Gang Di Tepian Kapuas
Sejak jaman si hantu pontianak bertekuk lutut, adalah perahu kayu yang menjadi primadona. Kemana-mana penduduk kota ini naik perahu kayu, mau berangkat sekolah, berangkat kerja, pergi kondangan, beranjangsana, berplesir-ria, berkunjung ke tetangga, termasuk hendak berbuat jahat, sepit adalah istimewa. Tentu jaman itu, perahu belum pakai mesin motor merk Jepang dengan PK-PK besar, masih pakai tenaga manusia, boleh jadi namanya masih selow.
Kota ini, kota sungai, selain Kapuas, juga ada cabang sungai lain yang bertemu di muara Laut China Selatan, maka tidak perlulah planolog lulusan terbaik untuk menyimpulkan, di kota ini transportasi air penting adanya. Jaman dulu, pemilik perahu kinclong, dari kayu paling kuat, dibuat oleh tukang paling baik rasa-rasannya sama levelnya dengan punya mobil mewah sekelas jaguar hari ini, status sosial nomor satu. Apalagi kalau punya belasan perahu, sudah macam punya garasi penuh mobil saja, bedanya tempat berderet-deretnya di dermaga atau tertambat di bawah rumah panggung.
Jaman berubah. Jembatan besar yang hanya ada dalam angan, selesai dibangun Repelita Tiga, orang-orang tua yang lahir di tahun masih berkepala 18 sekian sekian, dan masih sehat walafiat ketika presiden republik ini meresmikan jembatan itu ternganga kagum, “Amboi, alangkah besarnya. Sungguhkah ini nyata?” Dulu berkecipak-kecipak menyeberangi Kapuas butuh dua puluh menit dengan peluh mengucur karena harus kuat mendayung, tak becus tangan kalian mengayuh, bisa jadi terseret arus Kapuas dan terlalu hilir ratusan meter, dan saat menyeberang balik, lagi-lagi terlalu hilir ratusan meter. Total jenderal harus berhuluan lagi beratus-ratus meter. Repot. Ketika jembatan jadi, menyeberangi sungai tinggal hitungan menit. Menakjubkan.
Hadirnya jembatan beton di kota Pontianak sedikit banyak memangkas peradaban sepit. Kabar baiknya, jembatan itu dibangun di hulu, bukan persis di pusat kota—dibangun agak ke hulu dengan alasan agar tidak mengganggu lalu-lintas kapal besar, estetika, teknis, pembebasan lahan, perkembangan kota dan termasuk penghematan biaya. Dengan demikian, penduduk di jantung Pontianak terpaksa harus memutar jauh menumpang bus, mobil, atau angkot jika hendak menyeberang. Jembatan beton bukan masalah besar, dalam sisi tertentu perahu tempel tetap kompetitif.
Yang menjadi lawan tangguh sepit adalah: datangnya pelampung. Benar, pelampung, tentu aku tidak salah tulis. Pelampung inilah yang membuat Bang Togar mencak-mencak mendengar kabar aku diterima bekerja di dermaga feri. Malam-malam, beringas dia menghampiriku yang asyik memetik gitar bersama Andi, melantunkan lagu-lagu Melayu, dan tanpa ba-bi-bu, Bang Togar merampas gitarku, melotot, sekejap seruan marah buncah sudah dari mulutnya.
“Kau anak tidak tahu diuntung, Borno! Tiga turunan! Tiga turunan pelampung itu menghabisi kehidupan kita!” Bang Togar membentak, Andi yang tadi sambil menyanyi bilang motor besar kepala kampung masih belum beres, ikut mencicit.
“Kakek kau punya sepuluh sepit puluhan tahun silam, hidup makmur, lantas datanglah pelampung itu, yang kelasinya saja tidak becus berenang, sisa berapa sepit Kakek kau setahun setelah mereka datang? Sisa satu, sembilan lainnya teronggok jadi kayu lapuk? Lantas almarhum bapak kau mewarisi berapa sepit? Hanya perahu mencari ikan jeleknya. Dan kau sekarang, punya apa? Hanya bermain gitar butut menyanyikan lagu basi. Seluruh kampung ini dulu hidup berada, Borno. Kita dihormati, dikenal banyak orang, berkecukupan. Kau lihat sekarang? Hanya sisa gang sempit dan bau.”
Aku meneguk ludah.
“Puluhan tahun silam, mereka bilang hanya satu-dua pelampung saja yang datang, ternyata banyak. Mereka bilang hanya jam-jam tertentu saja beroperasi, ternyata setiap saat, dengan frekuensi tinggi. Mereka bilang akan merekrut pengemudi sepit penduduk gang ini, ternyata tidak. Satu pelampung itu, sekali berjalan, menghabisi dua puluh sepit, Borno. Kau hitung sendiri berapa sepit yang musnah seharian? Ratusan. Dan kau pura-pura lupa, hah? Kakek kau mati ditabrak pelampung haram itu. Jasmerah, Borno, Jasmerah!”
Mulutku bungkam, kemarahan Bang Togar rasa-rasanya seperti menelan bulan yang nyaris purnama, bagaimanalah aku bisa menangkis barang satu-dua kalimatnya, Bang Togar bahkan membawa semboyan Bung Karno yang terkenal itu dalam marahnya, Jasmerah, Jangan Suka Melupakan Sejarah. Andi di sebelahku menahan nafas, dan kepala-kepala mulai bermunculan dari balik pintu serta jendela sepanjang gang, bertanya-tanya, siapa yang sedang sial diomelin suara khas Bang Togar.
Lima belas menit Bang Togar menghardikku di balai bambu, aku tertunduk, puas dia, akhirnya beranjak pergi sambil kasar melemparkan gitar. Aku dan Andi bersitatap tanpa kata, lantas beringsut pulang ke rumah masing-masing—tentu dengan tampang malu dibasuh tatapan mata tetangga.
“Itulah kenapa penduduk kota ini terbiasa menyebut kapal feri dengan pelampung, Borno.” Pak Tua menepuk bahuku, esok hari, saat menumpang sepitnya menyeberangi Kapuas. Tadi tidak ada satupun sepit yang mau kutumpangi, semua pengemudinya bermuka masam, boleh jadi kabar aku bekerja di feri itu sudah terdengar kemana-mana. “Sebutan itu sebenarnya simbol perlawanan, penghinaan, Borno. Kau lihat, perahu kecil terbuat dari kayu bermesin tempel ini disebut sepit, sementara perahu besar dari besi dengan mesin menggelegar hanya disebut pelampung. Bagaimana mungkin kau menyeberangi Kapuas dengan pelampung? Ada-ada saja.” Pak Tua tertawa prihatin.
“Jangan dengarkan si Togar itu.” Ibu menghiburku tiga hari kemudian, “Omong-kosong soal Kakek kau dulu yang ditabrak pelampung. Itu kecelakaan, dan salah mereka juga yang tetap melintas di jalur feri, sengaja menantang. Kau hidup di jaman berbeda, feri itu sudah menjadi kebutuhan seluruh kota. Sama halnya dengan sepit yang tetap akan dibutuhkan.”
Aku tetap menggeleng sedih, tadi sore, Pak Tua akhirnya ikutan menolak membawaku. Tinggallah aku macam kambing congek di dermaga kayu, tidak bisa pulang menyeberang. “Aku mau saja, Borno. Tetapi semua pengemudi sepit sudah bersepakat, kau dilarang menumpang perahu manapun hingga kau berhenti bekerja dari dermaga feri. Dalam kasus ini, kesepakatan adalah kesepakatan, aku harus menghargai mufakat di antara kami, meski bodoh dan naif sekali mufakat kali ini. Karena dari situlah seorang dihargai dalam alam demokrasi.”
Aku menatap Pak Tua setengah tidak percaya, hendak berteriak ikut marah, pengemudi sepit lainnya menatap prihatin dari atas perahu masing-masing. Petugas timer melotot galak, bersiap mengusirku kalau berani loncat ke perahu tempel yang merapat di dermaga dan sedang dinaiki penumpang. Hampir seluruh pengemudi sepit aku kenal, sama baiknya mereka mengenal aku, bagaimana mungkin mereka tega membuat kesepakatan itu?
“Haiya, kalau begitu apa susahnya? Kau berhenti saja bekerja di pelampung, mudah sekali. Terus terang saja, aku lebih suka bau karet kau dulu dibanding tampang masam kau sekarang.” Koh Acung yang menyerahkan minyak sayur setengah liter titipan Ibu menyeringai menyebalkan.
Tidak mudah, aku baru seminggu bekerja di sana, mendapatkan rekomendasi langsung dari pejabat syahbandar, bagaimana mungkin aku tiba-tiba berhenti dengan alasan konyol?
“Sebenarnya kau jadi apa di pelampung itu? Sayang sekali kau dengan pekerjaan di sana.” Cik Tulani yang malam kesekian mampir mengirimkan makanan buat Ibu bertanya—sebenarnya masakan warung dia yang sisa, daripada basi, lebih baik diberikan ke tetangga, mana ada model Cik Tulani yang soal beli ikan saja pelit akan sebaik hati itu.
“Jadi penjaga palang masuk, Cik.”
“Apa pula itu?” Cik Tulani bertanya.
“Pemeriksa karcis.” Aku menjelaskan.
“Karcis? Buat apa ada karcis?”
Aku menahan sebal, ternyata Cik Tulani itu, meski berpuluh tahun hidup di Pontianak, tidak sekalipun naik kapal feri, “Hah, buat apa aku naik pelampung itu? Bikin mabuk. Lebih mantap naik sepit, tanganku bisa menyentuh air Kapuas, bila perlu sambil cuci muka dan keramas. Lagipula aku cukup jalan kaki ke dermaga kayu, duduk tenang, lempar uang, selesai.” Cik Tulani menjawab sengit, tidak terima.
Jadi begini, pengemudi sepit memang tidak pernah menarik ongkos dari penumpang, kalian naik, duduk rapi, lantas ketika mau sampai di seberang, tinggal letakkan uang sesuai tarif berlaku di dasar perahu, loncat ke dermaga, bilang terima-kasih. Pengemudi sepit juga tidak pernah repot buru-buru memastikan apakah ada penumpang yang berani naik tanpa meletakkan uang, setelah merapat ke antrian sepit di dermaga, baru memungut gumpalan uang-uang itu.
“Cih, dari cara itu saja sudah terlihat sekali mana yang lebih baik, sepit atau pelampung haram itu.” Bang Togar sengaja berseru kencang-kencang melihatku melintas di hari berikutnya, “Sepit itu simbol rasa saling percaya, egaliter, dan kepraktisan. Mana ada penumpangnya diperiksa satu persatu apakah sudah punya karcis atau tidak.”
Aku hanya diam, meski hatiku mengkal, hendak berseru, “Bukankah bulan lalu ada pengemudi sepit yang marah-marah karena penumpangnya turis dari Jakarta. Rombongan turis itu tidak satupun mengerti aturan mainnya, jadi tidak satupun yang meletakkan uang di dasar perahu. Langsung loncat ke dermaga kayu, pergi sambil berbisik-bisik setengah tidak percaya, ternyata ada fasilitas menyeberangi Kapuas gratis disediakan pemerintah.” Rutukku sengit dalam hati.
Dua minggu bekerja di dermaga feri, situasinya semakin runyam. Setiap berangkat dan pulang kerja aku terpaksa menumpang angkutan umum, tiga kali ganti kendaraan, waktu terbuang percuma, dan ongkos lebih mahal. Bang Togar dan persatuan sepit-nya sekarang malah memasang surat keputusan melarangku naik sepit di dermaga kayu, dia laminating, dia kasih fotoku, tertempel besar-besar, sudah macam larangan bepergian ke LN, membuat banyak penumpang sepit tahu.
Bagaimana aku harus menaruh muka?
“Ah, esok lusa juga mereka bosan memboikot kau, Borno.” Andi membesarkan hati.
“Terserah kau sajalah, mana yang baik.” Ibu akhirnya mengalah, meski tetap kesal, “Kalau saja Ibu kuat berjalan ke dermaga itu, sudah kumarahi si Togar. Semakin hari semakin aneh kelakuannya.”
“Boleh jadi Togar berlebihan,” Pak Tua menghela nafas, saat aku berkunjung ke rumahnya, hari libur kerja, “Tetapi kau tidak bisa menafikan kalimatnya, Borno. Tiga turunan, dia benar. Dan kau adalah penduduk gang ini, keturunan langsung pemilik sepit, maka benci Togar semakin menjadi.”
Aku menatap gemerlap lampu kota Pontianak di seberang Kapuas sana dari bingkai jendela rumah kayu Pak Tua. Malam yang indah, bintang menghias angkasa, malam semakin matang, pantulan cahaya di permukaan air terlihat berkilat-kilat. Kerlip lampu dari perahu yang melintas takjim, suara mesin kapal mendayu-dayu. Kota ini elok nian di malam hari.
Aku harus segera memutuskan, berhenti bekerja dari pelampung itu atau cepat atau lambat seluruh gang memusuhiku.
***bersambung
Sejak jaman si hantu pontianak bertekuk lutut, adalah perahu kayu yang menjadi primadona. Kemana-mana penduduk kota ini naik perahu kayu, mau berangkat sekolah, berangkat kerja, pergi kondangan, beranjangsana, berplesir-ria, berkunjung ke tetangga, termasuk hendak berbuat jahat, sepit adalah istimewa. Tentu jaman itu, perahu belum pakai mesin motor merk Jepang dengan PK-PK besar, masih pakai tenaga manusia, boleh jadi namanya masih selow.
Kota ini, kota sungai, selain Kapuas, juga ada cabang sungai lain yang bertemu di muara Laut China Selatan, maka tidak perlulah planolog lulusan terbaik untuk menyimpulkan, di kota ini transportasi air penting adanya. Jaman dulu, pemilik perahu kinclong, dari kayu paling kuat, dibuat oleh tukang paling baik rasa-rasannya sama levelnya dengan punya mobil mewah sekelas jaguar hari ini, status sosial nomor satu. Apalagi kalau punya belasan perahu, sudah macam punya garasi penuh mobil saja, bedanya tempat berderet-deretnya di dermaga atau tertambat di bawah rumah panggung.
Jaman berubah. Jembatan besar yang hanya ada dalam angan, selesai dibangun Repelita Tiga, orang-orang tua yang lahir di tahun masih berkepala 18 sekian sekian, dan masih sehat walafiat ketika presiden republik ini meresmikan jembatan itu ternganga kagum, “Amboi, alangkah besarnya. Sungguhkah ini nyata?” Dulu berkecipak-kecipak menyeberangi Kapuas butuh dua puluh menit dengan peluh mengucur karena harus kuat mendayung, tak becus tangan kalian mengayuh, bisa jadi terseret arus Kapuas dan terlalu hilir ratusan meter, dan saat menyeberang balik, lagi-lagi terlalu hilir ratusan meter. Total jenderal harus berhuluan lagi beratus-ratus meter. Repot. Ketika jembatan jadi, menyeberangi sungai tinggal hitungan menit. Menakjubkan.
Hadirnya jembatan beton di kota Pontianak sedikit banyak memangkas peradaban sepit. Kabar baiknya, jembatan itu dibangun di hulu, bukan persis di pusat kota—dibangun agak ke hulu dengan alasan agar tidak mengganggu lalu-lintas kapal besar, estetika, teknis, pembebasan lahan, perkembangan kota dan termasuk penghematan biaya. Dengan demikian, penduduk di jantung Pontianak terpaksa harus memutar jauh menumpang bus, mobil, atau angkot jika hendak menyeberang. Jembatan beton bukan masalah besar, dalam sisi tertentu perahu tempel tetap kompetitif.
Yang menjadi lawan tangguh sepit adalah: datangnya pelampung. Benar, pelampung, tentu aku tidak salah tulis. Pelampung inilah yang membuat Bang Togar mencak-mencak mendengar kabar aku diterima bekerja di dermaga feri. Malam-malam, beringas dia menghampiriku yang asyik memetik gitar bersama Andi, melantunkan lagu-lagu Melayu, dan tanpa ba-bi-bu, Bang Togar merampas gitarku, melotot, sekejap seruan marah buncah sudah dari mulutnya.
“Kau anak tidak tahu diuntung, Borno! Tiga turunan! Tiga turunan pelampung itu menghabisi kehidupan kita!” Bang Togar membentak, Andi yang tadi sambil menyanyi bilang motor besar kepala kampung masih belum beres, ikut mencicit.
“Kakek kau punya sepuluh sepit puluhan tahun silam, hidup makmur, lantas datanglah pelampung itu, yang kelasinya saja tidak becus berenang, sisa berapa sepit Kakek kau setahun setelah mereka datang? Sisa satu, sembilan lainnya teronggok jadi kayu lapuk? Lantas almarhum bapak kau mewarisi berapa sepit? Hanya perahu mencari ikan jeleknya. Dan kau sekarang, punya apa? Hanya bermain gitar butut menyanyikan lagu basi. Seluruh kampung ini dulu hidup berada, Borno. Kita dihormati, dikenal banyak orang, berkecukupan. Kau lihat sekarang? Hanya sisa gang sempit dan bau.”
Aku meneguk ludah.
“Puluhan tahun silam, mereka bilang hanya satu-dua pelampung saja yang datang, ternyata banyak. Mereka bilang hanya jam-jam tertentu saja beroperasi, ternyata setiap saat, dengan frekuensi tinggi. Mereka bilang akan merekrut pengemudi sepit penduduk gang ini, ternyata tidak. Satu pelampung itu, sekali berjalan, menghabisi dua puluh sepit, Borno. Kau hitung sendiri berapa sepit yang musnah seharian? Ratusan. Dan kau pura-pura lupa, hah? Kakek kau mati ditabrak pelampung haram itu. Jasmerah, Borno, Jasmerah!”
Mulutku bungkam, kemarahan Bang Togar rasa-rasanya seperti menelan bulan yang nyaris purnama, bagaimanalah aku bisa menangkis barang satu-dua kalimatnya, Bang Togar bahkan membawa semboyan Bung Karno yang terkenal itu dalam marahnya, Jasmerah, Jangan Suka Melupakan Sejarah. Andi di sebelahku menahan nafas, dan kepala-kepala mulai bermunculan dari balik pintu serta jendela sepanjang gang, bertanya-tanya, siapa yang sedang sial diomelin suara khas Bang Togar.
Lima belas menit Bang Togar menghardikku di balai bambu, aku tertunduk, puas dia, akhirnya beranjak pergi sambil kasar melemparkan gitar. Aku dan Andi bersitatap tanpa kata, lantas beringsut pulang ke rumah masing-masing—tentu dengan tampang malu dibasuh tatapan mata tetangga.
“Itulah kenapa penduduk kota ini terbiasa menyebut kapal feri dengan pelampung, Borno.” Pak Tua menepuk bahuku, esok hari, saat menumpang sepitnya menyeberangi Kapuas. Tadi tidak ada satupun sepit yang mau kutumpangi, semua pengemudinya bermuka masam, boleh jadi kabar aku bekerja di feri itu sudah terdengar kemana-mana. “Sebutan itu sebenarnya simbol perlawanan, penghinaan, Borno. Kau lihat, perahu kecil terbuat dari kayu bermesin tempel ini disebut sepit, sementara perahu besar dari besi dengan mesin menggelegar hanya disebut pelampung. Bagaimana mungkin kau menyeberangi Kapuas dengan pelampung? Ada-ada saja.” Pak Tua tertawa prihatin.
“Jangan dengarkan si Togar itu.” Ibu menghiburku tiga hari kemudian, “Omong-kosong soal Kakek kau dulu yang ditabrak pelampung. Itu kecelakaan, dan salah mereka juga yang tetap melintas di jalur feri, sengaja menantang. Kau hidup di jaman berbeda, feri itu sudah menjadi kebutuhan seluruh kota. Sama halnya dengan sepit yang tetap akan dibutuhkan.”
Aku tetap menggeleng sedih, tadi sore, Pak Tua akhirnya ikutan menolak membawaku. Tinggallah aku macam kambing congek di dermaga kayu, tidak bisa pulang menyeberang. “Aku mau saja, Borno. Tetapi semua pengemudi sepit sudah bersepakat, kau dilarang menumpang perahu manapun hingga kau berhenti bekerja dari dermaga feri. Dalam kasus ini, kesepakatan adalah kesepakatan, aku harus menghargai mufakat di antara kami, meski bodoh dan naif sekali mufakat kali ini. Karena dari situlah seorang dihargai dalam alam demokrasi.”
Aku menatap Pak Tua setengah tidak percaya, hendak berteriak ikut marah, pengemudi sepit lainnya menatap prihatin dari atas perahu masing-masing. Petugas timer melotot galak, bersiap mengusirku kalau berani loncat ke perahu tempel yang merapat di dermaga dan sedang dinaiki penumpang. Hampir seluruh pengemudi sepit aku kenal, sama baiknya mereka mengenal aku, bagaimana mungkin mereka tega membuat kesepakatan itu?
“Haiya, kalau begitu apa susahnya? Kau berhenti saja bekerja di pelampung, mudah sekali. Terus terang saja, aku lebih suka bau karet kau dulu dibanding tampang masam kau sekarang.” Koh Acung yang menyerahkan minyak sayur setengah liter titipan Ibu menyeringai menyebalkan.
Tidak mudah, aku baru seminggu bekerja di sana, mendapatkan rekomendasi langsung dari pejabat syahbandar, bagaimana mungkin aku tiba-tiba berhenti dengan alasan konyol?
“Sebenarnya kau jadi apa di pelampung itu? Sayang sekali kau dengan pekerjaan di sana.” Cik Tulani yang malam kesekian mampir mengirimkan makanan buat Ibu bertanya—sebenarnya masakan warung dia yang sisa, daripada basi, lebih baik diberikan ke tetangga, mana ada model Cik Tulani yang soal beli ikan saja pelit akan sebaik hati itu.
“Jadi penjaga palang masuk, Cik.”
“Apa pula itu?” Cik Tulani bertanya.
“Pemeriksa karcis.” Aku menjelaskan.
“Karcis? Buat apa ada karcis?”
Aku menahan sebal, ternyata Cik Tulani itu, meski berpuluh tahun hidup di Pontianak, tidak sekalipun naik kapal feri, “Hah, buat apa aku naik pelampung itu? Bikin mabuk. Lebih mantap naik sepit, tanganku bisa menyentuh air Kapuas, bila perlu sambil cuci muka dan keramas. Lagipula aku cukup jalan kaki ke dermaga kayu, duduk tenang, lempar uang, selesai.” Cik Tulani menjawab sengit, tidak terima.
Jadi begini, pengemudi sepit memang tidak pernah menarik ongkos dari penumpang, kalian naik, duduk rapi, lantas ketika mau sampai di seberang, tinggal letakkan uang sesuai tarif berlaku di dasar perahu, loncat ke dermaga, bilang terima-kasih. Pengemudi sepit juga tidak pernah repot buru-buru memastikan apakah ada penumpang yang berani naik tanpa meletakkan uang, setelah merapat ke antrian sepit di dermaga, baru memungut gumpalan uang-uang itu.
“Cih, dari cara itu saja sudah terlihat sekali mana yang lebih baik, sepit atau pelampung haram itu.” Bang Togar sengaja berseru kencang-kencang melihatku melintas di hari berikutnya, “Sepit itu simbol rasa saling percaya, egaliter, dan kepraktisan. Mana ada penumpangnya diperiksa satu persatu apakah sudah punya karcis atau tidak.”
Aku hanya diam, meski hatiku mengkal, hendak berseru, “Bukankah bulan lalu ada pengemudi sepit yang marah-marah karena penumpangnya turis dari Jakarta. Rombongan turis itu tidak satupun mengerti aturan mainnya, jadi tidak satupun yang meletakkan uang di dasar perahu. Langsung loncat ke dermaga kayu, pergi sambil berbisik-bisik setengah tidak percaya, ternyata ada fasilitas menyeberangi Kapuas gratis disediakan pemerintah.” Rutukku sengit dalam hati.
Dua minggu bekerja di dermaga feri, situasinya semakin runyam. Setiap berangkat dan pulang kerja aku terpaksa menumpang angkutan umum, tiga kali ganti kendaraan, waktu terbuang percuma, dan ongkos lebih mahal. Bang Togar dan persatuan sepit-nya sekarang malah memasang surat keputusan melarangku naik sepit di dermaga kayu, dia laminating, dia kasih fotoku, tertempel besar-besar, sudah macam larangan bepergian ke LN, membuat banyak penumpang sepit tahu.
Bagaimana aku harus menaruh muka?
“Ah, esok lusa juga mereka bosan memboikot kau, Borno.” Andi membesarkan hati.
“Terserah kau sajalah, mana yang baik.” Ibu akhirnya mengalah, meski tetap kesal, “Kalau saja Ibu kuat berjalan ke dermaga itu, sudah kumarahi si Togar. Semakin hari semakin aneh kelakuannya.”
“Boleh jadi Togar berlebihan,” Pak Tua menghela nafas, saat aku berkunjung ke rumahnya, hari libur kerja, “Tetapi kau tidak bisa menafikan kalimatnya, Borno. Tiga turunan, dia benar. Dan kau adalah penduduk gang ini, keturunan langsung pemilik sepit, maka benci Togar semakin menjadi.”
Aku menatap gemerlap lampu kota Pontianak di seberang Kapuas sana dari bingkai jendela rumah kayu Pak Tua. Malam yang indah, bintang menghias angkasa, malam semakin matang, pantulan cahaya di permukaan air terlihat berkilat-kilat. Kerlip lampu dari perahu yang melintas takjim, suara mesin kapal mendayu-dayu. Kota ini elok nian di malam hari.
Aku harus segera memutuskan, berhenti bekerja dari pelampung itu atau cepat atau lambat seluruh gang memusuhiku.
***bersambung
Source : Darwis Tere Liye
0 komentar:
Posting Komentar