Gang Di Tepian Kapuas
Bang Togar memberikan ultimatum, satu bulan. Jika aku tetap bekerja di dermaga feri, maka aku akan dikucilkan dalam segenap aktivitas penduduk gang sempit tepian Kapuas, mulai dari main kartu di balai-balai bambu hingga kepanitiaan kalau ada tetangga yang menikah. Separuh lebih penghuni gang menganggap itu berlebihan, tetapi dengan gayanya yang menyebalkan dan sok-kuasa, boleh jadi dia bisa meyakinkan kalau apa yang kulakukan memang kejahatan besar. Kenapa harus satu bulan? “Hah, itu berarti si Borno sudah terima gajian dari bos pelampung. Aku tidak mau lagi lihat tampang orang yang sudah makan uang musuh besar kita. Bukan cuma otaknya, tubuhnya sudah tercemar.” Bang Togar menjawab tegas, berusaha ber-logika di atas logika.
Aku juga sudah bertekad bulat tidak akan berhenti, setelah begitu banyak provokasi dan perlakuan tidak adil, maka hanya ada satu kata dalam benakku: lawan. Dan Andi, sohib dekat yang dulu jago pelajaran kewarganegaraan, berapi-api membelaku, “Lihat saja nanti pas satu bulan, seberani apa dia melarang-larang orang merdeka berlalu-lalang. Itu pelanggaran UUD ‘45. Harusnya dia urus saja dulu keluarga sendiri. Lihat, bukankah dia sudah bertahun-tahun pisah rumah dengan istrinya.” Andi balas mengungkit-ungkit ranah personal Bang Togar. Situasi semakin dekat tenggat waktu kian runcing, sudah macam mau Perang Teluk, ketika Irak menginvansi Kuwait.
Untunglah, ternyata pertikaian besar itu tidak perlu terjadi.
Minggu ketiga aku bekerja di dermaga feri, pagi Senin yang cerah, dermaga telah lepas dibersihkan, sejauh mata memandang terlihat kinclong, aku dan dua rekan penjaga palang pintu sudah bersiap, dan kapal feri sudah sejak tadi stand-by menunggu penumpang pertama, bergemuruh lembut mesinnya. Kehidupan kota Pontianak mulai menggeliat.
“Hei, orang baru, tadinya kupikir kau staf khusus dari Jakarta.” Salah-satu rekan kerja berbisik, mulai menyobek tiket penumpang.
Aku menggeleng.
“Tadinya juga kusangka kau staf khusus pimpinan dermaga ini, langsung ditempatkan di palang masuk.” Rekan itu menyeringai ganjil.
Aku menggeleng, tanganku cekatan memeriksa karcis, penumpang seperti air bah berkerumun tak rapi di depan palang pintu. Berebut menjulurkan tiket masing-masing. Sebenarnya, dua minggu bekerja di sana, aku tidak terlalu akrab dengan dua rekan lain yang berjaga. Satu, karena sibuk memelototi penumpang; dua, rasa-rasanya mereka berdua sejak awal selalu menjaga jarak, menatapku menyelidik, berbisik-bisik entahlah.
“Tadinya kukira kau ditempatkan di sini untuk tugas khusus.” Tertawa kecil.
“Tugas khusus?” Aku menyeringai tidak mengerti, mempersilahkan dua penumpang melintas palang pintu, berlari-lari kecil takut tertinggal jadwal feri satu menit lagi.
“Yeah, begitulah. Mata-mata, Kawan.” Tertawa lagi.
Dan diantara kesibukan melayani para komuter penyeberang Kapuas, setelah dua minggu bekerja di sana, aku baru paham ada sesuatu di palang pintu, ada udang dibalik batu. Aku pikir, pekerjaan ini akan lurus-lurus saja. Berdiri, periksa karcis, selesai.
“Tiketnya?” Aku bertanya pada penumpang yang hendak masuk.
“Biarkan saja lewat.” Salah-satu rekan mengedipkan mata.
Biarkan lewat? Dahiku terlipat, menunjuk, satu-dua-enam penumpang yang melenggang melewati pintu masuk tanpa tiket. Rekan itu mengangguk penuh maksud. Aku menelan ludah.
“Kau tahu, Kawan. Mereka dua minggu terakhir terpaksa membeli tiket. Takut kau seorang mata-mata. Ternyata bukan. Semua bisa kembali normal.” Rekan itu menepuk bahuku, saat istirahat makan siang di salah-satu restoran dekat dermaga feri, menunya istimewa, gulai kambing plus jus buah.
Dua rekan kerjaku itu santai menjelaskan situasi. Setiap hari, sambil mencoret-coret di atas tisue meja makan, ada belasan ribu penumpang komuter penyeberang Kapuas, belum terhitung sepeda motor. “Kita hanya mengambil sedikit, Kawan. Paling satu-dua, mereka kebetulan tetangga, kenalan, kerabat, teman. Jadi ya begitulah, tidak mengapa tak bayar tiket.”
Aku merutuk dalam hati, satu-dua? Tadi pagi jumlahnya puluhan, kecuali dua orang ini punya kerabat multi ras, kolega begitu luas, baru dapat menjelaskan kebaikan hati ini.
“Lagipula kasihan, mereka harus membayar tiket pelampung setiap hari, mahal, gaji mereka kecil, kita bantu sedikit, dan mereka bantu kita dengan hanya menyetor separuh harga tiket setiap akhir bulan.”
Rahangku mengeras, penjelasan mereka sudah cukup.
Feri Kapuas hanya butuh lima belas menit (termasuk proses merapat), karena terlalu singkat, tidak ada pemeriksaan karcis di atas pelampung. Setelah membeli tiket di loket, satu-satunya yang memastikan tidak ada penumpang ilegal adalah petugas palang pintu. Tidak ada cross-check berikutnya.
“Kau akan dapat bagian, tenang saja.” Bodohnya, rekan kerja di depanku mengartikan ekspresi wajah merahku demikian, “Tapi ya itu, karena kau orang baru, tidak langsung kita bagi tiga ya. Cincai, kan?” Tertawa lepas, seperti kata mufakat sudah diambil.
***
“Kau tahu, Borno. Tempat bekerja kau sebelumnya, meski bau karet, kotor berlicak, membuat orang lain menutup mulut saat kau lewat, hasilnya wangi. Halal dan baik. Dimakan berkah, tumbuh jadi darah dan daging kebaikan. Banyak orang yang kantornya wangi, sepatu mengkilat, baju licin disetrika, tapi boleh jadi busuk dalamnya. Dimakan hanya menyumpal perut, tumbuh jadi darah-daging keburukan dan keburukan.” Ibu menatap prihatin, setelah terdiam beberapa saat lepas aku bercerita. Dari bingkai jendela rumah kayu sempit kami, kota Pontianak terlihat syahdu dibungkus malam.
Aku diam, memainkan jari. Ibu (selalu) benar.
“Kau dijanjikan dapat berapa?” Pak Tua, beberapa hari kemudian, saat aku sengaja bertandang ke rumahnya, bertanya.
Aku menyebut angka. Itu dua kali gaji bulananku, amat menggoda bagi yang tidak berpikir panjang.
“Ah, kecil itu.” Pak Tua tertawa, ringan melambaikan tangan, “Aku kenal pemilik kebun kelapa sawit di Sabah. Dia bisa dapat sejumlah uang yang kau sebut setiap detik.”
Aku menatap Pak Tua tidak mengerti.
“Beginilah, Borno. Mari kita berandai-andai, beribarat dengan angka.” Pak Tua tersenyum bijak, “Gaji kau katakanlah enam ratus ribu, ditambah dengan uang haram itu, bisa jadi satu koma delapan juta. Kau butuh berapa tahun untuk mengumpulkan uang sepuluh milyar? 463 tahun, nyaris lima abad kau bekerja non-stop baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Kau tahu, butuh berapa lama pemilik kebun kelapa sawit kenalanku itu? Hanya enam bulan. Juga para pesohor, pengusaha, bahkan pemain bola ternama. Mereka hanya butuh hitungan tahun bahkan kurang untuk mendapatkan uang sejumlah itu. Kau sebaliknya, butuh lima abad. Dan kau tahu ironinya? Bedanya, Borno? Mereka melakukannya dengan jujur, kau melakukannya dengan curang, jahat.”
“Bagi kebanyakan pelaku korup, pencuri uang orang lain, bukan karena semata-mata mereka serakah atau jahat dari sananya, tetapi terkadang mereka tidak pernah paham kalau hidup ini hanya soal relatif perbandingan satu sama lain. Mereka membakar seluruh martabat, merendahkan harga diri, dengan mengunyah uang haram, menurut mereka uang itu sudah banyak benar, sudah mewah, bersenang-senang, mereka lupa dibandingkan kekayaan orang lain, itu sekadar angka-angka.”
“Apakah jadi bahagia dengan uang itu? Sepuluh milyar, kau bisa beli apa? Rumah, tanah, perhiasan, harta benda. Astaga, pesohor dunia satu sepatu-nya saja bisa satu milyar. Hidup ini sungguh sekadar soal perbandingan-perbandingan. Kau butuh lima abad, mereka hanya butuh satu tahun, jadi kenapa kita tidak bersyukur saja atas keran rejeki yang ada.”
Sejak kecil, aku terbiasa mendengar Pak Tua bicara filosofi hidup, menceramahiku, tapi kali ini aku tidak terima. Bukan tentang mencuri itu jahat, aku sepakat soal itu, aku keberatan dengan kalimat terakhirnya, “Pak Tua, aku belum melakukannya, dan demi Tuhan aku tidak akan melakukannya.” Protes dengan seringai tersinggung.
“Nah, justeru karena kau belum melakukannya.” Pak Tua tertawa, “Kau tahu, dalam urusan seperti ini, cara terbaik mengingatkan orang lain adalah dengan menganggap dia telah melakukannya. Agar rasa jijik kau muncul membesar, tanpa ampun langsung membunuh niat buruk untuk tumbuh.”
Aku mendengus sebal, aku sengaja datang bertanya cara menyelesaikan masalah di dermaga feri baik-baik, Pak Tua justeru sibuk mencemaskan hal yang tidak perlu dia cemaskan.
Dua hari kemudian, diantar sepit Pak Tua, aku berangkat ke syahbandar Pontianak. Bang Togar yang mendengar aku menumpang sepit, bergegas menghidupkan perahu tempelnya, macam adegan film-film laga, membelah Kapuas menyusul. Berani-beraninya ada yang melanggar surat keputusan berlaminating itu, tidak peduli meski Pak Tua sekalipun.
“Hoi Togar, bukankah kau sendiri yang menulisnya, Borno dilarang naik sepit hingga dia berhenti kerja di pelampung?” Pak Tua santai menjawab seruan marah Bang Togar, dua perahu saling melintang di dekat dermaga kayu, jadi tontonan pengemudi lain dan para penumpang yang hendak menyeberang.
“Borno sudah berhenti dari pelampung itu, Togar. Boikot atas dirinya selesai demi hukum.” Pak Tua mengangkat bahu.
“Apanya yang sudah? Dia belum berhenti, kemarin siang aku masih melihatnya di dermaga haram itu.” Bang Togar mencak-mencak.
“Ah, kau ini seperti lupa saja, Togar. Dalam banyak urusan, kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti. Seperti kau-lah misalnya, bukankah kau sudah merasa selesai urusan dengan istri kau walau belum benar-benar bercerai.”
Bang Togar kena skak-mat. Terdiam bagai patung, mendengar ranah personalnya disebut-sebut.
“Nah, sama saja dengan Borno, sejak dua hari lalu dia sudah merasa selesai dengan pelampung itu. Dia boleh naik sepit siapa saja. Ada yang merasa keberatan?” Pak Tua menoleh ke dermaga kayu.
Satu-dua masih mentertawakan wajah Bang Togar yang memerah, beberapa penumpang yang tahu urusan itu, karena melihat kertas berlaminating, mengangguk, bersepakat dengan Pak Tua, lantas bertepuk-tangan memberikan dukungan, disusul yang lain dan pengemudi sepit. Pak Tua tertawa, menepuk bahuku, “Kalau begitu, urusan boikot ini sudah selesai, Borno. Mari kita selesaikan urusan dengan pelampung dan pejabat syahbandar kenalan kau itu.”
***
Pak Tua benar, bukan urusanku nasib penjaga palang pintu dermaga feri setelah aku secara resmi melapor. Aku tidak mau dilibatkan lebih lanjut, juga tidak mau tahu, termasuk boleh jadi ada petinggi dermaga yang ikut terlibat, beking urusan jahat itu. Urusanku selesai dengan sekaligus menyerahkan surat berhenti. Aku menemui pejabat syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan. Pejabat syahbandar mengelus dahi, “Tidak mengapa, Borno. Bukan masalah besar. Kalau kau mau, aku bisa mencarikan pekerjaan baru. Ahiya, ada kenalanku, pengusaha besar di Pontianak, bisnisnya dari urusan ludah-meludah, tapi dia kaya raya. Hebat sekali orang ini, gedung miliknya memenuhi setiap jengkal kota Pontianak, bahkan lebih banyak dibanding Masjid atau Kelenteng dijadikan satu. Kau mau bekerja padanya?”
Ludah-meludah? Aku melipat dahi.
***bersambung
Bang Togar memberikan ultimatum, satu bulan. Jika aku tetap bekerja di dermaga feri, maka aku akan dikucilkan dalam segenap aktivitas penduduk gang sempit tepian Kapuas, mulai dari main kartu di balai-balai bambu hingga kepanitiaan kalau ada tetangga yang menikah. Separuh lebih penghuni gang menganggap itu berlebihan, tetapi dengan gayanya yang menyebalkan dan sok-kuasa, boleh jadi dia bisa meyakinkan kalau apa yang kulakukan memang kejahatan besar. Kenapa harus satu bulan? “Hah, itu berarti si Borno sudah terima gajian dari bos pelampung. Aku tidak mau lagi lihat tampang orang yang sudah makan uang musuh besar kita. Bukan cuma otaknya, tubuhnya sudah tercemar.” Bang Togar menjawab tegas, berusaha ber-logika di atas logika.
Aku juga sudah bertekad bulat tidak akan berhenti, setelah begitu banyak provokasi dan perlakuan tidak adil, maka hanya ada satu kata dalam benakku: lawan. Dan Andi, sohib dekat yang dulu jago pelajaran kewarganegaraan, berapi-api membelaku, “Lihat saja nanti pas satu bulan, seberani apa dia melarang-larang orang merdeka berlalu-lalang. Itu pelanggaran UUD ‘45. Harusnya dia urus saja dulu keluarga sendiri. Lihat, bukankah dia sudah bertahun-tahun pisah rumah dengan istrinya.” Andi balas mengungkit-ungkit ranah personal Bang Togar. Situasi semakin dekat tenggat waktu kian runcing, sudah macam mau Perang Teluk, ketika Irak menginvansi Kuwait.
Untunglah, ternyata pertikaian besar itu tidak perlu terjadi.
Minggu ketiga aku bekerja di dermaga feri, pagi Senin yang cerah, dermaga telah lepas dibersihkan, sejauh mata memandang terlihat kinclong, aku dan dua rekan penjaga palang pintu sudah bersiap, dan kapal feri sudah sejak tadi stand-by menunggu penumpang pertama, bergemuruh lembut mesinnya. Kehidupan kota Pontianak mulai menggeliat.
“Hei, orang baru, tadinya kupikir kau staf khusus dari Jakarta.” Salah-satu rekan kerja berbisik, mulai menyobek tiket penumpang.
Aku menggeleng.
“Tadinya juga kusangka kau staf khusus pimpinan dermaga ini, langsung ditempatkan di palang masuk.” Rekan itu menyeringai ganjil.
Aku menggeleng, tanganku cekatan memeriksa karcis, penumpang seperti air bah berkerumun tak rapi di depan palang pintu. Berebut menjulurkan tiket masing-masing. Sebenarnya, dua minggu bekerja di sana, aku tidak terlalu akrab dengan dua rekan lain yang berjaga. Satu, karena sibuk memelototi penumpang; dua, rasa-rasanya mereka berdua sejak awal selalu menjaga jarak, menatapku menyelidik, berbisik-bisik entahlah.
“Tadinya kukira kau ditempatkan di sini untuk tugas khusus.” Tertawa kecil.
“Tugas khusus?” Aku menyeringai tidak mengerti, mempersilahkan dua penumpang melintas palang pintu, berlari-lari kecil takut tertinggal jadwal feri satu menit lagi.
“Yeah, begitulah. Mata-mata, Kawan.” Tertawa lagi.
Dan diantara kesibukan melayani para komuter penyeberang Kapuas, setelah dua minggu bekerja di sana, aku baru paham ada sesuatu di palang pintu, ada udang dibalik batu. Aku pikir, pekerjaan ini akan lurus-lurus saja. Berdiri, periksa karcis, selesai.
“Tiketnya?” Aku bertanya pada penumpang yang hendak masuk.
“Biarkan saja lewat.” Salah-satu rekan mengedipkan mata.
Biarkan lewat? Dahiku terlipat, menunjuk, satu-dua-enam penumpang yang melenggang melewati pintu masuk tanpa tiket. Rekan itu mengangguk penuh maksud. Aku menelan ludah.
“Kau tahu, Kawan. Mereka dua minggu terakhir terpaksa membeli tiket. Takut kau seorang mata-mata. Ternyata bukan. Semua bisa kembali normal.” Rekan itu menepuk bahuku, saat istirahat makan siang di salah-satu restoran dekat dermaga feri, menunya istimewa, gulai kambing plus jus buah.
Dua rekan kerjaku itu santai menjelaskan situasi. Setiap hari, sambil mencoret-coret di atas tisue meja makan, ada belasan ribu penumpang komuter penyeberang Kapuas, belum terhitung sepeda motor. “Kita hanya mengambil sedikit, Kawan. Paling satu-dua, mereka kebetulan tetangga, kenalan, kerabat, teman. Jadi ya begitulah, tidak mengapa tak bayar tiket.”
Aku merutuk dalam hati, satu-dua? Tadi pagi jumlahnya puluhan, kecuali dua orang ini punya kerabat multi ras, kolega begitu luas, baru dapat menjelaskan kebaikan hati ini.
“Lagipula kasihan, mereka harus membayar tiket pelampung setiap hari, mahal, gaji mereka kecil, kita bantu sedikit, dan mereka bantu kita dengan hanya menyetor separuh harga tiket setiap akhir bulan.”
Rahangku mengeras, penjelasan mereka sudah cukup.
Feri Kapuas hanya butuh lima belas menit (termasuk proses merapat), karena terlalu singkat, tidak ada pemeriksaan karcis di atas pelampung. Setelah membeli tiket di loket, satu-satunya yang memastikan tidak ada penumpang ilegal adalah petugas palang pintu. Tidak ada cross-check berikutnya.
“Kau akan dapat bagian, tenang saja.” Bodohnya, rekan kerja di depanku mengartikan ekspresi wajah merahku demikian, “Tapi ya itu, karena kau orang baru, tidak langsung kita bagi tiga ya. Cincai, kan?” Tertawa lepas, seperti kata mufakat sudah diambil.
***
“Kau tahu, Borno. Tempat bekerja kau sebelumnya, meski bau karet, kotor berlicak, membuat orang lain menutup mulut saat kau lewat, hasilnya wangi. Halal dan baik. Dimakan berkah, tumbuh jadi darah dan daging kebaikan. Banyak orang yang kantornya wangi, sepatu mengkilat, baju licin disetrika, tapi boleh jadi busuk dalamnya. Dimakan hanya menyumpal perut, tumbuh jadi darah-daging keburukan dan keburukan.” Ibu menatap prihatin, setelah terdiam beberapa saat lepas aku bercerita. Dari bingkai jendela rumah kayu sempit kami, kota Pontianak terlihat syahdu dibungkus malam.
Aku diam, memainkan jari. Ibu (selalu) benar.
“Kau dijanjikan dapat berapa?” Pak Tua, beberapa hari kemudian, saat aku sengaja bertandang ke rumahnya, bertanya.
Aku menyebut angka. Itu dua kali gaji bulananku, amat menggoda bagi yang tidak berpikir panjang.
“Ah, kecil itu.” Pak Tua tertawa, ringan melambaikan tangan, “Aku kenal pemilik kebun kelapa sawit di Sabah. Dia bisa dapat sejumlah uang yang kau sebut setiap detik.”
Aku menatap Pak Tua tidak mengerti.
“Beginilah, Borno. Mari kita berandai-andai, beribarat dengan angka.” Pak Tua tersenyum bijak, “Gaji kau katakanlah enam ratus ribu, ditambah dengan uang haram itu, bisa jadi satu koma delapan juta. Kau butuh berapa tahun untuk mengumpulkan uang sepuluh milyar? 463 tahun, nyaris lima abad kau bekerja non-stop baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Kau tahu, butuh berapa lama pemilik kebun kelapa sawit kenalanku itu? Hanya enam bulan. Juga para pesohor, pengusaha, bahkan pemain bola ternama. Mereka hanya butuh hitungan tahun bahkan kurang untuk mendapatkan uang sejumlah itu. Kau sebaliknya, butuh lima abad. Dan kau tahu ironinya? Bedanya, Borno? Mereka melakukannya dengan jujur, kau melakukannya dengan curang, jahat.”
“Bagi kebanyakan pelaku korup, pencuri uang orang lain, bukan karena semata-mata mereka serakah atau jahat dari sananya, tetapi terkadang mereka tidak pernah paham kalau hidup ini hanya soal relatif perbandingan satu sama lain. Mereka membakar seluruh martabat, merendahkan harga diri, dengan mengunyah uang haram, menurut mereka uang itu sudah banyak benar, sudah mewah, bersenang-senang, mereka lupa dibandingkan kekayaan orang lain, itu sekadar angka-angka.”
“Apakah jadi bahagia dengan uang itu? Sepuluh milyar, kau bisa beli apa? Rumah, tanah, perhiasan, harta benda. Astaga, pesohor dunia satu sepatu-nya saja bisa satu milyar. Hidup ini sungguh sekadar soal perbandingan-perbandingan. Kau butuh lima abad, mereka hanya butuh satu tahun, jadi kenapa kita tidak bersyukur saja atas keran rejeki yang ada.”
Sejak kecil, aku terbiasa mendengar Pak Tua bicara filosofi hidup, menceramahiku, tapi kali ini aku tidak terima. Bukan tentang mencuri itu jahat, aku sepakat soal itu, aku keberatan dengan kalimat terakhirnya, “Pak Tua, aku belum melakukannya, dan demi Tuhan aku tidak akan melakukannya.” Protes dengan seringai tersinggung.
“Nah, justeru karena kau belum melakukannya.” Pak Tua tertawa, “Kau tahu, dalam urusan seperti ini, cara terbaik mengingatkan orang lain adalah dengan menganggap dia telah melakukannya. Agar rasa jijik kau muncul membesar, tanpa ampun langsung membunuh niat buruk untuk tumbuh.”
Aku mendengus sebal, aku sengaja datang bertanya cara menyelesaikan masalah di dermaga feri baik-baik, Pak Tua justeru sibuk mencemaskan hal yang tidak perlu dia cemaskan.
Dua hari kemudian, diantar sepit Pak Tua, aku berangkat ke syahbandar Pontianak. Bang Togar yang mendengar aku menumpang sepit, bergegas menghidupkan perahu tempelnya, macam adegan film-film laga, membelah Kapuas menyusul. Berani-beraninya ada yang melanggar surat keputusan berlaminating itu, tidak peduli meski Pak Tua sekalipun.
“Hoi Togar, bukankah kau sendiri yang menulisnya, Borno dilarang naik sepit hingga dia berhenti kerja di pelampung?” Pak Tua santai menjawab seruan marah Bang Togar, dua perahu saling melintang di dekat dermaga kayu, jadi tontonan pengemudi lain dan para penumpang yang hendak menyeberang.
“Borno sudah berhenti dari pelampung itu, Togar. Boikot atas dirinya selesai demi hukum.” Pak Tua mengangkat bahu.
“Apanya yang sudah? Dia belum berhenti, kemarin siang aku masih melihatnya di dermaga haram itu.” Bang Togar mencak-mencak.
“Ah, kau ini seperti lupa saja, Togar. Dalam banyak urusan, kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti. Seperti kau-lah misalnya, bukankah kau sudah merasa selesai urusan dengan istri kau walau belum benar-benar bercerai.”
Bang Togar kena skak-mat. Terdiam bagai patung, mendengar ranah personalnya disebut-sebut.
“Nah, sama saja dengan Borno, sejak dua hari lalu dia sudah merasa selesai dengan pelampung itu. Dia boleh naik sepit siapa saja. Ada yang merasa keberatan?” Pak Tua menoleh ke dermaga kayu.
Satu-dua masih mentertawakan wajah Bang Togar yang memerah, beberapa penumpang yang tahu urusan itu, karena melihat kertas berlaminating, mengangguk, bersepakat dengan Pak Tua, lantas bertepuk-tangan memberikan dukungan, disusul yang lain dan pengemudi sepit. Pak Tua tertawa, menepuk bahuku, “Kalau begitu, urusan boikot ini sudah selesai, Borno. Mari kita selesaikan urusan dengan pelampung dan pejabat syahbandar kenalan kau itu.”
***
Pak Tua benar, bukan urusanku nasib penjaga palang pintu dermaga feri setelah aku secara resmi melapor. Aku tidak mau dilibatkan lebih lanjut, juga tidak mau tahu, termasuk boleh jadi ada petinggi dermaga yang ikut terlibat, beking urusan jahat itu. Urusanku selesai dengan sekaligus menyerahkan surat berhenti. Aku menemui pejabat syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan. Pejabat syahbandar mengelus dahi, “Tidak mengapa, Borno. Bukan masalah besar. Kalau kau mau, aku bisa mencarikan pekerjaan baru. Ahiya, ada kenalanku, pengusaha besar di Pontianak, bisnisnya dari urusan ludah-meludah, tapi dia kaya raya. Hebat sekali orang ini, gedung miliknya memenuhi setiap jengkal kota Pontianak, bahkan lebih banyak dibanding Masjid atau Kelenteng dijadikan satu. Kau mau bekerja padanya?”
Ludah-meludah? Aku melipat dahi.
***bersambung
Source : Darwis Tere Liye
0 komentar:
Posting Komentar