebaliknya, menambah stress.
“Selera makan manusia itu aneh, Borno.” Pemilik 37 gedung sarang walet di Pontianak, kenalan pejabat Syahbandar, dengan senang hati menjelaskan duduk perkara, “Ada yang suka makan ular, kodok, kepala kambing, monyet, atau bulu babi, ternyata ada juga yang suka makan ludah. Haha, ludah, kau bayangkan saja. Menjilat ludah baik secara harfiah maupun kiasan saja menjijikkan bagi sebagian orang, ini justeru sungguhan makan ludah.” Pria keturunan separuh baya itu tergelak.
Aku bergidik, bulu kudukku mulai berdiri.
“Kau pernah menikmati semangkok sup sarang burung walet?”
Aku menggeleng, semakin jerih—aku punya pengalaman buruk dengan segala jenis burung, nantilah kapan-kapan kuceritakan kenapa—sekarang lawan bicaraku malah asyik membahasnya.
“Tentu tidak pernah.” Pemilik 37 rumah sarang burung walet itu kembali tergelak, “Kalau kau saja pernah makan sup sarang burung walet, makanan itu berarti tidak istimewa, sama kastanya dengan pisang pontianak kalau begitu. Kau tahu, satu ons sarang burung walet terbaik, harganya tak kurang satu juta, nah, setelah diberi bawang putih dari dataran Tibet, potongan kentang dari Mongolia, dikucuri cuka pedalaman China, jadilah sup nikmat tiada tara, harganya bisa dua kali lipat lagi. Kau bisa membeli beratus piring pisang pontianak dengan semangkok sup Yan Wo.”
Aku hanya diam, menyeka dahi. Kupikir apalah pekerjaan terkait dengan ludah-meludah seperti yang dikatakan pejabat syahbandar dua hari lalu, bersemangat datang ke alamat yang diberikan, ternyata tentang b-u-r-u-n-g, mahkluk yang paling kuhindari selama ini—sama dengan kalian jerih pada tikus, kecoa atau laba-laba. Sialnya, pemilik 37 sarang walet itu malah menganggap ekspresi wajahku cerminan rasa ingin tahu atau terpesona, “Ini bisnis tujuh generasi, Borno. Aku cicit-cicitnya pemilik rumah sarang burung walet pertama kali di Pontianak. Jaman dulu, mereka harus mencarinya di goa-goa pedalaman sana, menantang mati dengan julur-julur bambu seadanya saat memanen sarang burung di kegelapan dan ketinggian belasan meter. Saat pertama kali kakek-kakekku membangun rumah burung walet, semua orang mentertawakan, bagaimanalah burung itu akan tertarik tinggal di rumah? Memangnya dia kucing? Atau kambing atau ayam? Berkembang-biak lantas mau membuat sarang dari ludah kentalnya. Jauh panggang dari api.”
“Tetapi kakek-kakekku tidak menyerah, dia menemukan trik dan rahasia cairan perangsang, keturunan berikutnya membuat rekaman suara walet untuk mengundang burung itu bersarang, hingga sekarang, 37 sarang yang kumiliki dikelola secara modern, scientific, pendekatan ilmiah, dan tentu saja produktif. Kami menjaga suhu dan kelembaban, ada alat monitor elektronik. Tak kurang tiga ton setiap bulan panennya, kau hitung sendiri berapa omzetnya.”
Aku meneguk ludah, “Re-ka-man su-a-ra?” Demi sopan-santun setelah terdiam satu menit, dengan wajah sedikit pias, memaksakan bertanya.
“Iya, sekarang malah ada keping CD pemanggil walet. Kau pasang audio system di dalam gedungnya, kau putar keping CD itu, macam memutar orkes dangdut di kampung, berbondong-bondong burung walet datang. Sarang mereka bergelantungan di langit-langit gedung, besar-kecil, betina-pejantan, beranak-pinak, banyak sekali, coba kau bayangkan.”
Aku meneguk ludah, tidak kubayangkan saja aku sudah mau mual.
“Mau kuperlihatkan fotonya?” Dan tanpa menunggu persetujuanku, pemilik 37 sarang burung walet itu beranjak meraih album foto.
Jemariku gemetar—sama saat kalian gemetar dikepung dua tikus, bedanya kalian bisa loncat ke atas kursi, meja apa saja, aku tentulah tidak bisa seketika lari dari ruangan itu. Demi sopan-santun meremas paha, membujuk diri meneguhkan hati.
“Ini foto sarangnya, banyak sekali bukan? Ini foto induk burung walet berkembang-biak. Ini telurnya. Ini proses panen sarangnya, inilah pekerjaan kau nanti, tenang, Borno, kau akan mengenakan masker, sarung tangan, semua aman, tidak ada itu flu burung, tetapi ya itu, tentu saja di sekitar kau berisik sekali, ribuan burung walet melenguh, mengerumuni—“
Kalimat riang pemilik 37 sarang burung walet itu terputus, aku sudah muntah persis mengenai album foto yang terbentang lebar.
***
Tidak. Aku tidak akan bekerja di bangunan sarang burung walet. Sebaik apapun pemiliknya, sebanyak apapun gajinya, sesederhana apapun pekerjaanku, ayolah, apanya yang sederhana kalau aku harus berhadapan dengan ribuan burung dalam ruangan tertutup dan gelap? Pejabat syahbandar tertawa lebar, manggut-manggut saat aku datang lagi, daripada aku lagi-lagi mengecewakan dia, kuputuskan untuk berusaha sendiri mencari pekerjaan berikutnya.
Terbetik kabar, Ijong, petugas SPBU hendak cuti panjang, pulang ke Jawa menjenguk embok-nya, dengan senang hati aku menjadi pemain pengganti, bekerja di sana selama dua bulan. Itu bukan sembarang pom bensin seperti yang kalian lihat di jalan protokoler Pontianak atau lintas trans Kalimantan, itu SPBU terapung di tepian Kapuas. Perahu tempel, kapal nelayan, boat, drum penjual minyak ke pedalaman Kapuas, semua yang mengapung merapat ke bantalan karet SPBU, lumayan efek goyangnya, kalau kalian bukan anak sungai, dijamin muntah—sudah kaki limbung, bau pengap solar pula. Dari percakapan dengan pengemudi perahu, sambil menunggu meteran menunjuk angka pol, aku jadi tahu banyak soal mesin kapal, mana yang boros, mana yang suka ngadat, mana yang bandel, mana yang bagus (tapi mahal). Percakapan itu tidak selalu mulus, dua kali aku justeru bertengkar dengan pengemudi perahu yang santai merokok. “Kau tahu taipan paling kaya di negeri ini adalah pengusaha rokok. Dia dapat kayanya, kau dapat penyakitnya, dan pom bensin ini bisa kena bala-nya, meledak.” Aku berteriak marah, entah mengerti atau tidak awak perahu nelayan di hadapanku.
Saat aku mulai merasa nyaman duduk di atas kursi plastik (karena ternyata Ijong sudah tiga bulan tidak pulang-pulang), menunggu perahu yang membeli solar, menatap lalu-lalang kehidupan di sungai Kapuas, menatap burung walet terbang, ujung-ujung bangunan aneh berbentuk kotak itu, indahnya remang cahaya senja menerpa permukaan Kapuas, Ijong tiba-tiba pulang. Sumringah dia bilang mbok-nya sehat wal’afiat. Aku tahu diri, meski pemilik SPBU ingin aku saja yang bekerja di sana—Ijong ditolak kembali bekerja karena tidak pernah kasih kabar—aku menyarankan agar Ijong tetap diterima. Aku tidak akan mengkhianati teman.
Pengangguran lagi satu bulan, hingga Mang Jaya, sopir oplet berwarna oranye, jurusan kota-tugu khatulistiwa, menawariku menjadi kondektur. “Apa perlunya oplet punya kondektur?” Aku menyeringai, ragu-ragu. “Setidaknya kau bantu berteriak, kosong, kosong.” Mang Jaya, tetangga di ujung gang tertawa. “Ayolah, kau bisa sekalian kuajari nyetir mobil. Itu upahnya.” Benar juga, aku mengangguk. Maka jadilah aku korban kelicikan Mang Jaya. Tiga bulan ikut dia narik, tiga bulan juga kemajuan belajar nyetirku jalan di tempat, padahal selain itu, Mang Jaya tidak sepeser memberiku tips dari hasil nariknya. “Sabar, Borno, hari ini kita belajar men-starter mobil dulu.” Atau “Tenang, Borno, sore ini kau latihan saja dulu menginjak kopling. Ya, diinjak, dilepaskan, diinjak, dilepaskan. Rasakan sensasinya.” Tidak pernah aku sungguh-sungguh diberikan kesempatan menjalankan opletnya. “Sebentar, sebentar, hari ini cukup satu meter saja dulu.” Demikian dia melarang. Aku mendengus jengkel. “Lah? Aku saja dulu butuh setahun baru bisa nyetir, kau ini kemajuannya sudah luar-biasa. Sabarlah.” Demikian dia membujuk. Aku memutuskan berhenti.
Enam bulan terakhir dihabiskan kerja serabutan. Membantu Cik Tulani di warungnya, menunggui toko kelontong Koh Acung, ikut melaut mencari ikan dan sotong, disuruh-suruh tetangga memperbaiki genteng, toilet mampet, jendela lepas, bahkan mencari kucing hilang.
“Itu setidaknya membuktikan satu hal, Borno.” Pak Tua menghiburku, “Sepanjang kau mau bekerja apa saja, maka kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, malu, dipikirnya tidak pantas dengan ijasah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.”
Aku tidak keberatan dengan jenis pekerjaan remah-remah itu—daripada Ibu terus mengomel melihatku bengong di rumah. Hanya saja, dua tahun lulus SMA tanpa juntrungan, apalagi rencana hendak kuliah lagi sambil bekerja, rasa-rasanya sudah saatnya aku melakukan sesuatu sedikit serius. Enam bulan terakhir, setelah berganti-ganti banyak jenis pekerjaan, tanpa sepengetahuanku, Pak Tua, Cik Tulani dan Koh Acong mengunjungi Ibu di suatu malam, membicarakan sesuatu.
Hasil pembicaraan itulah yang membuatku berangkat pagi-pagi dari rumah hari ini. Tanpa seragam, tidak perlu mandi, diolok-olok tetangga sepanjang gang tepian sungai Kapuas. Inilah pekerjaan baruku, yang ternyata berkelindan dengan banyak hal, termasuk salah-satunya: bertemu dengan kisah cinta sejati. Salah-satu pertanyaan terumit selain berapa lama waktu yang diperlukan kotoran berhiliran dari hulu kapuas hingga muaranya di Laut China Selatan. Inilah pekerjaan baruku, dan Ibu, aku akan bekerja sungguh-sungguh.
***bersambung
Source : Darwis Tere Liye
0 komentar:
Posting Komentar